Latest Post
Cerita Rakyat dan Kaum Muda
Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Desember 2009 | Desember 14, 2009
Satu dari Segelintir, Aspar Paturusi dari Bulukumba
Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Desember 2009 | Desember 13, 2009
Dengan penuh percaya diri Ia tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di
Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Desember 2009 | Desember 11, 2009
Surat dari Ibu
kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....
parkhotel am taunus, oktober 2008
Ibu Sembarang Waktusetiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....
oberursel, oktober 2008
Atraksi Seni dalam Aksi Demo
Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 10 Desember 2009 | Desember 10, 2009
SELAMAT HARI HAK AZASI MANUSIA 10 DESEMBER (^_*)
Sastra Versus Kekuasaan
Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Desember 2009 | Desember 09, 2009
WS Rendra membacakan puisi dengan gaya burung merak mengibaskan ekornya yang indah sambil membantai kekuasaan lewat pamflet kata. Penulis Kuntowijoyo pernah menuliskan kritik-kritik politiknya dalam Novel Mantra Pejinak Ular dengan ilustrasi-ilustrasi satire pula. Aksi demo mahasiswa pun di mana-mana juga serasa tak lengkap jika tidak diwarnai aksi pembacaan puisi saat jeda orasi. Banyak lagi contoh lainnya. Di setiap zaman ada pertempuran klasik antara sastra dengan politik.
Benarkah para penggiat sastra kadang berseberangan dengan dunia politik? Seharusnya sastra memang diarahkan untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan dalam kehidupan. Istilah sastra politik sebenarnya belum ditemukan oleh para kritikus sastra sekalipun, namun adalah wajar istilah ini mengemuka ketika memang dunia sastra tidak bisa dipisahkan dengan dunia politik.
Saya masih saja merasa kagum misalnya terhadap seorang penyair senior di Bulukumba, Mahrus Andhis yang sekian tahun telah berada di birokrat. Tapi dia tak habis-habis juga berkarya. Malahan sebaliknya. Puisi dan berbagai tulisannya di media lokal di selatan-selatan Sulsel senantiasa justru menohok kekuasaan. Meski lembut dan santun.
-Kepada semua elemen gerakan yang turun ke jalan pada hari ini: jangan kembali sebelum selesai. Bersihkan tanpa harus membubarkan Indonesia. Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember-
Penyair (itu) Bodoh Akhirnya Terbit Juga
Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 08 Desember 2009 | Desember 08, 2009
Anak muda ini lebih suka disebut penyair independen. Entah dalam prototipe seperti apa maksudnya. Tapi namanya sendiri jauh lebih bagus, Dea Anugrah. Ia lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Saat ini masih berstatus mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM dan menetap di Jogjakarta.
Lebih dari 10 puisinya pernah saya bacakan di program sastra Ekspresi di RCA Salah satu puisinya "Gadis Bar" bisa didownload di sini. Pertama kali kami berkenalan pada sekitar Maret 2009 melalui dunia blogging. Berbulan-bulan kemudian kami ketemu di facebook. Dan kemarin, saya termasuk yang beruntung dia undang secara pribadi. Dea menulis:
Kawan-kawan, mari datang ke launching buku puisi "Penyair (itu) Bodoh" karya Dea Anugrah. Hari Kamis, 10 Desember 2009, pukul 19.00. Pembicara: Saut Situmorang. Acara akan dilaksanakan di kantor penerbit Erlangga cabang Jogja, Jl. Gedong Kuning no. 132 (perempatan PLN ke selatan 200 Meter). (nb: Jl. Gedong Kuning itu dekat Kebun Binatang Gembira Loka)
Salam hangat,
Dea Anugrah
Demikian undangan itu dikirim melalui facebook dan diposting di blog pribadinya, Sepasang Baling-Baling. Judul buku kumpulan puisinya Penyair (itu) Bodoh sebelumnya hanya bertengger di blognya sekian lama dan akhirnya kini telah terbit.
Usia Dea yang masih 18 tahun dengan launching buku yang menghadirkan seorang sastrawan dan kritikus sastra sekelas Saut Situmorang sebagai pembicara tentu bukan launching biasa di jagad sastra tanah air. Bukan anak muda biasa. Tidak seperti kemarin, hari ini sepasang baling-balingnya justru berbalik melawan angin.
"Bongkar" Lagu Terbaik Sepanjang Masa
Posted By Ivan Kavalera on Senin, 07 Desember 2009 | Desember 07, 2009
Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2009 menobatkan lagu "Bongkar" sebagai Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Lagu "Bongkar" diciptakan dan dinyanyikan Sang Legenda Hidup, Iwan Fals bersama kelompok Swami dan mulai populer sejak 1989. Rezim Orde Baru sempat mencekalnya untuk tampil di televisi maupun radio. Dari segi lirik, lagu "Bongkar" sebenarnya terlalu keras untuk ukuran zaman Orde Baru.
Protes sosial yang tegas dalam lagu itu menandakan banyak yang tidak beres di republik ini. Di samping menjadi nomor satu, ternyata Iwan juga memecahkan rekor menyumbangkan lagu terbanyak yang bertengger di deretan 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Menempati urutan pertama versi Roling Stone Indonesia tentu melalui penilaian secara profesional dan kriteria yang sangat objektif.
005 : Guru Oemar Bakrie
010 : Bento (Swami I)
042 : Yang Terlupakan
051 : Wakil Rakyat
056 : Pesawat Tempur
065 : Galang Rambu Anarki
082 : Kesaksian (Kantata Takwa)
097 : Sarjana Muda
jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
bagi mereka yang diperbudak jabatan
ooh ya... oh ya... oh ya...bongkar!
ooh ya oh ya..... oh ya...bongkar!
Seno Gumira Ajidarma Sang Pembangkang
Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 06 Desember 2009 | Desember 06, 2009
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium,peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Seno_Gumira_Ajidarma
Lima Sastrawan Lampung Diundang Ke Brunei
Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Desember 2009 | Desember 05, 2009
Hamzah Fansuri: Penyair Pertama Nusantara
Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Desember 2009 | Desember 04, 2009
- Syair Burung Unggas
- Syair Dagang
- Syair Perahu
- Syair Si Burung pipit
- Syair Si Burung Pungguk
- Syair Sidang Fak
Festival Musi 2009
Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 03 Desember 2009 | Desember 03, 2009
Ketika Sastra Cetak Terusik Oleh Sastra Cyber
Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 02 Desember 2009 | Desember 02, 2009
Sastra cyber atau sastra yang diposting di internet sangat berbeda sama sekali jika dibandingkan dengan tulisan purba Mesir yang terdapat di dinding piramid maupun buku-buku di zaman modern. Pada 10 tahun lalu sastra cyber masih dianggap baru. Lantas, sesuatu yang baru itu pernah dianggap "asing" (alien) dan mengerikan atau menjadi "hantu baru" dalam ranah sastra. Sekarang saja bagi sebahagian kalangan, berkarya di internet masih dianggap non-konvensional. Lalu pernahkah para penikmat sastra membayangkan sebuah zaman di mana kertas dan bahan bakunya telah habis di planet ini? Kira-kira di manakah letak sastra cetak di tengah kondisi seperti itu?
Mungkinlah sastra akan menemui kesunyian gara-gara segelintir sastrawan zaman sekarang mendewakan apresiasi "hanya" pada sastra cetak? Ketika sastra cyber dianggap mengancam stabilitas sastra cetak, maka sejak 2 tahun terakhir muncullah tandingan situs-situs yang mengatas namakan sastra internet yang resmi. Situs-situs itu mengadopsi tradisi sastra cetak di mana karya-karya disaring selayaknya redaksi koran atau penerbit di dunia nyata. Padahal sejatinya sebuah karya di internet tidak memerlukan dewan penyeleksi yang jumlahnya tidak akan bisa mewakili jumlah maupun selera pembacanya. Di internet, yang menjadi penilai adalah para pembacanya sendiri.
Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik mungkin dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Ajaib, yang mau berdarah-darah justru adalah kebanyakan mereka yang mengunakan internet.
Sastra di Indonesia juga tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.