Latest Post

Cerita Rakyat dan Kaum Muda

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Desember 2009 | Desember 14, 2009


Pada zaman dulu cerita rakyat pernah mengalami masa kejayaan. Warisan turun temurun ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Cerita rakyat merupakan gambaran otentisitas yang mencerminkan perilaku dan budaya masyarakat kita. Namun kenyataan berubah ketika kaum muda tidak lagi tertarik kepada cerita rakyat.

Mengapa kaum muda cenderung tidak berminat lagi pada cerita rakyat? Dalam sebuah diskusi ringan di Bulukumba beberapa minggu lalu, terbetik kesimpulan bahwa alur cerita maupun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat dianggap sudah ketinggalan zaman. Sebahagian besar kaum muda yang telah kehilangan minat baca juga memperparah keadaan ini.

Kaum muda kurang begitu meminati cerita rakyat karena dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Ada ketidaksukaan bila melihat tokoh cerita berperan di hutan. Mereka lebih tertarik dengan obsesi metropolis. Lingkungan yang serba hiruk pikuk. Kaum muda justru merasa aneh dan lucu bila membaca sebuah cerita rakyat, dimana seorang tokohnya yang sedang menunggang kuda.

Dalam benak mereka, semestinya tokoh dalam cerita rakyat itu, haruslah mengendarai pesawat antariksa atau mobil mewah super canggih, misalnya. Pola pemikiran generasi muda mengacu pada hubungan logika dengan lingkungan mereka.

Saat ini dibutuhkan sistem distribusi cerita rakyat melalui kurikulum sekolah maupun kampus. Memperbanyak situs cerita rakyat dalam bentuk website maupun blog juga sangat efektif. Modifikasi juga perlu dilakukan pada keaslian cerita-cerita rakyat tapi tentu tak bisa dilakukan secara total sebab justru akan menjadikannya lebih terasa asing. 

Festival teater yang mengangkat cerita rakyat dan melibatkan kaum muda juga semestinya diagendakan setiap tahun. Semisal Festival Teater bertajuk “Menengok Kembali Cerita Rakyat” yang akan digelar di Gedung MULO Makassar pada 17 Desember 2009.

Satu dari Segelintir, Aspar Paturusi dari Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Desember 2009 | Desember 13, 2009


Pada 10 April 2011, bertepatan usianya yang ke-68, sosoknya tetap berani 'menghunus badik' ketika di Graha Pena Makassar diluncurkan buku puisinya yang berjudul "Badik". Buku itu memuat 303 puisi dengan tebal 372 halaman.

Dengan penuh percaya diri Ia tampil sepanggung dengan sejumlah nama besar dari pentas teater nasional. Ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Bersama Teater Saja-nya Ikranegara, ia bermain di Taipei di tahun 1984, Singapura dan Malaysia di tahun 1985. Ia salah satu seniman kebanggaan warga Sulawesi Selatan, satu hal yang bahkan diformalkan dengan penghargaan yang ia terima pada tahun 1978 sebagai Warga Kota Berprestasi. 

Aspar Paturusi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Seorang aktor, dramawan, dan novelis Indonesia. Selain bermain teater dan menulis novel humanisme ia juga menulis puisi, karyanya Apa Kuasa Hujan, berisi 134 judul puisi yang ia tulis sejak tahun 1971 sampai tahun 2002. Pada tahun 1960, dua puisinya: "Mereka Tercinta" dan "O Anak Kemana Kau" dimuat di lembaran kebudayaan Mimbar Indonesia ydi mana  saat itu redakturnya adalahHB Jassin dan AD Donggo. 

Tahun 1987 ia memboyong keluarganya ke Jakarta. Aspar bermain untuk film layar lebar Tragedi Bintaro . Ia aktor terbaik peraih Piala Vidya lewat Anak Hilang yang digarap Slamet Rahardjo. Ia juga bermain di dalam produksi TVRI, Alang-Alang garapan Teguh Karya. Beberapa sinetron seperti Bengkel Bang Jun arahan Chaerul Umam. Namun, ia sempat merasa sangat konyol ketika ia bermain dalam sinetron Pelangi Harapan produksi dari Multivision. Perannya adalah menjadi hantu. Terakhir, dia ikut ambil peran film Ketika Cinta Bertasbih garapan sutradara Chaerul Umam sebagai ayah Furqon.

Sejumlah naskah dramanya dan ia sutradarai sendiri antara lain Samnidara yang berpentas di TIM tahun 1982, Perahu Nuh II pentas di TIM tahun 1985 dan Festival Istiqlal tahun 1995, serta Jihadunnafsi yang dipentaskan di Makassar tahun 1986 dan TIM tahun 1991.

Aspar pernah menjabat Ketua Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM) Sulawesi Selatan periode 1962-1968. Ia juga ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar dan menjadi pengurus selama 18 tahun. Menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Sulawesi Selatan dan kemudian Wakil Ketua Umum PB Parfi, anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan menjadi ketua komite teater tiga periode 1990-2001. Ia satu dari segelintir seniman teater daerah yang mampu menaklukkan ibukota.
 
referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Aspar_Paturusi

Dorothea Rosa, Perempuan Yang Menuliskan Perempuan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Desember 2009 | Desember 11, 2009


"Sampaikanlah tema-tema politik dengan bijaksana dan tenang." Kalimat seperti itulah mungkin yang ingin disampaikan Dorothea Rosa melalui karya-karyanya. Buku-buku kumpulan sajaknya adalah Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999) dan Kill the Radio (2001) terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik 1998-2000 PKJ-TIM.
Sejak kecil bercita-cita menjadi psikolog tapi setelah dewasa yang kesampaian justru menjadi penulis. Ia masih duduk di bangku SMP ketika tulisan pertamanya dalam bentuk opini dimuat di majalah Hai. Ia suka membaca meski bukan berasal dari keluarga berada yang mampu membeli buku.
Perempuan penulis yang mengagumi Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Arswendo Atmowiloto ini dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sewaktu kuliah di Jurusan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, puisi-puisinya selalu menghiasi rubrik sastra di harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.
Sempat beberapa tahun menjadi guru di SMA Gama Yogyakarta. Tapi akhirnya ia terjun total sebagai penyair dan penggiat kebudayaan. Pernah menjadi koresponden harian Suara Pembaruan, majalah Prospek, majalah Sarinah dan sejak tahun 1995 menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan Kolong terbitan Magelang, Jawa Tengah.
Rosa pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Muda ASEAN di Philiphina tahun 1990, dan Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda tahun 1995. Tahun 2000, ia menjadi writer-residence di Australia.
Rosa mungkin begitu menyadari dirinya yang perempuan dan untuk itu Ia banyak menulis sajak untuk menggambarkan perempuan dari perspektif seorang perempuan. Citra perempuan Indonesia adalah salah satu sumber inspirasinya yang utama. Sebagaimana dalam dua sajaknya ini.


Surat dari Ibu
kutulis pada lipatanlipatan wajahku yang lelah kukisahkan kekecewaanku
pada sungai yang makin kering menjalari rusukrusuk kota kita. seperti urat
yang tak lagi rajin mengalirkan darah ke penjuru tubuhmu. setiap jatuh daun
dan pendar uap menyanyikan murungku pada hari yang selalu berjalan resah.
detikdetik berjajar melukiskan gairah rumput dan amarah batu yang bisu.
kutuliskan suratku, tak beralamat rindu. tahuntahun yang renta mengurung
perjalanan hati yang tak punya cinta. selongsong waktu yang kerontang
berserakan. harihari baru yang berlumut tumbuh di atas tanah tandus.
kutulis surat ini di atas lelangit cerah di lengkung jejalan setapak ruangkosong.
kereta bayi dan keranda tua beriringan seperti bergegas mencari alamat dan nama.
tak kukirimkan kepada sesiapa....
parkhotel am taunus, oktober 2008

Ibu Sembarang Waktusetiap pintu dan lapislapis tangga menembus igauan cahaya yang gelisah.
lalu di batas yang jauh sana tidak mudah kutebak bayangan menyingkap pendar udara.
langit mengatup pelahan. menyebarkan gerimis atau selinap embun yang bimbang.
ibuku melahirkan kegelapan dan bukit-bukit tandus. melahirkan kejahatan dan
kekacauan. tapi para dewa menghembuskan jiwa ke dalam cangkang-cangkang sunyi.
kehidupan merayap dalam jubahjubah para suci yang memanggul pedang dan
menenteng kepala. gelombang manusia menggulung dalam rintihan parasit di
pokokpokok pohon hutan asing. ibuku menuliskan kelahiran yang tidak berhenti....
rumahrumah ditinggalkan dalam dinding dan benteng yang renta. genangan sejarah palsu
mengubur lantailantai dan merapuhkan pintupintu dan meniupkan angin untuk
membangunkan geritnya. di langit yang tanpa warna burungburung nazar dan gagak liar
membesutkan
bayangan dan kabar keabadian derita.
ibuku menyusui jejakjejak gelap. gulungan waktu yang kering dan sepi. nyanyian pujian
dan ayat-ayat doa yang teramat jauh mendekap luka yang rindu pada keniscayaan.
anakanak durhaka dikloning dalam tebaran lalat dan serangga pencari darah dan nanah.
tubuhnya yang ditindih bermacam penyakit kelamin membekaskan jejak ludah tarantula tua.
sembarang bayi mengubur tubuhnya sendiri yang rapuh dengan tulangtulang lunak.
jarijari tangannya menggoreskan pesan rahasia: tak terbaca dalam kumpulan riwayat
dan doa pelepasan.
ibuku melahirkan sejarah gelap dan sakit. waktu bergerak memanjati bukitbukit ketakutan
dan detaknya menembus rerimba bisu yang mati. langkahlangkahnya menyanyikan gema
dan irama yang dingin dan sedih. bulan tua menuntaskan kalimat dalam sederet kisah luka.
sebagai telur yang gagal, aku membiarkan cangkangku retak dan menetaskan kesia-siaan....
oberursel, oktober 2008


Atraksi Seni dalam Aksi Demo

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 10 Desember 2009 | Desember 10, 2009


Demo itu juga mengandung unsur seni. Sebahagian besar dimaksudkan sebagai salah satu cara menarik perhatian publik. Sebuah aksi demo tidak harus hanya berisi orasi. Sebuah demo juga kadang mementaskan aksi teatrikal, baca puisi, musik, seni rupa bahkan seni dan permainan tradisional. Seperti yang tampak dalam foto-foto berikut ini. Beberapa atraksi dalam berbagai demo yang berkaitan dengan kasus Bank Century.





Demonstrasi adalah hak azasi bagi manusia dan merupakan salah satu cara mengekspresikan diri ketika negoisasi mengalami stagnan. Ketika lahir kejenuhan terhadap sebuah kenyataan. Juga ketika suara dibungkam dan tidak menemui jalan lain untuk meneriakkannya. Sementara aksi-aksi seni yang biasanya mewarnai demonstrasi, itu semua sangat alamiah. Sebab seni juga adalah bagian dari hak-hak dasar bagi manusia.

SELAMAT HARI HAK AZASI MANUSIA 10 DESEMBER (^_*)


(foto-foto dari berbagai sumber di internet)

Sastra Versus Kekuasaan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Desember 2009 | Desember 09, 2009


WS Rendra membacakan puisi dengan gaya burung merak mengibaskan ekornya yang indah sambil membantai kekuasaan lewat pamflet kata. Penulis Kuntowijoyo pernah menuliskan kritik-kritik politiknya dalam Novel Mantra Pejinak Ular dengan ilustrasi-ilustrasi satire pula. Aksi demo mahasiswa pun di mana-mana juga serasa tak lengkap jika tidak diwarnai aksi pembacaan puisi saat jeda orasi. Banyak lagi contoh lainnya. Di setiap zaman ada pertempuran klasik antara sastra dengan politik.

Benarkah para penggiat sastra kadang berseberangan dengan dunia politik? Seharusnya sastra memang diarahkan untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan dalam kehidupan. Istilah sastra politik sebenarnya belum ditemukan oleh para kritikus sastra sekalipun, namun adalah wajar istilah ini mengemuka ketika memang dunia sastra tidak bisa dipisahkan dengan dunia politik.

Saya masih saja merasa kagum misalnya terhadap seorang penyair senior di Bulukumba, Mahrus Andhis yang sekian tahun telah berada di birokrat. Tapi dia tak habis-habis juga berkarya. Malahan sebaliknya. Puisi dan berbagai tulisannya di media lokal di selatan-selatan Sulsel senantiasa justru menohok kekuasaan. Meski lembut dan santun.

Sastra dengan kekuasaan. Sastra dengan politik. Sepintas bukanlah dikotomi yang meresahkan. Bukan tidak mungkin ada sastra yang berpolitik untuk memperoleh kekuasaan. Bagaimana halnya jika politisi bersastra dari wilayah kekuasaannya?


-Kepada semua elemen gerakan yang turun ke jalan pada hari ini: jangan kembali sebelum selesai.
Bersihkan tanpa harus membubarkan Indonesia. Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember-

Penyair (itu) Bodoh Akhirnya Terbit Juga

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 08 Desember 2009 | Desember 08, 2009


Anak muda ini lebih suka disebut penyair independen. Entah dalam prototipe seperti apa maksudnya. Tapi namanya sendiri jauh lebih bagus, Dea Anugrah. Ia lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Saat ini masih berstatus mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM dan menetap di Jogjakarta.

Lebih dari 10 puisinya pernah saya bacakan di program sastra Ekspresi di RCA
Salah satu puisinya "Gadis Bar" bisa didownload di sini. Pertama kali kami berkenalan pada sekitar Maret 2009 melalui dunia blogging. Berbulan-bulan kemudian kami ketemu di facebook. Dan kemarin, saya termasuk yang beruntung dia undang secara pribadi. Dea menulis:

Kawan-kawan, mari datang ke launching buku puisi "Penyair (itu) Bodoh" karya Dea Anugrah. Hari Kamis, 10 Desember 2009, pukul 19.00. Pembicara: Saut Situmorang. Acara akan dilaksanakan di kantor penerbit Erlangga cabang Jogja, Jl. Gedong Kuning no. 132 (perempatan PLN ke selatan 200 Meter). (nb: Jl. Gedong Kuning itu dekat Kebun Binatang Gembira Loka)

Salam hangat,
Dea Anugrah




Demikian undangan itu dikirim melalui facebook dan diposting di blog pribadinya, Sepasang Baling-Baling. Judul buku kumpulan puisinya Penyair (itu) Bodoh sebelumnya hanya bertengger di blognya sekian lama dan akhirnya kini telah terbit.

Usia Dea yang masih 18 tahun dengan launching buku yang menghadirkan seorang sastrawan dan kritikus sastra sekelas Saut Situmorang sebagai pembicara tentu bukan launching biasa di jagad sastra tanah air.
Bukan anak muda biasa. Tidak seperti kemarin, hari ini sepasang baling-balingnya justru berbalik melawan angin.

"Bongkar" Lagu Terbaik Sepanjang Masa

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 07 Desember 2009 | Desember 07, 2009


Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Desember 2009 menobatkan lagu "Bongkar" sebagai Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Lagu "Bongkar" diciptakan dan dinyanyikan Sang Legenda Hidup, Iwan Fals bersama kelompok Swami dan mulai populer sejak 1989. Rezim Orde Baru sempat mencekalnya untuk tampil di televisi maupun radio. Dari segi lirik, lagu "Bongkar" sebenarnya terlalu keras untuk ukuran zaman Orde Baru. 


Protes sosial yang tegas dalam lagu itu menandakan banyak yang tidak beres di republik ini. Di samping menjadi nomor satu, ternyata Iwan juga memecahkan rekor menyumbangkan lagu terbanyak yang bertengger di deretan 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Menempati urutan pertama versi Roling Stone Indonesia tentu melalui penilaian secara profesional dan kriteria yang sangat objektif.

001 : Bongkar (Swami I)
005 : Guru Oemar Bakrie
010 : Bento (Swami I)

042 : Yang Terlupakan
051 : Wakil Rakyat
056 : Pesawat Tempur

065 : Galang Rambu Anarki
082 : Kesaksian (Kantata Takwa)

097 : Sarjana Muda
“Bongkar” menduduki posisi puncak daftar lagu legendaris sepanjang masa setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan 53 musisi, kritikus musik, jurnalis serta para pelaku industri musik nasional, di antaranya Yon Koeswoyo (Koes Bersaudara & Koes Plus), Addie MS, Dwiki Dharmawan, Log Zhelebour, Dewa Budjana, Armand Maulana, Remy Soetansyah, Theodore KS, Denny MR, Denny Sakrie, David Tarigan dan sebagainya.

Adib Hidayat, Managing editor Rolling Stone Indonesia menulis, “Kriteria yang kami sepakati bersama dari lagu-lagu yang terpilih ini adalah lagu tersebut harus diciptakan WNI, memberikan inspirasi, berasal dari wilayah musik populer, tergabung dalam album, kompilasi atau single yang di rilis, masuk di playlist radio nasional serta bukan karya yang menjiplak karya lagu lain.”
Kalau cinta sudah dibuang
jangan harap keadilan akan datang

Kesedihan hanya tontonan
bagi mereka yang diperbudak jabatan
ooh ya... oh ya... oh ya...bongkar!

ooh ya oh ya..... oh ya...bongkar!

Seno Gumira Ajidarma Sang Pembangkang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 06 Desember 2009 | Desember 06, 2009

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja-dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seno menulis kalimat-kalimat pembuka di atas dalam salah satu puisinya yang panjang layaknya sebagai sepucuk surat berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Tipografi semua puisi maupun cerpen karya Seno mungkin tidak lazim tapi para penikmat sastra selalu mencintai karya-karyanya disebabkan kegenitan bahasa dan cara unik Seno melontarkan gagasan tentang banyak realitas.

Saat masih duduk di bangku sekolah Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu SMP, ia memberontak tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. Imajinasinya begitu liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Pada umur 17 tahun, salah satu puisi mbeling Seno dimuat pertama kali oleh majalah Horison.

Semua cerpen dan puisinya mungkin bisa melarutkan keinginan-keinginan bagi yang sedang dilanda banyak obsesi. Tapi itulah Seno Gumira Ajidarma. Seniman kelahiran Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bagi manusia Indonesia yang mengalami gairah baru karya-karya sastra sejak dekade 80 hingga 90-an, Seno telah diletakkan sebagai salah satu wajah baru gaya kepenulisan di tanah air. Beberapa buku karyanya adalah Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000).
Tapi Seno mulai terkenal mungkin karena dia pernah menulis tentang situasi di Timor Timur ketika masih menjadi bagian Indonesia. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku roman Saksi MataJazz, Parfum, dan Insiden , dan kumpulan esai Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Tipografi dan gayanya mungkin tak lazim tapi Seno tetap membangkang terhadap pakem-pakem yang ada. Puisinya Sepotong Senja Untuk Pacarku yang panjang itu misalnya. Seno menutupnya dengan kalimat kesedihan sekaligus harapan.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis,
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium,peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

referensi: http://takoer.multiply.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Seno_Gumira_Ajidarma

Lima Sastrawan Lampung Diundang Ke Brunei

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Desember 2009 | Desember 05, 2009


Sebagaimana buku antologi puisi "Kota Cahaya" yang ditulis Izbedi Stiawan ZS, Lampung akan menyala lagi di kancah dunia. Sebuah undangan istimewa diterima Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka di Bandarlampung pada 30 November lalu. Lima sastrawan Lampung yang beruntung itu adalah Arman AZ, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Ari Pahala Hutabarat, Syaiful Irba Tanpaka dan Harry Jayaningrat.

Mereka diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XV di Brunei Darussalam, 11-13 Desember 2009 yang dilaksanakan oleh Asosiasi Sastrawan dan Satrawani (Astrawani) Brunei. Pertemuan tersebut bertajuk "Mencarukkan Sastera Nusantara", Seperti biasa, pertemuan tersebut juga diikuti seniman lain dari Indonesia, serta Malaysia, Singapura, Thailand dan tuan rumah.

Kesempatan bagi kelima sastrawan Lampung itu untuk ajang sosialisasi sastra Indonesia khususnya Lampung di kancah internasional. Izbedi Stiawan dan Syaiful adalah dua sastrawan Lampung yang diundang untuk kedua kalinya di PSN. Dua tahun lalu di Kedah Malaysia, keduanya membacakan puisi di PSN.

sumber: Antara

Hamzah Fansuri: Penyair Pertama Nusantara

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Desember 2009 | Desember 04, 2009

Jagad kepenyairan Indonesia kemungkinan besar tidak akan pernah ada jika tidak diawali syair-syair yang ditulis Hamzah Fansuri, penyair pertama nusantara pada abad ke-16. Hamzah Fansuri adalah ibarat Jalaluddin Rumi-nya nusantara. Ia seorang ulama dan sastrawan sufi terbesar di zamannya bahkan sampai hari ini. Mobilitasnya tinggi dan sering berpindah tempat dan merupakan ciri khas penyair Melayu klasik yang suka berpetualang. Karya-karyanya dalam bentuk prosa: Asrar al-Arifin, Sharab al-Asyikin dan Zinat al-Muwahidin.
Syair-syairnya yang diyakini sebagai puisi-puisi petama di nusantara:
Dengan menguasai bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Melayu beliau dapat memahami dan menghayati tasawuf/thariqat dan filsafat Ibn Arabi, Al Hallaj, Al Bistani, Maghribi, Syah Nikmatullah, Abdullah Jalil, Jalaluddin Rumi, Abdulkadir Jaelani, dan lain-lain dengan baik.
Uniknya, riwayat hidup Hamzah Fansuri tidak satu pun meninggalkan catatan, baik tahun kelahiran maupun tahun wafatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan kekaburan ini sebab beliau tidak mencantumkan tahun dalam karya-karyanya—walaupun Hamzah merupakan pengarang Melayu pertama yang menulis karya-karya ilmiah dengan mencantumkan nama dalam karyanya—hal ini kemudian diikuti oleh pengarang-pengarang Melayu berikutnya.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan Hamzah dilahirkan di Pantsoer (Barus). Barus merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah, secara geografis terletak di pesisir barat pulau Sumetera, dan secara dialektologi penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Mandailing. Pada jaman Hamzah daerah ini merupakan pusat perdagangan dengan penduduk yang ramai.
Nama Fansur adalah ucapan Arab untuk Pancur yang oleh orang Batak disebut Pansur. Sebelumnya Barus disebut Pangsur. Bisa disimpulkan bahwa nama Hamzah Fansuri berarti Hamzah berasal dari Barus. Pendapat lain mengatakan bahwa Hamzah berasal dan lahir di Syarnawi, Ayuthia (ibu kota Siam pada jaman dahulu).

referensi: Oud en Niew Oost-Indien karya Francois Valentijn

Festival Musi 2009

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 03 Desember 2009 | Desember 03, 2009


Mulai hari ini tanggal 3 hingga 6 Desember, Pemerintah Kota Palembang menggelar Festival Musi 2009. Even budaya ini disemarakkan dengan Festival Dragon Boat Internasional, Festival Kuliner Nusantara dan Pameran Pembangunan Pendidikan.

Festival Musi ini juga bertepatan dengan peringatan ke-4 hari Wisata Sungai, sejak di-launching tahun 2005 lalu. Potensi besar festival ini dapat menarik kunjungan wisatawan ke Palembang.

Sebelumnya even ini bernama Festival Dragon Boat dan tidak berskala nasional. Namun setelah disetting sedemikian rupa dan berubah nama menjadi Festival Musi, skalanya berubah menjadi skala nasional. Pemerintah Kota Palembang berharap kegiatan budaya ini dapat lebih menarik minat wisatawan baik asing maupun domestik untuk datang ke Palembang.
Selain Festival Tari dan Dragon Boat, even ini juga akan menghadirkan festival kuliner. 

Di Festival itu, akan didirikan 40 stand makanan dan minuman khas daerah di Tanah Air. Perinciannya, 22 stan disediakan bagi peserta yang langsung masak di tempat, sisanya, 18 stand khusus untuk pameran makanan jadi.

sumber: http://bulletinmetropolis.com/

Ketika Sastra Cetak Terusik Oleh Sastra Cyber

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 02 Desember 2009 | Desember 02, 2009


Sastra cyber atau sastra yang diposting di internet sangat berbeda sama sekali jika dibandingkan dengan tulisan purba Mesir yang terdapat di dinding piramid maupun buku-buku di zaman modern. Pada 10 tahun lalu sastra cyber masih dianggap baru. Lantas, sesuatu yang baru itu pernah dianggap "asing" (alien) dan mengerikan atau menjadi "hantu baru" dalam ranah sastra. Sekarang saja bagi sebahagian kalangan, berkarya di internet masih dianggap non-konvensional. Lalu pernahkah para penikmat sastra membayangkan sebuah zaman di mana kertas dan bahan bakunya telah habis di planet ini? Kira-kira di manakah letak sastra cetak di tengah kondisi seperti itu?

Mungkinlah sastra akan menemui kesunyian gara-gara segelintir sastrawan zaman sekarang mendewakan apresiasi "hanya" pada sastra cetak? Ketika sastra cyber dianggap mengancam stabilitas sastra cetak, maka sejak 2 tahun terakhir muncullah tandingan situs-situs yang mengatas namakan sastra internet yang resmi. Situs-situs itu mengadopsi tradisi sastra cetak di mana karya-karya disaring selayaknya redaksi koran atau penerbit di dunia nyata. Padahal sejatinya sebuah karya di internet tidak memerlukan dewan penyeleksi yang jumlahnya tidak akan bisa mewakili jumlah maupun selera pembacanya. Di internet, yang menjadi penilai adalah para pembacanya sendiri.

Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik mungkin dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Ajaib, yang mau berdarah-darah justru adalah kebanyakan mereka yang mengunakan internet.

Sastra di Indonesia juga tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.

Menulis di mana saja dan menggunakan media apa saja adalah sastra yang sebenarnya. Selalu ada saja yang mau membaca bahkan menilai karya-karya itu. Paling tidak, seorang penulis adalah pembaca pertama dari tulisannya sendiri. Dengan demikian sastra tak akan menjadi sunyi. Hari ini tidak seorang pun membaca tulisan ini tapi siapa tahu 10 tahun yang akan datang ada seseorang yang tersesat di blog ini dan terdampar membaca tulisan ini. Para pendiri situs-situs "resmi" sastra yang mengklaim diri sebagai dewan penyeleksi itu mungkin akhirnya akan terdampar juga di sini. Entah. (^_*)

Perempuan dan Pameran Foto Meutia Hatta

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 01 Desember 2009 | Desember 01, 2009


Seni Fotografi menjadi unik ketika memiliki konsep perjuangan perempuan bahkan saat menyentuh ranah politik sebagai cetusan aspirasi. Foto-foto juga mampu mengemukakan gambaran perjuangan perempuan tidak ada hentinya dan menjadi suatu pemberontakan dalam bingkai positif. Itulah catatan kecil kesimpulan dari pameran foto Meutia Hatta baru-baru ini.

Sebanyak 13 foto karya mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dipamerkan di Pejaten Village Mall Minggu 29 Nopember 2009. Foto-foto itu dibuat Meutia ketika masih menjabat sebagai menteri. Selain pameran, ada diskusi membahas foto-foto tersebut dengan menghadirkan budayawan Mohammad Sobari dan fotografer Kompas, Lasti Kurnia.

Putri proklamator Mohammad Hatta itu meyakini sebuah foto dapat memberi inspirasi dan pembelajaran pada siapapun yang melihatnya. Dia salah satu dari sedikit perempuan di Indonesia yang selalu membawa kamera dan mengabadikan momen-momen yang menarik. Menurut Meutia, ada simbol dan makna di balik hasil jepretannya.

Meski menyukai seni fotografi, istri dari Sri Edi Swasono itu mengaku bahwa dirinya bukan fotografer profesional. Memotret baginya hanya adalah hobi yang dapat dilakukannya di sela-sela kesibukannya yang padat.

Sambil memposting berita budaya ini mendadak saya juga punya keinginan untuk belajar fotografi. Ide saya yang pertama yaitu menjepret ekspresi wajah orang-orang ketika mati lampu. Buru-buru saya menyelesaikan postingan ini, sebab sesaat lagi tiba jadwal mati lampu. Krisis listrik di Sulsel semakin menjadi-jadi. Pemadaman bergilir kini berdurasi 6-9 jam dalam sehari.

referensi: Antara
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday