Memahami Bugis dalam sebuah novel? Tunggu saja Novel 'Bugisku Tak Sekadar Pinisi' Karya Jac. Jacqueline Tuwanakotta adalah novelis asli Ambon, Maluku. Jac, demikian namanya disapa, Ia mantan pramugari pesawat Garuda. Sudah 15 tahun Jac menekuni profesi yang telah membawanya keliling Indonesia dan dunia ini. Rupanya, syndrome jenuh juga menghinggapinya sehingga memilih beralih profesi sebagai penulis novel.
Sudah sebulan lebih dia di Makassar untuk merampungkan novel yang ditulisnya sejak setahun lalu. Meski bukan asli Sulsel, namun memilih menulis novel mengenai budaya Bugis.
Novel itu diberi judul "Bugisku Tak Sekadar Pinisi", yang rencananya akan diluncurkan 12 November mendatang di Kampus Unhas. Jac memang asli Ambon tetapi lebih tertarik menulis novel tentang kebudayaan Bugis. Alasan Jac, di Indonesia hanya ada dua daerah yang kebudayaannya diakui dunia sangat unik dan tua yakni Bugis dan Batak.
Dalam novel setebal 200 halaman itu, Jac lebih banyak mengupas tentang pesan yang terkandung dalam epos I La Galigo. Jac juga banyak menceritakan tentang kehebatan perahu pinisi yang menjelajahi dunia. Padahal, perahu tradisional tersebut tidak menggunakan paku, melainkan pacak sebagai alat untuk merekatkan kayu sebagai bahan utama perahu.
Daya tarik lainnya bagi Jac sehingga banyak bercerita soal pinisi, karena ternyata pinisi ini dibuat oleh orang Lemo, Bulukumba. Sementara yang menggunakan perahu tersebut adalah Sawerigading yang berasal dari Luwu.
Agar novel yang ditulisnya lebih mengena di hati para pembaca novel di daerah ini, Jac mengaku sempat menetap di Tanjung Bira, Bulukumba, selama sepekan. Dia lebih banyak bergaul dengan nelayan guna melengkapi referensi novelnya. Tak hanya di Bira, Jac juga sempat masuk ke kawasan Ammatoa Kajang. Untuk merampungkan novel tersebut, ia butuh waktu satu setengah tahun. Jac mengaku, menulis novel tentang Bugis ini cukup sulit.
Agar novel yang ditulisnya lebih mengena di hati para pembaca novel di daerah ini, Jac mengaku sempat menetap di Tanjung Bira, Bulukumba, selama sepekan. Dia lebih banyak bergaul dengan nelayan guna melengkapi referensi novelnya. Tak hanya di Bira, Jac juga sempat masuk ke kawasan Ammatoa Kajang. Untuk merampungkan novel tersebut, ia butuh waktu satu setengah tahun. Jac mengaku, menulis novel tentang Bugis ini cukup sulit.