Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Catatan Trotoar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Trotoar. Tampilkan semua postingan

Pencipta Gambar Che Guevara Ajukan Hak Cipta

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Maret 2011 | Maret 04, 2011


Di kamar jutaan anak-anak muda di seantero dunia, di tembok kota, di jaket, kendaraan dan sebagainya, gambar yang satu ini begitu akrab. Tokoh dalam gambar itu benar-benar menginspirasi banyak kaum radikal-progresif dan revolusioner di planet ini. Profesor Martin Kemp, sejarawan seni di Oxford University, bahkan memasukkan gambar ini ke dalam 10 gambar ikonik sepanjang sejarah (Lukisan Mona Lisa berada di urutan pertama).

Gambar klasik siluet hitam Che Guevara berambut gondrong dan berbaret dengan latar merah itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Gambar itu turut pula diusung para demonstran dalam unjuk rasa di Mesir beberapa waktu lalu dan juga hadir dalam berbagai demonstrasi di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Seorang seniman Irlandia kelahiran Dublin 65 tahun yang lalu, Jim Fitzpatrick,  kerap kali menyatakan,"Seringkali tak ada yang percaya bahwa akulah pembuatnya."

Setelah empat dekade membiarkan karyanya itu dicetak ulang secara gratis, Fitzpatrick kini memutuskan untuk mengajukan klaim pemilikan hak cipta atas karya tersebut. "Ini bukan soal mencari uang, ini soal bagaimana memastikan agar karya itu digunakan secara benar... tidak dipakai untuk tujuan-tujuan komersial yang kasar," kata perupa dan fotografer yang telah membuat sampul album untuk grup-grup musik Irlandia, Thin Lizzy dan Sinead O'Connor.

Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, gambar itu diakui dibuat Fitzpatrick berdasarkan foto karya Alberto Korda. Ketika menciptakannya pada 1968, dia tak pernah mengajukan hak ciptanya. Malahan, gambar itu disebar untuk digunakan oleh kelompok-kelompok revolusioner di Eropa. Dalam tempo singkat, gambar itu diadopsi oleh para mahasiswa kiri, yang menempatkannya di kaos dan poster, sehingga turut mengangkat citra Che sebagai lambang pemberontakan global. Tapi, gambar tokoh revolusi Marxis, yang membantu Fidel Castro berkuasa di Kuba pada 1959, itu telah pula diambil oleh para produsen cangkir, tongkat baseball, dan bahkan pakaian dalam. 

Masalah rumit dari kasus ini adalah fakta bahwa karya Fitzpatrick itu berdasarkan foto yang diambil fotografer Kuba, Alberto Korda, di sebuah pemakaman di Havana. Fitzpatrick kini mengajukan dokumen untuk membuktikan dialah pemilik hak cipta gambar itu. Dia juga berencana untuk ke Havana tahun ini untuk menyerahkan kepemilikan hak cipta itu kepada keluarga Guevara.

Epos I La Galigo Akhirnya Pulang Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Februari 2011 | Februari 26, 2011


Lebih lima tahun terakhir mengembara di berbagai negara, pentas teater kelas dunia I La Galigo akhirnya berlabuh di kota kelahirannya, Makassar. Pementasan ini akan berlangsung di Fort Rotterdam, 23-24 April mendatang berkat prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar , dan Change Performing Arts (Italia).

Pementasan I La Galigo terinspirasi dari Sureq Galigo, hikayat kepahlawanan di Sulawesi Selatan. Lakon ini dipentaskan pertama kali di Singapura pada tahun 2003, lalu menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan di Jakarta pada tahun 2005.
Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi dua sampai 2,5 jam. Setidaknya seratus pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.

Penyelenggara saat ini masih mensurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Gladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.

Kehadiran I La Galigo di Makassar merupakan penghormatan bagi mereka yang membuat epos ini dikenal hingga dunia. Tanri Abeng berhasil meyakinkan sutradara Robert 'Bob' Wilson untuk mementaskannya di Makassar.

Ke depan rencananya juga  akan dibangun perpustakaan dan museum I La Galigo yang lebih lengkap untuk menambah khazanah kebudayaan Sulawesi Selatan.

I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang ditulis dalam huruf lontara. Naskah asli berada di Leiden, Belanda, dengan tebal 6.000 halaman. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan oleh M Salim, dosen fakultas seni dan desain Universitas Negeri Makassar. Salim membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Adapun pentas teater akan menampilkan tari, musik, dan dialog berbahasa Bugis klasik.


Rumata' , Rumah Budaya di Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Februari 2011 | Februari 19, 2011

Saatnya kita kembali ke rumah kita sendiri. Ketika kota begitu bising dan matahari menyengat kenyataan, masuklah ke dalam rumah yang ramah. Rumah yang ramah bagi seni budaya. Salah satu rumah yang ramah itu adalah Rumata.' 

Kata Rumata' dalam bahasa Makassar berarti 'rumah kita'. Rumata' merupakan rumah budaya sebagai pusat pertunjukan seni, teater serta berbagai bentuk kegiatan berekspresi kebudayaan lainnya di Sulawesi Selatan. 

Sutradara muda kelahiran Makassar, Riri Riza adalah penggagas di balik rumah budaya ini.
Sineas muda yang telah mendapat 10 penghargaan internasional itu akan mewujudkan mimpinya sejak dulu di antaranya di Rumata' para seniman bisa menggelar pameran dan festival film, foto dan lukisan, pidato kebudayaan, lokakarya hingga pengembangan kemampuan literasi dan seni rupa. 

Saat ini sejumlah program Rumata' telah disusun, antara lain Rumata' akan menerima seniman atau penulis dari luar Makassar bahkan Indonesia, untuk melahirkan karya dengan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal. 

Rumata' juga akan membantu seniman atau kelompok seni lokal terpilih dalam merancang pengembangan dan pemberdayaannya sehingga bisa mencapai kemandirian proses berkesenian. Dalam proses ini, komunitas-komunitas kesenian, baik lokal maupun dari luar Makassar akan dikolaborasikan sehingga terjadi pertukaran wawasan kebudayaan. 

Sementara penulis Lily Yulianty Farid menjelaskan, peluncuran rumah budaya Rumata' di Makassar 18-21 Februari, diisi berbagai kegiatan. Antara lain pameran 40 foto "I Bring Melbourne to Makassar" karya fotografer Australia, Wendy Miller serta pertunjukan seni dan teater. 

Selain itu, mereka juga menggelar pemutaran film Riri Riza dan peluncuran buku kumpulan cerita "Family Room" karya Lily Yulianty Farid. Rangkaian acara akan ditutup dengan diskusi dan kuliah umum yang berlangsung di kampus Universitas Hasanuddin. 

Pendiri situs jurnalisme warga Panyingkul.Com itu menyatakan, Rumata' memiliki visi menjadikan seni dan budaya sebagai bagian penting bagi identitas Kota Makassar. Kehadiran Rumata' yang berlokasi di eks-rumah masa kecil Riri Riza itu diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan kultural sebagai penyeimbang pertumbuhan material di kota Makassar.




(pelbagai sumber) 

Pelangi Budaya II Mandar- Kajang di Tinambung

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Februari 2011 | Februari 09, 2011


Dalam Islam, silaturahim adalah saling mengerti dan terlibat satu dengan yang lain. Keterlibatan menyebabkan seseorang memiliki keperdulian berintegrasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi adalah budaya religi. Sementara dari kacamata budaya, silaturahim antar budaya-etnis juga mencuatkan tujuan itu, ritual saling memahami dan perduli antar seni budaya.

Ritual saling memahami dan perduli budaya ini juga dilakukan dalam Pagelaran Pelangi Budaya II, Silaturrahim Penggiat Budaya Mandar-Kajang yang berlangsung  tanggal 12-15 Pebruari 2011 di Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Salah satu komunitas dari Sulsel yang dipastikan hadir adalah Laskar Kelor dari Bulukumba.

Dilansir dari suaramandar.com, selain  pagelaran sastra dan musik, silaturrahmi budaya Mandar-Kajang ini juga diisi dengan ziarah ke sejumlah kantong-kantong seni di Mandar, workshop bersama, diskusi hingga rekaman musik puisi  karya Laskar Kelor dan Teater Flamboyant,

Dalam kiprahnya, Laskar Kelor lebih fokus pada garapan musik puisi. Sebahagian besar puisi garapannya diangkat dari karya-karya Dr. Ahyar Anwar, dosen UNM dan karya-karya Andika Mappasomba. Dalam lawatan Laskar Kelor ke Mandar kali ini, akan ditemani oleh Andika Mappasomba, putra Bulukumba yang memperistri gadis Mandar.

Ziarah Laskar Kelor selain ke beberapa komunitas seni di Tinambung juga akan ziarah ke Rumah Husni Djamaluddin salah seorang sastrawan nasional yang berjuluk 'panglima puisi' di Kandeapi, dan ke rumah para pelaku seni dan budayawan Mandar lainnya.

Kegiatan rekaman musik puisi karya Laskar Kelor dan karya Teater Flamboyant akan dilakukan di Aula SMP Negeri 1 Tinambung, dan pada tanggal 15, pentas Seni Musik Puisi Laskar Kelor, Teater Flamboyant dan Komunitas Seni Korumta Mekkatta.


Catatan Jingga, Sebuah Karya Untuk Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Februari 2011 | Februari 05, 2011


Dari sebuah kerja luar biasa namun santai dan bersemangat, sineas muda Bulukumba dari Tunta Production berhasil merampungkan film berjudul "Catatan Jingga" yang akan diputar perdana pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba, Sulsel. Film ini adalah salah satu kado istimewa untuk Hari Jadi Bulukumba ke-51, 4 Februari 2011.

Catatan Jingga merupakan film fiksi pertama yang digarap oleh sineas Bulukumba. Catatan Jingga mengeksplorasi nuansa adat, budaya, wisata dan cinta. Film ini diproduseri oleh Andi Wasfaedy Alamsyah S.KM dengan sutradara Mardi Marwan S.sos.

Tunta Production sebelumnya telah sukses memproduksi beberapa karya, di antaranya film pendek, film dokumenter dan video klip band. Baru-baru ini salah satu film mereka mendapatkan antusias luar biasa dari penonton di Botol Music Hotel Quality Makassar.

Pemutaran film "Catatan Jingga" pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba juga didukung oleh  Sophie Paris, Hotel Nusa Bira Indah, Agri Restaurant, Fery Salon, Bira Beach Hotel, Gajah Mada Production dan Pemkab Bulukumba, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bulukumba.

Tunta Production bekerjasama RCA 102,5 FM sebagai media partner bersama Tabloid Remaja Yess, radio Pemkab Bulukumba  SPL (Swara Panrita lopi 95 FM) serta enam radio komunitas yakni Delstar FM, MD FM, Sugesthi FM, Jack Radio, Lereng FM dan  Lingu Peace Radio.

Film Catatan Jingga adalah satu dari barisan panjang film independen (indie) di Indonesia. Sebenarnya banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri, misalnya film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).
Di ajang Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Akar film independen sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru.

Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 28 Januari 2011 | Januari 28, 2011


Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial.

Hari ini sastra sedang gelisah. Untuk menangkapi pertanda sekalipun itu hanya isyarat diam,  para pegiat sastra di Sulsel akan menggelar Pengadilan Sastra bertema "Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit." 

Mereka mengkampanyekan suara kegelisahan bersama atas keresahan sosial yang menyentak hati dan melukai realitas tanah pertiwi dengan bahasa yang beda.

Kalimat dari mulut Andhika Mappasomba, salah seorang pegiat sastra di Sulsel agaknya cukup mewakili kegelisahan itu, "bagi pegiat sastra dari Bulukumba  yang tak sempat pulang ke Bulukumba mengikuti perayaan Hari Jadi ke-51 Bulukumba yang dibiayai oleh pajak yang ditarik dari peluh dan air mata rakyat bulukumba, ada baiknya menghadiri acara ini. Gratis dan tidak menggunakan uang Pajak. Dengarkan lagu-lagu berbahasa Konjo Kajang dinyanyikan di Pengadilan Sastra ini."


 
Pengadilan Sastra menyuguhkan secara gratis pementasan karya sastra oleh Pegiat Sastra Makassar juga pentas musik oleh kelompok musik Laskar Kelor di Pelataran Kampus YPT. Al-Gazali Universitas Islam Makassar setelah shalat Jumat 4 Februari 2011.


Tumpahkan Sunyimu, Ri

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 23 Januari 2011 | Januari 23, 2011


-buat adikku, Riri

rindu jadi batu
lalu mewaktu
tumpahkan sunyimu, ri

rindu jadi waktu
lalu membatu
sunyikan cintamu, ri

bulukumba, ahad 23 januari 2011

Refleksi Seniman dalam Lagu Berbahasa Konjo

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 21 Januari 2011 | Januari 21, 2011


UNESCO telah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki banyak bahasa Ibu (bahasa daerah), mau atau tidak, bangsa kita perlu melakukan upaya refleksi dan re-evaluasi terhadap keberadaan bahasa Ibu.

Sebuah refleksi telah dilakukan oleh sekelompok sastrawan dan musisi Sulsel terhadap nasib sebuah bahasa daerah di Bulukumba, Bahasa Konjo.  Konjo merupakan bahasa Asli suku Kajang dan salah satu kekayaan khasanah budaya Nusantara.  Lagu berbahasa Konjo dengan aransemen musik kontemporer mereka launching di Makassar dengan performance kelompok musik Laskar Kelor, Sabtu, 22 Januari 2011.  Diharapkan dengan transformasi bahasa ini, Bahasa Konjo yang ada di Bulukumba dapat terus eksis dan tak senasib dengan begitu banyak bahasa lain di dunia yang punah karena kehabisan penutur.

Seperti dilansir dari lama RCA FM, Andhika Mappasomba, penyair yang juga pencipta lagu berbahasa Konjo mengatakan, "Ini adalah hasil kreativitas seniman yang melakukan transformasi perjuangan kebertahanan bahasa. Sebab tak dapat dipungkiri, Bahasa Konjo akan terancam punah ditinggalkan oleh penuturnya." 

Launching lagu berbahasa Konjo ini juga akan diramaikan oleh pembacaan puisi dan sastra lainnya oleh sastrawan Makassar dan juga pementasan seni lainnya oleh kelompok seni mahasiswa Makassar, seperti Wahana Kerja Mahasiswa Makassar (WKMM), Laskar Kelor Management dan Bulan Sabit Jingga (BSJ).

Launching akan digelar pukul 19:30 - 23:00 Wita di pelataran LPTQ Jln. Tala'salapang-Minasa Upa, Makassar. Untuk reservasi tiket, informasi dan sponsor dapat menghubungi panitia/WKMMatau Herman 085242915003.  Tiket tersedia hanya untuk 1000 orang. Acara ini dirangkaikan juga dengan perkenalan dengan lagu/puisi karya Ahyar Anwar dan "S" karya Andhika Mappasomba.
 

Sajak Menelan Kekuasaan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 19 Januari 2011 | Januari 19, 2011


Republik Kebohongan

Inilah Republik Kebohongan
Yang dibangun dari puing kepura-puraan
Menjadi surga bagi para penjarah
Karena penguasanya juga bedebah
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?
Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikrar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat
Di Republik Kebohongan
Hukum hanyalah alat kekuasaan
Bagi mereka penjara hanya kata basi
Tak ada tembok apalagi terali besi
Maka bila bedebah rendah jatuh sial
Tak akan sungguh-sungguh masuk sel
Masih sanggup menjangkau semua pulau
Atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para bedebah akan tetap gagah dan menjarah
Karena orang baik hanya bisa berbisik-bisik
Sedangkan para imam hanya bisa menggumam
Sambil berharap Tuhan segera turun tangan
Padahal Tuhan sudah berfirman:
Tak akan mengubah nasib suatu bangsa
Kecuali rakyatnya bergerak berarak-arak
Meruntuhkan istana kebohongan

Indonesia – Januari 2011


Membaca sajak "Republik Kebohongan"  yang ditulis oleh Adhie M. Massardi adalah salah satu cara melihat Indonesia secara keseluruhan hanya dalam satu sajak dengan waktu hanya beberapa menit. 

Adhie M Masardi adalah mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid. Adhie mengambil gagasan sajak di atas itu dari refleksi pemerintahan SBY yang ia anggap sebagai “Republik Kebohongan”.  

Ini juga merupakan bukti bahwa sebuah sajak mampu menelan kekuasaan dengan teks-teksnya yang khas. Sebaliknya kekuasaan tidak mampu menelan sebuah sajak sependek apapun sajak  itu.


Dialektika dengan Teknologi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 15 Januari 2011 | Januari 15, 2011


Benarkah  teknologi membuat kita berjarak dengan ingatan masa lalu? Sudah saatnya teknologi tidak diterima sebagai sesuatu yang datang menyerbu kita begitu saja, termasuk internet.  Teknologi semestinya dimaknai lagi, ditampilkan dengan pendekatan baru. 

Pendekatan baru itu coba disampaikan oleh tiga perupa muda asal Bandung yang menamakan dirinya Tromarama. Mereka menggelar pameran tunggal kedua kalinya di galeri Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta sepanjang 6-25 Januari ini. Sebelumnya mereka menggelar pameran tunggal untuk pertama kalinya di Mori Art Museum, Jepang.

Bertema "Kidult" -- paduan dua kata: kid dan adult -- dua kategori yang selama ini selalu dilihat sebagai oposisi binner, tak saling bersinggungan. Dalam pameran ini, Tromarama menunjukkan bahwa keduanya merupakan kategori yang saling melengkapi dan bisa beririsan. Pameran ini memamerkan 4 judul karya berupa video animasi berikut juga instalasi obyek.

Jika sebagian besar seniman video berkonsentrasi pada penggunaan kamera untuk merekam realitas, maka upaya ketiga perupa ini untuk terus bekerja dengan tangan merupakan satu bentuk dialektika dengan teknologi.

(pelbagai sumber) 


Sejarah dalam Wajah Avant-Garde

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Januari 2011 | Januari 12, 2011


Periot, seniman dan sutradara Prancis kelahiran 1974, tampaknya ingin memperlihatkan film-film dokumenter ataupun pendek dengan bentuk lain: wajah avant-garde. Dia seakan mengaminkan: sejarah bisa kita kunyah-kunyah dengan garing melalui dokumentasi pendek.

Misalnya negara Prancis pada tahun 1940. Di sebuah lapangan terbuka, puluhan perempuan diarak. Semua mata memandang ke arah mereka. Tawa sinis, cemoohan, bahkan adu fisik dilimpahkan kepada perempuan itu. Tak jarang para lelaki memperlakukannya dengan sadis. Mereka dikumpulkan di sebuah teras gedung, didudukkan satu per satu menghadap khalayak, lalu digunduli.

Itulah cuplikan film pendek berjudul Eut-elle ete criminelle (Even If She Had Been A Criminal) ini adalah karya sutradara Prancis, Jean-Gabriel Periot. Video pendek itu satu di antara lima film pendek lain yang dipamerkan di Centre Culturel Francais (Pusat Kebudayaan Prancis), Salemba, Jakarta Pusat, hingga 14 Januari mendatang.

"Saya menemukan arsip video ini. Menarik bagi saya karena ini fenomena penting," ujar Periot. "Betapa perempuan-perempuan ini mengalami kekerasan. Bahkan tindakan kriminal itu tak dapat dijelaskan."

Menurut Periot, di tengah kondisi ekonomi Prancis yang morat-marit, kemiskinan di mana-mana, posisi perempuan seperti tak mendapat sedikit harapan. "Karya ini memperlihatkan sejarah Prancis yang tidak mudah kepada generasi muda," katanya.

Mereka menamainya L'épuration, pembersihan masyarakat Prancis dari pihak-pihak yang berkaitan dengan Nazi selama empat tahun. Dan perempuan itu tertuduh telah berhubungan seks dengan orang-orang Nazi. Namun mereka yang menghukum tak pernah bisa membuktikannya.

Sehari setelah digunduli, sebagian di antaranya dikurung atau dibuang di luar Prancis. Namun tak sedikit pula yang dibunuh ataupun digantung. Perempuan-perempuan itu, kata Periot, bisakah dikatakan berbuat kriminal hanya karena berhubungan seks dengan antek Nazi itu.

Periot memilih bagian-bagian tertentu, lalu ia susun menjadi video pendek berdurasi 15 menit. Karya itu ditampilkan sebagaimana adanya. Ia memakai teknik editing klasik yang diciptakan oleh Russian avant-garde, Dziga Vertov.

Maka kita akan melihat gambar-gambar bisu hitam-putih dengan banyak noise, dan tentu motion yang sedikit cepat. Di awal video, kita akan mendengar lagu kebangsaan Prancis berkarakter mars, bendera-bendera Prancis yang dipasang di kanan-kiri jalan, mengesankan setting yang kental dengan nasionalisme. Namun ternyata sarat dengan mimpi buruk.

Periot berusaha menceritakan perihal kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah. Dan menunjukkan betapa penting melatih daya ingat untuk memahami masa kini ataupun masa depan dari kejadian-kejadian lalu.

Tak hanya itu. Periot juga menghadirkan film pendek yang ia buat pada 2005 berjudul Undo. Ini sebuah video yang cukup unik. Ia menangkap momen-momen yang sebetulnya adalah aktivitas keseharian. Kamera mulai membidik orang-orang yang sibuk berbelanja di supermarket membawa troli. Lalu mengambil gambar orang-orang yang sedang makan siang di sebuah kafetaria, hingga lorong-lorong kota dan fasade bangunan yang tak bergerak.

Karya Periot yang lain menampilkan muka berbagai macam jalan yang berbeda-beda. Ia mengemasnya dalam Dies Irae. Periot mengumpulkan beberapa arsip tentang gambar jalan ataupun gerbang yang berposisi sama. Lalu menumpuknya dan memperlihatkannya dengan sangat cepat. Efeknya seperti menghipnotis penonton.

Selamat Jalan Ibu Maemunah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Januari 2011 | Januari 08, 2011


Istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Hj Maemunah Thamrin, menghembuskan nafas terakhir dalam usia 82 tahun di kediaman pribadi, Jalan Multikarya 11 Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu, 8 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.

Sebelum meninggal dunia, Maemunah sempat mendapat perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta karena menderita stroke. Stroke yang terakhir menyerang Maemunah pada September 2010.

Maemunah meninggal enam tahun setelah kepergian Pramoedya, seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri namun justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri. Itulah Pramoedya Ananta Toer (biasa disebut Pram saja).
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. 

Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. 

Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka.

Dewan Ketahanan Budaya Sulsel 2011

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 Desember 2010 | Desember 18, 2010


Rencananya pada 2011 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan membentuk dewan ketahanan budaya guna melestarikan budaya khas Sulsel. Pembentukan dewan ketahanan budaya ini juga merupakan bentuk apresiasi terhadap kebudayaan di Sulsel yang menunjukkan identitas diri dan memiliki nilai yang sangat tinggi, seperti dikutip dari lama RCA FM.
Keberadaan dewan ketahanan budaya ini nantinya dapat menjadi sarana sekaligus media untuk memelihara dan menjadi pusat kebudayaan di Sulsel. Selama ini tidak adanya wadah yang menjadi induk kebudayaan membuat kecenderungan semakin terancamnya budaya Sulsel, tidak hanya di mata masyarakat dunia, melainkan juga masyarakat Sulsel sendiri.

Di belahan bumi manapun berada, masyarakat tidak mungkin mengisolasi diri dari kemungkinan interaksi kebudayaan maupun pengaruh ideologi atau informasi dari luar. Untuk dapat tetap bertahan dalam pergaulan global diperlukan ketahanan yang diharapkan akan menjadi fondasi untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual, memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, serta untuk identitas daerah itu sendiri. 

Kearifan-kearifan lokal dapat menjadi landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional yang sering kali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Misalnya, dalam bahasa, seni dan bahkan teknologi yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Tersisa satu pertanyaan yang akan sering mengusik di masa-masa yang akan datang, mampukah dewan ketahanan budaya lebih sigap dibanding dewan kesenian?

La Galigo Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 Desember 2010 | Desember 15, 2010


Karya sastra terpanjang di dunia dan terbentang sepanjang zaman, I La Galigo yang merupakan warisan budaya Bugis-Makasssar, diusulkan untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia. 


Proses pengusulan I La Galigo ini sudah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu, dan diajukan melalui dialog ilmiah dengan Memory of the Word (MOW) Unesco. 

Hasil dialog ilmiah tersebut diajukan ke tingkat nasional dan kemudian diajukan lagi hingga ke tingkat internasional. I La Galigo sendiri merupakan salah satu warisan budaya yang diusukan bersama dengan dua warisan budaya Babad Diponegoro dari Pulau Jawa dan juga Mak Yong dari Kepulauan Riau.

Budayawan Sulawesi Selatan, Dr Mukhlis Paeni mengatakan, sastra I La Galigo layak untuk mendapatkan penghargaan secara internasional. Penghargaan sebagai warisan budaya dunia ini, kata dia, menunjukkan bahwa I La Galigo tidak hanya menjadi milik masyarakat Sulsel, melainkan juga masyarakat internasional.  Tidak ada yang bisa membantah bahwa I La Galigo merupakan warisan sejarah yang sangat besar, baik dalam konteks budaya, sejarah, sastra, dan nilai-nilai kemanusiaan. I La Galigo sebagai produk budaya bisa menjadi sarana pengembangan nilai serta karakter bangsa. 

Menurut dia, pengusulan I La Galigo untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia menjadi sangat penting di era ekonomi kreatif dan juga industri budaya yang semakin berkembang.  Budaya harus juga bisa dikelola sebagai mata tambang yang bisa menambah khasanah kehidupan masyarakat.
 
Dr Mukhlis Paeni juga mewanti-wanti,  perlu pengawalan serius untuk bisa mewujudkan I La Galigo menjadi salah satu warisan budaya dunia, mengingat sangat banyak warisan budaya dari negara lain yang juga diusulkan. 



Tari Teatrikal Kostessas dan Teater Kampong: Arus Laut Yang Terdampar Di Karang

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 30 Oktober 2010 | Oktober 30, 2010


Dalam tajuknya “Menuju Masyarakat Informasi Indonesia”yang dimediasi Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) Kelompok Studi Teater dan Sastra (Kostessas) mahasiswa STKIP Muhammadiyah Bulukumba mementaskan “Tari Teatrikal Panrita Lopi” berkolaborasi dengan Teater Kampong Bulukumba, Jumat (29/10). Lakon tersebut sebelumnya juga pernah dipentaskan dalam Festival Phinisi 2010 di Bira.

Mengambil stage natural di pelataran kampus STKIP Bulukumba pada waktu malam sehabis isya di antara lalu lalang mahasiswa, dosen dan masyarakat umum yang menjadi penonton dadakan. Ruang publik intelektual yang lapang dari kalangan civitas akademika dan mahasiswa seperti ini memang cukup kondusif bagi para pekerja seni yang terbiasa sulit memperoleh apresiasi secukupnya di tempat lain.

Pementasan tari teatrikal sebelumnya telah dipanaskan dengan musikalisasi puisi dari pemusik Kostessas. Segerombolan anak muda memainkan lagu-lagu balada dan puisi Jalaluddin Rumi. Perkusi dan gitar akustik pun menggema di dalam kampus. Musikalisasi puisi yang dibacakan oleh Pipi Hardiyanti, Narty Ugie dan kawan-kawan cukup berhasil menghangatkan apresiasi penonton yang sebahagian besar adalah mahasiswa yang baru saja selesai mengikuti perkuliahan.

Secara keseluruhan, pementasan teater Kampong dan Kostessas kali ini tidak begitu utuh jika menelusuri deadline jadwal pementasan yang agak telat dari rencana semula. Unsur penting lainnya dalam pementasan yang selalu menjadi momok adalah kualitas sound yang bandel. Namun sebagai kerja kreatif seni, Kosestas dan Teater Kampong masih yang paling unggul di ranah ini sebagai sebuah proses berkesenian di Bulukumba.

Dalam prolog naratifnya, Dharsyaf Pabotting, sang sutradara menyampaikan pesan,”Ini adalah salah satu bentuk penghargaan anak bangsa meski mungkin kecil terhadap Hari Sumpah Pemuda. Sembari kita menukik ke kedalaman tradisi budaya pembuatan perahu phinisi sebagai industri kreatif manusia pembuat perahu di tanah Lemo, Tanjung Bira, Bulukumba. Ikon industri lainnya yang kami tampilkan dalam proses kerja seni ini adalah tenunan tradisional di Butta Panrita Lopi yang digambarkan dalam tari teatrikal.Sudah saatnya semua elemen termasuk elemen seni memberikan kontribusi gerakanmaksimal untuk peningkatan dan pengembangan industri-industri kreatif tradisional itu. ”

Sebuah persoalan klasik akan selalu muncul, kerja-kerja seni seperti ini sekarang masih terasa sebagai arus laut yang terdampar di karang. Terasa deburnya, namun para pembuat kebijakan dan bahkan sebahagian kita hanya menikmatinya sebagai sekelebatan tontonan sebelum meninggalkan pantai. Kecuali jika penguasa bisa menangkap pesan dari pementasan itu. Industri-industri tradisional kreatif di Bulukumba, quo vadis?


Tari Teatrikal Teater Kampong di Festival Phinisi 2010

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 24 Oktober 2010 | Oktober 24, 2010


Teater Kampong mementaskan "Tari Teatrikal Talenta Panrita Lopi" sebagai salah satu kerja kreatif seniman-seniman lokal dalam Festival Phinisi 2010 di Bira, Bulukumba. Festival Phinisi 2010 berlangsung sepanjang 22-25 Oktober. Perhelatan tersebut diwarnai mozaik kegiatan yang didominasi identifikasi perahu phinisi sebagai ikon acara tersebut. Semisal Pabbitte Passapu dan Lomba Miniatur Perahu Phinisi dan lain-lainnya.

Pementasan "Tari Teatrikal Talenta Panrita Lopi" disutradarai oleh Dharsyaf Pabottingi, instrumen musik oleh Mattawang Daeng Maddatuang dan kawan-kawan serta Umbo sebagai koreografer.

Pementasan Teater Kampong kali ini merupakan hasil kolaborasi dengan Kelompok Studi sastra dan Teater Kampus STKIP Muhamamadiyah Bulukumba. Teater Kampong masih seperti magma sebagaimana even-even sebelumnya. Sejak berdiri di Bulukumba pada tahun 1979 di bawah tangan dingin seniman-budayawan-teaterawan, Dharsyaf Pabottingi, Teater Kampong telah meraih berbagai penghargaan di tingkat regional dan nasional. 

Hingga kini Teater Kampong masih tetap rutin menyelenggarakan festival teater tahunan serta pelatihan teater pelajar dan mahasiswa di Bulukumba. Ketika dunia teater mengalami titik-titk cukup menyakitkan  dalam  kegelisahan global justru Teater Kampong masih seperti karang. Masih kokoh berjaga di bawah daun-daun kelapa, di atas pasir putih dan perahu Phinisi.

Hari Batik Nasional 2 Oktober

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Oktober 2010 | Oktober 02, 2010


Setahun silam, Presiden SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai Hari Batik. Setahun silam dunia mengakui batik sebagai hak milik Indonesia.

SBY mencanangkan 2 Oktober sebagai hari batik kala mengunjungi masyarakat korban gempa Padang Pariaman, di Balaikota Pariaman, Sumatera Barat, Jumat (2/10/2009).

United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) juga sudah mengakui batik sebagai milik Indonesia. Penghargaan juga langsung diberikan UNESCO di Abu Dhabi, 2 Oktober tahun lalu.

Pengakuan ini layak diapresiasi sebagai kebanggaan atas kemenangan budaya nasional. Sebab, batik adalah salah satu komoditas yang sudah mulai diproduksi oleh negara tetangga, Malaysia. SBY pun mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melupakan batik dan memakai batik tiap tanggal 2 Oktober.

"Kalau kita sudah mendapatkan, kita syukuri. Kedua, mari kita lestarikan, paling tidak memakai batik tiap tanggal 2 Oktober," imbau SBY, dikutip dari berbagai media nasional saat itu.

Apakah SBY dan kita semua telah memakai batik untuk menghormati Hari Batik di hari ini?


Film Igitur: Dari Makassar Untuk Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 28 September 2010 | September 28, 2010


Film berucap melalui serangkaian sistem tanda yang bertumpuk dan kompleks, sedangkan sastra berucap dengan sistem tanda yang sangat sederhana berupa bahasa tulis. Sistem tanda pada film dan sastra memiliki kesamaan yaitu terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.

 Lalu sebuah film untuk sastra dipersembahkan oleh sekelompok seniman dan sineas muda di Makassar. Di awal hingga akhir Oktober Laskar Kelor Production akan menggelar shooting film Igitur (The Last Days of Poetry) di Makassar. Film ini digarap secara indie dan bersifat non profit yang dibuat untuk menggerakkan kecintaan publik terhadap sastra.

Film Igitur diproduseri oleh Abdul Haris Awie dan ide cerita DR. Ahyar Anwar. Skenario ditulis oleh Anis K Al Asyari. Sutradara: Ahmad Wildan Nomeiru dibantu Co Sutradara Dahri Dahlan dan Publik Relation, penyair muda Andhika Mappasomba.

Casting pemain akan dilakukan dalam waktu dekat di kampus Sastra UNM Parangtambung, Makassar pada awal september 2010. Waktu tepatnya akan diumumkan melalui akun Facebook Andhika Mappasomba.

Take gambarnya juga akan dilaksanakan di Makassar. Kepada anda yang tertarik, dapat mengirimkan biodata/autobiografi lengkap dengan art experiencen ke akun Facebook Andhika Mappasomba. Berminat? Proyek ini adalah sebuah kerja sosial.


Pakarena dan Multi Tafsirnya

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 25 September 2010 | September 25, 2010


Sepuluh penari perempuan berpakaian baju kurung sederhana melingkar mengepung enam lelaki penabuh perkusi. Genderang bertalu sangat rampak, menjadikannya riuh dan emosional. Bukan kemarahan, tetapi justru sebuah kegembiraan.

Para penari itu tak berdendang riang, tetapi justru bergerak pelan. Walaupun ritmik musik perkusinya sangat padat, tak juga menggoda penari-penari itu menggerakkan kaki dengan lincah.

Itulah Akkarena Sombali, sebuah tari kontemporer yang berangkat dari tradisi Makassar, Sulawesi Selatan. Tarian ini diciptakan oleh koreografer Wiwiek Sipala . Tarian ini kerap menghiasi panggung-panggung seni di berbagai even nasional. Terakhir menjadi sajian pertunjukan dalam pembukaan Festival Salihara Ketiga di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis malam lalu.

Sebuah paradoks. Begitulah Wiwiek menyajikan tarian yang ditafsir ulang dari Pakarena, tari ritual masyarakat Makassar sebagai rasa syukur kepada dewa. Musik yang sangat ritmis tak selalu linier dengan gerakan yang riang. Justru gerakan penari-penari itu diciptakan lebih kontemplatif. Secara visual, terkesan mencekam namun terbentur oleh musik yang sangat padat. 

Pakarena biasanya diselenggarakan 3 sampai 7 hari, yang dimulai dari sore hingga menjelang fajar. Tapi, Wiwiek memadatkannya menjadi sekitar 28 menit saja. Tentu, riset yang panjang terhadap tari ini telah ia lakukan sejak 1978. Garapannya lebih fokus menafsirkan Pakarena sebagai tarian ritual yang lebih menggambarkan syukur, doa, dan keikhlasan

Pakarena terdiri atas 12 babak. Tetapi dalam tafsir ulang ini, Wiwiek hanya memasukkan 9 babak. Selebihnya belum ia jamah dan dirasa belum perlu untuk garapan ini. Konsep geraknya sangat sederhana, tetapi justru membutuhkan penjiwaan yang matang untuk melafalkan gerakan-gerakan itu. Wiwiek selalu memaknai setiap gerakan yang ia buat. Misalnya, sikap tubuh penari yang condong ke depan dan kemudian menarik diri menjadi tegap lagi, di situ Wiwiek sedang berbicara tentang kehidupan manusia.

Wiwiek juga menafsir ulang musik yang dipakai. Dulu, mereka memakai dulang, yaitu piringan logam yang fungsinya mirip dengan kentongan. "Saya mencari warna musik yang sama, karena alat ini sekarang sudah tidak ada," katanya. Musik pengiring lebih bersifat perkusif. Hanya terompet kecil yang sesekali mengisi kalimat-kalimat melodisnya.


Pisau Sepi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 September 2010 | September 15, 2010


sepi-sepi 
sesepi sepi seluka luka
sesepi luka seluka sepi 

sepisau sepi setajam cinta
sepisau cinta setajam luka

serindu sepi sesepi rindu
setajam sepiku sepimu

(pisau sepi
semestinya tak abadi)

bulukumba, rabu 6 syawal 1431 hijriah
 
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday