Latest Post

Program Galau Radio Gress

Posted By Redaksi on Kamis, 06 Agustus 2020 | Agustus 06, 2020

Oleh: Alfian Nawawi


“Pendengar, terimakasih, anda tetap staytuned di Radio Gress 105,7 FM. Tidak terasa waktu terus bergerak. Dua puluh menit lagi ke depan program Lagu dan Curhat Malam Minggu (Galau) akan tuntas. Tapi saya yakin rasa cinta anda terhadap program ini tidak bakal tuntas kan?  Oh ya, kita masih punya dua lagu lho sebelum benar-benar berpisah di malam ini. Sekali lagi terimakasih buat anda semuanya yang sudah meluangkan waktu bergabung di Galau. Kepada beberapa teman kita yang tadi curhat, bagaimana? Semoga solusi-solusi yang ditawarkan oleh belasan teman kita dapat bermanfaat. Buat semuanya, berikut saya hadiahkan Someone Like You dari Adele. Paling pas juga buat anda yang masih tetap begadang sampai detik ini.” Suara berat yang berasal dari seorang penyiar cowok terdengar mantap di salah satu gelombang radio. 

             Lagu dari Adele pun mengalun. Mulut Fiko menguap lebar. Mengantuk berat! Sebentar lagi jam siarannya selesai malam ini. Dering telepon mengagetkan Fiko.

            “Siapa ya? Padahal mataku semakin berat nih.” Gumam Fiko.

            “Halo, dengan siapa ya?”

            “Fitri,” terdengar suara seorang perempuan di seberang sana.

            “Fitri, ada yang bisa Fiko bantu? Tapi maaf lho, curhat secara live sudah ditutup nih, mbak. Hehehe...”

            “Kalau curhat secara pribadi boleh nggak?”

            “Hmmmhhh.......boleh kok, mbak.”

            “Jangan panggil mbak dong. Panggil saja namaku Fitri.”

            “Okey, okey. Fitri. Curhatnya lama nggak ya?”

            “Nggak lama kok. Aku hanya mau Fiko mendengarkan curhatku malam ini saja. Terserah Fiko mau beri masukan atau tidak. Tapi, Fiko sudah mengantuk kan?”

            “Kok tahu sih?”

            “Hahaha....!” Tawa Fitri terdengar renyah.

            “Wow, suaranya mendamaikan banget!” Kata Fiko dalam hati.

            “Mmmhh, sebaiknya Fiko selesaikan dulu siaran dong baru aku curhat. Awas, teleponnya jangan ditutup ya.”

            “Hmmmh...baiklah, Fitri. Tunggu ya. Sehabis commercial break aku akan pamitan kepada pendengar.”

            Setelah tiga iklan terputar semua kini giliran tangan Fiko memencet tombol merah di hadapannya pertanda audio untuk mikropon dalam posisi on air. Intro lagu yang cukup panjang dari lagu legendaris berjudul Forever Love milik Gary Barlow mulai mengalun. Seiring suara berat Fiko:

            “105,7 FM. Wow, bagaimana rasanya jika program Galau berakhir, pendengar? Semoga tetap kangen ya dan menunggu lembaran program spesial ini di malam Minggu berikutnya. Galau anda sendiri secara pribadi bagaimana? Semoga mulai malam ini anda bisa menentukan langkah apa saja yang akan anda tempuh. Ya, sesuai dengan masukan solutif dan brilian dari teman-teman kita malam ini. Semoga berhasil. Lagu lembut dari Gary Barlow ini akan segera memisahkan pertemuan kita malam ini. Eiiitss....jangan lupa, bagi anda yang sudah mau tidur jangan lupa berdoa dulu. Yang masih mau begadang tetap hati-hati saja. Jangan lupa memeriksa kembali pintu dan jendela. Pastikan semuanya benar-benar sudah terkunci. Tidak ada salahnya juga mengecek ruang dapur. Jangan sampai masih ada nyala api di kompor lho. Bagi yang sering ketakutan sendiri, tidak apa-apa melongok sejenak ke kolong tempat tidur. Hihihihihi! Hahahaa, bercanda kok, pendengar. Salah satu bagian terpenting dari kehidupan adalah masalah-masalah yang berbeda setiap hari. Masalah-masalah itu sesungguhnya dirancang oleh Tuhan untuk semakin mendewasakan kita. Setuju? Saya Fiko Sugara di Radio Gress 105,7 FM  pamit dari ruang dengar anda semua. Sampai jumpa. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

            Sedetik kemudian suara emas Gary Barlow muncul mengalun menghipnotis pendengar.

            “Hehehe, asyik banget siaran kamu. Suara kamu seksi lho.” Suara Fitri  semakin renyah.

            “Ah bisa aja” Fiko meraba kepalanya. Fiko seperti kuatir saja, jangan-jangan ukuran kepalanya benar-benar membesar.

            ”Jadi, aku sudah bisa curhat nih?”

            “Siip. Sekarang aku siap mendengarkan. Cukup mendengarkan saja kan?”

            “Ya.”

            Sesaat hening tanpa suara. Kemudian terdengar suara Fitri, “Begini, curhatku singkat saja. Aku benar-benar galau sampai saat ini.” Suara Fitri sesaat seperti tertahan. Yang terdengar kemudian adalah suara isak tangis.

            “Fitri. Apa yang telah terjadi, Fitri?”

            “Aku telah membuat kesalahan besar dalam hidup aku.”

            “Kesalahan besar? Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Bukan kamu saja. Aku pun sering melakukan kesalahan. Kecil ataupun besar.”

            “Kesalahanku yang terbesar adalah mencintainya!”

            “Apa yang telah dilakukan cowok itu, Fit?”

            “Kesalahanmu sangat besar Fiko. Bahkan berkali-kali kamu berbuat kesalahan serupa!”

            “What? Maksudnya? Fitri! Kok,... aku?”

            “Ya! ”

            Fiko dilanda kebingungan luar biasa.

            “Ternyata kamu sudah lupa sama aku ya Fiko! Begitulah kalau terlalu banyak pacar! Saking banyaknya, sampai lupa mantan sendiri.”

            “Kamu.....kamu....” Fiko mendadak gagap. Keringat dinginnya mengucur.

            “Aku Fitri. Pacar kamu yang meninggal dua pekan lalu akibat aborsi janin hasil hubungan gelap kita!”

            Semua yang ada di depan Fiko tiba-tiba berubah menjadi gelap. Sangat gelap.

**

            “Selamat malam, pendengar! Apa kabar? Tetap semangat kan? Semangat dong! Saya tahu banget bahwa pendengar radio Gress terutama penggemar program Galau masih berduka sampai saat ini. Tentunya kita semua masih ingat kan? Kita telah kehilangan salah seorang penyiar terbaik kita. Malam Minggu lalu pengasuh program Galau, Fiko meninggal secara tiba-tiba di studio Gress. Yuk, kita kirimkan do’a untuk almarhum Fiko. Semoga arwahnya tenang di alam sana. Berdoa dimulai .......................... berdoa selesai. Nah, mulai edisi malam ini dan edisi selanjutnya program Galau akan dipandu oleh penyiar paling gress di Radio Gress 105,7 FM. Perkenalkan, salam hangat dari saya, Fitri Subekti. Yuk, yang mau curhat malam ini. Saya tunggu telepon anda secara live. Nah, siapa gerangan yang mau curhat pertama kali sehabis lagu ini?” Sedetik kemudian suara emas Bryan Adams melantunkan lagunya, Heaven. (*)

Pustaka RumPut, 21 September 2014

Buhung Lantang

               Oleh: Alfian Nawawi


            Kampung jaman dulu yang penduduknya bersahaja itu bernama Buhung Bundang. Jauh dari kotaraja. Dikelilingi hutan belantara melengkapi kebersahajaan mereka. Lalu semakin lengkaplah ketika sekali waktu kemarau panjang datang berlama-lama.

            Air bersih begitu sulit diperoleh. Sungai-sungai dan sumber air menjadi kering. Hujan tidak kunjung turun menyapa. Para penduduk terpaksa harus mengambil air dari sebuah mata air yang jaraknya pun teramat jauh dari kampung.

Satu-satunya jenis ternak yang dapat membantu mereka cepat mencapai sumber mata air itu adalah kuda. Bersama kuda pun perjalanan harus ditempuh selama berhari-hari. Kemudian bagian yang paling menyeramkan yaitu ketika harus melewati sebuah hutan rimba yang dikenal sangat angker.

Menurut cerita para penduduk sejak dulu, di hutan itu hiduplah penunggu hutan yang berwujud seorang nenek tua yang  buruk rupa dan sangat jahat. Konon nenek tua itu selalu memangsa setiap orang yang ditemuinya di pinggiran hutan. Sudah banyak penduduk yang hilang tanpa diketahui keberadaannya. Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, nenek tua itu sering berpura-pura minta tolong kepada orang yang ditemuinya dan kemudian memangsanya. Itulah sebabnya, para penduduk yang melewati hutan itu biasanya tidak mau menggubris jika mendengar ada suara minta tolong dari nenek tua itu. Mereka takut diperdayai oleh penunggu hutan angker tersebut.

Di kampung Buhung Bundang hiduplah seorang janda tua bersama putranya yang bernama I Sodding. Meskipun masih kecil namun I Sodding sudah menunjukkan bakti dan cinta kepada ibunya. Dengan menunggang kudanya I Sodding selalu berangkat seorang diri untuk mengambil air. Setiap kali sebelum berangkat, ia dibekali makanan oleh ibunya.

Pada suatu hari, persediaan air bersih di rumahnya habis. I Sodding harus bersiap lagi untuk mengambil air. Ia menunggang kudanya melewati bukit-bukit dan hutan belantara.

Ketika melewati hutan belantara, I Sodding tiba-tiba dikejutkan oleh suara minta tolong.

     “Tolooong...toloooong! Lepaskan aku dari pohon kayu ini! Tolooong...siapa saja yang dapat mendengarkan suaraku! Tolooong!”


        I Sodding melihat seorang nenek tua yang terbaring tidak berdaya. Kedua kakinya ditindih oleh sebuah pohon kayu. Timbullah perasaan iba di hati I Sodding.

     Tanpa berpikir panjang I Sodding lalu berusaha menolong nenek tua itu. I Sodding dengan sekuat tenaga mengangkat pohon kayu itu.

     Nenek tua itu tersenyum kepada I Sodding. Meskipun wajahnya sangat buruk namun I Sodding sama sekali tidak merasa takut. I Sodding adalah seorang anak pemberani. Ia juga seorang anak yang suka menolong sesama.

     “Terimakasih, anak muda. Kamu memang seorang anak yang baik hati. Sebagai rasa terimakasih aku hadiahkan kepadamu sebatang ranting  pohon kelor ajaib,” kata nenek tua itu.

     “Terimakasih, nek. Tapi, ranting pohon kelor ini untuk apa, nek?” Tanya I Sodding sambil keheranan.

     “Bawa saja ranting ajaib ini dan tanamlah di depan rumahmu, anak muda,” kata nenek tua sambil tersenyum.

Belum habis rasa heran I sodding, tiba-tiba nenek tua di hadapannya menghilang secara ghaib.

I Sodding memutuskan untuk segera menyelesaikan tugasnya. Setelah mengambil persediaan air ia pun bergegas pulang menuju kampungnya. Persediaan air kali ini dirasa cukup untuk digunakan beberapa hari.

     I Sodding tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam.  Sesuai pesan nenek tua itu, ia pun menanam ranting pohon kelor itu di depan rumahnya.

     Masih pagi buta, I Sodding dikejutkan oleh suara ibunya yag membangunkannya tiba-tiba.

     “Sodding, Soding! Bangunlah nak! Ada kejadian ajaib di halaman rumah kita!” Seru ibunya.

     I Sodding bergegas bangun dan segera keluar. Di halaman rumahnya tampak ramai para penduduk sedang mengerumuni sesuatu. Ternyata mereka sedang mengerumuni sebuah sumur yang kelihatannya sangat dalam. Airnya begitu  jernih dan melimpah. Sumur itu tiba-tiba saja muncul secara ajaib di halaman rumah I Sodding.

     Rupanya, dari tempat ranting pohon ajaib dari nenek tua itu ditanam, muncul sumur ajaib.

     Oleh penduduk setempat, sumur ajaib tersebut diberi nama Buhung Lantang yang artinya sumur yang sangat dalam. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat memperkirakan berapa kedalaman sumur itu. Beberapa orang pernah mencoba menyelam ke dalam sumur itu dan mereka takjub menemukan kenyataan, ternyata sumur itu tanpa dasar. 

        Buhung Lantang hingga kini masih ada di Desa Buhung Bundang, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Airnya tetap melimpah dan dimanfaatkan oleh para penduduk setempat untuk berbagai keperluan.(*)

(Cerita rakyat Bulukumba, Sulawesi Selatan. Diriset oleh Alfian Nawawi pada tahun 2011. Warisan sastra tutur atau sastra lisan turun temurun yang kemudian ditransformasi ke dalam bentuk teks.)


Anis Kurniawan, Something In Bulukumba

Posted By Redaksi on Rabu, 05 Agustus 2020 | Agustus 05, 2020

Sastra dan politik merupakan dua ranah yang sama sekali berbeda kutub. Namun bagi Anis, justru kedua dunia unik tersebut dapat saling mewarnai dan menyetubuhi satu sama lain. Ibarat dua sisi pada sebuah mata uang logam. Sastra dan politik adalah termasuk alasan penting dirinya agar tetap intens menulis.

Sebagaimana salah satu buku karyanya yang berjudul “Something In Bulukumba”, sebuah buku yang menjelajahi local genius, maka Anis adalah juga merupakan “sesuatu” di Bulukumba.             


Salah satu tujuan proses penciptaan manusia adalah manusia dilahirkan untuk membaca. Setelah itu manusia harus menulis sambil bercakap-cakap dengan alam dan kehidupan. Manusia dengan keragaman jiwanya menjadi begitu plural dengan proses itu. Proses itulah yang sedikit banyak mempengaruhi Anis Kurniawan untuk selalu menulis dalam berbagai genre.

“Teks sangat lekat dengan kebudayaan manusia dari masa ke masa. Teks adalah bahasa penyampai paling efektif dan unik setelah lisan. Apa-apa yang tidak dapat disampaikan oleh lisan, maka teks menyediakan dirinya sebagai solusi khas,” katanya.

Gagasan dan pemikirannya ditulis dalam banyak cerpen, esei dan artikel di berbagai media lokal dan nasional. Ia terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam temu Cerpenis Muda se-ASEAN pada tahun 2008. Salah satu tulisannya pun dimuat dalam buku antologi cerita pendek pengarang ASEAN pada 2009 dan diterbitkan oleh Balai Bahasa Jakarta.


Buku-bukunya yang lain yang telah diterbitkan dalam bentuk karya sastra: Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (antologi sastra berdua bersama Andhika Mappasomba, 2003), Wajah dan Wajah (kumpulan cerpen, 2008).

Bukunya yang cukup fenomenal “Something In Bulukumba” disusun bersama Arie M. Dirganthara dan Tengku Firmansyah dan diterbitkan pada pertengahan 2012. Buku itu memuat tentang perjalanan jurnalisme sastra dari seorang Anis yang berhasil merekam berbagai kekayaan local genius  di Bulukumba.

Anis menulis biografi seorang tokoh muda Bulukumba, Hamzah Pangki pada tahun 2012.  Anis juga pernah ikut terlibat dengan penulis dalam menyusun buku “Kumpulan Cerita Rakyat Bulukumba untuk bahan muatan lokal anak-anak sekolah dasar, 2013.

Menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra di Universitas Negeri Makassar, tahun 2007.

Sebelum menyelesaikan studi di UNM, ia sempat menerima penghargaan sebagai Cerpenis Terbaik UNM. Sejak selesai di UNM, puluhan tulisannya bertebaran di media massa. Selain sebagai penulis lepas dan editor buku, ia bekerja sebagai Redaktur di Majalah Sinergi Hijau. Sebuah majalah Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk isu-isu lingkungan di Sulawesi, Maluku dan Papua.

Tubuhnya yang kecil namun dengan kapasitas intelektual yang besar menjadikan Anis kerap menjadi pembicara dalam berbagi forum dan kajian ilmiah. Latar belakang disiplin ilmunya membawanya menjadi Direktur Jaringan Riset Nasional (JRN), Founder dan Direktur P3i Cipta Media Makassar dan even organizer P3i Intermedialine.

Sampai hari ini Anis tetap menulis dalam berbagai genre. Salah satu mimpinya adalah menemukan dan menyemangati lebih banyak lagi anak-anak muda Bulukumba untuk menulis. Perjalanan panjang Anis sebagai penulis juga mengantarkannya pada obsesi untuk memiliki penerbitan sendiri.

Menurutnya, Bulukumba harus memiliki paling tidak sebuah penerbitan besar. Penerbitan itu harus dikelola secara profesional dan dapat memberikan ruang positif bagi penulis-penulis Bulukumba.

Ruang-ruang menulis di Bulukumba kini berada dalam iklim yang cukup segar. Apalagi dengan munculnya penulis-penulis muda dari berbagai genre. Berbagai media yang ada juga cukup kondusif mendukung budaya teks di kalangan generasi muda.

“Iklim positif itu seyogyanya menjadi penanda untuk pemerintah bahwa Bulukumba sudah saatnya digali lebih dalam lagi pada budaya teks,katanya sekali waktu dengan wajah penuh optimis.     

Anis mengungkapkan bahwa keterampilan menulis sebenarnya tidak bisa diperoleh secara alamiah, tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran yang bertahap dan sistematis. Misalnya aktifitas membaca itu adalah suatu aktivitas yang disengaja dan terencana. Dengan melakukan aktivitas proses membaca berarti melakukan aktivitas memproses makna kata, memahami konsep, memahami informasi dan memahami ide yang disampaikan penulis dan dihubungkan dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh pembaca. Pengalaman empirik itulah yang menjadi kekuatan untuk memiliki keterampilan menulis. “Intinya, kebiasaan menulis harus diawali dari membaca,” ungkapnya.


Anis menjelaskan bahwa latar belakang budaya juga menentukan potensi membaca. Kesesuaian latar belakang budaya dengan isi bacaan yang akan dibaca dapat mempengaruhi interpretasi isi bacaan. Dengan memiliki kemampuan interpretasi akan mudah memahami isi bacaan. Anis memberi contoh, anak membaca teks bacaan sesuai latar belakang budaya dapat mudah memahami isi bacaan. Sementara anak membaca topik bacaan yang tidak sesuai latar belakang budayanya akan mengalami kesulitan memahami isi bacaan.” 

Pada tahun 2009 akhir, Anis melakukan migrasi secara intelektual dengan melanjutkan studi pada Pascasarjana Universitas Gadja Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ilmu Politik. Sejak itu penulis yang pernah mengajar di beberapa kampus di Makassar ini mulai terlibat aktif dalam riset berkaitan dengan wacana politik. Sekaligus juga terlibat dalam pendampingan kandidasi politik di sejumlah pilkada di Indonesia. Dunia politik dan dunia kepengarangan tetap diarunginya secara bersama-sama. Belakangan Anis juga bergiat di wilayah literasi hijau yang mengusung isu-isu lingkungan hidup.(*)

Penulis: Alfian Nawawi

Float Your Writing to the River

Posted By Redaksi on Kamis, 30 Juli 2020 | Juli 30, 2020

By: AlfianNawawi

Li Po is a poet maestro from Tiongkok. He was a poet of era romance in the midst of war. An era of country folk used to wear baggy clothes, ride a horse, and bear long machetes. His poem was written in the forest, in the shop, in the banks of the river, in the middle of a lake, and also may be in the tree.

Li Po was romantic Taoism who love wine, pretty girl, and nature. Because he had a highly love for the nature, he always floated his poem in the river and he was happy to see the paper go to the distance with the water flow.

It is said that his death history was also full of romance. According to story quoted by SapardiDjokoDamono, Li Po died in the lake because he fell into the water when he was drunk. He wanted to embrace the moon than swam in the lake.

Once time, Li Po wrote a short meaningful poem for Tu Fu, his best friend who was also a poet maestro, entitled “Dear Tu Fu”

Dear Tu Fu

In the mountain I met Tu Fu

Wearing a bamboo hat in the torrid day

Hey, why are you looked very thin?

Are you suffering because of poetry?

The poem expressed that Li Po described Tu Fu’s position in the literature and government using word metaphor “mountain”. At the same time he chaffed Tu Fu’s frail position which needed protection while the empire was in bad situation, full of intrigue and rebellion. The poem might be a Li Po’s care for Tu Fu who had gone to flee and moved away from a warring empire into the thatched roof house of a quite village. 

No days, it is hard to find a writer or poet like Li Po. People want their work published by a fabulous publisher. Then, the others are busy becoming participants in caliber writing festival, from local to the international level. No one wants to float his poem to the river.

In the virtual world, the river can be meant a personal blog. It also can be kind of writing platform such as Instastori, Kompasiana, and others.

If you write something on a blog or a site, you will see that people are lazy to click the link, they don’t want to go there.  They think it is a “river”. Addition, it will be different if you write directly on a note or wall facebook, a description under the youtube video content, or a short narrative fenced under an instagram photo. Theywill be happybecause they can read the writing without clicking the link, especially when they are in "free mode."(*)

Translator: NurAlang

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday