Latest Post

This Girl Has a Cool Way to Teach

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 16 Juli 2020 | Juli 16, 2020

The call resounded and reverberated but without sound. Can only be heard by the owner of the heart room where the sound of the call was thumping. People often refer to this type of calling as "devotion." Like a call to Kasma. She is a girl who teaches children in Balong Village, Ujungloe District, Bulukumba Regency, South Sulawesi.

The Teaching Regional Youth Teaching Service (Gerakan Mengajar Pemuda Daerah Mengabdi) or Gema Pandemi is a project of service for the youth of Bulukumba in the midst of the Covid-19 pandemic. Born from a sense of concern and unrest so that Kasma was convinced that he was one of the people who were called to sweat to work together to educate Bumi Panritalopi.

Pandema's echoes moved to touch the education sector which was also affected by the disaster effect of covid-19, in addition to the health and economic sectors. His presence is expected to be able to ease the burden of thoughts, regulations and policies of the Government of the Regency of Bulukumba. For Kasma, this condition is a shared responsibility.

"All elements of society can take steps to involve themselves with their abilities and abilities." Kasma said.

Kasma as a mentor always innovates in teaching. In dealing with these children, he always tries to find their talents and interests first.

"What children need in the future is no longer just smart but children who have skills. I also accustom them to time discipline. So that they have good time management from an early age. Can place when study time and when play time. I change the learning method every day so that younger siblings don't get bored studying. The most difficult thing in teaching a child is to grow his will or mood. If they are happy at the beginning of the lesson, which of course to the end he is excited. " Kasma parsed the explanation.

One interesting material is Kasma every day I ask the children in her class to take turns appearing in front of her friends. Initially maybe just introduce yourself. After that, he told his experience when he woke up to go back to sleep at night.

"The concept is simple, ask children to do it many times not to train him to be able to talk in front of his friends but to train them to appear in public and not be shy anymore. Because if they get used to it eventually they will. " He said. (*)


Dupa Laut dan La Sodding

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 15 Juli 2020 | Juli 15, 2020



Dupa Laut


lalu aku berbincang dengan tiang

dan layar perahu. temali lepas ke

arah tenggara. kau dan aku masih

di utara. tentang impor garam? 

bukan

ini tentang nenek moyangku 

seorang pemberani. pelaut yang 

sampai ke tanah

samiri.


lalu kau dan aku membakar dupa

mantra laut untuk dedemit. temali 

hanyut ke arah tenggara.

kau dan aku, laut dan cakrawala, 

ombak dan cinta,pukat dan

terumbu,

pilu.


ada matahari yang belum terbenam,

orang-orang di daratan tak menunggu malam.


Bulukumba, 1 Agustus 2018.





La Sodding


La Sodding datang dari rahim laut. Perahu batu I Mannyambungi terdampar mendongeng padanya di masa telanjang dada. Berlari ia di sepanjang pesisir. Bau rambutnya adalah juga aroma ikan di jemuran bambu. Turungang Beru beranak pinak dengan benih Mandar. La Sodding tetaplah nelayan. Ditebarnya  jala di hati Te'ne Simboleng. Suatu pagi bersama terumbu dan cinta, Te'ne tak mau ke kota.


Bulukumba, 12 Desember 2017






Jaka Timbal

Jaka Timbal tidak lahir di Pulau Jawa, melainkan di Bulukumba. Entah pada abad ke berapa Jaka Timbal mulai muncul di jazirah selatan Pulau “Sule’bessi” atau Sulawesi atau Celebes kata orang bule.

Entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah “Jaka Timbal”.Sependek pengetahuan saya, ia bukan idiom yang lazim. Namun ia sekali-sekali muncul sebagai penyegar obrolan dan candaan kaum muda terkait pembahasan seputar kawin-mawin.

Jaka Timbal adalah akronim dari “Janji Kawin Timo’-Bare’ Labe’si.” Perpaduan kata yang cukup unik antara Bahasa Indonesia dan Bugis.

Kata “Timo’-Bare” adalah dua frasa yang disatukan, artinya: “Kemarau-Hujan.” Menunjukkan dua musim. Sedangkan “Labe’si” artinya: “tenggelam” yang bersinonim dengan “hilang, musnah, raib.” Dengan demikian terjemahan bebasnya adalah: janji kawin yang tinggal janji seiring pergantian musim kemarau dan hujan.

Agaknya Jaka Timbal lebih sering digunakan sebagai bahan candaan oleh seseorang terhadap teman akrabnya. Dengan syarat khusus, temannya adalah seseorang yang masuk kategori playboy dan menebar janji manis kepada banyak gadis di mana-mana.

Ada pula yang kerap menggunakan istilah Jaka Timbal kepada temannya yang bukan playboy. Melainkan memang belum berniat menikah meskipun sudah mapan.

Pada era 90’an istilah Jaka Timbal sangat populer di radio, khususnya di Bulukumba. Ada kesan lucu bagi para pendengar radio setiap mendengarkan istilah itu diucapkan penyiar.

Jaka Timbal bisa jadi lahir dalam atmosfer ketidakberdayaan kaum muda yang sedang bergairah dalam cinta namun belum punya modal untuk berumahtangga. Jaka Timbal hanya bisa muncul di antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Ia tidak bisa muncul begitu saja dalam situasi panas atau konflik. Sebab bisa memancing dunia persilatan. Bisa terjadi “baku tobok.”

Begitulah, Jaka Timbal adalah idiom yang menghibur dalam canda. Di lain sisi ia mencerminkan betapa kerasnya kehidupan, khususnya dunia asmara muda-mudi.

Kalau sudah mampu berumahtangga jangan kelamaan jadi Jaka Timbal. Itu saja.(*)

Pustaka RumPut, 29 Mei 2020 

Tulisan saya ini sebelumnya dimuat di kolom LaCapila situs JalurDua.Com


Samanna Mabbau Bembe

Tidak ada ungkapan dalam Bahasa Bugis yang lebih menyebalkan dibandingkan: “Samanna mabbau bembe.” Artinya: “Seperti bau kambing.” Biasanya ungkapan ini kerap dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya yang malas mandi.

Di luar rumah, dalam ruang sosial Bugis-Makassar, ungkapan menyebalkan itu menjadi bahan guyonan ketika ada seseorang malas menjaga kebersihan. Badannya “sakkulu” alias bau. Bukan hanya sebatas tubuh dan pakaian. Ungkapan itu juga merambah kondisi tempat tinggal.

Pada sisi verba, lagi-lagi kambing menjadi korban. Selain diidentikkan dengan bau tidak sedap, kambing pun dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan untuk menciptakan ungkapan “kambing hitam.”

Bayangkan saja seandainya kambing berdemo menuntut pengembalian nama baik spesis mereka. Untung saja sejauh ini kambing tidak punya hasrat untuk berdemo. Bahkan tidak seekor pun yang berbakat jadi korlap aksi unjuk rasa. Bukan karena kambing tidak doyan nasi bungkus. Mereka selama ini asyik-asyik saja. Tidak peduli ungkapan-ungkapan merugikan yang diciptakan manusia.

Barangkali kambing sudah sejak dulu memaklumi ulah manusia dalam “kekerasan verbal.” Jika kepalanya pening sehabis makan daging kambing, manusia juga kerap menyalahkan kambing.

Persoalan kebersihan yang diabaikan dan kotoran nyatanya bukan cuma dimonopoli kambing. Peradaban manusia justru lebih parah. Tahukah Anda? Kebersihan yang diabaikan juga pernah menjadi ciri khas kehidupan Eropa.

Dalam buku “Sumbangan Peradaban Pada Dunia”, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani melukiskan betapa manusia Eropa terbiasa tidak mandi dalam satu tahun kecuali satu atau dua kali saja. Mereka sampai mempunyai keyakinan bahwa kotoran-kotoran yang melekat di tubuh dan pakaian mereka adalah berkah dan memberikan kekuatan pada tubuh.

Dalam suasana itu, Islam datang dengan memerintahkan kaum muslimin bersuci, mewajibkan mandi. Islam menganggap tubuh mereka tidak bersih kecuali dengan mandi dan tidak boleh shalat kecuali dengan wudhu yang dilakukan 5 kali dalam sehari.

Orientalis Jerman Sigrid Hunke (1913-1999) melakukan studi banding antara peradaban Islam pada saat itu dan kondisi bangsa Eropa. Ia mengatakan bahwa ahli fikih Andalusia, Syaikh Ath-Tharthusyi saat berkeliling di negara-negara Eropa dikejutkan dengan fakta mencengangkan.

Syaikh Ath-Tharthusyi berkata, “Selama-lamanya kamu akan melihat mereka itu kotor. Sesungguhnya mereka tidak membersihkan diri mereka dan tidak mandi kecuali satu atau dua kali dalam setahun dengan air dingin. Adapun pakaian mereka tidak mereka cuci setelah mereka pakai hingga pakaian tersebut menjadi kain yang kumuh dan rusak.”

“Samanna mabbau bembe” tetap lestari sampai hari ini. Lantaran masih banyak manusia yang tidak mengindahkan standar kebersihan. Barangkali itu pula penyebab sehingga manusia rentan terkena pandemi. Sampai-sampai harus kembali diajarkan cara cuci tangan yang benar.(*)

Pustaka RumPut, 31 Mei 2020 


Tulisan saya ini sebelumnya juga dimuat oleh situs JalurDua.Com dalam kolom LaCapila


Jari Tengah Alfian Dippahatang

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Di salah satu platform tempat beragam manusia berjejaring, Alfian Dippahatang pernah mengurai pendek perihal buku antologi puisinya yang terbaru, "Jari Tengah". 

"Puisi-puisi dalam Jari Tengah ini terbangun karena teks, visual, dan audiovisual yang meminjam dua kategori pengalaman. Pertama, pengalaman di luar diri penyair, dalam hal ini orang-orang. Saya ingin menyebut khusus pengalaman itu berasal dari kakek dan nenek saya, yang mana di kampung, mereka cukup dikenal sebagai dukun dan 'pabarzanji.'Kedua, pengalaman saya pribadi membaca, mendengar, dan melihat bagaimana mantra diterapkan untuk menyembuhkan dan melukai orang." Begitu tuturnya.

Dan akhirnya buku Jari Tengah  setebal 64 halaman ini akan menemui para pembacanya setelah dibanderol Rp.45.000,- dan harga PO: Rp.32.000,-. sebuah alur self publishing yang cukup manis.

Alfian Dippahatang lahir di Bulukumba, 3 Desember 1994. Ia bergiat di Institut Sastra Makassar.  Mula ia menulis puisi, cerita pendek, novel, monolog, dan esai. Buku pertamanya, kumpulan puisi Semangkuk Lidah (Ghina Pustaka, 2016), disusul kumpulan puisi Dapur Ajaib (Basabasi, 2017), novel Kematian Anda yang Tak Sia-sia (Diva Press, 2018), kumpulan cerpen Bertarung dalam Sarung (Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019, dan novel Manusia Belang (Basabasi, 2020).



Ia meraih Juara 3 Sayembara Novel Penerbit Basabasi 2019. Diundang di Makassar International Writers Festival 2018, Majelis Sastra Asia Tenggara 2018, Festival Sastra Yogyakarta 2019, dan Residensi Penulis 2019 ke Prancis atas bantuan Komite Buku Nasional.(*)

Sudah Terlambat Ganyang Neo-PKI Melalui Cara Konstitusional

Di bumi, komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi. Sejarah kegagalannya hanya terletak pada sistem ekonomi: sosialisme. Sebab itulah RRC digdaya, Korea Utara tetap ada. Bahkan komunisme yang paling klasik pun masih mengepul-ngepul dari cerutu negeri Kuba. Fidel Castro dan Che Guevarra masih “hidup” dalam kenangan kolektif kaum komunis Amerika Latin terkait heroisme.

Sebagai ideologi, rupanya komunisme hanya berani bertarung pada tataran “agama sebagai candu” dan “utopia proletariat.” Selebihnya, terutama sistem ekonomi global, komunisme mengibarkan bendera putih pada kapitalisme. Satu-satunya kelebihan komunis yang bisa dibanggakan hanya nasionalisasi aset.

Setiap ideologi memiliki “nabi-nabi”, tak terkecuali komunisme. Begitulah, kenapa Mao Zedong atau Stalin dan lainnya itu masih dipuja. Komunisme di Indonesia juga punya “nabi-nabi.” Musso yang gagal atau DN Aidit yang gegabah itu, jelas menyodorkan referensi pengalaman berharga kepada para pelanjutnya.

Mengambilalih kekuasaan negara dengan cara militeristik sangat mustahil. Menjelang gestapu 1965, kiriman ribuan senapan dari Tiongkok tidak lebih dari sekadar eksperimen Peking. Komunisme punya kelebihan pada strategi pembacaan gejala dan percobaan. Komunisme di Indonesia hanya bisa bangkit manakala mampu masuk ke dalam sistem kekuasaan.

Joseph Stalin pun tidak menyetujui memindahkan revolusi China ke Indonesia. Dalam artikelnya, “Stalin and the Revival of the Communist Party of Indonesia”, yang dimuat di jurnal Cold War History (Vol. 5, No. 1, February 2005: 107-120), sejarawan Larissa M. Efimova mmengungkapkan hasil penelitiannya terhadap berbagai dokumen yang ditemukan dalam arsip milik Joseph Stalin (1878-1953), pemimpin besar Soviet.

Berdasarkan penelusuran Efimova, dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya menolak pendapat sarjana terdahulu, yang menyatakan bahwa Moskow tidak menaruh perhatian terhadap PKI.

Stalin punya peran langsung dalam proses pematangan program baru bagi PKI, yang tengah dirumuskan tokoh-tokoh PKI sendiri maupun bekerjasama dengan para tokoh Partai Komunis Cina (PKC).

Reaksi Stalin, dengan jelas bisa dilihat sikapnya terhadap PKI dan atas proposal para pemimpin komunis Indonesia dan Cina. Catatan pertama Stalin berkaitan dengan tugas pokok PKI, yang berfokus pada perlunya menelanjangi kepalsuan kemerdekaan Indonesia. “Dan bagaimana dengan persoalan agraria?” Kata Stalin.

Stalin menandai kata-kata dalam proposal bersejarah itu tentang perlunya “revolusi bersenjata melawan kontrarevolusi bersenjata” dan “penciptaan tentara pembebasan-nasional yang kuat dan setia.” Pada bagian yang memaparkan perlunya “mengusir semua kekuatan imperialis Belanda, Amerika, dan Inggris dari Indonesia”, Stalin menambahkan: “Nasionalisasikan perusahaan-perusahaan mereka!”

Mengenai proposal tentang “penggulingan dominasi kaum reaksioner dalam negeri yang menjadi antek-antek imperialis dan digantikannya mereka oleh pemerintahan koalisi demokratis”, Stalin berseru: “Salah!” Stalin mengajak mereka untuk “bergabung dengan Uni Soviet, Cina, dan negara-negara demokrasi rakyat.”

Bagi Stalin, tujuan PKI tetaplah kabur. Di bagian kata-kata “memimpin revolusi sampai tujuan tercapai”, dia menulis sebuah pernyataan: “Maksudnya apa?” Ia menekankan pentingnya menguasai cara-cara kerja ilegal dan setuju pada ajakan untuk secara legal “melakukan aktivitas parlementer di semua bidang”, seraya berkomentar: “Benar!”

Rupanya “amanat Stalin” barulah diiimplementasikan dengan rapi oleh generasi pelanjut PKI dan berhasil mereka terapkan sejak orde baru runtuh. Penetrasi dan pressure atas nama reformasi-demokrasi dan HAM akhirnya berbuah manis. Para tapol eks PKI langsung menghirup udara kebebasan.

Tidak hanya sampai di situ. Melalui desakan ke MK, anak cucu keturunan eks PKI akhirnya dibolehkan ikut memilih dan dipilih sebagai legislator. Sebagian lainnya berhasil menduduki jabatan strategis seperti kepala desa, lurah, camat, dan bupati. Bahkan pos-pos strategis di pusaran elit pemerintahan.

Agak aneh memang ketika rakyat terutama umat Islam baru tersentak. Mereka baru move on ketika berhadapan dengan fakta kemunculan “produk-produk” berbau khas komunis yang datang dari lingkaran elit kekuasaan dan parlemen.

Jika RUU HIP yang bermasalah itu digugat oleh umat Islam, maka itu baru merupakan awal perbenturan nostalgia. Di sana terdapat trauma sejarah yang selalu ikut bicara. Umat islam dipastikan tidak mau kecolongan tiga kali.

Komunisme memang selalu banyak belajar dari sejarah. Anak cucu keturunan PKI yang tetap mengusung ideologi komunisme ternyata tidak berangkat dari gerakan sporadis. Mereka terorganisir dengan baik. Mereka jauh lebih cerdas dibanding para pendahulunya. RUU HIP adalah salah satu buktinya.

Komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi, termasuk di Indonesia. Mereka luar biasa sabar mencari celah di berbagai rezim dan sistem. Kepercayaan diri mereka semakin kuat ketika berhasil menjadi “Mak Comblang” yang efektif antara pemerintah RI dan RRC. Dan memang hanya RRC yang setia menjadi “kekasih abadi” bagi PKI dan neo-PKI. Dan dari titik itu bisa dilihat, umat islam dan umat bergama lainnya di Indonesia sudah sangat terlambat jika harus melawan neo-PKI melalui cara-cara konstitusional.

Ketika neo-PKI mulai bersiap untuk “panen” maka umat islam di dalam perseteruan abadi itu mau tak mau harus meminjam siasat gaya Che Guevarra. Ia sukses mengorganisir kekuatan militer dari kegelapan hutan Bolivia. Namun ini baru permulaan.(*)


Esai ini dimuat pula jauh sebelumnya di Kopi Panas Jalurdua.Com


Bundu-Bundu

Siapakah pemilik atau pewaris kebangkitan nasional? Rasanya, jawabannya untuk skala lingkungan tempat saya bermukim saat ini adalah bundu-bundu. Ia memenuhi syarat yang cukup sebagai jawaban temporer.

Banyak jenis usaha yang masih tegar bertahan di tengah pandemi covid-19. Namun tidak ada yang sedahsyat pola pertahanan bundu-bundu. Mulai pelosok pedalaman sampai gang sempit di kota besar, bundu-bundu masih saja perkasa di tengah badai.

Warung kecil adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia. Para pakar ekonomi memasukkannya dalam kategori UMKM. 

Bundu-bundu bertahan di tengah pandemi lantaran menjadi penyuplai kebutuhan konsumen di lingkungan sekitarnya. Ia identik dengan “garoppo” alias makanan ringan untuk anak kecil. Selain itu juga dilengkapi ragam kudapan, permen, rokok, dan berbagai macam barang-barang keperluan sehari-hari. Bundu-bundu adalah simbol kehebatan ekonomi rakyat. Dia simbol ketangguhan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi.

Dalam pertemuan Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, September 1961, Bung Karno berbagi pendapat mengenai pengertian kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan berarti mengakhiri penghisapan bangsa atas bangsa, yang langsung maupun tidak langsung. Hanya dengan kemerdekaan itu, kita punya kebebasan untuk menjalankan urusan-urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya sesuai konsepsi nasional kita.

Penjelasan Bung Karno secara gamblang membabat argumentasi segelintir orang termasuk di kalangan elite Indonesia bahwa kemerdekaan hanya dimaknai dengan menghilangnya kolonialisme secara fisik. Bagi mereka, perjuangan kemerdekaan sudah selesai dengan adanya pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.

Dalam benak Bung Karno, sekalipun sebuah bangsa sudah memproklamirkan kemerdekaan, bentuk-bentuk kolonialisme lama masih bercokol. Kolonialisme lama, dengan menggunakan jubahnya yang baru, yakni neo-kolonialisme, akan terus menjaga kepentingan-kepentingannya di bekas negara jajahan.

Memasuki dekade 1950-an, faktanya sebagian besar ekonomi Indonesia masih dicengkeram perusahaan-perusahaan asing. Bahkan sebagian besar berada di tangan perusahaan-perusahaan Belanda. Di zaman itu dikenal The Big Five, lima perusahaan Belanda yang sangat dominan, yakni Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry. Sejak saat itulah Bung Karno memulai jargon “Revolusi Belum Selesai”.

Bagi Bung Karno, dekolonialisasi adalah pembongkaran terhadap semua struktur ekonomi, politik, dan sosial budaya yang merintangi kemerdekaan. Dekolonialisasi bukan hanya bergerak di tataran praktis kebijakan, tapi juga mencakup cara berpikir dan mentalitas. Ini termasuk pembongkaran terhadap semua struktur, narasi, dan hirarki yang dipakai kolonialisme untuk memaksakan kepatuhan.

Dalam ekonomi, dekolonialisasi itu mencakup perombakan terhadap struktur dasar perekonomian, yakni dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional-merdeka. Di sini, bukan cuma soal pengambilalihan kapital dan perusahaan asing tetapi merombak struktur perekonomiannya: struktur kepemilikan, orientasi produksi, dan kekuatan produktif.

Sampai hari ini revolusi belum selesai. Orang-orang sibuk berbelanja di etalase ritel milik kapitalis sambil memposting di akun medsosnya tentang Hari Kebangkitan Nasional. Sementara itu bundu-bundu milik tetangga kita tetap menganga lebar.

Pustaka RumPut, 20 Mei 2020.


Esai ini sebelumnya dimuat di kolom Kopi Panas JalurDua.Com


Tidak Usah Jaga Jarak

Pada sebuah lorong sempit dan kumuh di sebuah kota. Warganya yang tidak cukup 30 KK membutuhkan grup WhatsApp untuk saling berinteraksi. Jagad virtual memungkinkan seluruh penghuni lorong bisa berbagi informasi apa saja dalam hitungan detik. Di sanalah ruang tempat link-link berhamburan entah dari mana saja. Di sana mudah ditemukan cerita-cerita konyol, meme yang tidak lucu, hingga sejuta keluhan khas kaum urban.

Sedikitnya dalam dua puluh tahun terakhir interaksi sosial kita sudah berjarak begitu jauh. Jagad virtual memungkinkan semua perihal di sekitar kita hingga belahan dunia lainnya cukup diletakkan dalam android. Benda itu masuk dalam list primer di rumah kita. Ada banyak kasus orang bisa lupa makan ketika asyik dengan gadget. Benda ini sudah setara atau bahkan lebih penting dibanding beras.

Benda ajaib kecil tipis itu cukup dibawa dalam saku celana. Bahkan bisa dibawa ke dalam kakus. Manusia milenial mampu mengkritik seorang calon bupati bahkan ketika dia sendiri belum sempat cebok. Seorang remaja jaman now bisa menghujat Bill Gates dan Rockefeller sementara pipisnya belum selesai.

Kita sudah terbiasa berjarak dengan teman semeja, sekantor, sejalan, bahkan serumah. Gadget telah mengambil alih sebagian besar waktu kita termasuk saat bekerja. Namun untungnya, kita bisa langsung menolong tetangga yang lagi terkunci di kamar mandi karena kita menyaksikan dia meminta pertolongan dalam siaran langsung di akun Facebooknya. Seseorang bisa mengabarkan kepada dunia melalui video tentang sebuah kasus perundungan. Seseorang di negara lain bisa mengajari kita secara gratis bagaimana cara mengganti resluiting rusak dalam tempo lima menit.

Kita sudah begitu lama menikmati physical distancing. Bertemu teman-teman lama dalam lima jam di kafe kita habiskan empat jam memelototi gadget. Cukup satu jam untuk hahahihi.

Barangkali ada enaknya juga pandemi covid-19. Terlepas apakah wabah itu hasil rancangan Rockefeller atau murni kecelakaan dari sebuah laboratorium atau bagian dari perang asimetris atau perang hibrida, yang jelas sebagian kita akhir-akhir ini benar-benar mulai memahami fungsi rumah yang sebenarnya.

Kita mulai berpikir tentang kebiasaan kakek nenek kita dahulu. Betapa pentingnya bagi mereka memajang gentong berisi air di depan rumah. Mereka suka menjaga wudhu. Mereka menyuruh kita diam ketika adzan terdengar. Mereka marah melihat kita masih bermain di luar rumah saat maghrib tiba. Biasanya mereka langsung menyuruh kita membuang kembali uang logam di tangan kita padahal baru saja kita pungut dari selokan.

Sejauh ini teknologi manusia belum menemukan “time machine”. Namun untuk mengembalikan waktu silam sesungguhnya mudah saja. Cukup kita kembali merapatkan jarak dengan rumah masa lampau. Di sana tempat kearifan lokal pertama kali dipraktekkan, kitab suci diajarkan, dan penghuninya memiliki kekebalan terhadap virus apapun tanpa vaksinasi.

Pustaka RumPut, 19 Mei 2020

Esai ini sebelumnya pernah dimuat di kolomKopi Panas situs Jalurdua.Com 


Kedaulatan Ustadz

Setiap predikat di tengah sosial membutuhkan legitimasi. Salah satunya adalah ustadz. Setiap ustadz kerap kita elu-elukan keilmuannya lantaran dianggap bisa menjadi kamus berjalan. Kamus hidup bagi persoalan-persoalan agama. Pintu ilmu untuk mengorek seputar fiqih, syariat, dan konversi-konversi yang menyertai ‘keustadzan’ seseorang di tengah kita.

Lalu kita pun terbiasa mengelu-elukan simbol-simbol. Kadang teramat aneh memang jika seseorang yang kita sepakati sebagai ustadz mengecewakan dalam hal penampilan. Standar fisik seorang ustadz tidak pernah jauh-jauh dari peci, kopiah, baju koko, gamis, dan sarung. Kalau perlu dlengkapi jenggot.

Sebagian kita mungkin toleran terhadap penampilan ustadz. Kita lebih merujuk kepada rutinitas ibadah seseorang yang kita sepakati sebagai ustadz dibandingkan penampilan kesehariannya.

Ketika seorang ustadz melanggar pakem-pakem sosial yang tidak tertulis itu maka keustadzannya akan mengalami resistensi publik. Setidaknya kekecewaan. Sebab begitulah kita sejak jaman baheula. Mentradisikan kulit luar sebagai acuan utama. Kita lebih sering menyenangi cover dibandingkan isi.

Di masa kini siapapun bisa jadi ustadz. Meskipun dia hanya alumni S1 perguruan tinggi. Meskipun ilmunya tentang Islam masih sangat hijau sebab hanya diperoleh dari buku-buku dan pesantren. Itupun yang dikuasainya hanya dasar-dasar Ilmu Fiqih dan sedikit ilmu hadits.

Merujuk kamus Bahasa Arab, ustadz adalah orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, seseorang disebut Ustadz apabila dia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu atau bidang studi. Dalam sastra Arab seperti ilmu nahwu, shorof, bayan, badi’, ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fiqih, tafsir, hadits. Istilah ustadz merujuk pada dosen atau ahli atau akademisi yang memiliki kepakaran di bidang tertentu. Ustadz setara dengan professor kalau di negeri kita.

Banyaknya ustadz di lingkungan sosial kita tentunya sangat menyenangkan. Dan kitalah yang mendaulat mereka menjadi ustadz. Mendaulat tanpa melalui uji 12 bidang studi. Namun itu ternyata memang jauh lebih baik dibandingkan ketika di sekitar kita banyak preman atau begal. Masalah seriusnya adalah ketika ada seorang begal suka berpenampilan ustadz. Dia bisa lolos dengan mudah sebagai ustadz. Akibat itu tadi, kita punya hobi mendaulat.

Di dunia maya pun setiap netizen bisa jadi ustadz. Sekali dua kali memposting ayat ataupun hadits maka netizen lainnya akan segera mendaulatnya sebagai ustadz. Di depan rumah kami sering lewat seorang anak muda lulusan pesantren. Dia rajin ke masjid. Biasanya kami menyapa atau berseru penuh keramahan selaku tetangga, “Singgahmaki’ ustadz!” Dia pun menjawab, “Iye puang, ke masjidka dulu ye.”

Begitulah, betapa menyenangkannya jika ada atau banyak ustadz di tengah-tengah kita. Para ustadz akan selalu aman dan berdaulat di tengah lingkungan sosial yang juga berdaulat.(*)

Pustaka RumPut, 16 Mei 2020. 


Jauh sebelumnya tulisan ini pernah dimuat oleh kolom Kopi Panas d situs Jalurdua.Com



Burasa Virtual Terbungkus Papparampa

Manusia Bugis-Makassar meletakkan burasa di meja makan bukan hanya di hari lebaran. Burasa terbiasa eksis melengkapi hari lain. Melengkapi coto, konro, bahkan nyoknyang. Berabad-abad dia dibungkus daun pisang dan “papparampa.”

Ketika menemui hari lebaran tanpa burasa secara fisik lantaran halal bihalal pun hanya virtual akibat pandemi, maka manusia Bugis Makassar hanya bisa mencium lekat aroma ketulusan burasa. Dia terpancar dari cahaya cinta orang-orang yang memasaknya.

Keluarga dan tetangga bisa jauh dan dekat. Namun burasa menyatukan segala selera. Sebagaimana ketupat, legese, kampalo, dan lainnya. Di sana kita menikmati gurih dan lezatnya berkumpul dalam ekstase tertentu. Alam menyediakan semua bahannya. Mulai beras pilihan, santan kelapa terbaik, hingga daun pisang yang membungkusnya.

Tidak ada sinonim yang pas dengan kata “papparampa” di dalam kamus mana pun. Selaku perspektif komunikasi kultural-religius, “papparampa” sekilas bahasa basa basi. Namun memancarkan rasa ikhlas dari keramahan perilaku Bugis-Makassar. Idiom lainnya yaitu “pappisabbi”.

Mengutip budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, “Papparampa adalah moral budaya leluhur yang layak dilestarikan untuk memupuk rasa ‘asselessurengeng’ atau ukhuwah atau persaudaraan.”

Sembari bersilaturahim melalui layar android atau pun laptop, kita saling ber-papparampa. “Makanki burasa. Janganki malu-malu.”

Namun papparampa selalu lebih dibanding basa-basi. Sejak dulu tetangga-tetangga kita membawakan berbagai makanan dan buah-buahan sesuai musimnya. Lagi-lagi dibaluri papparampa, “Laoki di bolae manre burasa.”

Pustaka RumPut, 23 Mei 2020


Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat di kolom KopiPanas JalurDua.Com


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday