Latest Post

Perempuan di Tepi Pantai

Posted By Redaksi on Senin, 10 Agustus 2020 | Agustus 10, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

Senja ini kembali aku duduk di tepi pantai Loleo menyaksikan debur ombak sore yang saling berkejaran. Sesekali aku melemparkan batu ke laut.

Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok seorang perempuan paruh baya yang berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan, datar tanpa ekspresi. Wajahnya pun seakan tidak memiliki gairah kehidupan.

'Ah dia lagi, untuk apa dia menghabiskan waktunya setiap hari di pantai ini?' bisikku dalam hati. Hampir tiap hari aku selalu melihat perempuan itu di sini, sesekali kadang kulihat dia berteriak pada laut. Sesekali kulihat menangis. Apa gerangan yang terjadi padanya?

"Bikiapa ngana di sini? Kita cari ngana sampe (Bikin apa si sini? Aku cari kamu?". Aku dikejutkan oleh kedatangan Gifar, sepupuku.

"Tarada. kita cuma santai sa (Tidak ada, cuma bersantai)," jawabku asal.

"Kong perempuan itu bikiapa di situ? Tara bosan kah dia duduk di sana tiap hari (Perempuan itu, bikin apa di situ? Apa dia tidak bosan duduk di sana tiap hari)?" tanyaku pada Gifar sambil menunjuk sosok perempuan misterius itu yang berdiri di tepi pantai.

Gifar pun mulai berkisah tentang sosok perempuan yang akhir-akhir ini menyita perhatianku.

Namanya Bibi Fat. Lima tahun yang lalu suaminya pergi melaut dan sampai sekarang suaminya tak kunjung pulang. Menurut cerita yang beredar, perahu suaminya diterjang badai  hingga hancur. Namun mayatnya tidak ditemukan. Ada yang bilang, mayatnya dimakan oleh ikan, ada pula yang mengatakan mayatnya terbawa ombak besar ke lautan luas hingga mayatnya tak bisa diketemukan. Ada pula yang mengatakan bahwa suami Bibi Fat sebenarnya belum meninggal, cuman penjaga laut membawanya ke dasar lautan untuk menjadikan dia sebagai budak. Entahlah mana yang benar. Terlalu banyak spekulasi masyarakat tentang kasus ini. Sejak itu Bibi Fat seperti orang linglung, dia tidak percaya akan musibah yang menimpa suaminya. Sampai sekarang dia meyakini bahwa suaminya masih hidup, itulah sebabnya dia setia berada di pantai menunggu Sang Suami pulang. Bibi Fat akan marah bila ada yang mengatakan kalau suaminya sudah meninggal. Ah, sebuah kisah yang menguras air mata. Netraku pun berkabut, mendengarkan cerita Gifar.  Sebuah cerita tentang cinta dan kesetiaan.

Sambil dengar Gifar bercerita, aku langsung teringat seseorang yang saat ini tengah mengarungi lautan luas. Dia adalah Rudi kekasihku. Pikiranku langsung tertuju padanya. Ada semacam rasa takut dan khawatir, mengingat hidupnya lebih banyak di laut.

"Nina, mari kita pulang. So mau malam ini (Nina, ayo pulang. Sudah mau malam)," ajak Gifar.

"Ngana pulang duluan sudah, kita masih mau duduk di sini (Kamu pulang duluan saja, aku masih mau duduk di sini)."

"Jang lama e, jangan bikin Tete pe kepala pusing tara lia' ngana di rumah (Jangan lama, jangan sampai Kakek pusing tidak melihatmu di rumah)." Gifar pun berlalu meninggalkanku sendiri di tepi pantai ini.

***

Namaku Nina Husain. Orang memanggilku Nina. Ayahku berasal dari Maluku Utara dan Ibuku berasal dari kota daeng Makasar. Sebuah perpaduan yang sempura menurutku. Aku mewarisi kulit putih ibuku dan mewarisi rambut ikal ayahku.

Mereka bertemu saat Ayahku kuliah di universitas Hasanuddin Makassar. Kebetulan mereka satu fakultas, akhirnya tumbuhlah benih cinta di antara Ayah dan Ibu dan berakhir di pelaminan. Kisah cinta yang indah bukan?

Itulah sebabnya hampir setiap tahun aku berada di sini mengunjungi keluarga Ayahku. Kakekku masih hidup dan Nenekku sudah lama meninggal dunia.

***

Malam itu. Sehabis makan malam, aku duduk di samping kakek sambil bertanya tentang Bibi Fat.

"Tete, bikiapa kong Bibi Fat pe keluarga tara bawa dia ke rumah sakit jiwa untuk berobat (Kakek, kenapa Keluarga Bibi Fat tidak membawanya berobat ke rumah sakit jiwa?"

Sambil memamah pinang dan sirih, Kakek menjawab pertanyaanku. "Bibi Fat itu tara gila, dia hanya  tara mau terima takdir kalau dia pe laki meninggal (Bibi Fat tidak gila, dia hanya tidak mau terima takdir, kalau suaminya telah meninggal.")

Ah Bibi Fat, sebegitu besarnya cintamu kepada suamimu hingga saat ini kau belum bisa menerima takdir kalau suamimu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Lima tahun telah berlalu, tapi kau masih setia menunggu di tepi pantai. Apakah kau menunggu keajaiban?"

Tiba-tiba gawaiku berdering. Ada panggilan telepon dari Rudi. Mungkin saat ini kapalnya merapat di pelabuhan, hingga menemukan sinyal untuk menelponku. Dengan perasaan rindu ku angkat teleponnya.

"Assalamualaikum, Daeng. Gimana kabarta' Daeng? Sehat?" Kuberondong Rudi dengan pertanyaan. Senang rasanya dia bisa menghubungiku. Rudi juga berasal dari tanah daeng Makasar.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat ja' ndik.  Bagaimana kabarta' di situ?"

"Baek-baekja, Daeng, cuma perasaanku tidak enak," gumanku dengan lemah nyaris tanpa suara.

"Kenapaki', Ndik?"

Kuceritakan tentang Bibi Fat pada Rudi. Kuceritakan tentang kekhawatiranku padanya yang memilih laut untuk menjadi sumber mata pencahariannya. Aku takut apa yang menimpa suami Ibu Fat juga akan menimpa Rudi.

"Lebih baik kita do'akan ka saja, Ndik, janganmi berpikiran macam-macam. Yang namanya maut itu sudah ketentuan sang maha pencipta. Di manapun kita berada, kematian tetap akan datang menjemput. Berdo'a maki saja nah, supaya terkumpul banyak uangku untuk lamarki." Rudi mengakhiri teleponnya. Tidak ada ketakutan dalam suaranya. Memang dari dulu Rudi sudah mencintai laut.

"Mauka' lanjut di sekolah tinggi pelayaran, Ndik." Katanya waktu itu saat dia baru saja tamat di SMU. Sementara aku baru duduk di kelas dua SMU.

"Daeng nda' takut dengan ombak dan gelombang? Bagaimana kalau kapal daeng tenggelam?" tanyaku dengan raut wajah kecewa waktu itu.

"Nenek moyang kita itu orang pelaut, Ndik, masa  cucunya takut sama laut?" jawab Rudi santai. Dia memang mencintai laut.

Sebenarnya aku tidak ingin Rudi menjadi pelaut. Aku tidak ingin menjadi istri yang sering di tinggal suami. Konon aku sering dengar, para pelaut mempunyai wanita di setiap pelabuhan yang dia singgahi. Namun, mana mungkin aku menghalangi cita-cita Rudi yang diimpikannya sejak dari kecil? Aku berusaha menghilangkan ketakutanku bahwa dia akan mempunyai wanita lain. Aku yakin, dia hanya milikku. Sebagai seorang kekasih, aku hanya bisa mensupport dan mendo'akan supaya dia sukses.

***

Pagi itu gempar. Bibi Fat tidak ada, seluruh warga kampung sudah mencarinya di mana-mana, tapi dia tidak ditemukan. Bahkan di tempat dia biasa menghabiskan waktu di pantai juga tidak ada. Keluarga dan anak perempuannya yang sudah beranjak remaja berlari ke sana-kemari mencari Bibi Fat. Namun hasilnya nihil. Ke mana Bibi Fat?

Ada seorang nelayan mengabarkan bahwa perahunya yang dia tambatkan tadi malam di pantai sehabis melaut hilang. Jangan-jangan Bibi Fat yang memakai perahu itu tadi malam.

Warga gempar, tadi malam gelombang laut cukup kuat. Nelayan saja memutuskan untuk tidak melaut. Hujan dan angin, datang bersamaan, menciptakan ombak di tengah samudra.

Ah, Bibi Fat. Apakah kau sudah jemu menunggu kedatangan suamimu hingga kau menyusulnya ke laut. Ataukah suamimu yang menjemputmu hingga kau pergi?.

Sejuta pertanyaan bergelayut dalam benakku. Aku menemukan kesejatian cinta pada diri Bibi Fat. Seorang perempuan yang setia menunggu kedatangan suami selama bertahun-tahun yang tidak tau kapan akan berakhir penantian itu. Dia hanya menunggu dan menunggu. Dan mungkin tadi malam dia telah lelah menunggu, akhirnya menyusul sang suami ke laut lepas. Alangkah besar cintamu Bibi Fat.

Seminggu kemudian, perahu nelayan yang hilang itu di temukan terdampar di tepi pantai desa tetangga, tapi Bibi Fat tidak ada. Mungkin perahu itu pulang untuk mengabarkan bahwa Bibi Fat dan suaminya sudah bertemu. Anak Bibi Fat histeris. Kini dia menjadi Yatim piatu, kedua orang tuanya telah direnggut oleh laut. Ataukah Bibi Fat bersama suaminya sedang berada di dasar laut? Seperti cerita sebagian warga kampung? Entahlah. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kisahnya seakan-akan menjadi teka-teki yang tidak pernah usai.

*** 

Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas dari bandara Baabullah Ternate menuju bandara Hasanuddin Makassar.

Kisah Bibi Fat terus membayangiku. Apakah karena Rudi sang kekasih adalah pelaut? Bukankah kata Rudi bahwa maut adalagi hal yang pasti akan datang menjemput di manapun kita berada?

Aku ingin mempunyai cinta sejati seperti yang dimiliki Bibi Fat, tapi cinta sejati yang dilandasi iman, bukan harus mengejar maut demi mencari cinta yang tak kunjung datang.

Tidore, 5 Mei 2020

Cinta Dua Zaman

Posted By Redaksi on Minggu, 09 Agustus 2020 | Agustus 09, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

"Aku mencintaimu, Uleng. Hanya kau perempuan satu-satunya yang ingin kujadikan pendamping hidupku." Aku  berlutut di hadapan Uleng, wanita yang kucintai.

"Aku juga mencintaimu, Karaeng Maruling. Tapi kasta kita berbeda. Kau adalah 'ana' arung', putra dari menteri kerajaan ini. Sementara aku hanyalah 'ata." Uleng menepis tanganku yang berusaha untuk menggenggam tangannya.

"Aku tidak peduli!" Teriakku.

"Kalau kita nekad untuk menikah, maka malapetaka akan menimpa kita dan keluargaku. Kita akan diusir keluar dari kerajaan ini dengan hina karena menentang adat istiadat. Dan orang tuaku? Bisa saja mereka dibunuh oleh suruhan Raja, Karaeng!"

Aku diam cukup lama, hanya bisa menatap wajah perempuan yang kukasihi itu. Di Negeri ini, statusnya hanya 'ata', kasta yang paling rendah. Orang yang berasal dari kasta ini, adalah orang suruhan atau budak para keluarga Raja dan kalangan bangsawan. Sangat pantang keluarga bangsawan sepertiku menikah dengan perempuan yang berasal dari kasta 'ata'.

"Baiklah, kalau di kehidupan ini kita tidak bersatu. Aku bersumpah, di kehidupan selanjutnya, kita akan bersama dalam satu ikatan suci!"

"Aku juga bersumpah Karaeng, tidak akan menikah selain denganmu!"

Sumpah kami sepertinya didengar oleh semesta. Petir seketika membelah bumi dan menyambar tubuhku dan tubuh Uleng. Gunung Bawakaraeng, tempat yang sering kami jadikan untuk memadu kasih menjadi saksi leburnya tubuh kami bersatu dengan bumi.

***

Makassar, 1 Januari 2020

 

Aku adalah seorang dokter umum di sebuah Rumah Sakit di kota Makassar. Usiaku kini tidak lagi muda. Sudah hampir 30 tahun. Namun belum punya niat untuk menikah. Sudah beberapa perempuan yang Mama perkenalkan padaku, tapi tidak satupun dari mereka yang berhasil mencuri hatiku.

"Itu bukan perempuan idamanku, Mama," ucapku setiap kali Mama bertanya tentang alasan menolak perempuan yang dia bawa ke hadapanku.

Mulai dari dokter, bidan, pegawai Bank, guru sudah Mama jodohkan denganku. Tapi entah kenapa, selalu saja tidak menemukan yang tepat. Belum ada yang bisa membuatku jatuh cinta.

Siang itu, selepas menangani pasien terakhirku,  Aku mengendarai mobil menuju pantai Losari. Kesibukan yang cukup padat akhir-akhir ini membuatku mencari suasana baru untuk refreshing.

"Maaf," ucapku ketika tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang mengenakan jilbab ungu saat tiba di pantai Losari. Sore itu pengunjung sepi, hanya beberapa orang yang sedang menikmati senja. Ada juga pasangan yang asyik memadu kasih.

"Tidak apa-apa." Perempuan itu tersenyum ke arahku. Kemudian dia segera melanjutkan langkahnya ke arah pintu keluar pantai Losari.

"Tunggu!"

Perempuan itu menoleh. "Ada apa?"

"Sepertinya aku mengenalmu. Wajahmu tidak asing bagiku. Kau ...."

"Maaf, aku baru di kota ini. Mungkin perempuan yang anda lihat, hanya mirip denganku," sergah perempuan itu.

"Aku Rendi!" kuulurkan tanganku padanya.

"Namaku Tendry. Maaf! Aku buru-buru, sebentar lagi matahari terbenam." Perempuan yang bernama Tendry langsung berlalu dari hadapanku saat kami selesai berkenalan.

"Sial," umpatku dalam hati. Padahal, ingin rasanya dia kutahan di sini untuk lebih lama lagi.

Kutatap terus kepergian Tendry sampai dia menghilang dari pandangan.

Matahari pun terbenam. Tapi aku masih di sini memandang senja yang perlahan lenyap. Pikiranku masih tertuju pada sosok Tendry. Perempuan itu, kenapa aku seperti sangat mengenalnya? Tapi di mana?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tendry, aku harus bertemu denganmu!" Kutinggalkan pantai Losari seiring dengan adzan Maghrib berkumandang.

***

 

"Rendi!"

Aku menoleh mencari pemilik suara yang memanggil namaku. Di Rumah Sakit ini tidak ada yang langsung menyebut namaku.

Ada kebahagiaan yang membuncah saat tahu pemilik suara itu. Pantaslah dia tidak memanggilku dokter. Wajah itu, sejak pertemuan pertama, senantiasa hadir dalam mimpiku. Dia juga membuatku gelisah, karena tidak tahu harus menemuinya di mana. Dan sepertinya kami ditakdirkan lagi untuk bertemu.

"Tendry? Kau sedang apa di sini?"

"Aku perawat baru di sini. Dan kau sendiri ada keperluan apa? Apa kau pasien di Rumah Sakit ini?

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tendry. Aku memang jarang memakai jas dokter yang berwarna putih itu. Jadi, jika orang pertama kali melihatku, tentu tidak mengetahui kalau aku dokter.

Aku mensejajarkan langkah dengan Tendry  di koridor. Tidak peduli pada tatapan sejumlah perawat yang memandang aneh. Ini pertama kalinya  berjalan berdampingan dengan perempuan sejak bekerja di sini. Pantaslah, mereka merasa heran.

"Aku dokter di Rumah Sakit ini," sahutku pelan.

"Apa? Jadi kamu dokter? Maaf ...."

"Santai saja, tidak usah mata membulat begitu," kilahku memotong kalimat Tendry yang belum selesai.

"Aku ingin mengajakmu makan malam, apakah kau bersedia, Tendry?" Aku sangat berharap dia menerima undanganku.

"Iya dokter, aku bersedia!"

 

***

 

Malam ini, di salah satu restoran ternama di Makassar. Aku memesan tempat yang privat. Ini kencan pertamaku, jadi kubuat seromantis mungkin.

"Apa kau percaya reinkarnasi, Tendry?"

"Maksud dokter Rendi?"

"Dibangkitkan kembali setelah kematian."

"Antara percaya dan tidak percaya sih, dok. Tapi kalau Allah berkehendak, Apa sih yang tidak mungkin. kok, pertanyaannya seperti itu, dok?

"Aku merasa, di kehidupan sebelumnya kita sangat dekat. Kau berulang kali hadir dalam mimpiku." Kubuat suaraku senetral mungkin. Ada perasaan takut, jangan sampai Tendry menertawakan ucapanku yang tidak rasional ini. Tapi ini fakta, dan harus kuberi tahu pada Tendry. Terserah dia percaya atau tidak.

"Aku pun mengalami hal serupa, dok." Lama baru Tendry menjawab.

"Maksudmu?" kutatap Tendry sedemikian rupa.

"Jauh sebelum aku ke Makassar, mimpi aneh sering hadir dalam tidurku. Dan wajah yang muncul di mimpiku, sangat mirip kau, dok." Tendry menghela napas, kemudian mempermainkan jemarinya.

"Seperti apa mimpimu?"

"Aku seperti melihat tempat yang berlatar belakang jaman kerajaan. Dan ada dua sosok manusia yang mengucap sumpah di puncak gunung. Dan wajah itu sangat mirip aku dan kau, dokter."

Aku terperangah mendengar penjelasan Tendry. Mimpi itu sama persis dengan mimpiku. Apa dua orang yang ada dalam mimpi kami, adalah aku dan Tendry pada kehidupan sebelumnya?

Kugemgam kuat tangan Tendry, dia pun membalasnya. Kami saling menatap. Rasa cinta  begitu kuat terpancar dari sorot mata kami. Ini seperti cinta lama yang belum usai. Pertemuan kami bukanlah kebetulan, seperti ada yang mengaturnya. Apapun itu, ini adalah rahasia Sang Pencipta untuk cintaku dan Tendry.

Apakah ini cinta dari masa lalu? Aku tidak tahu. Apakah aku dan Tendry mengalami reinkarnasi? Aku juga tidak tahu. Seperti kata Tendry, tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak.(*)

Tidore, 1 Februari 2020

 

Note:

Ana' arung : Bangsawan 

Karaeng : Gelar untuk bangsawan Makassar

Ata : Budak

Tunggu Aku, Ukhti

 Oleh: Assyifa Barizza

Aku masih terjaga seorang diri di villa ini. Aryan dan Bima sudah terlelap dari sejam yang lalu. Rasa lelah menempuh perjalanan selama lima jam lebih dengan menggunakan motor, membuat keduanya langsung terlelap di bawah buaian desiran angin malam dan suara riak ombak. Ah, aku merasa seperti mendengar suara musik alam. Menenangkan dan bikin jiwa damai.

Dengan gelas kopi di tangan, aku memandang jauh ke pantai. Panorama keindahan alamnya tak berkurang meski malam hari. Perahu nelayan yang bersilewaran, semakin menambah keelokan pantai. Mata seakan enggan berkedip menyaksikan keajaiban alam yang terpapar di depanku. Sungguh Maha Karya Tuhan yang Sempurna.

Pantai Bira yang yang terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan adalah destinasi wisata yang menjadi tujuan kami di liburan semester kali ini. Aryan dan Bima mempunyai hobi diving. Aku sendiri tidak berani untuk menyelam, hanya lebih suka memotret pantai saat senja dan menikmati sunset. Berulangkali Aryan dan Bintang membujuk, aku selalu menolak. Entahlah, aku hanya lebih suka memotret, dari pada menikmati keindahan bawah laut.

"Sekali saja kau mencoba, kau akan ketagihan, Brow," ucap Bintang tempo hari saat berada di Tebing Apparalang, pantai yang tidak jauh letaknya dari tempat kami berada sekarang. Siapa yang tidak mengenal Bulukumba? Tempat wisata dengan pantainya yang terkenal sampai ke manca negara. Pantai Bira yang tidak pernah sepi pengunjung karena pasirnya yang putih, lautnya yang biru dan jernih, serta pemandangan alamnya yang eksotis membuat orang tidak bosan untuk berkunjung. Sekali kita berkunjung ke tempat ini, maka selalu rindu untuk kembali. Begitu pula denganku, selalu rindu untuk datang. Pantai ini, seakan memanggilku untuk ke sini lagi.

"Aku alergi air laut, Brow. Kulitku akan pedih saat bersentuhan dengan air asin," begitu selalu alasanku untuk mengelak dari ajakan mereka yang doyan menikmati pemandangan bawah laut.

Malam yang bertaburan bintang, menciptakan rasa berani untuk melangkahkan kaki di tepi pantai. Terlalu sayang melewatkan malam di tempat ini hanya dengan tidur. Aku pun semakin jauh meninggalkan villa. Berjalan ke tepi pantai, ingin menyaksikan pemandangan laut lebih dekat lagi. Malam adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama dengan pantai.

Dari kejauhan, aku mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an. Suaranya sungguh merdu, membuat merinding tubuh ini. Ada kedamaian saat mendengarnya. Perempuan siapa yang membaca kitab suci di jam seperti ini? Rasa penasaran semakin menderaku.

Aku mencoba mencari darimana suara itu berasal. Di gazebo, yang letaknya tidak jauh dari pantai, seorang perempuan dengan menggunakan hijab syar'i yang panjangnya sampai ke pinggang terlena dengan bacaan Al-Qur'an. Sesekali aku mendengar isakan tangis keluar dari mulutnya.

"Masya Allah, indah sekali suaramu, Ukti." Aku berjalan ke arahnya saat dia mengakhiri bacaan Al-Qur'annya.

Ekspresinya sangat kaget melihat kedatanganku. Buru-buru dia berdiri dari tempatnya duduk. Memperbaiki letak hijabnya.

"Aku bukan orang jahat, aku ke sini hanya untuk mengagumi mahakarya sang pencipta," lanjutku untuk menghilangkan prasangka buruk di pikirannya tentangku.

"Maaf Akhi, kalau suaraku mengganggumu. Aku hanya ingin bertafakur untuk merenungi diri dari segala dosa dan kekhilafan," ucap perempuan itu dengan suara pelan sambil menundukkan wajahnya.

Rasa kagum pun tidak bisa kuhindari. Perempuan seperti ini sangat langka. Di saat orang lain terlelap dalam mimpi, dia terbangun untuk mengingat sang pencipta. Aku merasa malu di hadapan perempuan ini. Bagaimana tidak? Salat saja, aku sering lalai. Bahkan lupa, kapan terakhir membaca ayat suci Al-Qur'an. Aku lebih sibuk dengan urusan duniawi.

"Maaf Akhi, aku harus segera pulang ke villa tempatku nginap. Lagipula, tidak baik seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan di tempat sepi seperti ini. Nanti menimbulkan fitnah. Assalamu Alaikum!" Perempuan itu segera berlalu dan tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

Perempuan ini betul-betul sangat menjaga fitrahnya sebagai muslimah. Dia sangat berbeda dari perempuan yang sering aku temui. Di kampus, tidak sedikit perempuan yang berusaha mendapatkan perhatianku. Dianugerahi wajah cukup tampan dan menjabat sebagai ketua BEM, tentulah aku menjadi idola cewek. Namun, sampai saat ini, belum ada yang memikat hati. Belum menemukan perempuan idaman hati.

"Waalaikum salam," jawabku sambil memandangi kepergian perempuan itu. Tanpa dia sadari, ekor mataku mengikuti ke mana dia pergi. Ternyata, Villanya tidak jauh dari tempatku nginap. Apakah dia mahasiswa juga, sama sepertiku? Kenapa ada debaran indah tanpa sengaja mampir padaku saat ini?

Ingin rasanya aku menahannya untuk sekedar bertanya siapa namanya, tapi aku sadar, ini bukan cara yang tepat untuk bisa berkenalan dengannya. Baru pertama kalinya, aku tidak berani lancang untuk berkenalan dengan seorang perempuan.

Dia bukan perempuan biasa, tapi perempuan istimewa. Itu kesan pertama yang bisa kutangkap. Cantik dan salehah, itu sebutan yang paling cocok untuknya.

***

Keesokan hari, saat memasuki toko kerajinan tangan khas Bira, netraku menangkap sosok perempuan yang aku temui tadi malam di tepi pantai.

Aku membatalkan dulu belanja oleh-oleh, cendera mata itu masih bisa menunggu. Segera kudatangi tempat perempuan itu. Dia tidak sendiri, tapi bersama beberapa teman perempuannya yang semuanya menggunakan hijab syar'i.

Ah, sungguh mulia hati perempuan ini. Lihatlah, dia begitu peduli pada sesama. Tanpa mempedulikan terik matahari, dia terus berjalan mendatangi pengunjung pantai ini untuk meminta sumbangan. Bibirnya yang mungil selalu tersenyum kepada orang yang dia ajak untuk berbagi, meski ada juga yang menolak. Langkahku semakin mendekat ke arahnya, rasa penasaran tidak bisa kucegah untuk melihatnya dari jarak yang cukup dekat.

[Donasi untuk adik Taufik, korban kebakaran]. Kalimat itu yang sempat kubaca pada karton bekas yang di bawa perempuan itu.

Taufik, bocah berusia lima tahun korban kebakaran yang disebabkan oleh ledakan tabung gas. Saat ini belum ditangani pihak Rumah Sakit karena ketiadaan biaya. Berita ini menjadi viral dua hari ini di sosial media.

Ah, sekali lagi aku merasa tertampar. Perempuan itu, sekali lagi semakin membuatku kagum. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan sangat takut pada Tuhannya. Sementara aku, hanya sibuk memikirkan liburan. Tapi dia, liburan sambil menggalang dana. Sungguh ide yang kreatif. Lain kali, aku juga akan mengikuti idenya.

Rasa ingin mengenalnya semakin menggebu, tapi untuk berkenalan dengannya, tentunya aku harus memantaskan diri terlebih dahulu.

Wahai perempuan berhijab, tunggu aku. Aku akan datang padamu dengan cara yang halal.

Tidore, 20 Januari 2020

Dendam di Rumah Panggung

Posted By Redaksi on Sabtu, 08 Agustus 2020 | Agustus 08, 2020

                                             Oleh: Assyifa Barizza 

Dari kejauhan, aku menatap rumah panggung yang bergaya tradisional khas Makassar. Tidak ada yang berubah, tetap sama dengan puluhan tahun yang lalu. Hanya saja, rumah itu tampak rapuh dimakan usia. Halamannya pun tampak tidak terawat, bunga tidak tertata rapi. Pagarnya juga sudah banyak yang ambruk.

Di rumah itu, masa kecilku kuhabiskan. Masih teringat jelas, tiap pagi Ibu siapkan bubur Bassang untuk sarapan. Ayah yang selalu mendudukkanku di pangkuannya tatkala menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Ibu di sore hari. Ah, masa kecil itu seakan menari di pelupuk mata. Bagaimana aku menunggu Ayah di serambi rumah jika dia pergi berkebun. Berharap, saat pulang dia membawa buah-buahan untukku. Ibu yang selalu menjewer telingaku saat lupa pulang ke rumah jika bermain di rumah tetangga. Rumah itu, menyimpan banyak kenangan.

Tapi kebahagiaan itu sirna, saat saudara jauh Ibu yang bernama Marni datang ke rumah. Dia datang dengan mengiba, menangis di pangkuan Ibu menceritakan tentang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan remaja dan menceraikannya. Dan Ibu yang berhati malaikat, tanpa prasangka buruk membawa Marni masuk ke dalam rumah dan memberinya tumpangan.

Rupanya, di situlah awal mala petaka itu. Aku yang masih kecil, hanya menganggap biasa saja ketika Ayah masuk ke kamar Marni saat Ibu berkeliling kampung menawarkan dagangannya. Ibu saat itu tukang kredit peralatan dapur. Bahkan, saat Ibu ke kota belanja pesanan pelanggan, Marni berani masuk ke kamarnya. Teriakan kecil dan desahan dari mulut Marni yang terdengar sampai ke kamarku, kadang menimbulkan tanya dalam hati, apakah Marni dipukuli Ayah? Tapi saat keluar kamar, tidak ada luka di tubuh Marni.

***

Tubuh tua itu memelukku dengan erat saat kuberi tahu siapa diriku. Dia mengusap rambut panjangku dan mengelus pipiku.

"Setelah puluhan tahun, akhirnya kau pulang, Nak!" Ujarnya dengan mata yang memancarkan penuh kerinduan. "Kau sangat cantik."

Aku tersenyum, memandangi wajahnya yang sudah berkeriput itu, rambutnya sudah memutih semua. Laki-laki ini adalah saudara tertua Ibuku.

"Bagaimana kabar Ibumu, Tenry?"

"Baik-baik saja, Puang. Dia juga kembali ke sini." jawabku lirih. "Aku pulang untuk merebut hak Ibuku, Puang."

Laki-laki yang kupanggil Puang memandangku sejenak. "Maksudmu?"

"Rumah panggung itu, Puang. Rumah yang ditempati oleh laki-laki biadab itu beserta istri dan anaknya adalah hasil jerih payah Ibuku. Aku tidak ikhlas, jika rumah itu jatuh ke tangan anak dari perempuan pelacur itu." Ada rasa jijik jika mengingat wajah perempuan itu.

Puang terdiam, tangannya sibuk menggulung rokok tembakau.

"Tapi, itu sulit Tenry. Kudengar kabar, Ayahmu telah memberikan rumah itu kepada Herman, anak hasil pernikahannya dengan Marni."

Darahku mendidih mendengar ucapan Puang. Laki-laki itu sangat keterlaluan, bagaimana mungkin rumah yang dibangun dari hasil keringat Ibu sebagai tukang kredit diberikan kepada anak pelacur itu? Demdam semakin merajai hati.

"Aku butuh bantuanmu, Puang!"

Puang menghisap rokoknya kuat-kuat dan memandangku tajam. "Bagaimana caranya?"

Aku mendekat ke arah Puang dan berbisik di telinganya. Wajahnya seketika cerah mendengar kalimat yang kubisikkan padanya.

Rumah itu bagaimana pun caranya, harus kurebut.

Dulu, rumah itu menjadi saksi saat Ibu diusir keluar oleh Ayah. Kala itu, dini hari, Ibu kaget tidak melihat ayah tidur di sampingnya. Ibu pun terbangun dan keluar kamar, alangkah terperanjatnya Ibu ketika mendengar suara Ayah dan tawa manja Marni terdengar dari arah kamar Marni.

Ibu sangat marah dan mengusir Marni malam itu juga. Tapi, Ayah justru membela Marni dan akan menikahinya, karena dia telah hamil dua bulan. Ibu tidak terima, dia memberi pilihan pada Ayah. Pilih dia atau Marni. Ibu meraung, saat ayah memilih Marni dan mengusir Ibu untuk keluar dari rumah malam itu.

Saat itu juga, dengan air mata yang terus menetes tanpa henti, Ibu mengemasi pakaiannya dan pakaianku ke dalam koper. Aku yang sudah terbangun dari tadi mendengar pertengkaran mereka, hanya menurut ketika Ibu memelukku dan menggandeng tanganku  keluar dari rumah.

"Kita mau ke mana, Bu?"

"Akan pergi ke tempat yang jauh, Nak."

Ibu memegang tanganku menyusuri jalan yang masih gelap. Ketika azan subuh berkumandang, aku dan Ibu beristirahat sejenak di Masjid sekaligus menunaikan salat Subuh.

Hari itu, aku dan Ibu melakukan perjalanan panjang selama lima jam melalui jalur darat. Kemudian melanjutkan perjalanan naik kapal yang sangat besar, belakangan baru kutahu, kalau itu namanya kapal Pelni. Kami melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam baru sampai di tujuan. Kalimantan, ke situlah Ibu membawaku.

***

Dengan langkah anggun, kulangkahkan kakiku ke rumah panggung itu. Tiga orang menyambutku di sana, laki-laki tua yang masih sangat kuhapal raut mukanya. Seorang perempuan tua yang sangat kubenci sampai detik ini, juga ada laki-laki muda yang usianya sekitar 23 tahun.

Tanpa menunggu dipersilahkan, kujatuhkan pantatku di sofa. Pandanganku kuarahkan ke sekeliling ruang tamu itu, tidak ada yang istimewa. Hanya beberapa bingkai foto yang mengabadikan kebersamaan keluarga mereka.

"Aku kembali ke sini, untuk merebut milik Ibuku," tanpa basa-basi terlebih dahulu, aku langsung ke pokok permasalahan.

"Kau siapa?" Perempuan yang tiada lain adalah Marni itu menatap lekat wajahku. Sedang dua orang laki-laki di sampingnya hanya diam, menatapku bingun.

Aku tertawa kecil. "Apakah kau lupa padaku, perempuan pelacur? Aku Tenry, anak dari Maryani. Perempuan yang memberimu tempat tinggal, malah kau rebut suaminya.

"Tenry, kau … anakku?"

Laki-laki tua itu menghampiri dan ingin memelukku. Namun aku menghindar. Tidak sudi rasanya tubuhku dipeluk oleh lelaki tua yang dulu kupanggil Ayah. Dia tetap Ayahku, hanya saja aku belum bisa memaafkan apa yang pernah dia lakukan pada Ibu.

"Sekali lagi kukatakan, aku datang ke sini untuk mengambil hak Ibuku. Rumah ini adalah hasil keringatnya. Kalian harus keluar dari sini," ucapku datar tanpa ekspresi.

"Tidak bisa, rumah ini sudah diserahkan Ayahmu pada Herman, anakku."

"Dasar perempuan pelacur! Kau tidak saja merebut suami Ibuku, tapi juga ingin menguasai rumah ini."

"Sekali lagi kau menghina Ibuku, aku tidak segan untuk menghancurkan mulutmu itu." Laki-laki yang bernama Herman itu bersuara juga.

Kualihkan pandanganku ke arahnya sambil tersenyum menghina.  "Jadi, kau anak yang terlahir dari hasil zina mereka?"

"Dia adikmu, Tenry." Laki-laki tua itu menyelaku.

"Tidak, seumur hidupku tidak akan kuakui dia sebagai saudaraku. Apalagi dia lahir dari rahim perempuan pelacur ini." Kuarahkan jari telunjukku pada Marni.

Mirna diam, begitupun laki-laki tua yang dulu kupanggil Ayah. Herman mukanya sudah merah padam, tapi sudah tidak berani mengeluarkan suara lagi. Anak itu tidak punya salah, tapi kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan orang tuanya.

"Ingat, rumah ini akan kuambil alih. Camkan itu!"

Aku meninggalkan rumah itu dengan tatapan angkuh, suara Marni masih sempat terdengar di telingaku.

"Rumah ini sertifikatnya atas nama Ayahmu, jadi jangan pernah bermimpi untuk merebutnya."

***

Sore ini, gerimis jatuh membasahi bumi. Dari balik kaca mobil, aku menyaksikan Ayah, Marni dan Herman keluar dari rumah panggung itu dengan menenteng koper. Dejavu, aku seperti melihat kejadian beberapa tahun silam yang terjadi padaku dan Ibu. Senyum bahagia tersungging dari bibirku dan juga Ibu yang duduk bersamaku dalam mobil.

Puang, yang kumintai bantuan dengan iming-iming 50 juta rupiah berhasil mendapatkan tanda tangan Ayah untuk pengalihan sertifikat nama rumah atas nama Ibuku.

Saat Ayah seorang diri di rumah, Puang mendatanginya. Memaksanya untuk menandatangani berkas yang sudah kusiapkan terlebih dahulu. Awalnya Ayah menolak, tapi saat Puang mengeluarkan golok tajam dan menodongkan ke lehernya, dia pun membubuhkan tandatangan di berkas itu.

"Silahkan angkat kaki di rumah ini, Ayah sudah menyerahkan rumah ini pada Ibuku." Siang tadi, aku datang ke rumah panggung itu dan memperlihatkan berkas pengalihan rumah yang telah ditandatangani oleh Ayah.

"Bagaimana mungkin?" teriak Marni histeris. Ayah hanya diam, begitupun Herman. " Terus, kami akan tinggal di mana? Jangan usir kami dari sini.

Apa peduliku dengan mereka? Apa yang dilakukan mereka dulu pada Ibu lebih kejam, sebuah pengkhianatan. Bukan itu saja, mengusir Ibu untuk keluar dari rumah panggung itu tanpa belas kasih. Saat itu, Ibu tidak berdaya untuk melawan. Karena rumah tersebut, sertifikatnya atas nama Ayah.

Rumah panggung itu, sebenarnya kami tidak membutuhkannya. Hanya saja ingin membalas perlakuan mereka puluhan tahun yang lalu dengan melakukan hal yang sama, pengusiran. Di Kalimantan kami sudah sukses. Ibu dengan kepiawaiannya berdagang telah berhasil membeli berhektar-hektar kebun sawit dan toko elektronik pun telah kami miliki di sana. Kami hanya pulang untuk membalaskan sakit hati.

***

Dengan memegang kunci rumah di tangan yang berhasil kudapatkan dari Ayah, kusaksikan kobaran api yang melahap rumah itu. Tidak ada yang tersisa, semuanya menjadi abu.

Rumah panggung itu, Ibu tidak sudi lagi menginjakkan kakinya di sana. Kenangan pahit tidak bisa dia lupakan. Perbuatan Ayah dan Marni masih sangat membekas dalam ingatannya.

Hanya dengan merubah rumah itu menjadi abu, satu-satunya cara untuk membantu Ibu terlepas dari bayang masa lalu.

Tidore, 11 Februari 2020

Note:  Puang merupakan panggilan hormat suku Bugis untuk orang yang lebih tua, dituakan. Jaman dulu, sebutan Puang adalah sebutan yang hanya digunakan oleh bangsawan.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday