Latest Post

Seni yang Komplit dari Motinggo Busye

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 06 Juli 2009 | Juli 06, 2009


Ia adalah novelis, dramawan, sutradara film, penyair, pelukis bahkan pecandu musik dan banyak cabang seni lainnya. Itu yang menjadikannya sebagai salah seorang seniman paling komplit yang pernah dimiliki Indonesia. Motinggo Busye lahir di Kupangkota, Lampung, pada tanggal 21 November 1937. Ia telah menulis lebih dari 200 buku. 

Menamatkan SMA di Bukittinggi, kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tapi tidak tamat. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Pada paruh pertama tahun 1970-an Motinggo menyutradarai beberapa film.
Lebih 200 karyanya pernah menghipnotis dunia di antaranya Malam Jahanam (novel, 1962), Badai Sampai Sore (drama, 1962), Tidak Menyerah (novel, 1963), Hari Ini Tak Ada Cinta (novel, 1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963), Dosa Kita Semua (novel, 1963), Dia Musuh Keluarga (novel, 1968), Sanu, Infita Kembar (novel, 1985), Madu Prahara (novel, 1985), dan Aura Para Aulia: Puisi-Puisi Islami (1990).
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang. 

Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Seniman besar ini tutup usia pada tanggal 18 Juni 1999 di Jakarta. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962.

Menelisik karya-karya Motinggo seolah kita menyelam di dasar laut. Yang tampak mungkin hanya karang dan ikan-ikan yang sehari-hari terdapat juga di darat. Tapi keasyikan menikmati karya-karyanya itulah yang sering membuat kita lupa bahwa sedang berada di dasar laut yang dalam. Seni harus membuat penikmatnya menjadi asyik sambil belajar. Mungkin itu filosofinya. Dan Motinggo melakukannya di ranah seni hingga ajal menghentikannya berkarya pada usia 61 tahun. Penulis sangat beruntung bisa menemukan sebuah puisi terakhir yang ditulisnya sebelum wafat pada 1999.


Merasuk Malam

Saatnya tiba untuk berbisik perlahan
pada Tuhan
aku sudah siap tapi ingin
tahu
bilakah saat diriku
Kau ambil
Agar kurasakan nikmat maut
menjemput
dalam terang tanpa berkabut
dan inilah kata ketika
aku merasuk dalam malam
sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua
tapi sungguh tak ada takutku pada
maut
hari-hari ini tiba untuk berbisik
perlahan
membujuk Engkau untuk
memberitahuku
soal yang penting itu
aku ingin mengalaminya sendiri
dan menikmati mati
sehingga menjadi indah
tanpa cadar
dan ketika itu tiada pemberontakan
kecuali suka
sama suka

1999

Puisi terakhirnya sebagaimana film, drama, lukisan, novel dan apapun yang ditinggalkannya menjadi pusara-pusara yang patut untuk selalu dikunjungi. Karya-karyanya masih terlalu tangguh untuk dijajal sehingga Motinggo Busye telah disejajarkan dengan seniman-seniman dunia lainnya. 

Penulis justru khawatir sebab pernah ada kejadian memalukan. Pernah seorang anak sekolah di Prancis bertanya tentang novel-novel Motinggo Busye kepada seorang mahasiswa Indonesia. Sang mahasiswa garuk-garuk kepala lantaran nama Motinggo Busye saja baru kali itu dia dengar.






Instalasi Kata Bernama Afrizal Malna

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 05 Juli 2009 | Juli 05, 2009

Pertama kali penulis membacakan tiga potong puisi Afrizal Malna di radio pada 2005 silam dan sejak itu ada kesadaran bahwa penyair ini memang tak lazim. Afrizal Malna memang memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata bahkan lukisan abstrak yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal.

Struktur bangunan puisinya cenderung fragmentaris dan absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sepertinya bagi penyair nyentrik ini bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa adalah sebuah ciptaan yang harus dijajah bukannya menjajah. Tapi tentu tidak semua orang punya kemampuan seperti Afrizal. 

Bagi Afrizal puisi telah berada dalam tingkatan di mana terdapat ruang yang sesungguhnya dalam kata. Benda-benda sekitar membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban. Afrizal Malna tidak mengandalkan misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban.

Afrizal Malna seorang penyair antik kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Pernah menimba filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tapi tidak selesai. Buku-bukunya yang pernah terbitdi antaranya Abad Yang Berlari (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990); Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Kalung Dari TemanSesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusian (2004), Lubang dari separuh langit (2005). Gara-gara puisinya Afrizal pernah mengembara hingga di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag, 1995, dalam forum penyair Indonesia-Belanda. Mengikuti Poetry International Rotterdam, 1996. November 1997 mengikuti pertemuan Sastra Asia Pasifik di Kuala Lumpur. Sempat ikut dalam kegiatan Urban Poor Consortium (UPC). April 2002 mengikuti Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung. 

Afrizal juga berkali-kali diganjar sederet penghargaan di antaranya dari Radio Nederland, majalah sastra Horison dan lain-lain. Afrizal adalah satu-satunya penyair yang kemungkinan besar tidak pernah berniat menjadikan puisinya menjadi cantik tapi jusrtu itulah kesalahannya yang terbesar. Sebaliknya, siapapun pasti bisa menikmati sajaknya. Coba saja kita kunyah salah satu sajaknya:


BERI AKU KEKUASAAN

Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu, dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk berkuasa.

Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.

Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini, dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.

Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu, jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang mengusung tubuhmu , pada setiap kata…………
1991

Penyair yang lebih suka berkepala plontos ini terakhir kali ke Sulawesi Selatan pada Mei lalu dalam acara Sastra Kepulauan 2009 di Kabupaten Barru. Seorang teman yang beruntung bernama Musa Manurung sempat menjadi muridnya. Afrizal Malna, penyair paling antik di Indonesia, liar dan dia bertumbuh dari instalasi kata yang misterius. Sebuah khazanah unik yang telah ikut memperkaya dunia perpuisian kita.


Hamid Jabar, Pengembara Metaforik Spiritual

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 Juli 2009 | Juli 04, 2009


Di tanah air banyak bertebaran sajak-sajak religius. Namun tidak banyak penyair di tanah air seperti Hamid Jabar yang sebelum menulis sajak harus bersedia berlelah-lelah dahulu mengarungi perenungan spiritual yang sebenarnya. Budayawan dan penyair nasional Hamid Jabar meninggal dunia ketika sedang membaca puisi dalam acara dies natalis Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2004. 

Diduga kuat ia meninggal karena serangan jantung. Hamid Jabbar penyair kelahiran Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat 27 Juli 1949 itu seorang tokoh sastrawan Angkatan 1970-an yang membangun kepanyairan spritual. Sejak remaja mulai 1972 menulis puisi di berbagai media, dan hingga wafatnya sudah berjumlah ratusan. Diantara buku-buku antologi puisinya yang fenomenal seperti Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975), dan Wajah Kita (1981).

Jika Amir Hamzah berjubah Pujangga Baru dengan bau kesusastraan Melayu. Lalu datang anak muda bernama Chairil Anwar sebagai pendobrak menuju puisi moderen, WS Rendra yang memaki realitas kritik sosial dengan puisi-puisi pamfletnya, Afrizal Malna yang mengusung konsep posmo, maka Hamid Jabbar datang dengan sajak liris yang musikal dengan ciri pengembaraan spritual.

Mungkin lebih tepat menyebutnya sebagai penyair profetik-sufistik jika menyimak beberapa contoh sajaknya berikut ini:



Beri Aku Satu Yang Tetap dalam Hidupku
Baik, aku akan mengembara menuju cahaya menguak angin

Baik, beri aku satu saja dari 73.000 kemungkinan ini
Baik, aku akan mengembara menghadang badai nerjuni api
Baik, beri aku Satu saja yangTetap dalam diriku:Iman
buat betah seabad buat Kiblat segala Niat: Islam
beri aku Satu yang Tetap dalam diriku: Allah

Padang 1975




Sebelum Maut itu Datang
sebelum maut itu datang yaAllah

kunantinanti hujan berkah-Mu
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
yaAllah yaAkbar
sebelum maut itu datang yaAllah
labuhkanlah badai imanku

Bandung, 1972/1973)


Dan

Dan pasir

sirna dalam laut
Dan laut
utuh dalam zikir

Dan zikir
kirim dalam berpaut
Pautan kalimah
LailahhaillAllah!

Padang - Jakarta,1998


Setitik Nur
di dalam waktu dan malam yang mengalirkan gairahnya

lahirlah aku setitik nur pijaranMu dan beranak-pinak
dari tanda tanya dan bagai kupu-kupu aku terbang dari
taman ke taman
hinggap di rimbunan daun kehidupan merendamkan muka
melepaskan dahaga mereguk embun yang turun bersama
cahaya bulan masuk ke dalam sejuta kembang kembara
atas putik harap dan bagai lautan merpati melayangkan
segala gelombang
dalam hempasan awan putih memagut layang-layang
mencariMu
akan jawab pasti pada pulau-pulau yang meratap dan
merayap di lubuk hati
bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak
dari kuasaMu selalu sampai-sampai jua aku
pada batas itu batas tetap seperti semula

Bandung-Padang, 1973


Hamid Jabar adalah pengembara metaforik spiritual yang tidak muncul begitu saja. Kultur religius dalam lingkungannya mungkin telah membentuknya menjadi seperti itu. Menjadi yang seharusnya. Sayang sekali, Hamid Jabar telah tiada. Tapi karya-karyanya masih dicari orang-orang di mana-mana.



Andhika Mappasomba, Penghibur Sastra Keliling Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 03 Juli 2009 | Juli 03, 2009

Jika ada penyair yang kadang menjuluki dirinya sendiri sebagai penyair rombeng atau penghibur sastra keliling kampung maka inilah orangnya. Andhika Mappasomba, lebih sering disapa dengan nama Dhika. Lelaki berambut gondrong kelahiran Bulukumba 1980. Bekas bangku dalam kelas tempatnya duduk semasa SMP di Tanah Beru Bulukumba menjadi saksi awal perjalanan kepenyairan dari alumnus Universitas Islam Negeri di Makassar ini.

Dhika sering ditemani oleh sebuah vespa butut yang diberi nama Aladin. Aktif dalam berbagai organisasi terutama organisasi yang mengepalkan tinju demi seni dan budaya. Yang penulis bisa lacak adalah bahwa dia tergabung dalam masyarakat Pencinta Seni Pertunjukan (Mata Sejuk) Indonesia dan sebagai direktur poros Tiga Institute Cultural Studies (p3i-CS Makassar). Pendengar RCA khususnya penggemar acara sastra Ekspresi selalu disiraminya dengan puisi. Dia satu-satunya penyair yang paling rajin membacakan sendiri puisi-puisinya di radio setiap ada kesempatan menjadi bintang tamu di RCA.

Bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003). Sebuah buku kumpulan cerpen milik Anis dan kumpulan puisi milik Andhika. Buku selanjutnya Mawar dan Penjara yang keseluruhan isinya adalah sajak-sajaknya yang nyaris terbuang dan semoga saja memang tak akan pernah terbuang jika jadi terbit dalam tahun ini juga.

Andhika juga seorang blogger. Puisi-puisinya yang khas diletakkannya satu persatu di blog kelong pajaga tempat Dhika biasanya pulang beristirahat setelah lelah seharian menjelajahi alam, mengolah rasa, berdiskusi dengan manusia lainnya di alam terbuka ataupun ruang tertutup. Karakter khas puisi Andhika terletak pada kebiasaan-kebiasaan pengulangan metafora tapi dengan makna berbeda pada setiap puisi. Puisinya suka memotret perjalanan sekecil apapun.


Bulukumba, Kota Sejuta Penyair

aku lahir di sini dari rahim ibu yang menua pada waktu tanah merah hitam yang menggumpal bekukan batang jagung dan batang padidan asin airnya mengalir dalam darahku bersama nyayian nyiur yang melambai-lambai pada garis pantainya memanggil-manggil, menggema, memanjat batang kelor dalam sajak rindurindu pada negeri ibu, negeri sejuta nahkoda negeri sejuta panrita negeri sejuta nahkoda bulukumba

walau
aku bertualang melangkah mendaki ke dalam belantara kehidupan
terbang ke langit ke lima menyusup ke dalam batas bumi
bertemu jawara-jawara yang menikam sukma
aku tak melupakan kokoh tiang pinisi menantang ombak sembilan samudera
aku tak melupakanmu negeriku, negeri sejuta nahkoda dan panrita,
negeri sejuta dongeng, negeri sejuta pau-pau, negeri sejuta budaya
kota sejuta penyair
bulukumba

walau
aku bertuaalang masuk ke dalam hidup menemui pengantinku di negeri jauh
lalu bercinta di batas lelah lunglai di puncak sepi
rindu tak pernah usai menyanyi dalam qalbu
memanggil-manggil pulang
memanggil-manggil pulang
melewati pematang sawah
menyusuri sungai, tepian pantai, lereng bukit
merenangi laut flores dan teluk bone
melintasi lompo battang
datang padamu bulukumba; meneguk airmu, mengupas jagungmu, menumbuk padimu,
memetik daun kelormu, mencubit daging tuing-tuing, loka-loka, lure, lajang,
yang kukulum bersama sayur kelor dan nasi kampo'do'

uh
najis rasanya pizza ayam goreng amerika
muntah rasanya makan sozzis dan conello cina
muntah rasanya minum minuman karbonat jepang
muntah rasanya makan gorengan dari minyak goreng malaysia

biarlah di kota sejuta penyair
kunikmati dendeng capi, poca'-poca', sanggara bambang, sarabba, lopisi, dumpi eja, kampalo, gogoso, baruasa, taripang, uhu'-uhu', cucuru dari minyak rakang

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota sejuta penyair

di sana kalian punya patung liberty
kami punya patung pinisi
di sana kalian punya pantai hawai dan bombai
kami punya pantai bira, dajo, lemo-lemo, batu tallasa, samboang, turungang beru, kajang kassi, kasuso, pantai ara, pantai merpati, dan leppe'
di sana kalian punya monte karlo
kami punya tebing lahongka
di sana kalin punya zamba, acapela, capuera
kami punya kelongpajaga, gandrang jong, dan mancak baruga
di sana kalian punya indian, aborigin, dan apache
kami punya kajang tana toa

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota pelabuhan rindu, negeri ibu
KOTA SEJUTA PENYAIR
BULUKUMBA

Bulukumba, 19 Juli 2008


26 Februari 2008
hujan baru saja tuntas membasuh kotamu
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu

kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu

malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini

malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian

malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis

Mks-Palopo, 25 Januari 2008



Bersama seribuan lebih penyair se-Kabupaten Bulukumba, Andhika mendeklarasikan Bulukumba Kota Penyair pada Maret 2009. Hingga postingan ini dibuat tinggal satu hal yang belum dideklarasikan oleh Dhika yakni menikah.



Ahyar Anwar, Yang Terjaga di Larut Malam Untuk Selalu Membangunkan Cinta

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 02 Juli 2009 | Juli 02, 2009


Ahyar Anwar namanya. Alumnus UGM Jogjakarta yang lahir 14 Februari 1970 di Makassar ini selalu terjaga untuk membangunkan cinta melalui buku-bukunya yang telah terbit diantaranya Menidurkan Cinta (2007), Kisah Tak Berwajah (2009). Di satu sisi acapkali karya-karya budayawan muda ini dikunyah sebagai tulisan-tulisan tentang filsafat. Di sisi sebelahnya lagi lebih sering dikunyah sebagai karya sastra. Tentang buku-bukunya yang lain, penulis masih berusaha untuk melacaknya di toko-toko buku.

Ahyar Anwar yang juga sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Makassar, pernah menyodorkan sepenggal pemikiran dari salah satu artikelnya:"...sastra juga adalah sebuah kekuatan yang harus memiliki daya gedor ideologis dan daya dobrak rasional. Apa yang dapat dirubah sastra yang hanya ‘bernyanyi’?. Jika anda berpuisi atau bernarasi didepan pintu rumah seseorang, apa yang dapat memaksa orang itu membuka pintu rumahnya untuk anda? Tentu saja, pintu rumah itu akan terbuka, jika dalam narasi atau puisi itu ada yang mendesak logika orang itu!"
Rasionalitas seorang Ahyar Anwar berpuitika. Alur logikanya yang bersungut-sungut dengan lembut wajar dikagumi sebagaimana alun prosaisnya yang mengalir jernih. Sastra memang telah seharusnya mampu mendobrak apa-apa yang telah ada. Tidak sekedar bertujuan sampai ke muara di mana sastra dinikmati di sana dengan sukacita. Sebelum sampai, seyogyanya sastra memang telah menghantam logika di tengah perjalanan. Dan memang Ahyar telah beberapa kali melakukan itu dan tidak mengeluh. Sebaliknya tetap melenguh dan menjitak dengan cantik. Caranya? Simak saja salah satu dari sekian anak sungai kata dari kepalanya berikut ini.

Hujan, Secarut Cinta dan Sehelai Kenangan
:untuk Na

“Hujan adalah tarian dan nyanyian musim yang tak pernah mungkir membawa kenangan mengalir menjadi luka”
Hujan kadang datang dengan pesan-pesan yang lebih dulu sampai, kadang hujan datang dengan amarah angin, kadang juga hujan datang dengan begitu tergesa-gesa. Apapun itu hujan selalu meninggalkan kenangan yang basah tentang pertemuan dan mungkin juga keresahan yang indah. Hujan selalu mampu menjadikan rindu semakin biru, menjadikan kesedihan semakin menelaga, menjadikan kesepian semakin tajam merintih. Hujan adalah almari kisah yang selalu setia menyimpan rindu, kesedihan,
dan kesepian itu. Selembar kelam dihujung sebuah malam suatu ketika kala hujan menderai dengan irama yang putus-putus, sebuah tunas pohon cinta tumbuh dalam siluet jingga dan violet, tepat diatas pusara-pusara kenangan yang basah dan penuh lumut. Seorang kekasih pernah menuliskan sebuah pesan yang lamur pada pusara kenangan-kenangan itu, “Jingga dan violet adalah warna abadi yang menaungi rindu dan kesetiaan”. Begitulah, hujan kadang lebih perih mengalirkan kenangan dari cinta-cinta yang tak tuntas. Bahkan kadang, malam dan kabut menghiasi hujan dengan kisah-kisah yang tertahan. Bila, kenangan itu adalah kisah yang berduri dari sejarah yang curam, maka hujan akan menjelma menjadi kabut-kabut yang menudungi hati dengan kesenyapan dan kehampaan yang tak terperikan. Pada sebuah senja yang randu, Diberanda sebuah rumah kayu yang penuh cahaya temaram, Ada kekasih sedang mengurai kenangan dari cinta yang tertanam pada langit-langit yang merah jingga berdarah. Ia membiarkan bias bulan yang pucat melukiskan sketsa gelisah di wajahnya. Hujan tiba dengan helai-helai dedaunan yang penuh rajah-rajah dendam, membasahi wajahnya. Ia membasuh kemarau yang tersisa dari kelopak matanya yang tak berdaya. Juga bibirnya yang terkatup pekat oleh janji yang ia telan dari musim-musim yang telah lalu. Kesunyian berbisik disela-sela nada rintik yang ringkih. Ditanah yang basah, Ia mulai menggenang segala kenangan-kenangan dari perjalanan yang tak sampai. Narasi-narasi hatinya yang berakhir dalam kemungkinan-kemungkinan. Seperti hujan disenja yang kelam itu, selalu yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan tentang cinta dari sajak-sajak yang terburai. Malam yang menyembunyikan purnama dari desau hujan-hujan yang makin resah. Badai tampak lebih kemaruk lagi dibathinnya, cinta yang ia pendam kini makin penuh dendam. Ia menunggu sketsa pelangi dimalam yang hanya menyisakan kelam yang lebam. Hujan bahkan terus melukis cintanya menjadi sketsa puisi yang hitam. Di jelaga waktu yang parau dan angin yang tak henti risau. Siapakah sesungguhnya yang membawa kenangan dan menyimpan cinta! Hujankan yang membawa kenangan atau kenangan yang membawa hujan dimalam ini, cintakah yang menyisakan kenangan atau kenangan yang menyisakan cinta? Tak pernah ada kesetiaan pada musim! Meski hujan selalu akan datang, seperti kenangan selalu akan menghampiri. Dan cinta adalah musim yang selalu membawa hujan. Tapi kenangan selalu berselisih makna dengan cinta, seperti racun yang diteguk Juliet dan cinta yang membunuh Romeo. Dan hujan selalu menyajikan irama kerinduan yang lengkap Ada bisik yang sendu pada setiap titik-titik kenangan yang terbawa rintik-rintik hujan itu. Ketika angin mulai melenguh menjelang subuh Embun-embun berderai diselisih rintik hujan-hujan Kini, ia pelan-pelan melamur menjadi kenangan. Menitipkan secarut cinta pada sehelai kenangan tentang rindunya pada hujan yang akan tiba dilain musim. Na! “tolong kuburkan kenangan ini pada angin yang desau itu!” Lenguhnya sebelum matahari pagi melabuh.


Lenguh prosa puitika di atas adalah salah satu kecipak dari telaga karyanya yang pernah dibacakan di program Ekspresi RCA dua bulan lalu. Setelah itu sepertinya Ahyar Anwar masih saja akan selalu terjaga. Penulis kadang menganggapnya sebagai pancuran filsafat tentang cinta yang gemericiknya terdengar sampai ke dalam kamar tidur kita meski pancuran itu jauh terletak di dasar sebuah lembah.





Kacamata Kata dan Kalimat Berjenggot Bernama Aan Mansyur

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 01 Juli 2009 | Juli 01, 2009


Aan Mansyur adalah seorang pemuda berkacamata dan memelihara jenggot yang lahir di Bone Sulawesi Selatan, 14 Januari. Tahun kelahirannya tidak pernah dituliskan entah dengan alasan apa. Mungkin hanya disisipkan dalam sebuah puisinya yang kebetulan tidak pernah diterbitkan. Atau mungkin akan diceritakannya nanti dalam sebuah novel saja. Penulis hanya pernah menebak dia dilahirkan sebelum peristiwa Malari 1975.

Di Makassar, dia tergolong penulis muda yang paling kuat menulis artikel, puisi, cerita pendek di berbagai media. Karya-karyanya dimuat dalam berbagai buku antologi. Bukunya yang sudah terbit di antaranya antologi Hujan Rintih-rintih (2005), novel: Perempuan, Rumah Kenangan (2007), kumpulan puisi: Aku Ingin Pindah Rumah (2008) dan lainnya semoga besok kian bertumpuk. Berkali-kali harian Kompas memuat sajak-sajaknya. Padahal koran besar di Jakarta itu masih dianggap sebuah ruang yang sangat jarang bisa ditembus oleh para penyair muda seangkatannya. Apalagi bagi teman-teman sekampungnya.


Sekali waktu sempat chatting semenit dengannya melalui facebook barulah keluar rekomendasinya agar sajak-sajaknya bisa dibacakan di radio. Membaca sajak-sajaknya di radio beberapa minggu lalu menimbulkan efek berupa magma. Magma itu berbentuk beberapa puluh pertanyaan pendengar acara sastra. Yang paling banyak meletup adalah kekaguman sebab sajak-sajak Aan termasuk yang paling bisa dinikmati pendengar radio sembari minum kopi atau teh. Apakah tidak semua karya sastra bisa dinikmati di radio? Pasti. Teks-teks sastra yang ditulis oleh Aan seolah telah dirancang untuk bisa memasuki media apa saja. Mulai koran, blog hingga radio dan apapun. Seorang pendengar bahkan pernah menitip pesan kepada penulis agar Aan mengirimkan rekaman audio pembacaan puisinya ke RCA. Baca saja beberapa sajak Aan d bawah ini sambil minum kopi atau minuman lainnya.


PESAN IBU

Nanti setelah dewasa
kau sungguh merindukan pucuk
dua payudara tua ibunda

Seperti seorang pendosa
dari jauh memandang puncak
rumah-rumah ibadah


SAJAK TENTANG NENEK

Sambil menggenggam ktp kakek
yang sudah lama mati,
ia berkata:

Aku tahu kini
mengapa dulu kau rajin
mengajak aku bermain
hujan berduaan.

Di musim hujan begini
kenangan, seperti juga liang makam,
sungguh mudah digali.


AGAR KAU MUDAH MENEMUKAN SESUATU

Lupa. Entah di puisi siapa aku pernah membaca kisah
seorang perempuan cantik yang sangat mencintai hujan.
Mungkin di puisi yang pernah aku tulis sendiri, untukmu.
Tapi bukan di situ intinya. Aku ingin mengatakan padamu
yang dicintai di dalam hujan sesungguhnya bukan hujan.

Begitu pula dengan puisi. Di dalam puisi pembaca tentu tidak
mencari kata, melainkan ingin menemukan yang bukan kata.
Sekiranya mampu, aku ingin menulis sebuah puisi untukmu
tanpa menggunakan kata-kata. Tapi aku sungguh tak mampu.
Maka aku tuliskan saja puisi ini tanpa menggunakan kata-kata
yang bercahaya. Agar kau tidak silau oleh kata-kata. Agar kau
mudah menemukan sesuatu yang kau cari di dalam puisi ini.


KACA JENDELA

dari seberang kaca jendela
hujan yang kedinginan
jatuh cinta pada sepasang mata
di mana matahari memancar

hujan itu ingin sekali mati
terbakar pada sepasang mata

dari seberang lain kaca jendela
sepasang mata perempuan
jatuh cinta pada air hujan
di mana sungai berakar

sepasang mata itu ingin sekali ikut
mengair-hujan, mengalir atau hanyut

kaca jendela tidak kuasa
berbuat apa kecuali basah
menangis


Selintas tidak rumit menerjemahkan sajak-sajak Aan ke dalam rasa dan makna. Kesulitan terberat mungkin hanya terletak pada sejauh mana kemampuan kita menangkap ritme-ritme sederhana realitas yang dia suguhkan lalu kita bersedia untuk setuju dengan apa yang telah dilontarkannya. Aan Mansyur, sepasang kacamata kata dan kalimat berjenggot. Penulis terlanjur telah mendeskripsikannya begitu.

Mahrus Andhis, Penyair-Birokrat yang Langka

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 30 Juni 2009 | Juni 30, 2009


Dialah Mahrus Andhis. Satu-satunya penyair-birokrat yang langka, demikian penulis menyebutnya diam-diam. Gaya penulisan yang prosais dan ritmis mejadi pilihan manis bagi pengungkapan puitiknya. Beranjaknya usia kadang menggiringnya ke arah penulisan puisi-puisi sufistik. 

Usianya tak lagi muda dan kini paling dituakan di kalangan seniman di Bulukumba. Keakraban Mahrus Andhis dengan lingkungan alam kerap membuatnya mahir menuai kata beraroma khas perkampungan dalam sebahagian puisinya. Baca saja salah satu puisinya Di Atas Pematang kala masih mahasiswa.

Di Atas Pematang


menapak rengkah pematang
cicit burung pipit merenyuh
jauh ke ceruk gua

(lenguh sapi di kandang belakang
mengiris duka bukit
mengepul asap
retak dalam doa Wak Sule

menapak bencah pematang
ribuan ekor katak berlompatan
ke jantung sungaiku
bunga-bunga rumput dan bau walangsangit
meredam dukarindu gadis tetangga

(lahan siang malamku merekah
dan Halimah
mencuci rambut di atas batu)

Bulukumba, 1988

Sungguh sebuah puisi yang selalu memaksa orang-orang yang lebih dulu beranjak ke kota untuk segera pulang menengok kampung halaman. Mahrus Andhis adalah salah satu sosok penyair produktif yang lahir di Ponre Kabupaten Bulukumba, 20 september 1958. Pemilik nama lengkap Drs. Andi Mahrus Syarief ini pernah mengasuh acara Serambi Budaya di RRI Makassar dan Apresiasi Budaya di TVRI stasiun Makassar (1982-1984). Konon amat energik semasa menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar. Sempat menjadi asisten dosen kemudian memutuskan pulang kampung. Salah satu tempat mangkalnya dulu adalah Dewan Kesenian Makassar hingga 1986.

Mahrus banyak menulis puisi, cerpen, naskah drama dan artikel budaya. Beberapa bukunya yang telah terbit dan bahkan beredar sampai Malaysia dan Brunei di antaranya Sajak Sajak Panrita Lopi, Bulukumbaku Gelombang Berzikir (2001) dan beberapa antologi bersama penyair lainnya. Sejak 2005, puisi-puisinya selalu menghiasi program Ekspresi di RCA 102, 5 FM Bulukumba. Cuma, satu hal yang kurang adalah penyair senior ini belum pernah punya waktu untuk diwawancarai atau baca puisinya sendiri di radio. Agak aneh juga sebab beliau orang Bulukumba. Entahlah nanti setelah tulisan ini dibaca sendiri oleh beliau.

Satu hal lagi yang aneh. Mahrus Andhis sampai kini justru tak habis-habis berkarya meski telah menjadi pejabat sebagai Asisten I di lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Sebaliknya karyanya mengucur deras dari lantai birokrasi. Mantan Camat Ujungbulu, Sekkab, anggota DPRD, dan kepala Dinas Sosteklinmas ini juga dikenal sebagai seorang muballigh kondang. Memang sangat sibuk tapi tak mengusik kegiatan lainnya di antaranya sebagai kolumnis di harian Radar Bulukumba. Puisi-puisinya terus mengucur dari lantai birokrasi. Namun tetap kritis, romantis dan memaksa pembacanya merindukan alam yang lampau. Salah satu puisinya yang pernah penulis bacakan di radio adalah Batuppi. Sebuah nama kampung di Bulukumba.

Batuppi
kemana lengkingan anak-anak
telanjang
memainkan gemerincing batu kecil
cekikikan membayang
wajahnya terseret ke hulu

kemana perempuan naima
yang selalu tersipu membawa cucian
ketika ia tahu
siul salengke menghadangnya
di kelopak bunga-bunga rumput

kemana desahku mengalir
ketika sungai pasir menampung luka
dan mesin gerobak kian gemuruh
berpacu dengan keringat matahari

Bulukumba, 1999.

Hingga kini, penulis
secara diam-diam
masih tetap menyebutnya sebagai penyair-birokrat yang langka. Mungkin juga saking langkanya, maaf jika tulisan ini tidak menyertakan foto Mahrus Andhis sebab memang sungguh sulit menemukan fotonya yang asli.



Basing Suku Kajang, Pantun Sunyi Kematian di Zaman Bising

Di tengah larut malam sunyi mengelam di atas sebuah rumah panggung terdengar Basing yang melarutkan pedih. Terlihat dua perempuan dan dua lelaki berpakaian serba hitam melantunkan pantun yang diiringi alunan seruling bambu yang disebut Basing. 

Tercium aroma magis dan suasana menyayat dari pantun elegi berbahasa daerah Konjo. Suara seruling dan nyanyian elegi semakin mengiris di tengah malam. Udara basah melengkapinya dengan hawa dingin sekitar kebun kelapa dan semak belukar. Kampung semakin sunyi. Hanya suara pantun purba dan seruling meningkahi gemerisik daun-daun dan atap rumbia pada rumah-rumah kayu yang sederhana milik penduduk.

Itulah Basing seperti yang sempat tertangkap dalam jepretan suasana di atas. Basing adalah pantun meratapi kematian secara elegan dan estetis yang membedakannya dengan ratapan biasa pasca kematian manusia. Basing adalah ritual seni sebab justru dimainkan dengan penuh aturan estetik. Salah satu bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang mereka gunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter.

Dalam sejarah masyarakat suku Kajang pada mulanya Basing hanya dimainkan dalam suasana kematian untuk mengiringi sebuah elegi nyanyian ratapan dari keluarga yang ditinggalkan. Basing yang dilantunkan untuk kematian itu disebut Basing Tempa Sorong. Ada pula jenis Basing bernama Tabu yang dilantunkan disembarang waktu, boleh dinyanyikan pada saat tidak ada kematian.Seiring perubahan zaman Basing telah dimainkan dalam upacara adat, menyambut tamu, dan lain-lain. Bahkan Basing sudah sering ditampilkan dalam acara-acara seni budaya tingkat nasional. Termasuk pernah dipentaskan dalam Pantun Nusantara di Jakarta pada 2007. Sayang sekali penulis belum sempat melacak nama-nama para seniman Basing yang pernah ataupun masih eksis.

Sebenarnya berbagai bentuk pantun masih dapat dijumpai pada banyak suku di nusantara selain Basing di Kajang. Mungkin kita kenal Upacara Nelu Bulanin (Bali), Kayat (Riau), Panas Pela (Ambon), dan Belian Sentu (Kutai), Pantun Meminang (Kepulauan Riau), Sebuku Gayo (Aceh), Kacar-Kucur (Jawa tengah), Malake-an Gala (Sumatra Barat), Nenggung (Palembang), Jantuk (Betawi), Kaganti (Buton), dan masih banyak lagi yang tidak dapat lagi dilacak oleh penulis (siapa tahu ada pembaca yang ingin membantu melacak pantun suku-suku lainnya). Produk tertua dari budaya kita sesungguhnya adalah pantun. Beragam jenis pantun di tanah air telah berusia ribuan tahun termasuk Basing dari Kajang.

Nilai-nilai dan cita rasa tinggi dalam kesantunan, keindahan, dan keunikan berbahasa pada pantun berbagai suku di tanah air menunjukkan ketinggian budaya sejak berabad-abad lampau pada bangsa ini. Entahlah jika beberapa dekade lagi kekayaan semacam ini tak dikenali lagi oleh anak-anak bangsa. Mungkinkah misalnya Basing dari Kajang akhirnya benar-benar hanya akan menjadi pantun sunyi kematian di tengah zaman yang bising?

Gandrang Bulo: Panggung Perlawanan Rakyat

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 29 Juni 2009 | Juni 29, 2009


Semenjak masa kanak-kanak, kenangan tentang Gandrang Bulo masih melekat kuat di benak penulis sampai hari ini. Ketika zaman bergeser dan beringsut pelan meninggalkan berbagai kesenian tradisional, justru Gandrang Bulo masih jawara dalam katalog ingatan penulis. 

Gandrang Bulo adalah kesenian rakyat yang terdiri dari musik, tarian, dialog kritis dan kocak. Tapi luar biasa, konsep dialog di atas panggung tanpa naskah skenario sama sekali. Bagi para senimannya, panggung menjadi tempat berkisah mengenai masalah hidup mereka sehari-hari. Para penonton bisa terpingkal-pingkal oleh joke-joke segar para pemain sampai larut malam. Gandrang Bulo sejak awal adalah cara rakyat desa mengkritik para penguasa melalui seni. Tak heran jika tema-tema yang diangkat mulai dari politik hingga berbagai peristiwa yang mereka alami sehari-hari.

Sejak dulu sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak menghiraukan mereka. Berbagai ketidakberdayaan dengan cerdas mereka tampilkan penuh improvisasi di atas panggung.

Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di berbagai panggung pertunjukan, namun oleh masyarakat sekitar tetap saja ia dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo. Grup-grup Gandrang Bulo di Sulawesi Selatan masih dapat dijumpai di berbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka sehari-hari. Ya, suara kaum marginal dalam bentuk humor.

Ketika masa penjajahan, Gandrang Bulo disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer. Rakyat dan seniman membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung.

Pada akhir dekade 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. Seorang seniman asal Bontonompo, Gowa, Dg Nyangka mempelopori kreasi baru. Mulai saat itu Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dan acara-acara seremonial. Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun partai-partai politik. Salah satu upaya agar tidak tergerus oleh zaman, Gandrang Bulo juga masih terus dipertahankan oleh generasi muda dalam pertunjukan anak-anak sekolah di panggung-panggung seni budaya.

Anis K. Al Asyari, Cerpenis Gerilya

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 28 Juni 2009 | Juni 28, 2009


Anis K. Al Asyari, satu dari sebaris cerpenis di Sulawesi Selatan. Satu-satunya cerpenis Makassar yang diundang di program penulisan cerpen Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera) 28 Juli-2 Agustus 2008 di Cisarua Bogor. Penulis rutin mengendapkan dalam ingatan akan beberapa kalimatnya setelah berulang kali bertemu dengan cerpenis muda kelahiran Batukaropa Bulukumba,1982 ini. Misalnya Anis pernah melontarkan," Masihkah cerita pendek memadati ruang pembaca? Ruang mencipta bagi sejumlah cerpenis? Atau ruang yang memikat untuk semacam pengantar diskusi di keseharian kita?"

Lalu masih sejuta pertanyaan lainnya yang mengendap dan menguap ke mana saja. Salah satunya mungkin di studio RCA 102, 5 FM ketika beberapa kali cerpenis ini jadi tamu berbincang di program sastra Ekspresi. Alhasil bukan cuma berbincang. Bahkan Anis pernah ditodong untuk baca puisi di radio. Aneh, dia sendiri tidak pernah mau membaca cerpennya sendiri di radio. Padahal beberapa cerpennya setiap ada yang baru pernah dan akan selalu dibacakan oleh orang lain.

Cerpen, artikel dan esainya mengalir ke harian Fajar Makassar dan beberapa media lokal dan nasional. Beberapa bukunya telah diterbitkan di antaranya Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum (2003); sebuah kumpulan cerpennya bersama puisi Andhika Mappasomba, Wajah dan Wajah (2008). Besok, mungkin masih lebih banyak lagi. Setelah menikahi gadis pilihannya pada 2008 dan kini telah dianugerahi momongan, semoga Anis tak habis-habis.

Penulis sendiri menyebutnya sebagai cerpenis yang bergerilya. Kadang tiba-tiba menyergap dan lalu menghilang kembali secara tiba-tiba. Lalu biasanya kadang muncul sesekali lalu raib lagi.


Arisan Sastra Ala Sastrawan Makassar


Ketika muncul kekhawatiran akan karya-karya sastra yang hanya mengungkapkan perasaan penulisnya, temanya cinta, tidak lagi kritis, pencerdasan kepada masyarakat agak berkurang bahkan produktivitas karya menurun maka lahirlah Arisan Sastra. Menyebutnya saja sudah agak aneh. Tapi bukankah memang sastrawan selalu punya cara aneh memaknai kata. Biasanya kita mendefenisikan arisan sebagai tradisi berkumpul khas ibu-ibu Indonesia dengan mengumpulkan orang dan uang dengan jumlah tertentu lalu diundi hingga semua anggotanya mendapat giliran.

Namun, segerombolan seniman dan sastrawan Makassar, sepakat menggunakan arisan sebagai kata kerja yang berarti giliran. Jika arisan ibu-ibu punya jadwal waktu, misalnya berkumpul tiap pekan pertama awal bulan, di rumah yang naik undiannya di arisan sebelumnya, maka defenisi itu tak berlaku bagi komunitas ini. Para anggota arisan sastra inipun tidak tanggung-tanggung. Mereka adalah Ahyar Anwar, dosen Budaya dan Filsafat UNM, , Aktor Monolog Suprapto, Nur Alim Djalil, esais dan kolomnis, penyair Aslan Abidin, Luna Vidia, Anil Hukma, Muhary Wahyu Nurba yang bernama asli Muhammad HariyantoAan Mansyur, Hendra Gunawan, Alim Prasasti, Anis Kaba, dan masih banyak lagi.

Jika, arisan konvensional mengumpulkan uang, maka bisa ditebak Arisan Sastra ini hanya mengumpulkan ide, baca puisi dan semacamnya. Arisan Sastra ala sastrawan Makassar ini semoga saja tidak menjadikan sastra dan sastrawan Makassar justru makin terpojok ke arah alienasi. Sebaliknya masih ada harapan semoga mereka tidak membangun menara gading yang baru. Siapapun pasti enggan berada di puncak menara gading sendirian sementara sekelilingnya tak mampu menangkap atau menikmati keberadaannya akibat tempatnya terlalu tinggi dan mewah.

Michael Jackson, Budaya Pop dan Kita

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 27 Juni 2009 | Juni 27, 2009


Perbincangan tentang budaya pop mulai mencuat lagi setelah kepergian Michael Jackson pada 25 Juni 2009. Jacko sebagai ikon budaya pop ditangisi di banyak sisi. Ada dua sisi utama yang paling kehilangan. Pertama, penggemar musik dari King of Pop di seantero dunia yang merupakan lingkaran massif budaya pop dunia. Kedua, dunia Islam yang tentu mau tak mau harus merasakan kehilangan salah satu aset penting. Michael Jackson atau Mikail (namanya setelah masuk Islam) adalah seorang pemeluk Islam yang tidak biasa, sebab meski muallaf tapi almarhum Jacko adalah fenomena istimewa bagi umat Islam di planet ini.

Michael Jackson sebagai ikon budaya pop selama empat dekade terbukti mampu menghipnotis siapapun termasuk mereka yang berada di luar mainstream budaya pop. Dunia islam juga berada di luar mainstream itu. Tapi kedekatan religius yang merekatkan hubungan itu meski baru berjalan kurang lebih setahun.

Penggagas utama dari kategori budaya pop yakni Theodore W. Adorno seorang filsuf memperlihatkan dengan tajam kaitan antara kultur industrial dengan gaya hidup nge-pop secara luas. Kehidupan ekonomi konsumerisme yang selama ini membelenggu jiwa masyarakat kita memang telah menanamkan sifat fetitistik dan itulah inti utama gaya hidup ngepop. Karena gaya hidup berarti cara berfikir, maka dari perilaku ekonomi ini kemudian menular ke dalam segi lain. Kekacauan ekonomi juga banyak ditularkan dari budaya pop.

Dalam dunia seni contohnya, terlihat gejala menjamurnya genre pop-art seperti bidang desain grafis, estetika mural, graffiti, seni lukis. Watak seni pop adalah kecenderungan untuk mengeksploitasi hal-hal profan dari manusia, seperti erotisme tubuh, keliaran hasrat atau wilayah absurd personal di tengah publik yang kesemuanya tertransfigurasikan lewat media yang dipakai kesenian itu secara khusus. Estetika kesenian pop tidak mengenal nilai transedensi humanitas, tetapi lebih cenderung mengeksplorasi hasrat-hasarat dangkal dan terkadang sisi gelap dalam diri manusia.

Ngepop adalah berarti pola konsumsi yang telah dan akan dibentuk oleh kekuasaan pasar lewat media pencitraannya saat ini. Apapun komoditas tidak dibeli berdasarkan fungsi dan kebutuhan yang sesungguhnya, tetapi berdasarkan rasa tertarik, eye catching dan ukuran-ukuran semu lainnya. Saat ini, Semua hal tengah dikomoditaskan, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Buku-buku diperdagangkan dengan mengedepankan citra dan unsur-unsur artifisial dan bukan karena fungsi atau memang kualitas diskursifnya yang patut dibutuhkan.

Seorang blogger sahabat penulis pernah menceritakan keraguannya tentang idealismenya sebagai penulis blog. Karena di blognya sekarang bertumpuk iklan, kini dia merasa curiga dirinya tergerus dengan ide-ide yang dianggapnya ngepop. Penulis hanya mampu menghiburnya dengan kalimat,"Teruskanlah menuliskan ide-idemu. Ide juga layak dibayar sebab ide itu mahal harganya. Yang terpenting adalah niat baik. Yakinkan bahwa updating bukanlah semata untuk kepentingan traffic dan semacamnya."

Arena Wati, Sastrawan Besar di Negeri Orang

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 Juni 2009 | Juni 26, 2009


Sampai hari ini beberapa daerah di tanah air masih terlalu kecil untuk dipetakan dalam peta sastra Indonesia. Tidak bisa dipungkiri sentralisasi sejak orde lama ke orde baru hingga kini berhasil mentradisikan keterpencilan sastra di daerah-daerah. Mungkin bukan masalah waktu tapi lebih pada niat untuk bangkit. Minimnya produktifitas karya sastra di daerah bisa jadi juga adalah buah dari periode panjang invasi sastra di pusat ke segala penjuru nusantara. Tapi tidak bijak menyalahkan sejarah semata.

Hari ini adalah juga sejarah yang mesti dibangun sendiri selama masih ada energi untuk menggeliat. Semisal di Sulsel kampung halaman penulis, mungkin hanya ada nama Aslan Abidin, Hendragunawan S.Thayf, Muhary Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie serta beberapa nama lainnya yang bisa dihitung dengan jari. Itupun, Sulsel hanya lebih banyak dikenal sebagai gudang puisi dan penyair. Cerpenis, novelis, dramawan dan lainnya entah di mana.

Nama Arena Wati tentu tak bisa dimasukkan sebab beliau adalah warga Malaysia walaupun lahir dan besar di Jeneponto, Sulsel. Benarkah kultur yang ada di negeri sendiri telah menyebabkan sastrawan besar seperti Arena Wati lebih memilih berkiprah di negeri orang? Memang tidak banyak yang mengenalnya. 

Penulis sendiri baru pertama kali mendengar nama dan jejaknya ketika dikabarkan wafat pada 26 Januari 2009. Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Masa muda Arena ditempuhnya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan. Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988. 

Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya. Mungkinkah masih banyak sosok mengagumkan di berbagai bidang termasuk sastra selain Arena Wati di luar sana? Ada benarnya kondisi di negeri sendiri yang telah mempersempit mereka dan akhirnya lebih memilih bernafas bebas di negeri orang. Seorang teman yang kebetulan puluhan cerpennya tak pernah berhasil dimuat di koran nasional pernah berbisik,"Jangan pernah berhenti menyerbu kota!"


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday