Ia adalah novelis, dramawan, sutradara film, penyair, pelukis bahkan pecandu musik dan banyak cabang seni lainnya. Itu yang menjadikannya sebagai salah seorang seniman paling komplit yang pernah dimiliki Indonesia. Motinggo Busye lahir di Kupangkota, Lampung, pada tanggal 21 November 1937. Ia telah menulis lebih dari 200 buku.
Menamatkan SMA di Bukittinggi, kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tapi tidak tamat. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Pada paruh pertama tahun 1970-an Motinggo menyutradarai beberapa film.
Menamatkan SMA di Bukittinggi, kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tapi tidak tamat. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Pada paruh pertama tahun 1970-an Motinggo menyutradarai beberapa film.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang.
Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Seniman besar ini tutup usia pada tanggal 18 Juni 1999 di Jakarta. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962.
Menelisik karya-karya Motinggo seolah kita menyelam di dasar laut. Yang tampak mungkin hanya karang dan ikan-ikan yang sehari-hari terdapat juga di darat. Tapi keasyikan menikmati karya-karyanya itulah yang sering membuat kita lupa bahwa sedang berada di dasar laut yang dalam. Seni harus membuat penikmatnya menjadi asyik sambil belajar. Mungkin itu filosofinya. Dan Motinggo melakukannya di ranah seni hingga ajal menghentikannya berkarya pada usia 61 tahun. Penulis sangat beruntung bisa menemukan sebuah puisi terakhir yang ditulisnya sebelum wafat pada 1999.
Merasuk Malam
Saatnya tiba untuk berbisik perlahan
pada Tuhan
aku sudah siap tapi ingin
tahu
bilakah saat diriku
Kau ambil
Agar kurasakan nikmat maut
menjemput
dalam terang tanpa berkabut
dan inilah kata ketika
aku merasuk dalam malam
sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua
tapi sungguh tak ada takutku pada
maut
hari-hari ini tiba untuk berbisik
perlahan
membujuk Engkau untuk
memberitahuku
soal yang penting itu
aku ingin mengalaminya sendiri
dan menikmati mati
sehingga menjadi indah
tanpa cadar
dan ketika itu tiada pemberontakan
kecuali suka
sama suka
1999
Penulis justru khawatir sebab pernah ada kejadian memalukan. Pernah seorang anak sekolah di Prancis bertanya tentang novel-novel Motinggo Busye kepada seorang mahasiswa Indonesia. Sang mahasiswa garuk-garuk kepala lantaran nama Motinggo Busye saja baru kali itu dia dengar.