Latest Post

Sastra Pembebasan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 24 April 2009 | April 24, 2009


Masih adakah sastra pembebasan? Jawabannya membuat gamang. Tak pasti. Mungkinkah kita masih bisa saling mengawasi, berinteraksi, saling belajar di dunia maya ini? Sebagian sastrawan mencoba menjelajahi berbagai bentuk eksprimen. Mulai dari romantisme sampai ilusiminimalis. Merdeka tanpa paksaan? Lihatlah burung yang tak mengenal penjara. Namun mereka toh tahu jalan pulang ke sarangnya.

Tapi masih bisakah kita saling mengawasi? Ribuan penulis di internet dengan gagahnya mengklaim diri sebagai bagian kecil dari gerakan sastra pembebasan. Sastra adalah salah satu alat pencerahan bangsa. Namun saya agak bingung ketika menemukan blog seorang teman yang tiba-tiba saja berubah sama sekali tampilannya. Sama sekali tak ada lagi puisi-puisi dan esai yang dulunya justru merupakan ciri khas blognya. Tema-tema karyanya pun bergerak ke arah 'pembebasan' meminjam ucapannya sendiri. Blog teman itu sekarang jauh lebih mirip "blog iklan" bukannya blog untuk mendukung semangatnya dalam berkarya.

Siapapun termasuk seorang penulis memang butuh makan dan uang. Sama sekali bukan pertimbangan estetis ketika sebuah blog sastra mendadak lebih banyak dijejali iklan daripada segala yang berbau sastra. Konsekuensi adalah batasan yang sangat abstrak dalam hal ini. Tapi siapa tahu teman itu juga benar bahwa salah satu makna pembebasan yang didengungkan sebagian sastrawan tanah air ternyata memang adalah pembebasan dari kelaparan? Saya masih sering termangu mencoba memahami ucapannya.

Seni Religius dan Sekuler

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 April 2009 | April 23, 2009

Kelompok musik U2 dari Irlandia tercatat yang paling berhasil mempengaruhi penggemarnya dengan lirik lagu dan musik mereka. Aksi sosial personel U2 pun mampu diteladani oleh sebahagian penggemarnya dalam upaya membuat tatanan dunia yang lebih baik. Mulai gerakan cinta lingkungan sampai kesadaran untuk membantu anak-anak sedunia yang kelaparan. Kasus yang sama dalam konteks yang berbeda dengan Jim Morisson. Salah seorang dewa musik rock ini juga berhasil menggiring penggemarnya di seluruh dunia ke dalam drugs, free sex sebagaimana "ajaran" dalam lagu-lagu dan keseharian sang idola.

Mari kita ke Timur. Saya pernah sempat menikmati puisi sketsa sosial karya WS Rendra yang dibacakan oleh seorang pejabat. Tapi saya hanya bisa menikmati puisi itu sebab isinya memang bagus dan kritis. Penampilan pejabat itu tidak bisa saya apresiasikan sebab dua tahun sebelumya ternyata dia pernah menjadi tersangka pelecehan seksual! Lagu Iwan Fals Surat Buat Wakil Rakyat mungkin sah-sah saja dinikmati meski dinyanyikan oleh seorang maling. Lalu apa yan terjadi ketika seorang pemabuk dengan santainya menyanyikan sebuah lagu milik Rhoma Irama,"..kenapa eh kenapa minuman itu haram...?"

Haruskah ada dikotomi seni religius dan sekuler? Di belahan dunia Timur, seni termasuk karya sastra dipandang sebagai bagian dari moralitas intelektual dan spiritual. Sementara di Barat menggeliat kebebasan estetika yang memisahkannya dengan spiritualitas, etika bahkan metafisika. Sumber pendukung utama eksistensi karya seni termasuk sastra di Barat adalah kebudayaan materialistis yang hidup dalam dunia global. Tapi satu kelebihan utama, mereka mampu mengelola aksi reaksi penikmatnya sesuai misi karya seni yang diciptakan.

Karya seni sekuler yang biasanya khas dengan "telanjang" atau liberalisme serta karya seni religius yang berciri agama mungkin saja sama-sama laris manis. Terkhusus ruang sempit sastra religius. Sastra religius yang secara dominan menyempit ke sastra sufistik, tergiring menjadi sekadar ekspresi dzikir, cinta dan kerinduan untuk menyatu dengan Tuhan serta konsep tentang "kesatuan" itu sendiri. Benarkah para sastrawan sufistik kita lebih sibuk mengurus hubungan vertikal daripada hubungan horisontal? Karena keterbatasan itu seni religius kita kurang mampu menyumbang proses pencerahan sosial.

Segala bentuk dari produk seni budaya di Indonesia muasalnya karena agama. agama-agama yang berkembang di Indonesia telah memberi kontribusi besar pada budaya dan karya sastra. Banten pernah jaya karena agama Islam, Bali terkenal seni budayanya karena agama Hindu. Sulawesi Selatan termasyhur karena kitab sastra La Galigo. Yang menggangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia adalah agama Hindu, Budha, dan Islam, bukan agama Yahudi. Haruskah ada dikotomi sastra religius dan sekuler? Seorang teman saya masih tetap bingung,"Kenapa seni religius justru kurang mampu menggiring religisiutas penikmatnya? Haruskah ada pemaknaan yang berbeda dengan karya seni sekuler yang sebaliknya mampu memberikan penyadaran sosial?

Apa Kabar Komik Tanah Air?

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 22 April 2009 | April 22, 2009

Semenjak bisa membaca di masa kecil saya termasuk penggemar komik di samping novel silat. Hari ini, apa kabar komik indonesia? Komikus yang akrab dalam ingatanku hingga detik ini seperti Ganes TH, Jan Mintaraga dan sebarisan lagi komikus hebat lainnya. Saat beranjak dewasa saya tidak lagi dapat menemukan komik-komik hebat karya komikus tanah air.

Kemana mereka? Memang saya menemukan mereka di beberapa situs bahkan masih ada komunitas-komunitas komik tanah air yang masih setia eksis. Namun gilasan zaman yang merubah selera masyarakat bisa jadi penentu utama keterpencilan mereka. Siapa yang tidak kenal Si Buta Dari Gua Hantu? Pendekar buta itu justru lebih hebat dari Harry Potter.
Atau Jaka Sembung, kisah fantastis Api Di Bukit Menorehdan masih banyak lagi. Konon pula Gatotkaca dikenal anak-anak Indonesia hanya karena ada komikus yang berani mengangkatnya dari kubangan lokalitas bangsa. Heroisme Superman yang mendunia, melegenda dan bahkan diidolakan justru kisahnya pertama kali dicorat-coret secara amat sederhana dalam komik serial di sebuah koran lokal di Amerika.

Masyarakat kita tentu kesulitan untuk merasa punya kewajiban menghidupkan kembali komik. Bagi para komikus? Saya tidak tahu pasti tersisa berapa jumnlah komikus di tanah air. Bagi orang yang hanya bisa menjadi penikmat komik seperti saya tentu lebih bingung lagi. Perlu sebuah kesadaran estetis barangkali untuk mengembalikan kejayaan komik walau tidak bisa dipaksakan bisa menjadi trend kembali. Lihatlah piramida dan mumi-muminya yang mungkin masih menyisakan kejayaan Firaun di Mesir kuno. Tapi komik bukanlah mumi dan saya tidak akan rela jika komik hanya diawetkan ibarat mumi.

Saya pernah kaget bukan kepalang ketika menemukan seorang keponakan yang asyik membaca komik. Tapi lebih kaget lagi ketika saya menemukan kenyataan bahwa komik yang disembunyikan di bawah bantai\l itu ternyata komik doraemonrobot kucing cerdas dari Jepang. Ironis memang. Doraemon dilahirkan di dalam industri televisi sebelum merambah dunia komik. Berbeda dengan Gatotkaca yang bisa terbang dalam kisah pewayangan. Gatotkaca pernah terbang juga di dunia komik. Tapi ternyata kesaktian putra Bima itu tidak mampu membawanya ke layar kaca maupun bioskop secara fenomenal. Bagi penggemar komik Indonesia, tidak usah berkecil hati. Kita masih bisa menelusuri komikus-komikus tanah air di internet.

Ketika Perempuan Disenggamai Sastra


Pada awal tahun 2001 di tanah air telah mulai terjadi pergulatan sastra yang diwarnai dengan tema seks. Hingga kini bagi kaum moralis tentu tak habis-habisnya menjadi pergunjingan. Entah kenapa saya enggan menuliskan nama para sastrawan perempuan khususnya di Indonesia yang getol bercumbu dengan karya berbau seks. Bukan karena saya menghargai hari Kartini 21 April kemarin. Tapi lebih kepada ketergesa-gesaan menulis sesuatu yang singkat buat para perempuan Indonesia.

Beberapa novelis perempuan Indonesia yang berada dalam lingkaran norma penikmat karyanya tiba-tiba memberontak. Mereka seolah merasa telah keluar dari kungkungan. Karya yang mereka anggap sebagai perlawanan terhadap hegemoni kaum lelaki ternyata juga tak semua kaum perempuan bisa dengan mudah menerimanya. Jadilah pemandangan ekslusivisme karya sastra bermutu tapi dianggap tak senonoh. Beberapa tahun geliat tersebut membumi di jagad penikmat sastra. Penulis-penulis perempuan datang mengangkangi pembaca dengan frase-frase yang dianggap "tidak sopan." Terlepas dari apresiasi aliran-aliran dan atas nama seni. Masyarakat pembaca di tanah air toh tidak begitu tertarik.

Apakah ada kemungkinan seksualitas fiksi perempuan tampaknya akan menghadapi kegagapan di tengah geliat zaman? Genre fiksi Islami dan genre mistisme linguistik adalah jalan satu-satunya untuk meneruskan derap langkah perempuan Indonesia. Jadi, mungkin masih ada secercah harapan dari para perempuan penulis untuk tetap eksis dan terus berkiprah demi melahirkan karya sastra besar yang tak akan lapuk ditelan zaman. Basis genre Islami cukup kuat, segmen yang jelas. Tapi sayang sekali sangat jarang sastrawan perempuan yang melirik itu. Padahal eksistensi genre sastra Islami memiliki peluang untuk terus berkembang dan mesti dipertimbangkan dalam jagad kesusastraan kita.

Sastra genre Islami semoga juga bukanlah sekedar trend jika tiba-tiba harus memimpin barisan karya sastra. Perempuan penulis Indonesia, selamat berkarya.

Kartini, Kartini

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 21 April 2009 | April 21, 2009


aku lelaki yang juga dipukau olehnya. dia perempuan anggun dari zaman tempurung.
lindap sinarnya berabad-abad selanjutnya. wajahnya bertudung purnama ketika tak seorangpun berani menyalakan lilin.
habis gelap terbitlah terang.
kartini, kartini.
lindap sinarnya, lindap sinarnya
janganlah redup.
beberapa pucuk surat yang dia kirimkan dari waktu lampau
masih tergeletak di atas kasur.

Tautan


satu tautan waktumu menuju dinding waktuku.
aku harus melongok ke satu tautan waktuku yang lain
tautan di satu dinding mempertemukan tautan lainnya
di dinding yang satu.
besok, tautan-tautan itu
semakin banyak berpencar menuju yang lain lagi
ataukah kembali
menuju satu?
satu-satu. tautan menyatu.
dinding waktu tak jadi satu.


Bulukumba, 21 April 2009

Lelaki Kecil

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 19 April 2009 | April 19, 2009


aku ingin menjadi lelaki kecil lagi. menangis kembali. tapi damai.
cukuplah sungai-sungai kebijaksanaan mengaliri waktu
yang tak sepenuhnya sampai.
di sini pernah berhamparan rumput-rumput kesabaran,
saat-saat berpisah yang telah mencabutinya.

Sajak Hati Kecil Buat Kakek

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 April 2009 | April 18, 2009



tanah yang gelisah. kunyanyikan lagu-lagumu yang terdahulu. tapi tidak sepopuler slank, harry potter, ponsel, blog, koalisi partai, bisnis online dan facebook. di sini bukan lagi tempat yang sunyi. kunyanyikan lagu-lagumu yang terdahulu. kecipak air pasti terdengar di bawah pancuran pinggiran desa. kebun kelapa dan angin gunung masih menyandera ingatan. ada sebuah perjalanan kecil dan tak sempat tercatat di matamu.

Sebuah Alinea Seni Budaya

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 17 April 2009 | April 17, 2009


Di Indonesia zaman lampau banyak seniman seperti HB Yasin dan Mochtar Lubis yang memproklamirkan Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Mungkinkah mereka waktu itu benar-benar di atas normal kekhawatiran sehingga melakukan pensucian seni dan budaya sebagai hasil cipta-rasa-dan karsa manusia, dan bukan demi kepentingan politik yang barangkali terlalu berjelaga. Manakah yang lebih penting manifesto politik, ataukah manifesto kebudayaan?

Sekilas lintas sejarah. Pada jamannya Bung Karno dulu di era1960-an kata-kata Manifesto Politik (Manipol) sungguh sakral bin keramat, orang bisa jadi panutan atau tahanan dengan frase tersebut. Pemerintah (baca 'Pemimpin Besar Revolusi') selalu mendengungkan apa yang namanya Politik Adalah Panglima, semua elemen bangsa harus mendukung 'revolusi politik' dan jika di luar itu tentu bakal terhantam kereta api revolusi. Sedangkan istilah 'revolusi' sendiri mungkin saja dimaksudkan sebagai pembersihan anasir-anasir barat, yang dirasa selalu mengancam dengan "nekolim" atau neo kolonialisme dan imperialisme, certainly yang dimaksud di sini adalah AS dan sekutunya, serta musuh-musuh politik sang Pemimpin Besar. Ini lebih cepat 6 tahun dibanding RRC di bawah Mao Zedong, yang baru meluncurkan Cultural Revolution-nya (formula politik yang mirip) di tahun 1966.

Manifesto politik merasuk ke semua sektor, termasuk seni dan budaya. Hal ini dibaca dengan baik oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang sukses memproduksi beragam kesenian berbau propaganda anti barat, anti liberalisme, anti kapitalisme. Alhasil, Lekra sama saja dengan "kaum komunis" meminjam istilah rezim orde baru, dulu. Kemudian karena merasa seni dan budaya telah dikotori politik (padahal tentu saja tak ada 'barang' yang lebih kotor dari itu), maka lahirlah Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Pada tahun 1905, Lenin pernah berkata dengan sombong, "Kesenian seharusnya menjadi alat, menjadi sekrup bagi perjuangan kaum proletar". Hal ini lah yang mungkin dipakai sebagai semacam justifikasi bagi blending menifesto politik ke badan-badan budaya. Mungkin itulah awal penangkapan seniman-seniman manifesto kebudayaan di tanah air. Terjadilah prahara budaya dan politik di tengah bangsa yang masih berusia belia.

Ketika virus politik merambati budaya, kita tidak lagi bicara soal estetika, tetapi soal tujuan dan kepentingan. Jika ada orang saling membunuh atas nama kebudayaan, itu sebuah paradoksal yang sangat di luar nalar. Bagaimana mungkin manusia menjadi barbar atas nama budaya dan estetika? Seperti halnya, bagaimana bisa manusia menjadi lebih kejam daripada setan saat berjuang atas nama Tuhan?

Saya pun tidak bisa membayangkan jika seorang pelajar miskin terkulai sakit akibat beberapa hari tidak makan sambil tertidur setelah harus menghapal sebuah puisi yang akan dibacakan di depan kelasnya minggu depan. Untuk apa seni budaya disucikan jika masih ada orang-orang lapar? Manikebu dan Manipol, dua paragraf kebijaksanaan kehidupan dalam catatan sejarah. Saat ini berbagai kondisi bangsa juga tidak beda jauh dengan episode lalu-lalu. Sejarah terus bergerak dan mencatat alinea-alineanya, hitam dan putih.

Sastra Yang Mudah Bagi Yang Muda

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 16 April 2009 | April 16, 2009


"Dengan sastra, hati kita akan damai dan bisa awet muda." Entahlah siapa yang pernah mengucapkan itu. Tapi kalimat itu begitu tertanam di ingatan saya hingga hari ini. Sebagian besar karya sastra berbicara tentang orang-orang dewasa, dewasa penuh, atau bahkan tua. Kalau memang ada yang tidak membicarakan tentang orang tua, pastilah itu sekalian malah anak-anak, seperti misalnya The Adventure of Tom Sawyer dan sekalian itu temannya si Huck Finn. Atau, ada lagi itu yang sangat dikenal, Alice in Wonderland, sampai-sampai dibuat versi kartunnya untuk konsumsi anak-anak.

Bagi para remaja, jarang sekali karya sastra yang mengisahkan tentang mereka. Kebanyakan para remaja diketengahkan sebagai satu bagian dari perkembangan tokoh dalam sebuah bildungsroman, novel perkembangan. Kira-kira apa yang menyebabkan hal ini? Tidak banyak karya yang langsung membuat remaja tertarik kepada sastra. Kalaupun ada buku-buku yang benar-benar bisa membuat mereka tertarik, pastilah itu buku-buku hebat yang tak begitu jauh dari bayangan mereka seperti Harry Potter. Gambaran kehidupan yang ditawarkan adalah benar-benar kehidupan yang tak terlalu jauh dari para remaja, kehidupan sekolahan.

Implikasi lain dari kurangnya tema remaja dalam sastra adalah laris manisnya teenlit bak maraknya gerai isi ulang di jaman HP. Begitu teenlit yang sesuai namanya hanya menggeber kisah kehidupan para remaja lengkap dengan jatuh cinta, patah hati, dan ekstrakurikulernya itu datang, kontan saja para remaja itu berebutan. Bahkan, saking larisnya, teenlit disebut-sebut sebagai jenis sastra yang akhirnya bisa meningkatkan minat baca para remaja—meskipun toh pada kenyataannya juga meningkatkan “daya tonton” mereka ketika novel-novel tersebut diadaptasi menjadi sinetron dan bioskop.

Ada beberapa pihak yang menguliti titik lemah teenlit atau mengatakan bahwa para penulis sastra jenis ini masih punya PR yang harus mereka kerjakan, yaitu perbaikan keterampilan kesastraan mereka, literaturnoss katanya dulu. Sementara itu, apa yang telah mereka lakukan untuk membuat karya sastra yang diagungkan itu sampai ke tangan remaja? Pastinya ada, tapi tidak menarik para remaja untuk memamahnya. Lantas, kenapa juga mereka belum mencoba mengetengahkan tema remaja? Kenapa pula, dalam profesi, mereka melupakan suatu masa dalam kehidupan yang paling penuh warna itu? Kenapa pula malu mengakui dan menceritakan masa ketika hasrat libido yang baru mulai muncul itu begitu membujuk untuk disalurkan? Tapi remaja adalah sebuah fase yang tidak mungkin bisa dibujuk begitu saja. diperlukan sebuah formula khusus untuk memasang pukat yang tepat.

Bagaimana halnya dengan banyak karya sastra besar lainnya? Dapatkah mereka merebut ruang pikir dan cinta di hati remaja? Sekali lagi, remaja tidak semudah itu dibujuk. Sudah harus ada sastra yang mudah bagi mereka yang berusia muda.

Sastra dan Konstitusi

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 April 2009 | April 15, 2009

Semua pencinta sastra harus sadar bahwa sastra di negeri ini "sangat mendapat tempat" yang layak dalam konstitusi. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI pasal 13 butir ke 1. “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.” 

Lebih fokus lagi silakan kita renungkan bersama bunyi pasal 26 butir ke 3, “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesastraan, serta pendidikan lain yang di tunjukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.”
Jangan sampai ada ujaran pesimis bahwa jangan-jangan Sastra seperti bukan salah satu bagian dari dunia pendidikan. Padahal, kegemaran menulis dan membaca, sedini mungkin bisa ditanamkan melalui sastra. Untuk menjadikannya sebuah tradisi tentu dibutuhkan motivasi yang beruntun. Sastra, demikian juga bidang-bidang lainnya seperti hukum, pers, olahraga, lingkungan dan lain-lain, keberadaannya tak bisa dihindarkan untuk memberikan kontribusi kepada daerah (dalam konteks otonomi). Apalagi jika masing-masing saling berkonsentrasi di bidangnya, maka kontribusi itu akan mewujud lebih jelas dari apa yang sudah kita terima hari ini.
Banyak ragam cara yang bisa dilakukan para penggiat sastra untuk memupuk kegemaran menulis. Entah itu melalui workshop penulisan kreatif, diskusi karya atau menggelar lomba penulisan karya sastra. Ini semua tidak cukup hanya satu atau dua kali dilakukan. Jangan menganggap hanya dengan memasang spanduk di pinggir jalan yang berbunyi, “Bangsa yang pintar adalah bangsa yang masyarakatnya gemar menulis dan membaca” sudah menjadi alat yang ampuh untuk menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat yang tingkat tradisi lisannya masih beku. Arus budaya pop di negeri ini mungkin sudah terlalu menghanyutkan.
Sastra dan konstitusi di Indonesia ternyata telah bersekutu. Terpulang kepada para akademisi, pendidik, sastrawan dan semua yang ingin meletakkan negeri ini pada tatanan yang lebih edukatif, moralis dan tentunya tak salah jika ada sentuhan estetik. Kesastraan dalam konstitusi adalah benteng yang sangat kuat bagi para pencinta dan penggiat sastra.

Sastra Pop, Sebuah Persimpangan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 14 April 2009 | April 14, 2009

Sastra begitu berarti justru ketika ia berada dalam ranah sosial dan sekaligus mampu memamah biak demi kelangsungan kehidupan sosial. Sastra ada dan menjadi ada ketika ia ditempatkan dalam sebuah ruang yang bernama sosial. Sebab proses pembelajaran dan pengajaran dapat lahir sejauh individu berinteraksi dengan individu lain. Etimologisnya, sastra tersusun dari kata “Sas” dan sebuah akhiran “tra” (Sansekerta). “Sas” berarti “mengarahkan, mengajar, atau memberi petunjuk”. Sedangkan akhiran “Tra” bermakna alat. Secara umum sastra dapat kita maknai sebagai “alat untuk belajar, buku pengajaran yang baik, atau bisa juga dimaknai sebagai buku petunjuk”.

Belum pernah ada sebuah definisi yang mampu memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sastra atau teks sastra. Pemaknaan tentang sastra, seperti juga pemaknaan terhadap banyak hal lain, bukanlah sebuah pemaknaan yang bersifat final. atau batasan tentang “sastra atau bukan sastra” senantiasa bersifat cair dalam dalam sebuah gerak menjadi. Sastra selalu mencari bentuk, menyesuaikan dengan gejolak yang ada di masyarakat. Senantiasa ada masyarakat di mana sastra lahir. Untuk sekedar memudahkan kita dalam membuat pembedaan sederhana antara sastra dan bukan sastra, kita mungkin bisa mengutip pendapat Austin Warren dan Rene Wellek. Mereka berpendapat bahwa ciri pembeda sastra dapat kita jumpai dalam “pemakaian khusus yang dibuat terhadap bahasa” Sastra adalah “bahasa dengan ciri yang khas, khusus, unik, dan mungkin “menyimpang”, dengan kualitas tekstual yang berbeda dari penggunaan bahasa secara umum”.



Pada alam gaya hidup masyarakat pasca-industrial mereka menemukan saluran lewat budaya pop. Kebudayaan pop telah membentuk masyarakat yang tak sekedar berbasis konsumsi, tapi lahir sebagai artefak dalam pusaran produk industri. Hanya menjadi komoditas. dinamika politik dan kultur dominan. Pertumbuhan lanjutan budaya pop ikut merekonstruksi format sosial dimana gaya sangat dikultuskan dan dipuja.



Budaya Pop adalah jenis kapitalisasi nilai dan estetika. Sastra merupakan bentuk estetika, walaupun belum jelas pembedaan sastra dan bukan sastra – karena teks yang sama akan memberikan arti yang berbeda bagi orang yang berbeda – sastra juga mengikuti jaman, sehingga kapitalisme (budaya pop) dapat mempengaruhi bentuk sastra saat ini.

Siapapun sepakat sastra di Indonesia sudah mendapat pengaruh dari budaya pop. Sehingga karya-karya sastra yang ada saat ini hanya dijadikan komoditas. Menjadikan produk gaya hidup yang terus menerus akan dicari walaupun tidak subtansial dari sagi cerita. Jika dikomparatifkan dengan makna sastra itu sendiri tidak akan bertolak belakang karena teks atau sastra yang sama akan memberikan makna dengan kata lain arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Ini dikarenakan pula hubungan antara pembaca dan karya sastra budaya pop (populer) merupakan hubungan aktif – produktif. Makna dari suatu karya sastra tidak bisa ditentukan dari tulisan-tulisan yang ada. Orang tidak hanya menentukan karya sastra tersebut bermakna bagaimana, tetapi terlebih pada menjadikan karya sastra tersebut bermakna apa bagi kebutuhan, pengalaman, dan hasrat mereka sendiri. 

Suatu karya sastra hanya akan memberikan arti dalam konteks, pengalaman, dan situasi dari pembaca. Kita telah tahu bahwa budaya pop saat ini sedang merajalela. Istilah “gaul dan kaum muda” adalah simbol utama dari budaya pop. Maka novel yang “tak gaul” adalah bukan novel “kaum muda”, sehingga pembelinya pun dari kalangan remaja. Kemunculan fenomena novel teenlith di dunia sastra Indonesia, merupakan bentuk nyata karya sastra yang telah dipengaruhi oleh budaya pop.

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini merupakan bahasa sehari-hari, tidak ada majas ataupun bahasa baku. Isi ceritanya pun tidak jauh dari kehidupan remaja, yaitu permasalahan cinta, sekolah, ataupun gaya – menjadikan novel ini sangat laris. Ini merupakan sebuah bentuk sastra yang dapat menjadi komoditas, sebuah bentuk yang lebih mementingkan permukaan dari pada subtansi. Tapi satu hal yang tidak boleh dipungkiri bahwa sastra pop adalah juga karya anak-anak bangsa yang dapat memberikan kontribusi berarti. Apapun itu. Sastra, quo vadis?

Surat Buat Ibu Sehabis Pemilu


Surat Buat Ibu Sehabis Pemilu

lagi-lagi doakan anakmu, ibu.
di atas pematang aku mengintip sepi.
tanah ini terlanjur terbengkalai.

Bulukumba, Selasa 14 April 2009



Januari Pagi Ini

januari pagi ini lentik sekali
aku, kau dan hujan masih bersajak tentang rumah tua di tengah ladang
tempat kau, aku dan masa kecil belajar berkebun dengan budi pekerti.
januari pagi ini lentik sekali bersama matahari
cahaya-cahaya dari celah bukit menangkapku yang sedang belajar bercocok tanam
dengan pikiran-pikiran sederhana.
penanggalan tak pernah tua
mimpi menderas selalu kembali ke januari pagi ini
saat dan tempat yang paling lirih bagi cahaya-cahaya kecil
sebelum berangkat jauh ke kota.
ketika cinta selalu menyertai
untuk selalu kembali pulang
ketika tak ada lagi yang bisa dicangkul dengan nurani
desa telah terlanjur sunyi tanpa bunyi lesung di siang hari
bertahun-tahun cahaya-cahaya itu telah
meredup
kunang-kunang tak lagi bisa kita tangkapi di malam hari.
dan bintang-bintang? ah, kita tak lagi memandanginya dari arah rumah tua di tengah ladang
tapi juga tak pernah cukup dimangsa
kenangan.

Bulukumba, 04 Januari 2009




 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday