Latest Post

Ernest Hemingway, Inspirator Gaya Bahasa Sederhana Dalam Menulis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 10 Agustus 2009 | Agustus 10, 2009


Jika anda pernah membaca salah satu karya Ernest Hemingway, mungkin anda akan sepakat dengan saya. Saya menemukan kisah-kisah yang realistis, manusiawi, gaya bahasa sederhana dan akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dia adalah Ernest Miller Hemingway, salah seorang novelis, cerpenis dan jurnalis terpenting Amerika. Lahir pada 21 Juli 1899 di Oak Park, sebuah desa di Chicago dan wafat 2 Juli 1961. Style penulisannya yang khas dengan gaya seadanya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan penulisan fiksi abad ke-20. Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika. Sekarang karyanya banyak digunakan sebagai pedoman kesusasteraan di Amerika.

Ernest Hemingway memperoleh hadiah Pulitzer pada tahun 1953 atas karya jurnalistiknya. Kemudian dia meraih Nobel Sastra pada 1954. Karya pertama Ernest diterbitkan pertama kali di Trapeze dan Tabula, koran dan majalah di sekolah Ernest. Setamat SMA, Ernest memilih untuk menjadi seorang penulis dan reporter pada surat kabar Kansas City Star. Selama menjadi reporter, Hemingway menerapkan prinsip-prinsip penulisan berita antara lain: menggunakan kalimat pendek, menggunakan bahasa yang mudah dan jernih pengaturannya, menggunakan kalimat padat, menggunakan kalimat positif, bukan negatif. Prinsip-prinsip ini dipegang teguh, sehingga Kansas City Star menempatkannya sebagai reporter terbaik selama seabad terakhir.

Ernest juga pernah nyaris menjadi serdadu Amerika. Pada tahun 1981, Ernest bergabung dengan tentara Amerika untuk melihat langsung perang dunia pertama. Namun ia gagal dalam tes kesehatan. Kemudian memilih bergabung dengan Palang Merah Amerika sebagai sopir ambulans. Ernest mulai mempublikasikan cerpennya tahun 1925. Buku Big Two-Hearted River adalah kumpulan cerita pendeknya yang laris di pasaran.

Tahun 1926, ia merampungkan novelnya yang berjudul The Sun Also Rises. Novel ini merupakan novel semi-autobiografi karena beranjak dari pengalamannya sebagai perantau di Paris dan Spanyol. Novel ini kemudian mendunia terutama di Eropa dan Amerika. Hingga hari ini lebih dari 100 karya fiksi maupun non-fiksi Ernest dibaca masyarakat dunia di antaranya yang terkenal seperti: ErThe Torrents of Spring, The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, , To Have and Have Not, dan The Old Man and the Sea.

Ernest telah banyak menginspirasi para penulis fiksi untuk selalu menggunakan gaya bahasa yang simpel. Sebenarnya gaya Ernest banyak dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai jurnalis di mana berita-berita memang semestinya cepat dimengerti pembaca. Di lain sisi, gaya kepenulisan Ernest tentunya diabaikan oleh penulis beraliran "eksplorasi tanpa batas" dalam berbahasa.


Dua Jam Buat Si Burung Merak

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 09 Agustus 2009 | Agustus 09, 2009


Program sastra Ekspresi di RCA 102,5 FM pada hari ini memuat sesuatu yang berbeda dan istimewa. Minggu 9 Agustus 2009 pukul 11.00-13.00 Wita, program Ekspresi menggelar edisi khusus bertajuk "Selamat Jalan Si Burung Merak" sebagai penghormatan kepada WS Rendra. Ada sesi pemutaran beberapa rekaman suara pembacaan puisi si Burung Merak. Dua rekaman puisi berjudul Pamflet Cinta dan Sajak Orang Tua dikirim oleh Rendra ke studio RCA sekitar dua bulan lalu. Seperti biasa pendengar tetap boleh berpartisipasi melalui telepon live di 0413-82022 untuk membaca puisi, cerpen, esai, prosa lirik dan sebagainya.

Beberapa lagu legendaris yang diputar di tengah acara, berkaitan langsung dengan diri Rendra seperti "Willy"
ciptaan Iwan Fals pada era 80-an. Lagu itu memang sengaja dinyanyikan Iwan Fals untuk Rendra. Lagu "Kesaksian" milik Kantata Taqwa di mana lirik lagu keseluruhannya adalah puisi naratif yang ditulis Rendra. Tak ketinggalan lagu-lagu dari para musisi dan penyanyi yang merupakan sahabat-sahaab dekat Rendra semasa beliau masih hidup. Di antaranya lagu-lagu milik Mbah Surip, Oppie Andaresta dan lain-lainnya.

Rendra memang belum habis meski usia dan penyakit membuatnya berhenti berkarya. Warisannya yang berupa karya dan pemikiran untuk bangsa ini senantiasa akan tetap diapresiasi sampai kapan pun. Si Burung Merak yang juga pernah membintangi film "Yang Muda Yang Bercinta" dengan sutradaar Syumanjaya pada tahun 1977 ini akan terus mengibaskan ekor dan sayapnya. Meski dia kini telah berbaring dengan tenang di halaman Bengkel Teater tempatnya dikuburkan di sebelah Mbah Surip, sahabatnya. Beberapa hari sebelum menutup usia saat masih dirawat di rumah sakit ternyata Rendra masih sempat menulis sebuah puisi. Puisi ini belum sempat diberi judul. Puisi ini adalah karya terakhir Rendra sebelum menghadap Sang Maha Pencipta.

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu



(Oh ya, saya haturkan banyak terimakasih buat bunda Tisti Rabani dengan pemberian Pinky Awardnya yg cantik ini. Giliran saya memberikan award keren ini kepada mbak ~ieDa~ dan Hamster Land:


Seni Instalasi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Agustus 2009 | Agustus 08, 2009


Sekitar lima tahun lalu saya iseng menerima ajakan seorang teman untuk mengunjungi sebuah pameran seni instalasi di salah satu kampus di Makasar. Awalnya saya berangkat dari rasa penasaran terhadap jenis aksi seni ini. Lalu mengernyitkan dahi sekaligus kekaguman. Bagi penikmat seni di berbagai belahan dunia sebenarnya seni instalasi bukan barang baru. Namun di Indonesia seni instalasi baru populer pada tataran aksi seniman perkotaan. Bahkan kadang terkesan elitis. Padahal seni instalasi mulai diperkenalkan oleh mahasiswa-mahasiswa seni rupa pada tahun 70-an.


Seni instalasi (installation = pemasangan) adalah seni yang memasang, menyatukan, dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Biasanya makna dalam persoalan-persoalan sosial-politik dan hal lain yang bersifat kontemporer diangkat dalam konsep seni instalasi ini.

Seni instalasi dalam konteks visual merupakan bentuk seni rupa yang menyajikan visual tiga dimensional yang memperhitungkan elemen-elemen ruang, waktu, suara, cahaya, gerak dan interaksi spektator para pengunjung sebagai konsepsi akhir dari olah rupa. Patung-patung, manusia, tumpukan jerami dan segala macam benda dikonstruksi membentuk makna. Tentu tidak mudah menikmatinya dalam pandangan sekejap. Membutuhkan cita rasa yang khas dari setiap individu agar bisa mencerna sebuah seni instalasi. Meski secara alami sesungguhnya seni instalasi secara tak sadar telah diciptakan manusia sejak masa purba.




Selamat Jalan, Rendra Si Burung Merak

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 07 Agustus 2009 | Agustus 07, 2009

Setengah tak percaya ketika saya mendengar kepergian salah satu penyair terpenting di republik ini. Ya, dialah WS Rendra yang dijuluki Si Burung Merak. Penyair dan dramawan, WS Rendra meninggal dunia pada usia 75 tahun. Rendra menghembuskan nafas terakhir pada Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS Kelapa Mitra, Jakarta. 

Karena sakit, Rendra tidak bisa menghadiri prosesi pemakaman sahabat karibnya, Mbah Surip di Makam Bengkel Teater, miliknya, Selasa 4 Agustus lalu. Di hari itu Rendra bahkan masih sempat mengizinkan Mbah Surip dimakamkan di komplek pemakaman Bengkel Teater halaman belakang rumahnya di Citayam, Depok.
Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Sempat mengecap ilmu di Jurusan Sastera Barat Fakultas Sastra UGM tapi tidak tamat. Kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967). 


Rendra sudah menulis puisi, cerita pendek dan drama sejak masih di SMP. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Gaya khasnya membaca puisi mirip burung merak yang mengibaskan sayap.

Puisi Rendra pertama kali dimuat di majalah Siasat tahun 1952. Lalu puisi-puisinya pun mengalir ke majalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Yang unik dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Rendra adalah sedikit di antara penyair tanah air yang sering mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Rendra memang berbeda. Dia satu-satunya penyair di dunia yang tergabung dalam sebuah kelompok musik terkenal. Rendra bersama Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie S. dan Totok Tewel adalah personil kelompok musik Kantata Taqwa di era 90-an. Puisi narasinya "Kesaksian" yang diaransemen dan dipopulerkan Kantata Taqwa menjadi lagu legendaris hingga kini.

Rendra selalu jujur memotret Indonesia dengan puisi. Orang-orang bilang, puisi-puisinya adalah puisi pamflet. Salah satunya, yang paling saya suka: ..inilah sajakku/ seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas/dengan kedua tangan kugendongt di belakang/ dan rokok kretek yang padam di mulutku/ aku memandang jaman/ aku melihat gambaran ekonomi/ di etalase toko yang penuh merk asing/ dan jalan – jalan bobrok antar desa/ yang tidak memungkinkan pergaulan/ aku melihat penggarongan dan pembusukan/ aku meludah di atas tanah/ aku berdiri di muka kantor polisi/ aku melihat wajah berdarah seorang demonstran/ aku melihat kekerasan tanpa undang – undang/ dan sebatang jalan panjang/ penuh debu/ penuh kucing – kucing liar/ penuh anak – anak berkudis/ penuh serdadu – serdadu yang jelek dan menakutkan/ aku berjalan menempuh matahari/ menyusuri jalan sejarah pembangunan/ yang kotor dan penuh penipuan/...(dari: Sajak Seorang Tua DiBawah Pohon)

Selamat jalan, Si Burung Merak. Memotret Indonesia dengan jujur adalah tugas generasi sesudahmu, yaitu kami.

Jose Rizal Manua Si Penulis Sajak Humor

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 06 Agustus 2009 | Agustus 06, 2009


Rekam jejak tokoh kita kali ini adalah seorang penyair Indonesia yang paling sering tampil bareng musisi reggae Mbah Surip almarhum. Saya masih teringat dengan penampilannya dalam sebuah dokumentasi pementasan di Taman Izmail Marzuki Jakarta. Jose membaca sajak-sajak humor sementara Mbah Surip memetik gitar dengan gaya khasnya. Penampilan keduanya memang klop. Sama-sama humoris dan konyol tapi sarat dengan karya yang mengandung sketsa sosial bahkan religius. “kamu teruskan saja, jangan pedulikan mereka”, kata WS Rendra kepada Jose di suatu hari ketika banyak kecaman terhadap gaya kepenyairan Jose.
Jose Rizal Manua lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 September 1954. Satu-satunya penyair Indonesia yang paling banyak menulis dan membacakan sajak humor ini adalah Sarjana Seni dari Fakultas Teater, Institut Kesenian Jakarta (1986). Jose juga sangat mencintai teater. Dia pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air(TTA), yang meraih juara pertama 19 medali emas di seluruh kategori pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9, yang diadakan di Lingen, Jerman, Juli 2006. Pada festival ini TTA membawakan lakon yang berjudul Wow karya Putu Wijaya. TTA juga meraih The Best Performance dan medali emas di The Asia Pacific Festival of Children Theatre 2004, di Toyama, Jepang. TTA membawakan lakon yang berjudul Bumi Ada di Tangan Anak-anak karya Danarto. Jose memang khas. Berikut ini contoh puisi-puisi humornya.

Sembako Atawa Sembarang Komentar

Menteri yang kerjanya cuma meralat
namanya menteri nekat.
Bahkan sampai harga pun diakrobat.
Di obrak-abrik
hukum di obrak-abrik
Di oprak-oprak
hakim di oprak-oprak :
Yang di serbu diadili dan masuk bui.
Yang menyerbu dilindungi dan dapat upeti.
Kerani yang kerjanya suka nyatut namanya kerani diamput.
Bahkan sampai karbon pun disetut.
Di bolak-balik
karma di bolak-balik
Di oglek-oglek
kursi di oglek-oglek :
Yang menyeru reformasi ditembaki.
Yang mengaku korupsi di suruh sembunyi.
O, alah plekencong, plekencong ekonomi doyong!
Politisi yang kerjanya mengantuk dalam sidang namanya politisi begadang.
Bahkan teriak setuju pun diundang.
O, alah plekencong, plekencong stabilitas bohong!
Konglomerat yang kekayaannya dibawa minggat namanya konglomerat bejat.
Bahkan berak pun di pesawat.
Di obrak-abrik
hukum di obrak-abrik
Di oprak-oprak
hakim di oprak-oprak
Di bolak-balik
karma di bolak-balik
Di oglek-oglek
kursi di oglek-oglek
Ini sembako baru
ini baru sembako namanya.
Atawa SEMBArang KOmentar.

Jakarta, Mei 1998


Sajak KKN
KKN bukan Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir.
Yang lain boleh debat tentang
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Karena nyatanya roda ekonomi
berputar-putar di lingkaran
keluarga dan kerabat dekat.
”Kulik, kulik elang
anak gagak di belakang.
Culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”
Di mana gurita tua lumutan
memainkan bidak-bidak perusahaan
dengan ratusan tangan.
Dari hulu ke hilir
dari bulu ke pelir
mengakar nepotisme
berjanggut kolusi
dan ubanan korupsi
Tekuk sana, bekuk sini
lipat sana, sikut sini
sikat sana, tutup sini
pasok sana, sogok sini
bocor sana, ngocor sini.
Jurang hidup menguak makin lebar
sudah melarat masih juga disikat.
Terbanting-banting di emperan jalan
terlunta-lunta tak punya pegangan.
”Kulik-kulik elang
anak gagak di belakang.
Culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”
KKN bukan Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir.

Jakarta, 23-25 Mei 1998

Jika dunia musik Indonesia mengenal Mbah Surip maka dunia sastra Indonesia mengenal Jose Rizal Manua. Sebenarnya tidak gampang membuat karya seni yang humoris, berkualitas sekaligus dapat diterima masyarakat tapi Jose telah membuktikannya.



Pelukis Kata Bernama Frans Nadjira

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 05 Agustus 2009 | Agustus 05, 2009


Sejak pertama kali membaca karyanya di radio, diam-diam saya menjulukinya pelukis kata. Dia memang seorang pelukis sekaligus penyair dan cerpenis. Frans Nadjira namanya. 

Dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, 3 September 1942. Konon di masa kecil, Frans mengambil kartu pos bergambar Rembrant dan Vincent van Gogh dari kotak surat seorang Belanda, ia juga menemukan reproduksi lukisan Wassily Kandinsky di tong sampah

Karya-karya maestro dunia itu, secara tanpa sadar telah membawa Frans mencintai seni lukis dan mendorongnya bersekolah di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar selama setahun. Kemudian ia merantau ke Kalimantan Utara, Filipina sebagai buruh dan pelaut, serta mendalami seni lukis dan sastra. 

Pada tahun 1974 ia pindah ke Denpasar, Bali sebagai pelukis dan memilih metoda seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga sekarang sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali.

Karya-karyanya beterbangan ke banyak media seperti Horison, Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Bali Post, AIA News (Australia), Muriara, CAK dan lain-lain. Juga dalam antologi Terminal Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, The Spirit That Moves Us (USA), Tonggak, On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, Springs of Fire Springs of Tears, Horison Sastra Indonesia, Jendela Jadikan Sajak dan beberapa buku apresiasi sastra Indonesia.

“Lukisan lahir dari kekuatan kosmik lewat tangan pelukis”, kata Frans di suatu hari. Sebagaimana cabang seni yang lain maka puisi, prosa dan sebagainya adalah artefak-artefak yang menandai sebuah peradaban. Karya Frans dapat disebut sebagai salah satu artefak penting yang masih akan digali oleh generasi-generasi mendatang. Cuplikan dari salah satu cerpennya berikut ini mungkin bisa lebih mempertegas tentang Frans Nadjira yang melukis kata dengan ribuan warna.

Bercakap-cakap Di Bawah Guguran Daun-daun
Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.


Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari memandang ke bintang -bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal-soal kesenian. Atau tentang adanya kenyataan yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Lihat, angin melucuti dedaunan dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.


Kehidupan yang polos. Seperti yang pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan.(nukilan dari salah satu cerpen Frans Nadjira)

Jan Mintaraga, Maestro dari Yogyakarta

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 04 Agustus 2009 | Agustus 04, 2009


Kedatangan salah seorang paman saya beberapa hari lalu memunculkan ide untuk rekam jejak tokoh kita kali ini. Paman saya ternyata masih gemar membaca komik di usianya yang ke-47. Sejak dulu koleksi komiknya berjumlah ratusan. Komik karya Jan Mintaraga adalah yang paling sering dibaca oleh paman sejak remaja. 

Menurut celoteh paman, tiga komikus besar dalam belantika komik Indonesia pada dekade 70–80-an yang karyanya akan tetap dikenal sepanjang masa. Mereka adalah Hans Jaladara, penulis Panji Tengkorak. Lalu Ganes TH yang terkenal dengan Si Buta dari Gua Hantu. Yang ketiga adalah Jan Mintaraga. Ia mulai menggambar komik sejak tahun 1965. Ketika komikus lain terjun ke dalam trend kisah-kisah rimba persilatan, Jan Mintaraga justru melawan arus dengan bercerita tentang roman metropolitan. Pada dekade itu, orang-orang menyebutnya sebagai komik roman.

Jan juga sempat menelurkan beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Ia juga menulis komik sejarah seperti Imperium Majapahit, Api di Rimba Mentaok. Selain sebagai seorang kartunis, Jan juga dikenal sebagai seorang ilustrator. Jan adalah ilustrator pertama yang berhasil menggambarkan karakter Ali Topan Anak Jalanan yang ditulis oleh Teguh Esha.


Jan Mintaraga lahir di
Yogyakarta, 8 November 1942 dan wafat di tanah yang sama pada 14 Desember 1999. Ia sempat mengecap pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan di Institut Teknologi Bandung. Ia dianggap sebagai komikus kebarat-baratan. Mungkin karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika. Dalam karya-karya Jan sangat sering dijumpai produk visual dari Amerika atau Eropa ketika itu. Jan sendiri mengakui bahwa komik-komiknnya banyak terinspirasi dari lagu-lagu Bob Dylan. Di antaranya, ada komik yang mengambil judul dari terjemahan sebuah lagu terkenal Bob Dylan, Blowing in The Wind. Komik itu diberinya judul Tertiup Bersama Angin (1967).


Tokoh-tokoh yang ditampilkan Jan selalu dengan karakter rambut gondrong, cuek dan agak sinis. Celananya jin belel dan sepatu kets. Sebatang rokok terselip di bibirnya dan jaket menggelantung di pundak. Karakter ini sebenarnya adalah juga penampilan asli sang maestro komik ini dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan para tokoh gadisnya selalu digambarkan dengan bentuk mata indah bola pingpong. Dandanan rambutnya sangat anggun. Jan juga sangat ahli dalam menggambar detail-detail kecil pada latar belakang, seperti pada bangunan, interior sebuah ruangan, tirai, baju kotak-kotak dengan cara yang menonjol. Juga mulai penggunaan tinta putih untuk memberikan efek-efek tertentu. Kelebihan ini jarang dimiliki oleh komikus lain.

Puisi dan Award

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 03 Agustus 2009 | Agustus 03, 2009


Berjabat Erat



musim ini adalah musim yang gemerisik
tapi biar saja angin menjatuhkan daun
dan hujan mengusik air danau dengan bunyi kecipak.
ketika melewati kotamu kemarin
aku sempat menunggumu
di sebuah tugu bertuliskan"di sini kita berjabat erat
tanpa henti."
pada musim selanjutnya
atau juga mungkin ketika tak ada lagi musim
kita masih akan terus merencanakan
untuk membangun tugu-tugu yang lain.
biar saja tanpa batu bata ataupun batako,
sebab sebuah rumah yang damai
selalu dibangun dari jabat erat hati.

Bulukumba, 3 Agustus 2009


Puisi di atas saya berikan kepada dua orang sahabat yang telah memberi award kepada saya kemarin dan seorang lagi di hari ini. Sahabat yang pertama adalah: mbak Fanny Fredlina, seorang cerpenis yang selalu menjadi inspirator dan motivator bagi para pembaca tulisan-tulisannya dalam blog Sang Cerpenis Bercerita.




Sahabat yang kedua adalah Mas Doyok dan Irawan yang telah memberi award keren ini:



Tiga award ini saya persembahkan pula kepada sobat-sobat tercinta:

-Tri Wahyudi
-Chord Guitar
-NBC FM Bantaeng
-Trimatra
-Roslinda
-Irawati
-gamegimi
-Eyda Chan
-Tisti Rabbani
-Penikmat Buku

Silahkan dibawa pulang ke rumah masing-masing ya, sobat.



William Shakespeare, Inspirator dari Stratford


Saya pernah mencoba membayangkan diri saya sedang berada di zaman renaissans di Inggris. Saya berimajinasi sedang bersama puluhan ribu orang memadati bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Tempat itu bernama teater Globe. Para penonton duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater terbuka atapnya. Ribuan orang berjejal di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton berteriak-teriak di belakang para aktor. Mereka memadati teater hanya untuk melihat sandiwara yang ditulis dan dipentaskan oleh William Shakespeare. 

Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke teater pada saat ini. Di zaman renaissans orang-orang menikmati teater tak ubahnya seolah menikmati sepak bola di sebuah stadion pada zaman sekarang. Bisa dibayangkan betapa ramainya.

Kaum renaissans Eropa menghidupkan kembali semangat berburu ilmu klasik dan gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Meninggalkan suatu dunia yang stagnan menuju kegairahan hidup dengan gaya manusia artistik. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya agama di dunia. Dan karena banyak di antara mereka mulai dapat membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaissans menggunakan cara mereka sendiri-sendiri untuk mencari rejeki dan mengembangkan kehidupan mereka. Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

Di Indonesia nama Shakespeare lebih sering diidentikkan dengan salah satu karya besarnya Romeo dan Juliet dan The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark. Salah satu ucapannya yang terkenal, "What is a name?" (Apalah arti sebuah nama?). Tapi namanya sendiri, William Shakespeare tentu sangat berarti. Ia lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 26 April1564 dan wafat di tempat yang sama pada 23 April 1616. Salah satu sastrawan terbesar Inggris ini menulis lebih dari 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, dan 154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain. 

Ia berkarya selama 25 tahun antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa di dunia dan dipentaskan di panggung paling sering daripada semua penulis sandiwara manapun di dunia.

Menikmati karya-karya Shakespeare adalah menjelajahi tiga pertanyaan yang mendasari seluruh karyanya yaitu: Apa artinya untuk hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan? Hingga kini banyak tokoh dunia masih menjadikan karya Shakespeare sebagai referensi untuk menemukan cara berpikir yang baru dari membaca dan membaca ulang karyanya. 

Mempelajari Shakespeare adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis, politis, filosofis, sosial hingga spiritual. Shakespeare meninggal pada tahun 1611 dan membuatnya berhenti menulis. Yang unik, pada batu nisannya tertulis: "Blest be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones." yang kira-kira terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi: "Terbekatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku."

Agustus Yang Memulai Pagi

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 02 Agustus 2009 | Agustus 02, 2009


Sepotong dari benak saya yang entah ini layak disebut puisi tapi saya tulis khusus buat semua sahabat blogger setanah air dan sedunia. Ini adalah award dalam bentuk puisi.


Agustus Yang Memulai Pagi

berjalan lagi
usai melukis hujan
di wajahmu
. "matahari bertumbuhan
di bawah jendela rumahku" katamu
setiap hari.
"ya, memang semestinya begitu," ujarku sambil
meneguk kopi
dan senyumanmu di langit.
cahaya buat kota hatimu diletakkan setiap pagi

oleh seseorang tak dikenal
tapi tak pernah merasa asing
padahal
berjalan lagi.
ada yang embun ada yang mata air ada yang riak telaga
lalu berjalan lagi
ada yang menuju pagi
menuju senja
menuju segala ruang.
di kota hati tak berpasir
tetap saja kita setia mengunyah nyanyian
yang kita sepakati untuk mencurinya

dari sepotong waktu yang merdeka.

Bulukumba, 2 Agustus 2009
(award versi puisi, juga boleh dibawa pulang)


Alhamdulillah, lima bulan ngeblog sejak aktif pada Maret 2009, sungguh banyak hal penting yang saya peroleh. Tak terhitung jumlah kenalan baru, teman, dan sahabat. Begitu banyak tambahan wawasan, hikmah, pelajaran, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Jujur saya masih sangat gaptek dan baru lima bulan ngeblog. Kaget juga sebab telah dianugerahi 12 award dari tujuh orang sahabat. Itu seingat dan sesuai data, he he he..soalnya beberapa hari lalu file award di komputer saya sedikit ada masalah. Jika ada teman lainnya yang mungkin pernah juga memberi award kepada saya, tolong segera konfirmasinya sobat ya.

Tiga Award dari bunda Elly Suryani, penulis prosa lirik dan narasi manis penuh hikmah kehidupan dalam blog Life With Your Vision. Salah satunya adalah :

Tiga Award dari mbak Latifah Hizboel, penulis mutiara-mutiara kisah kehidupan dan universalitas cinta dalam blog Cinta Hakiki. Salah satunya berikut ini:

Award berikut dari Joni, seorang penyair muda dengan puisi-puisi manis dalam blog Hidup Itu Indah:

Award yang satu ini datang dari Eris Agustian penulis hebat penuh ide dalam blog Digital Life:



Award ini dari mbak Reni, penulis catatan-cataan kecil yang manis dan inspiratif:
Award berikut berasal dari Irma Senja, penyair dengan puisi-puisi cantik:



Award ini diberikan oleh Chankak23, blogger penuh inspirasi:



Kini giliran saya mempersembahkan sastra radio award 2009 kepada:
- Newsoul, ateh75, Joni, Irmasenjaq, mbak Reni, Naruto, Digital Life, Chankak23, Bagus Siedharta, Sang Cerpenis Bercerita, kang Buwel, Setiawan Dirgantara, Hijau Lumut, tukangbikincerita, Fanda, Ahmad Flamboyant, Sigit, Trimatra, mas Doyok, Nura, Desti, Osi, Sijagur, mbak Yuni, Music Publichist, Dexter, Opung, Attayaya, Azarre dan Anazkia.
- semua sahabat yang telah bertukar banner ataupun link dengan saya.

- semua yang telah berkomentar di post comment maupun shoutmix- semua yang telah menjadi pembaca setia atau follower blog sastra radio.
Anda semua adalah salah satu bagian penting dari inspirasi dan semangat saya untuk tetap ngeblog dan saling berbagi hal-hal bermanfaat. Silahkan diambil ya, sahabat... Award ini amat sederhana (padahal si Amat sendiri tidak sesederhana itu he..he.. he..) tapi semoga teman-teman berkenan membawanya pulang. Makna setiap lekuk pada award ini adalah:

-Gambar microphone studio radio mewakili genre blog ini dan radio tempat saya bekerja,
RCA 102, 5 FM. Meski saya masih gaptek, tapi terimakasih kepada RCA yang telah bersedia mensupport bahkan bersedia menjadi sponsor blog sastra radio. Sejak awal saya telah memutuskan blog ini mengusung aliran sastra dan seputar seni budaya serta rekam jejak program sastra budaya Ekspresi dan Sembilu di RCA.

-Latar warna biru menyimbolkan
langit luas kemerdekaan inspirasi dan gagasan tak bertepi. Juga kedalaman lautan hikmah dan pengetahuan yang harus tetap diselami semampu kita.

-Tulisan sastra radio berwarna kuning menyimbolkan kesuburan hati dan jiwa yang harus tetap kita tanami dengan keikhlasan. Tulisan award 2009 berwarna merah melambangkan keberanian dan jiwa patriotisme kita sebagai anak bangsa yang berusaha mengisi kemerdekaan dengan
segala hal bermanfaat di dunia maya.

Semua award di atas boleh diambil semuanya atau salah satunya yang paling disukai.

Mistikus Cinta Jalaluddin Rumi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 01 Agustus 2009 | Agustus 01, 2009


"jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku." kata Jalaluddin Rumi dalam salah satu karyanya. 

Konsep pemahaman Rumi menyatakan bahwa dunia hanya mungkin digapai lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Penyair sufi terkemuka sepanjang masa ini lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Masehi. Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal berjudul al-Matsnawi al-Maknawi, sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang pada masa itu kehilangan kekuatannya. Isinya juga mengoreksi filsafat yang cenderung mengkultuskan rasio. Rumi selalu memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Namun bukan puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat.

Rum bukan sekadar penyair. Ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah atau Jalaliyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H Rumi menutup usia. Dengan cinta, Rumi menghadap Tuhan. Sebagaimana yang dia ungkapkan dalam salah satu syairnya:

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
"Kepada Nya, kita semua akan kembali"
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday