Latest Post

Apa Kabar Seni Tradisional Tanah Air?

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 13 Agustus 2009 | Agustus 13, 2009


Apa kabar seni tradisional tanah air? Ini adalah pertanyaan yang tidak harus dijawab. Saya sendiri tidak akan mampu menjawabnya. Saya hanya bisa merasakan kerinduan pada masa kecil ketika melihat paman bermain gasing dan main hadang bersama teman-teman sepermainannya di sekolahan. Di waktu yang lain di lapangan sekolah pasti akan ada waktu untuk bermain sepak takraw setiap kali jam istirahat tiba. Pada waktu itu teman-teman paman lainnya di seluruh tanah air pasti menikmati hal yang sama. Dari Sabang sampai Merauke, sebahagian besar dari mereka mahir bermain Makyong, Menora, Wayang bahkan Ludruk, Ketoprak dan Lenong. Di pelosok lainnya ada yang mahir memainkan serunai, serulung, kendang dan gamelan. Lihatlah, pasti ada yang selalu unggul dalam kerapan sapi, perisaian, palak babi, zawo-zawo dan masih banyak lagi yang tak terhitung jumlah jenis dan macamnya.

Seni tradisional tanah air mulai dari alat musik, permainan anak-anak, tari sampai drama kini telah berada di zaman museum. Zaman museum lebih merupakan sebuah etape sejarah di mana material dan pemaknaan diletakkan pada "peninggalan." Di sisi lain, menghidupkan seni tradisional dengan cara "pelestarian" semisal festival, seremoni dan semacamnya juga telah berada di titik kejenuhan. Generasi-generasi baru yang lahir kemudian tentu tidak dapat disalahkan jika mata rantai apresiasi terputus. Mereka lahir di zaman yang berbeda. Generasi game, playstation, mall dan handphone itu tidak dapat dipertemukan secara utuh dan massif ke dalam pemahaman kolektif. Lihatlah misalnya acara lawak Opera Van Java di salah satu televisi swasta, yang menghibur generasi seperti saya. Tapi yakin saja, acara itu pasti membuat bingung bagi mereka yang lahir pada dekade 1930-1940-an.

Pergeseran waktu dan zaman bisa saja menghilangkan material budaya seperti seni tradisional secara massif. Namun perubahan waktu tak akan dapat menghilangkan kerinduan tertentu terhadap seni tradisional. Rasa memiliki adalah apresiasi yang sulit ditumbuhkan jika masyarakatnya sendiri apatis dan skeptis. Seni tradisional adalah elemen kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/puak/suku/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidakmauan masyarakat untuk mengikuti tradisi tersebut. Masyarakatlah yang menentukan seni tradisionalnya akan dibentuk menjadi apa saja.

Lalu apakah seni tradisional di tanah air kini memang benar-benar telah tergerus? Paling tidak, meletupkan kerinduan adalah salah bentuk pelestarian yang bisa berujung pada rekonstruksi ruang dan waktu.

International Bloggers Community: Award Persahabatan Sedunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Agustus 2009 | Agustus 12, 2009


Ketika membuka blog di larut malam saya dikagetkan dengan pemberian award dari kang Enes dari blog SC Community. Jujur, penghargaan ini rasanya belum pantas bagi saya yang baru belajar ngeblog bahkan masih terlalu gaptek. Terlebih lagi award ini sangat istimewa dan tidak sembarangan sebab berskala internasional. Sesuai amanat dari pemberi award ini, maka saya posting kembali award dan artikelnya (maaf buat kang Enes sebab saya edit di beberapa sudut).

Award ini sangat menarik dan memiliki beberapa keunggulan. Keunggulannya adalah pertama, award ini bersifat internasional, kedua, award ini dapat diberikan lagi kepada teman-teman dalam link blogroll kita dengan jumlah tak terbatas, ketiga, aturan pemberian award ini tidak ketat (tidak ada PR yang harus dikerjakan), keempat, award ini bisa dijadikan sebagai backlink karena teman yang diberi award harus mencantumkan nama, nama blog, dan URL (link) blog kita sebagai pemberi award, dan kelima, yang mendapatkan award ini akan terdaftar di BloGGiSTa INFo CoRNeR dengan syarat harus memberitahukan bahwa kita telah mem-posting awardnya.


Berikut adalah aturan
BLoGGiSTa iNFo CoRNeR yang harus dilakukan oleh si penerima award:

Rules (Aturan):

  1. Link the person who tagged you (Tautkan dengan orang yang men-tag anda).
  2. Copy the image above, the rules and the questionnaire in this post (Copy gambar di atas berikut aturan dan pertanyaan pada postingan ini).
  3. Post this in one or all of your blogs (Posting award ini pada satu atau pada semua blog milik anda).
  4. Answer the four questions following these Rules (Jawab empat pertanyaan di bawah dengan mengikuti aturan yang ada).
  5. Recruit at least seven (7) friends on your Blog Roll by sharing this with them (Rekrut sedikitnya tujuh orang teman yang ada pada Blog Roll anda lalu berbagi award ini dengan mereka).
  6. Come back to BLoGGiSTa iNFo CoRNeR (PLEASE DO NOT CHANGE THIS LINK) at http://bloggistame.blogspot.com and leave the URL of your Post in order for you/your Blog to be added to the Master List (Kunjungi BloGGiST INFo CoRNeR (Jangan ubah linknya) di http://bloggistame.blogspot.com dan tinggalkan URL blog anda untuk ditambahkan ke Master List).
  7. Have Fun! (Selamat bersenang-senang!)
Questions & Your Answers (Pertanyaan & Jawaban):
  1. The person who tagged you (Orang yang men-tag anda): eNeS
  2. His/her site's title and url (Judul situs dan url-nya): SC Community, http://ruangsc.blogspot.com/
  3. Date when you were tagged (Tanggal ketika men-tag anda): August 12, 2009
  4. Persons you tagged (Orang-orang yang anda tag atau beri award):
Itulah 17 orang sahabat yang mendapatkan award dari Sastra Radio. Angka 17 untuk mengingatkan kita pada hari proklamasi kemerdekaan republik kita tercinta. Bagi sobat yang mendapatkan award ini silahkan ambil dan posting kembali award International Bloggers Community ini. Dan jangan lupa, setelah di-posting harap segera konfirmasi ke BloGGiSTa INFo CoRNeR supaya nama anda masuk Master List di sana.

Sidney Sheldon dan Novel Untuk Perempuan


Usai menuntaskan membaca beberapa novelnya sekitar dua tahun lampau membuat saya baru percaya bahwa karya-karya penulis dari Amerika inilah yang paling banyak dibaca oleh kaum perempuan di dunia. Ia adalah Shidney Sheldon yang pernah berkata, "Film adalah sebuah medium kerja sama, dan setiap orang menebak-nebak kita. Bila kita menulis novel, kita bekerja sendirian. Ini adalah kemerdekaan yang tidak ada dalam medium lain manapun." Lantas Shidney Seldon pun lebih banyak menulis novel. Kebanyakan novelnya berkisah tentang perempuan-perempuan yang bermental baja dalam menghadapi dunia yang keras di mana sering didominasi kekuasaan para lelaki yang kejam. Novel-novelnya memuat banyak ketegangan dan teknik penulisan yang dapat membuat pembaca tidak bisa beranjak dari membaca bukunya.
Alhasil, kebanyakan pembacanya di seluruh dunia adalah perempuan. Sebagaimana pengakuannya, Sheldon suka menulis tentang perempuan yang berbakat dan cakap tapi tetap mempertahankan keperempuanan mereka. Sidney meyakini, keperempuanan adalah kekuatan yang luar biasa dari perempuan dan lelaki tidak dapat tahan menghadapinya.


Sidney Sheldon lahir dengan nama Sidney Schechtel di Chicago, Illinois dari ayah seorang Yahudi-Jerman dan ibu seorang Yahudi-Rusia 11 Februari 1917. Pada usia 10 tahun, ia berhasil untuk pertama kali berjualan. Ia memperoleh AS$10 untuk sebuah puisi. Pada masa Depresi, ia melakukan berbagai pekerjaan, belajar di Universitas Northwestern dan menyumbangkan drama-drama pendek ke berbagai kelompok drama. Novelnya yang pertama diterbitkan pada 1969, The Naked Face yang memperoleh Penghargaan Edgar Allan Poe untuk Novel Pertama Terbaik dari Mystery Writers of America. Novelnya yang berikut, The Other Side of Midnight, menduduki tempat pertama dalam daftar novel terlaris New York Times seperti juga beberapa novelnya berikutnya. Beberapa di antaranya dirilis sebagai film dan miniseri TV.

Sheldon adalah satu-satunya pengarang Amerika yang memperoleh sejumlah penghargaan dalam tiga bidang karier sekaligus. Dia sebagai penulis drama Broadway, pengarang skenario TV dan film Hollywood, dan novelis yang laris. Sebagian dari karya-karya TVnya yang paling terkenal termasuk I Dream of Jeannie (1965-1970) dan The Patty Duke Show (1963-1966), ketika ia berusia 50 tahun mulai menulis novel-novelnya yang laris seperti Master of the Game (1982), dan The Other Side of Midnight Rage of Angels (1980). Pada akhirnya Sheldon tak lagi dapat menulis novel untuk kaum perempuan sebab meninggal karena komplikasi yang muncul akibat radang paru-paru pada 30 Januari 2007.




Musikalisasi Puisi, Cara Lain Memahami Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 11 Agustus 2009 | Agustus 11, 2009

Pada awal tahun 2000 saya pernah begitu keranjingan menikmati musikalisasi puisi yang pernah digelar di beberapa kampus di Makassar. Beberapa kelompok musik di Makassar hingga kini kadang tetap setia bergumul dalam genre yang unik ini di antaranya KPJ (Komunitas Pemusik Jalanan), Spasi (Serikat Pencinta Seni) Unhas, dan Karca (Karaeng Caddia) Band serta KMB(Komunitas Musik Bumi) di Bulukumba. Musikalisasi puisi mestinya memang unik sebab proses penciptaan karya musik

 dan puisi terjadi dua kali. Musikalisasi puisi adalah suatu penciptaan karya puisi yang dikemas dalam sebuah lagu, dimana bait-bait puisi menjadi syairnya. Musikalisasi sebuah puisi menjadikan sebuah puisi “lahir dua kali”. Kelahiran pertama adalah kelahiran bait-baitnya dari sang penyair, dan kelahirannya yang kedua berasal dari sang komposer, pencipta musik, penyanyi serta pemain musiknya.

Dari sudut kaidah bahasa Indonesia istilah "musik puisi", yang disebut "diterangkan menerangkan", maka kata "puisi" menerangkan kata "musik". Kata "puisi" merupakan atribut sifat dari kata utama "musik" hingga pengertian istilah "musik puisi" adalah "musik yang puitis". Istilah "musikalisasi puisi" adalah contoh istilah di mana "puisi" merupakan subjek dari perbuatan, yaitu "memusikkan puisi", atau membuat puisi jadi musik.
Musikalisasi puisi di Indonesia sebenarnya telah tumbuh subur sejak era 80-an. Seniman-seniman pelopor musikalisasi puisi di tanah air seperti Ferdi Arsi, Sapardi Djoko Damono, bahkan Emha Ainun Nadjib dapat disebut sebagai tonggak awal musikalisasi puisi di tanah air. Di ranah yang berbeda dengan tapi boleh disepakati sebagai salah satu bentuk musikalisasi puisi adalah semisal Ebiet G. Ade. Penyanyi balada itu memiliki kebiasaan menulis puisi terlebih dulu sebelum menciptakan aransemen musik bagi puisinya sebelum matang menjadi sebuah lagu yang utuh.


Musikalisasi puisi sesungguhnya dapat didesain menjadi salah satu cara untuk mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas, tidak hanya peminat sastra. Musikalisasi puisi dapat memberi penajaman makna sehingga dapat membantu masyarakat yang yang tidak berminat pada sastra akhirnya bisa memahami puisi. Puisi-puisi yang kemudian lebih populer sebagai lagu masih dapat dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. 

Para penggemar Iwan Fals yang semula tidak mengenal WS Rendra dan karyanya akhirnya penasaran untuk membaca karya-karya Rendra. Itu terjadi ketika puisi Rendra yang berjudul "Kesaksian" dinyanyikan Iwan Fals bersama Kantata Taqwa pada tahun 1991. Kasus lainnya adalah puisi "Panggung Sandiwara" karya Taufik Ismail yang dimainkan begitu apik oleh God Bless di era 70-an. Taufik Ismail pun menulis "Pintu Surga" pada tahun 2005 yang berhasil dipopulerkan kelompok musik Gigi.


Ernest Hemingway, Inspirator Gaya Bahasa Sederhana Dalam Menulis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 10 Agustus 2009 | Agustus 10, 2009


Jika anda pernah membaca salah satu karya Ernest Hemingway, mungkin anda akan sepakat dengan saya. Saya menemukan kisah-kisah yang realistis, manusiawi, gaya bahasa sederhana dan akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dia adalah Ernest Miller Hemingway, salah seorang novelis, cerpenis dan jurnalis terpenting Amerika. Lahir pada 21 Juli 1899 di Oak Park, sebuah desa di Chicago dan wafat 2 Juli 1961. Style penulisannya yang khas dengan gaya seadanya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan penulisan fiksi abad ke-20. Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika. Sekarang karyanya banyak digunakan sebagai pedoman kesusasteraan di Amerika.

Ernest Hemingway memperoleh hadiah Pulitzer pada tahun 1953 atas karya jurnalistiknya. Kemudian dia meraih Nobel Sastra pada 1954. Karya pertama Ernest diterbitkan pertama kali di Trapeze dan Tabula, koran dan majalah di sekolah Ernest. Setamat SMA, Ernest memilih untuk menjadi seorang penulis dan reporter pada surat kabar Kansas City Star. Selama menjadi reporter, Hemingway menerapkan prinsip-prinsip penulisan berita antara lain: menggunakan kalimat pendek, menggunakan bahasa yang mudah dan jernih pengaturannya, menggunakan kalimat padat, menggunakan kalimat positif, bukan negatif. Prinsip-prinsip ini dipegang teguh, sehingga Kansas City Star menempatkannya sebagai reporter terbaik selama seabad terakhir.

Ernest juga pernah nyaris menjadi serdadu Amerika. Pada tahun 1981, Ernest bergabung dengan tentara Amerika untuk melihat langsung perang dunia pertama. Namun ia gagal dalam tes kesehatan. Kemudian memilih bergabung dengan Palang Merah Amerika sebagai sopir ambulans. Ernest mulai mempublikasikan cerpennya tahun 1925. Buku Big Two-Hearted River adalah kumpulan cerita pendeknya yang laris di pasaran.

Tahun 1926, ia merampungkan novelnya yang berjudul The Sun Also Rises. Novel ini merupakan novel semi-autobiografi karena beranjak dari pengalamannya sebagai perantau di Paris dan Spanyol. Novel ini kemudian mendunia terutama di Eropa dan Amerika. Hingga hari ini lebih dari 100 karya fiksi maupun non-fiksi Ernest dibaca masyarakat dunia di antaranya yang terkenal seperti: ErThe Torrents of Spring, The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, , To Have and Have Not, dan The Old Man and the Sea.

Ernest telah banyak menginspirasi para penulis fiksi untuk selalu menggunakan gaya bahasa yang simpel. Sebenarnya gaya Ernest banyak dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai jurnalis di mana berita-berita memang semestinya cepat dimengerti pembaca. Di lain sisi, gaya kepenulisan Ernest tentunya diabaikan oleh penulis beraliran "eksplorasi tanpa batas" dalam berbahasa.


Dua Jam Buat Si Burung Merak

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 09 Agustus 2009 | Agustus 09, 2009


Program sastra Ekspresi di RCA 102,5 FM pada hari ini memuat sesuatu yang berbeda dan istimewa. Minggu 9 Agustus 2009 pukul 11.00-13.00 Wita, program Ekspresi menggelar edisi khusus bertajuk "Selamat Jalan Si Burung Merak" sebagai penghormatan kepada WS Rendra. Ada sesi pemutaran beberapa rekaman suara pembacaan puisi si Burung Merak. Dua rekaman puisi berjudul Pamflet Cinta dan Sajak Orang Tua dikirim oleh Rendra ke studio RCA sekitar dua bulan lalu. Seperti biasa pendengar tetap boleh berpartisipasi melalui telepon live di 0413-82022 untuk membaca puisi, cerpen, esai, prosa lirik dan sebagainya.

Beberapa lagu legendaris yang diputar di tengah acara, berkaitan langsung dengan diri Rendra seperti "Willy"
ciptaan Iwan Fals pada era 80-an. Lagu itu memang sengaja dinyanyikan Iwan Fals untuk Rendra. Lagu "Kesaksian" milik Kantata Taqwa di mana lirik lagu keseluruhannya adalah puisi naratif yang ditulis Rendra. Tak ketinggalan lagu-lagu dari para musisi dan penyanyi yang merupakan sahabat-sahaab dekat Rendra semasa beliau masih hidup. Di antaranya lagu-lagu milik Mbah Surip, Oppie Andaresta dan lain-lainnya.

Rendra memang belum habis meski usia dan penyakit membuatnya berhenti berkarya. Warisannya yang berupa karya dan pemikiran untuk bangsa ini senantiasa akan tetap diapresiasi sampai kapan pun. Si Burung Merak yang juga pernah membintangi film "Yang Muda Yang Bercinta" dengan sutradaar Syumanjaya pada tahun 1977 ini akan terus mengibaskan ekor dan sayapnya. Meski dia kini telah berbaring dengan tenang di halaman Bengkel Teater tempatnya dikuburkan di sebelah Mbah Surip, sahabatnya. Beberapa hari sebelum menutup usia saat masih dirawat di rumah sakit ternyata Rendra masih sempat menulis sebuah puisi. Puisi ini belum sempat diberi judul. Puisi ini adalah karya terakhir Rendra sebelum menghadap Sang Maha Pencipta.

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu



(Oh ya, saya haturkan banyak terimakasih buat bunda Tisti Rabani dengan pemberian Pinky Awardnya yg cantik ini. Giliran saya memberikan award keren ini kepada mbak ~ieDa~ dan Hamster Land:


Seni Instalasi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Agustus 2009 | Agustus 08, 2009


Sekitar lima tahun lalu saya iseng menerima ajakan seorang teman untuk mengunjungi sebuah pameran seni instalasi di salah satu kampus di Makasar. Awalnya saya berangkat dari rasa penasaran terhadap jenis aksi seni ini. Lalu mengernyitkan dahi sekaligus kekaguman. Bagi penikmat seni di berbagai belahan dunia sebenarnya seni instalasi bukan barang baru. Namun di Indonesia seni instalasi baru populer pada tataran aksi seniman perkotaan. Bahkan kadang terkesan elitis. Padahal seni instalasi mulai diperkenalkan oleh mahasiswa-mahasiswa seni rupa pada tahun 70-an.


Seni instalasi (installation = pemasangan) adalah seni yang memasang, menyatukan, dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Biasanya makna dalam persoalan-persoalan sosial-politik dan hal lain yang bersifat kontemporer diangkat dalam konsep seni instalasi ini.

Seni instalasi dalam konteks visual merupakan bentuk seni rupa yang menyajikan visual tiga dimensional yang memperhitungkan elemen-elemen ruang, waktu, suara, cahaya, gerak dan interaksi spektator para pengunjung sebagai konsepsi akhir dari olah rupa. Patung-patung, manusia, tumpukan jerami dan segala macam benda dikonstruksi membentuk makna. Tentu tidak mudah menikmatinya dalam pandangan sekejap. Membutuhkan cita rasa yang khas dari setiap individu agar bisa mencerna sebuah seni instalasi. Meski secara alami sesungguhnya seni instalasi secara tak sadar telah diciptakan manusia sejak masa purba.




Selamat Jalan, Rendra Si Burung Merak

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 07 Agustus 2009 | Agustus 07, 2009

Setengah tak percaya ketika saya mendengar kepergian salah satu penyair terpenting di republik ini. Ya, dialah WS Rendra yang dijuluki Si Burung Merak. Penyair dan dramawan, WS Rendra meninggal dunia pada usia 75 tahun. Rendra menghembuskan nafas terakhir pada Kamis 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS Kelapa Mitra, Jakarta. 

Karena sakit, Rendra tidak bisa menghadiri prosesi pemakaman sahabat karibnya, Mbah Surip di Makam Bengkel Teater, miliknya, Selasa 4 Agustus lalu. Di hari itu Rendra bahkan masih sempat mengizinkan Mbah Surip dimakamkan di komplek pemakaman Bengkel Teater halaman belakang rumahnya di Citayam, Depok.
Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Sempat mengecap ilmu di Jurusan Sastera Barat Fakultas Sastra UGM tapi tidak tamat. Kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Syarikat (1964-1967). 


Rendra sudah menulis puisi, cerita pendek dan drama sejak masih di SMP. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Gaya khasnya membaca puisi mirip burung merak yang mengibaskan sayap.

Puisi Rendra pertama kali dimuat di majalah Siasat tahun 1952. Lalu puisi-puisinya pun mengalir ke majalah Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Yang unik dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Rendra adalah sedikit di antara penyair tanah air yang sering mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Rendra memang berbeda. Dia satu-satunya penyair di dunia yang tergabung dalam sebuah kelompok musik terkenal. Rendra bersama Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie S. dan Totok Tewel adalah personil kelompok musik Kantata Taqwa di era 90-an. Puisi narasinya "Kesaksian" yang diaransemen dan dipopulerkan Kantata Taqwa menjadi lagu legendaris hingga kini.

Rendra selalu jujur memotret Indonesia dengan puisi. Orang-orang bilang, puisi-puisinya adalah puisi pamflet. Salah satunya, yang paling saya suka: ..inilah sajakku/ seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas/dengan kedua tangan kugendongt di belakang/ dan rokok kretek yang padam di mulutku/ aku memandang jaman/ aku melihat gambaran ekonomi/ di etalase toko yang penuh merk asing/ dan jalan – jalan bobrok antar desa/ yang tidak memungkinkan pergaulan/ aku melihat penggarongan dan pembusukan/ aku meludah di atas tanah/ aku berdiri di muka kantor polisi/ aku melihat wajah berdarah seorang demonstran/ aku melihat kekerasan tanpa undang – undang/ dan sebatang jalan panjang/ penuh debu/ penuh kucing – kucing liar/ penuh anak – anak berkudis/ penuh serdadu – serdadu yang jelek dan menakutkan/ aku berjalan menempuh matahari/ menyusuri jalan sejarah pembangunan/ yang kotor dan penuh penipuan/...(dari: Sajak Seorang Tua DiBawah Pohon)

Selamat jalan, Si Burung Merak. Memotret Indonesia dengan jujur adalah tugas generasi sesudahmu, yaitu kami.

Jose Rizal Manua Si Penulis Sajak Humor

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 06 Agustus 2009 | Agustus 06, 2009


Rekam jejak tokoh kita kali ini adalah seorang penyair Indonesia yang paling sering tampil bareng musisi reggae Mbah Surip almarhum. Saya masih teringat dengan penampilannya dalam sebuah dokumentasi pementasan di Taman Izmail Marzuki Jakarta. Jose membaca sajak-sajak humor sementara Mbah Surip memetik gitar dengan gaya khasnya. Penampilan keduanya memang klop. Sama-sama humoris dan konyol tapi sarat dengan karya yang mengandung sketsa sosial bahkan religius. “kamu teruskan saja, jangan pedulikan mereka”, kata WS Rendra kepada Jose di suatu hari ketika banyak kecaman terhadap gaya kepenyairan Jose.
Jose Rizal Manua lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 September 1954. Satu-satunya penyair Indonesia yang paling banyak menulis dan membacakan sajak humor ini adalah Sarjana Seni dari Fakultas Teater, Institut Kesenian Jakarta (1986). Jose juga sangat mencintai teater. Dia pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air(TTA), yang meraih juara pertama 19 medali emas di seluruh kategori pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9, yang diadakan di Lingen, Jerman, Juli 2006. Pada festival ini TTA membawakan lakon yang berjudul Wow karya Putu Wijaya. TTA juga meraih The Best Performance dan medali emas di The Asia Pacific Festival of Children Theatre 2004, di Toyama, Jepang. TTA membawakan lakon yang berjudul Bumi Ada di Tangan Anak-anak karya Danarto. Jose memang khas. Berikut ini contoh puisi-puisi humornya.

Sembako Atawa Sembarang Komentar

Menteri yang kerjanya cuma meralat
namanya menteri nekat.
Bahkan sampai harga pun diakrobat.
Di obrak-abrik
hukum di obrak-abrik
Di oprak-oprak
hakim di oprak-oprak :
Yang di serbu diadili dan masuk bui.
Yang menyerbu dilindungi dan dapat upeti.
Kerani yang kerjanya suka nyatut namanya kerani diamput.
Bahkan sampai karbon pun disetut.
Di bolak-balik
karma di bolak-balik
Di oglek-oglek
kursi di oglek-oglek :
Yang menyeru reformasi ditembaki.
Yang mengaku korupsi di suruh sembunyi.
O, alah plekencong, plekencong ekonomi doyong!
Politisi yang kerjanya mengantuk dalam sidang namanya politisi begadang.
Bahkan teriak setuju pun diundang.
O, alah plekencong, plekencong stabilitas bohong!
Konglomerat yang kekayaannya dibawa minggat namanya konglomerat bejat.
Bahkan berak pun di pesawat.
Di obrak-abrik
hukum di obrak-abrik
Di oprak-oprak
hakim di oprak-oprak
Di bolak-balik
karma di bolak-balik
Di oglek-oglek
kursi di oglek-oglek
Ini sembako baru
ini baru sembako namanya.
Atawa SEMBArang KOmentar.

Jakarta, Mei 1998


Sajak KKN
KKN bukan Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir.
Yang lain boleh debat tentang
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Karena nyatanya roda ekonomi
berputar-putar di lingkaran
keluarga dan kerabat dekat.
”Kulik, kulik elang
anak gagak di belakang.
Culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”
Di mana gurita tua lumutan
memainkan bidak-bidak perusahaan
dengan ratusan tangan.
Dari hulu ke hilir
dari bulu ke pelir
mengakar nepotisme
berjanggut kolusi
dan ubanan korupsi
Tekuk sana, bekuk sini
lipat sana, sikut sini
sikat sana, tutup sini
pasok sana, sogok sini
bocor sana, ngocor sini.
Jurang hidup menguak makin lebar
sudah melarat masih juga disikat.
Terbanting-banting di emperan jalan
terlunta-lunta tak punya pegangan.
”Kulik-kulik elang
anak gagak di belakang.
Culik-culik orang
anak tamak di kelangkang”
KKN bukan Kuliah Kerja Nyata
bukan pula Kondom Kuda Nyengir.

Jakarta, 23-25 Mei 1998

Jika dunia musik Indonesia mengenal Mbah Surip maka dunia sastra Indonesia mengenal Jose Rizal Manua. Sebenarnya tidak gampang membuat karya seni yang humoris, berkualitas sekaligus dapat diterima masyarakat tapi Jose telah membuktikannya.



Pelukis Kata Bernama Frans Nadjira

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 05 Agustus 2009 | Agustus 05, 2009


Sejak pertama kali membaca karyanya di radio, diam-diam saya menjulukinya pelukis kata. Dia memang seorang pelukis sekaligus penyair dan cerpenis. Frans Nadjira namanya. 

Dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, 3 September 1942. Konon di masa kecil, Frans mengambil kartu pos bergambar Rembrant dan Vincent van Gogh dari kotak surat seorang Belanda, ia juga menemukan reproduksi lukisan Wassily Kandinsky di tong sampah

Karya-karya maestro dunia itu, secara tanpa sadar telah membawa Frans mencintai seni lukis dan mendorongnya bersekolah di Akademi Seni Lukis Indonesia (ASLI) Makassar selama setahun. Kemudian ia merantau ke Kalimantan Utara, Filipina sebagai buruh dan pelaut, serta mendalami seni lukis dan sastra. 

Pada tahun 1974 ia pindah ke Denpasar, Bali sebagai pelukis dan memilih metoda seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga sekarang sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali.

Karya-karyanya beterbangan ke banyak media seperti Horison, Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Bali Post, AIA News (Australia), Muriara, CAK dan lain-lain. Juga dalam antologi Terminal Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, The Spirit That Moves Us (USA), Tonggak, On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, Springs of Fire Springs of Tears, Horison Sastra Indonesia, Jendela Jadikan Sajak dan beberapa buku apresiasi sastra Indonesia.

“Lukisan lahir dari kekuatan kosmik lewat tangan pelukis”, kata Frans di suatu hari. Sebagaimana cabang seni yang lain maka puisi, prosa dan sebagainya adalah artefak-artefak yang menandai sebuah peradaban. Karya Frans dapat disebut sebagai salah satu artefak penting yang masih akan digali oleh generasi-generasi mendatang. Cuplikan dari salah satu cerpennya berikut ini mungkin bisa lebih mempertegas tentang Frans Nadjira yang melukis kata dengan ribuan warna.

Bercakap-cakap Di Bawah Guguran Daun-daun
Sekali waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.


Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari memandang ke bintang -bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal-soal kesenian. Atau tentang adanya kenyataan yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Lihat, angin melucuti dedaunan dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.


Kehidupan yang polos. Seperti yang pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan.(nukilan dari salah satu cerpen Frans Nadjira)

Jan Mintaraga, Maestro dari Yogyakarta

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 04 Agustus 2009 | Agustus 04, 2009


Kedatangan salah seorang paman saya beberapa hari lalu memunculkan ide untuk rekam jejak tokoh kita kali ini. Paman saya ternyata masih gemar membaca komik di usianya yang ke-47. Sejak dulu koleksi komiknya berjumlah ratusan. Komik karya Jan Mintaraga adalah yang paling sering dibaca oleh paman sejak remaja. 

Menurut celoteh paman, tiga komikus besar dalam belantika komik Indonesia pada dekade 70–80-an yang karyanya akan tetap dikenal sepanjang masa. Mereka adalah Hans Jaladara, penulis Panji Tengkorak. Lalu Ganes TH yang terkenal dengan Si Buta dari Gua Hantu. Yang ketiga adalah Jan Mintaraga. Ia mulai menggambar komik sejak tahun 1965. Ketika komikus lain terjun ke dalam trend kisah-kisah rimba persilatan, Jan Mintaraga justru melawan arus dengan bercerita tentang roman metropolitan. Pada dekade itu, orang-orang menyebutnya sebagai komik roman.

Jan juga sempat menelurkan beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Ia juga menulis komik sejarah seperti Imperium Majapahit, Api di Rimba Mentaok. Selain sebagai seorang kartunis, Jan juga dikenal sebagai seorang ilustrator. Jan adalah ilustrator pertama yang berhasil menggambarkan karakter Ali Topan Anak Jalanan yang ditulis oleh Teguh Esha.


Jan Mintaraga lahir di
Yogyakarta, 8 November 1942 dan wafat di tanah yang sama pada 14 Desember 1999. Ia sempat mengecap pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan di Institut Teknologi Bandung. Ia dianggap sebagai komikus kebarat-baratan. Mungkin karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika. Dalam karya-karya Jan sangat sering dijumpai produk visual dari Amerika atau Eropa ketika itu. Jan sendiri mengakui bahwa komik-komiknnya banyak terinspirasi dari lagu-lagu Bob Dylan. Di antaranya, ada komik yang mengambil judul dari terjemahan sebuah lagu terkenal Bob Dylan, Blowing in The Wind. Komik itu diberinya judul Tertiup Bersama Angin (1967).


Tokoh-tokoh yang ditampilkan Jan selalu dengan karakter rambut gondrong, cuek dan agak sinis. Celananya jin belel dan sepatu kets. Sebatang rokok terselip di bibirnya dan jaket menggelantung di pundak. Karakter ini sebenarnya adalah juga penampilan asli sang maestro komik ini dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan para tokoh gadisnya selalu digambarkan dengan bentuk mata indah bola pingpong. Dandanan rambutnya sangat anggun. Jan juga sangat ahli dalam menggambar detail-detail kecil pada latar belakang, seperti pada bangunan, interior sebuah ruangan, tirai, baju kotak-kotak dengan cara yang menonjol. Juga mulai penggunaan tinta putih untuk memberikan efek-efek tertentu. Kelebihan ini jarang dimiliki oleh komikus lain.

Puisi dan Award

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 03 Agustus 2009 | Agustus 03, 2009


Berjabat Erat



musim ini adalah musim yang gemerisik
tapi biar saja angin menjatuhkan daun
dan hujan mengusik air danau dengan bunyi kecipak.
ketika melewati kotamu kemarin
aku sempat menunggumu
di sebuah tugu bertuliskan"di sini kita berjabat erat
tanpa henti."
pada musim selanjutnya
atau juga mungkin ketika tak ada lagi musim
kita masih akan terus merencanakan
untuk membangun tugu-tugu yang lain.
biar saja tanpa batu bata ataupun batako,
sebab sebuah rumah yang damai
selalu dibangun dari jabat erat hati.

Bulukumba, 3 Agustus 2009


Puisi di atas saya berikan kepada dua orang sahabat yang telah memberi award kepada saya kemarin dan seorang lagi di hari ini. Sahabat yang pertama adalah: mbak Fanny Fredlina, seorang cerpenis yang selalu menjadi inspirator dan motivator bagi para pembaca tulisan-tulisannya dalam blog Sang Cerpenis Bercerita.




Sahabat yang kedua adalah Mas Doyok dan Irawan yang telah memberi award keren ini:



Tiga award ini saya persembahkan pula kepada sobat-sobat tercinta:

-Tri Wahyudi
-Chord Guitar
-NBC FM Bantaeng
-Trimatra
-Roslinda
-Irawati
-gamegimi
-Eyda Chan
-Tisti Rabbani
-Penikmat Buku

Silahkan dibawa pulang ke rumah masing-masing ya, sobat.



William Shakespeare, Inspirator dari Stratford


Saya pernah mencoba membayangkan diri saya sedang berada di zaman renaissans di Inggris. Saya berimajinasi sedang bersama puluhan ribu orang memadati bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Tempat itu bernama teater Globe. Para penonton duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater terbuka atapnya. Ribuan orang berjejal di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton berteriak-teriak di belakang para aktor. Mereka memadati teater hanya untuk melihat sandiwara yang ditulis dan dipentaskan oleh William Shakespeare. 

Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke teater pada saat ini. Di zaman renaissans orang-orang menikmati teater tak ubahnya seolah menikmati sepak bola di sebuah stadion pada zaman sekarang. Bisa dibayangkan betapa ramainya.

Kaum renaissans Eropa menghidupkan kembali semangat berburu ilmu klasik dan gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Meninggalkan suatu dunia yang stagnan menuju kegairahan hidup dengan gaya manusia artistik. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya agama di dunia. Dan karena banyak di antara mereka mulai dapat membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaissans menggunakan cara mereka sendiri-sendiri untuk mencari rejeki dan mengembangkan kehidupan mereka. Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

Di Indonesia nama Shakespeare lebih sering diidentikkan dengan salah satu karya besarnya Romeo dan Juliet dan The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark. Salah satu ucapannya yang terkenal, "What is a name?" (Apalah arti sebuah nama?). Tapi namanya sendiri, William Shakespeare tentu sangat berarti. Ia lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 26 April1564 dan wafat di tempat yang sama pada 23 April 1616. Salah satu sastrawan terbesar Inggris ini menulis lebih dari 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, dan 154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain. 

Ia berkarya selama 25 tahun antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa di dunia dan dipentaskan di panggung paling sering daripada semua penulis sandiwara manapun di dunia.

Menikmati karya-karya Shakespeare adalah menjelajahi tiga pertanyaan yang mendasari seluruh karyanya yaitu: Apa artinya untuk hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan? Hingga kini banyak tokoh dunia masih menjadikan karya Shakespeare sebagai referensi untuk menemukan cara berpikir yang baru dari membaca dan membaca ulang karyanya. 

Mempelajari Shakespeare adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis, politis, filosofis, sosial hingga spiritual. Shakespeare meninggal pada tahun 1611 dan membuatnya berhenti menulis. Yang unik, pada batu nisannya tertulis: "Blest be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones." yang kira-kira terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi: "Terbekatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku."

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday