Saya tidak menyangka bisa berkenalan dengannya meski hanya melalui Facebook sekitar dua minggu lalu. Galih Pandu Adi, dilahirkan di Rembang, 1 Agustus 1987. Resmi menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di Undip Semarang pada tahun 2005. Menulis puisi dan berteater di beberapa kelompok teater di Semarang antara lain; Teater Lingkar, Teater Komunitas Panggung dan Teater EmKa fakultas Sastra Undip Semarang. Beberapa puisinya terpilih dalam antologi "Aku Ingin Mengirimimu Hujan", dan "Mencari Rumah".
Membaca puisi-puisinya seperti membaca hujan, batu, angin dan benda-benda alam yang terdekat dengan keseharian kita. Galih menemukan simbol yang berbeda di sana. Benda-benda itu adalah bahan baku di dalam batok kepalanya. Lalu hatinya menjadi penterjemah yang efektif. Selebihnya, dia serahkan kepada para penikmatnya yang entah tidur atau terjaga. Puisi-puisinya berikut ini saya berhasil sobek dari kolom puisi koran Kompas milik tetangga.
Lelaki dan Hujan Saat Desember
Seorang lelaki mengenakan tubuhku lewat desember yang basah
Berbiak di depan pintu dan mengguruiku
Tentang batubatu berwarna merah
Aku serupa arwah dalam kabut gaib
Berwajah sakit
Menggumamkan mantramantara penyakit
Dan langit di atas bukit selalu enggan melepaskan rindu dan petuah ibu
Hujan di bawah lampu
Adalah desember yang melambat di garis wajahmu
-garis tanganku
Lelaki menggenggam sabit
Mengenakan tubuh dari aksara ganjil
Lebih dulu meramalkan takdir
Tentang akhir seorang Khidir
Lewat desember di bawah lampu
Aku arwah yang basah serupa tanah
Saat logam-logam jatuh dari Langit
Semarang, 22/12/08
Pancaroba Bulan April
Seperti hujan diatas April yang gundah
Aku jatuh pada kemarau yang merah
Pancaroba dilindap rumputan
Seperti kita yang sesat di ramalan leluhur
“Musim begitu tiba-tiba Ya?”
Kita betapa salah me’reka
Hujan tiba-tiba
Selepas usang
Seperti wajah kering kakek-kakek tua
“kuning ya matanya”
Kemarau yang nyala
Doa di putik kamboja
Kita masih saja menebak
Siapa datang?
Mengetuk pintu rumah
Kita masih saja rebah
dan saling berpandangan
Di atas ranjang april yang tua
Juga tiba-tiba
Semarang, April 2008
Gerbong Kereta
Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda
dan nisan hanyalah jurusan
hendak ke mana kita berpulang
saat loket di buka
orang-orang bergiliran mengantri pada penjagalan
Denting lonceng,
pilar-pilar tegak ialah isyarat
pelayat menunduk dan mendoa
saat gerbong-gerbong kereta semakin jauh
ke arah rembang
pada stasiun tak bernama
di kota tua yang terlupa
masih ada perbincangan terakhir
hingga aku mengingatkanmu
akan roda sejarah terakhir yang datang
yang tak bisa menanti
dan suara peluit kereta ialah sasmitha
mengingatkan untuk berjejalan
bersama wajah-wajah pucat
mengantarkan pada kota
yang lama kita tanggalkan wajahnya
dari ingatan
– “Aku harus berangkat” katamu –
kelak bila jumpa,
hendakkah kita bisa saling menyapa?
dan aku lebih memilih rebah ke rumah malam
dari pada menungguimu diusung gerbong keranda
pada akhir sebuah peradaban
Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda
dan nisan hanyalah jurusan
hendak ke mana kita berpulang
maka seperti pelayat
ku titipkan doa lewat kamboja
saat denting lonceng semakin riuh
dan rembang semakin berlabuh
Semarang, 5 Februari 2007
Ketika Maghrib
sampai kepada maghrib kita selalu melambat dan terhenti
pada ayat-ayat yang menggema di telinga
mendudukkan tubuh di depan kaca
dan kita bertaruh tentang kegaiban yang benar-benar menjelma
menjadi semacam sayatan atau luka
jatuh di tepi sajadah
kita terlelap tentang nubuat di balik jendela
sementara daun-daun terus berlalu
dan runtuh di alas sujudku
sujudmu,
di depan kaca lihatlah kita yang jumawa di wajah maghrib
berbusung dada dengan sekerat logam tajam berkarat
hendak kita rajamkan di denyut waktu
kian lemah berdegub
sedang sunyi tak hendak menggurui kita
tentang ada dan tiada
kekal dan sementara
karna semestapun harus menjadi bisu saat ini juga
tak terkecuali kita
Semarang, 06/12/08
Wanita di Bawah Langit
Dan kita selalu mengumpat matahari yang terang kusam
Karena muara sungai-sungai selalu habis sebelum sempat menggenang
Maka di atas batu-batu kali telah kita tulis semacam mantra
Tenun yang kejam untuk musim yang tak reda,
Lihatlah kekal yang selalu saja lindap
Pada dedaun yang kuning matang
Ranting-ranting yang telah menyerah di ujung keramat
Sebelum bisik-bisik malaikat
Curiga dan berpicing mata
Kita kan bersorak pada maghrib yang runtuh
Sedang daun-daun yang jatuh selalu habis dan tak pernah utuh
“Itulah takdir” katamu
Kukulum habis rembulan perawan yang jatuh di betismu
Sedang kita tak pernah sekejap saja menunduk
Dan masih saja kulihat kepal tanganmu tegak ke langit
Mengutuki gaib yang curiga
Kita terlampau waspada
Semarang,30/11/08
Mencari Sunyi
Aku tak hendak mencari sunyi di ruang ini
Ranjang tua, seprai bekas luka
Debu-debu, sisa keringat kita di situ
Bau dendam
Jejak cinta terakhir ku tanam di sana
Lahirlah anak-anak angin kita
Menyapu wajahmu
Menyingkap kelahiranku
Pada waktu yang terlampau usang
Aku tak hendak mencari sunyi di ruang ini
Manekin-manekin usang tergantung sudut pintu
Terlalu bosan menghakimi tamu
Tak kunjung tiba
Semarang, 07/11/08
Jakarta
Ku dapati juga kota ini
Lampu-lampu dalam terowong
Gembel tidur dalam gorong-gorong
Roda dan debu adalah tangan dengan kibasan angin
Yang turun di matanya serbuk besi juga polusi
Membuat awan-awan katarak
Kadang hijau
Kadang abu-abu
Kita kian tamak mengecupinya
Sejak faletehan merebutnya
Hingga kita tak tahu siapa duduk di atas nisannya
Sambil mariyuana
Doa-doa terjerat di kelembaknya
Ku dapati juga kota ini
Dengan kubah emas kopiah nya
Gema siapa tertinggal di sana?
Surut diantara suara-suara orang belanja
Juga desah orang bercinta,
Yang dulu sunda kelapa
Tempat abang pitung mengibaskan goloknya
Bagi kepala orang Batavia
Juga abang jali meramu mantra jadi kelewang
Mengukus doa jadi nasi buat orang betawi
Karena orang pribumi lebih pantas kerja rodi bagi kompeni
Dari pada sejahtera di bumi sendiri
Kinilah hutan beton hutan besi
Gembel tidur di gorong-gorong
Mimpi jadi orang kaya
Tidurnya di ranjang busa
Enak buat senggama
Ku dapati juga kota ini
Yung dulu sunda kelapa, yang dulu jayakarta
Tempat orang mengejar mimpi
Dan mengibiri ketakutannya sendiri
Jakarta, 23 juli 2008
Rasanya tak mau berhenti menikmati dan mengendapkannya. Beberapa dari puisi-puisinya seperti hujan yang menghapus kemarau meski tidak seluruhnya. Tapi batu-batu hitam dibersihkannya. Seperti hujan, Galih Pandu Adi menyirami pepohonan meranggas di halaman rumah kita.