Latest Post

Putu Wijaya dari Tabanan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 19 November 2009 | November 19, 2009



Tapak jejaknya baru saja membekas di Mojokerto Art Festival (MORAL) 2009 pada hari Rabu 18 Nopember kemarin. Putu Wijaya mementaskan monolog Burung Merak bersama Teater Mandiri. Dilahirkan dengan nama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya Puri Anom pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Sastrawan yang dikenal serba bisa ini adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu.

Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan besar yang dihuni lebih 200 orang. Semua anggota keluarganya punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mendambakan Putu jadi dokter. Namun, Putu kecil tidak menyukai ilmu pasti. Ia justru akrab dengan sastra, sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan besar yang dihuni lebih 200 orang. Semua anggota keluarganya punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mendambakan Putu jadi dokter. Namun, Putu kecil tidak menyukai ilmu pasti. Ia justru akrab dengan sastra, sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Lebih dari 30 novel, 40 naskah drama, sekitar 1000 cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama lahir dari tangannya. Putu Wijaya akhir-akhir ini juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri.

Cerpennya masih bisa dilacak pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Beberapa bukunya yang paling sering diperbincangkan di jagad kesusastraan tanah air seperti Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat dan Nyali. Putu Wijaya, namanya masih menjadi jaminan kualitas bagi jajaran terdepan pementasan teater, penulisan cerpen dan skenario film di Indonesia.

*referensi: catatan lama di bangku sekolah

Aku Menulis Ulang Puisi Ini Setelah Kemarin Sengaja Aku Hanyutkan di Sepotong Matamu Yang Lain

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 November 2009 | November 18, 2009



-buat adikku Nayla

rindu saja yang mungkin meletup-letup. matahari yang mungkin terkesiap. padahal kita tidak sedang ingin saling menatap.

"sebuah puisi selalu menulis dirinya sendiri," katamu di sebuah pagi yang menggemaskan. "lantas setiap penyair pasti terlahir dari puisi itu sendiri kan?" sergahku sambil menyeruput kopi panas. sepotong matahari diam-diam mengetuk di jendela. kadang seperti itulah percakapan. kadang melindap-lindap.

suara bising industri mulai lagi bergerak di atas kepala dan telinga. demonstrasi di mana-mana. makassar hujan. sebuah bom meledak di jantung kota kabul afghanistan. jakarta mati lampu. seorang legislator bernostalgia sewaktu menjadi aktivis idealis. makassar mati lampu. boommm! sementara itu bau asap rokok, lengkingan anak-anak penjaja kue, bunyi klakson mobil tetangga dan nada dering telepon seluler tidak sebagaimana matamu yang meredup-redup tatap.

"sekujur waktu telah menjadi batu!" teriakmu lagi dari kamar mandi. "dan kita akan selalu mencoba memahami makna-makna kenyataan yang tak selalu persis sama dengan mimpi," kataku. tapi aku lebih memilih berangkat ke tempat kerja lebih cepat dari biasanya.
sepotong matahari diam-diam mengetuk di jendela. aku menulis ulang puisi ini setelah kemarin sengaja aku hanyutkan di sepotong matamu yang lain. ah, rumput basah mungkin akan lebih mengerti tentang jejak-jejak pada pagi.

dik, kota kita disekap puisi.


Bulukumba, awal musim hujan Rabu 18 Nopember 2009

Tari Serampang Duabelas Bukukan Rekor MURI

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 17 November 2009 | November 17, 2009


Hari terakhir pagelaran Gema Pariwisata (Gempar) Sumut 2009, Minggu 15 Nopember pagi ditandai dengan pembukuan rekor Museum Rekor Indonesia (MuRI) dengan menampilkan 1.386 penari Serampang Dua Belas dalam satu pentas! Para penari Serampang Dua Belas yang merupakan tarian tradisional kaum muda Melayu itu berasal dari berbagai pelajar Kota Medan.


Dalam sejarah, Tari Serampang Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.

Ada dua alasan mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. Pertama, nama Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat (quick step). Nama tarian yang diawali kata “pulau” biasanya bertempo rumba, seperti Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri. Sedangkan Tari Serampang Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari Serampang Laut. Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut Tari Serampang Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat di antara lagu yang bernama serampang. Kedua, penamaan Tari Serampang Duabelas merujuk pada ragam gerak tarinya yang berjumlah 12, yaitu: pertemuan pertama, cinta meresap, memendam cinta, menggila mabuk kepayang, isyarat tanda cinta, balasan isyarat, menduga, masih belum percaya, jawaban, pinang-meminang, mengantar pengantin, dan pertemuan kasih Penjelasan tentang ragam gerak Tari Serampang Duabelas akan dibahas kemudian.

Tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara tarian Portugis dan Melayu Serdang. Pengaruh Portugis tersebut dapat dilihat pada keindahan gerak tarinya dan kedinamisan irama musik pengiringnya.

Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun demikian, pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya.

Wiji Thukul dan Sebutir Peluru

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 16 November 2009 | November 16, 2009


Penyair ini bukan “menghilang" melainkan "dihilangkan" secara misterius pada detik-detik menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Dia menawarkan sebuah pemberontakan yang sama sekali baru bagi kaum marjinal. Dia salah seorang penyaksi betapa hidup dan bersuara di negeri sendiri harus dibayar mahal dengan penculikan dirinya. Dia juga adalah sebutir peluru bagi revolusi kreatif dunia kepenyairan tanah air.

Puisi tidak harus dimuat atau diterbitkan oleh kaum industrialis, kaum yang mempekerjakan buruh. Puisi bagi Wiji Thukul adalah cara yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang tertindas, yang secara kebetulan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya. Dia sesungguhnya tidak bermasud membela rakyat, melainkan membela dirinya sendiri, lingkungan, komunitas yang menghidupi dirinya: tukang pelitur, istri tukang jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan hidupnya yang melarat.

Wiji Thukul lahir di tengah keluarga tukang becak dan buruh, 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Dengan susah payah berhasil menamatkan SMP (1979), masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat (1982). Wiji Thukul sempat berjualan koran, kemudian bekerja di sebuah perusahan mebel antik sebagai tukang pelitur. Di tempat kerjanya itu dia dikenal sebagai penyair pelo (cadel) yang sering menghibur teman-teman sekerjanya dengan puisi.

Wiji Thukul menulis puisi dan main teater sejak masih duduk di bangku SD. Bersama kelompok teater JAGAT (Jagalan Tengah) dia pernah keluar masuk kampung mengamen puisi dengan iringan rebana, gong, suling, kentongan dan gitar.

Istrinya Sipon bekerja sebagai tukang jahit. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan menerima pesanan sablonan. Dia memiliki dua orang anak: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Penghargaan di bidang sastra: dia menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra. Sejak Peristiwa 27 Juli 1996 yang menggemparkan, Wiji Thukul menjadi salah seorang korban politik Orde Baru. Hingga sekarang masih menjadi misteri, di mana Wiji Thukul berada.

Karya-karya Wiji Thukul dapat dibaca dalam sebuah buku yang diberi judul Aku Ingin Jadi Peluru (2000), Penerbit Indonesia Tera, Magelang. Penerbit ini sangat berjasa dalam menghimpun karya-karya Thukul yang semula tersebar di berbagai manuskrip dan terbitan. Dari Taman Budaya Surakarta, diperoleh dua buah manuskrip, yakni “Darman dan Lain-lain”, dan “Puisi Pelo”. Kumpulan terakhir “Baju Loak Sobek Pundaknya” diperoleh dari Jaap Erkelens (Perwakilan KITLV di Indonesia). Sisanya diperoleh dari Mbak Sipon, istrinya.
Aku Ingin Jadi Peluru berisi 136 puisi yang dibagi atas lima kumpulan puisi.

1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar
2: Ketika Rakyat Pergi
3: Darman dan Lain-lain
4: Puisi Pelo berisi
5: Baju Loak Sobek Pundaknya

Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulisnya ketika dalam masa pelariannya diburu aparat rezim Orba.

Wiji Thukul adalah sebutir peluru meski revolusi belum bisa dipesan di masa hidupnya. Dia adalah setitik Splendor Veritatis atau Cahaya Kebenaran yang mampu memberikan ide perlawanan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cara-cara dan sistem yang memanusiakan manusia. Bagi dia, hanya ada satu kata,"lawan!" seperti dalam salah satu puisinya "Peringatan" yang paling sering dibacakan oleh para demonstran di tanah air.

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

*disarikan dari berbagai sumber

Dongeng, Buku dan Televisi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 14 November 2009 | November 14, 2009


Ketika pagi hari masih berembun, listrik mati dan kopi masih mengepul panas saya mulai mencoba mengingat-ingat sejak kapan minat baca saya mulai tumbuh? Ingatan saya lalu terbentur pada bayangan buku karangan Mark Twain berjudul Tom Sawyer hadiah dari almarhum ayah ketika saya naik kelas. Tapi sejak kapan saya menyenangi buku – buku cerita hingga segala macam jenis buku lainnya?

Akhirnya saya menyimpulkan ini semua adalah berkat jasa nenek yang pernah mendongeng beberapa kali ketika saya hendak beranjak tidur. Sebenarnya saya tidak seberuntung anak-anak lainnya. Nenek hanya beberapa kali sempat mendongeng sebelum meninggal. Namun ternyata itu telah cukup memberi saya rasa penasaran kuat terhadap buku-buku cerita sejak masih bocah.

Tidak semua bocah di negeri ini bernasib beruntung pernah ditidurkan oleh nenek ataupun ibunya dengan dongeng pengantar tidur. Kenyataan perubahan telah di depan mata. Kesibukan orang tua merupakan salah satu sebab lunturnya tradisi dongeng mendongeng di lingkungan keluarga.

Banyak ibu-ibu di tanah air yang kebetulan tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Sebahagian dari mereka malah buta huruf. Namun amat menakjubkan mereka mampu mendongeng dengan fasih, menarik dan teratur. Dongeng yang beragam itu mampu menghipnotis penikmatnya, yaitu anak-anak mereka yang memang membutuhkan sentuhan edukasi melalui cerita lisan. Ketika beranjak dewasa, anak-anak itu lebih memiliki minat baca yang tinggi dibanding mereka yang tidak pernah menikmati dongeng lisan di masa kecil.

Unsur pendidikan dalam dongeng sangat mudah menjadi rekaman kuat hingga penikmatnya beranjak dewasa. Dengan banyak – banyak mendongeng kepada anak – anak di usia dini mudah – mudahan saja kita bisa menaklukkan musuh literasi, yaitu televisi!. Tapi cobalah menengok kampung kita, bahkan mungkin dongeng telah hilang sama sekali.

Marah Roesli, Bapak Roman Modern Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 12 November 2009 | November 12, 2009


Siti Nurbaya, sebuah karya monumentalnya dalam bentuk roman diterbitkan pada tahun 1920 dan melegenda sampai hari ini. Kisah klasik itu bercerita tentang perempuan muda yang dipaksa kawin oleh orang tuanya, dengan lelaki yang tidak diinginkannya. Sebuah kisah cinta yang dicederai oleh kenyataan zaman. Kisah Siti Nurbaya bahkan lebih dikenal dibanding namanya sendiri sebagai penulis roman yang melegenda itu. Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Namanya Marah Roesli tapi lebih sering kali dieja Marah Rusli. Lelaki yang lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968.

Pekerjaan Marah Rusli yang sebenarnya adalah dokter hewan. Jika Taufiq Ismail dan Asrul Sani benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena lebih memilih menjadi penyair, Marah Rusli justru tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Sejak masih kecil Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya dan membaca buku-buku sastra.

Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Dalam lembaran sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.

Dalam Siti Nurbaya, Ia telah meletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat kaum perempuan mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Kesan itulah yang terus melekat hingga kini. Puluhan tahun sejak novel itu ditulis, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Beberapa karya Marah Roesli yang lainnya yaitu: La Hami (1924), Anak dan Kemenakan (Balai Pustaka. 1956), Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis),Tesna Zahera (naskah Roman). Ia juga menerjemahkan novel Charles Dickens "Gadis yang Malang" pada 1922.

referensi: selembar catatan lama di bangku sekolah

Sejarah Sastra-Radio

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 11 November 2009 | November 11, 2009


Sebenarnya sejak dulu saya ingin menulis sejarah singkat blog ini. Setelah membaca review di blog mbak Fanny, saya semakin sadar bahwa judul blog ini ternyata memang membingungkan bagi sebahagian besar teman-teman blogger. Terlebih lagi bagi mereka yang baru pertama kali bertandang ke sini.

Pada pertengahan Januari 2009, bos saya di RCA menganjurkan agar semua penyiar (jumlahnya tujuh orang) dan karyawan lainnya memiliki blog pribadi. RCA bahkan bersedia mensponsori semua blog yang dikelola penyiar. Disiapkan tunjangan khusus setiap bulan bagi blog pribadi milik karyawan RCA. Syaratnya setiap blog harus menampilkan link dari RCA dan link live streaming RCA.

RCA membebaskan pilihan tema. Tema blog boleh apa saja. Jika memungkinkan, tema blog tidak jauh-jauh dari salah satu program acara di RCA. Kebetulan selain beberapa program musik dan program news saya juga mengasuh dua program sastra dan budaya sejak tahun 2005. Kedua program itu yakni "Ekspresi" yang disiarkan setiap hari Minggu siang jam 11.00-13.00 Wita dan "Sembilu" (Senandung Malam dan Bisikan Kalbu) Minggu malam jam 21.00-23.00 Wita. Perbedaan keduanya, Ekspresi bermuatan pembacaan puisi, cerpen, esai diselingi info budaya dan resensi buku. Ekspresi juga sering menghadirkan bintang tamu dari para sastrawan lokal bahkan nasional (WS Rendra juga pernah baca puisi di RCA). Program Sembilu khusus berisi pembacaan prosa lirik dan karya sastra naratif. Karya-karya bunda Elly Suryani, mbak Latifah HIzboel, Galih Pandu Adi dan masih banyak lagi blogger lainnya pernah saya bacakan di acara itu. Maka saya memutuskan untuk membuat blog yang berkaitan dengan kedua program sastra tersebut.

Sejak saat itu saya mulai coba-coba belajar ngeblog mulai 6 Maret 2009. Postingan pertama saat itu adalah sebuah puisi untuk seorang keponakan. Pada awalnya bingung juga mau menulis apa. Sayang sekali hingga kini tinggal dua orang penyiar RCA yang masih bertahan ngeblog, yaitu Icham "Gergy" Mohammad. dan saya sendiri. Teman-teman lainnya mungkin terhambat oleh kesibukan lain jadi agak sulit membagi waktu untuk mengelola bog masing-masing.

Ide nama blog yang pertama kali muncul di benak saya adalah "Ivan Kavalera Blog" dan "Jejak Sastra RCA." Pada postingan pertama saya juga sempat menjelajahi Google dan Yahoo dengan maksud mencari situs radio yang mungkin memiliki program sastra. Saya mengetik "Sastra Radio" dan alhasil, tidak ada satu pun situs ataupun blog yang memiliki nama "Sastra Radio" yang kemudian menerbitkan ide di kepala saya akan nama blog ini.

Secara umum, pengertian sastra radio (tanpa tanda hubung) adalah program acara sastra atau segala karya sastra yang dibacakan di radio. Ada juga yang mungkin keliru mengartikannya sebagai "radio sastra" namun artinya lain lagi. Radio Sastra bisa berarti nama sebuah stasiun radio. Untuk membedakannya, sebab ini adalah blog pribadi maka saya menambahkan saja tanda hubung pada "sastra-radio" sejak beberapa waktu lalu. Blog Sastra-Radio berarti blog yang merekam karya, ide, tokoh, peristiwa dan apa saja seputar sastra bahkan seni budaya secara umum juga secara berkala merekam khusus jejak program sastra di sebuah radio.

Kesaksian Bung Tomo

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 10 November 2009 | November 10, 2009


Judul Buku: Pertempuran 10 November 1945,
Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor Sejarah
Penulis : Bung Tomo (Sutomo)
Penerbit : Visi Media
Terbit : Februari 2009

Melalui siaran radio BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia), wartawan, penyiar dan pejuang itu kembali membakar api semangat pemuda-pemuda di seluruh kota Surabaya: "Saoedara-saoedara, didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa ra'jat Indonesia di Soerabaja pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan, pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera, pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini."
Nukilan pidato Bung Tomo di atas dicuplik dari buku Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah. Sebuah buku yang berbicara dengan alur yang begitu hidup. Buku ini membawa pembaca langsung menuju peristiwa penting di area hotel Orange (sekarang hotel Majapahit). Buku yang berisi delapan belas bab ini ditulis langsung oleh Bung Tomo. Bung Tomo yang juga wartawan Kantor Berita Antara menuliskan narasi pertempuran 10 November dengan apa adanya tanpa berlebihan. Seolah pembaca disuguhi film perang yang dramatis dan penuh aksi heroik.
Bung Tomo adalah seorang orator yang hebat di masanya. Pidatonya yang inspiratif dan menggugah semangat arek-arek Suroboyo hingga kini terus diingat dan menjadi kebanggaan masyarakat Surabaya. Pemberian gelar pahlawan untuk Bung Tomo diberikan dua puluh tujuh tahun setelah Bung Tomo meninggal di Mekah.
Pertempuran 10 November 1945 adalah sebuah pertempuran besar pertama yang meletus setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Peristiwa heroik itu pantas dikenang dan direnungi. Kisahnya menjadi wajib dibaca oleh semua orang yang merasa dirinya bagian dari Indonesia!
Peristiwa pertempuran yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan ini merupakan salah satu penentu tetap berdirinya Republik Indonesia pada masa-masa sesudahnya hingga saat ini. Situasi pertempuran, kronologisnya, arsiteknya, tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya dan segala resiko perjuangan tercantum jelas di buku ini. Bung Tomo, salah satu aktor sejarah, tokoh utama di balik peristiwa pertempuran di Surabaya itu, enam tahun kemudian (1951) mengisahkannya dengan jujur, lugas dan sangat detail.

Selamat dan Semangat Hari Pahlawan.

Luna Vidya, Monolog dari Danau Sentani Papua

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 08 November 2009 | November 08, 2009


Dalam sebuah sidang pengadilan seorang TKW bernama Sumarah tertuduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya. Di depan sidang pengadilan itu, Sumarah bercerita tentang hari-hari dimana ia belajar menerima diskriminasi dalam seluruh dimensi kehidupan sosialnya sejak kecil karena satu penyebab: ayahnya dituduh sebagai anggota PKI. Ayah yang tidak pernah sempat dikenalnya.

Sumarah lulus SMA dengan nilai terbaik namun ijazahnya tak berguna apa-apa. Tak ada kesempatan menjadi pegawai negeri, bahkan petugas administrasi. Ia hanya boleh menjadi buruh pabrik. Nama bapaknya, adalah bayangan hitam yang terus menguntitnya di semua kesempatan. Bayangan itu menggelapkan bahkan impian Sumarah untuk menikah.

Dikucilkan, dirampas hak-haknya di negeri sendiri, menjadi TKW di Arab Saudi adalah kesempatan satu-satunya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kesempatan yang diperolehnya dengan memberi amplop. Sumarah menyangka, setelah bertahun-tahun menjadi rakyat setengah gelap di negeri sendiri, terselip dan tidak boleh mendongakkan kepala, ia akan bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu indah di negeri orang.

Balada Sumarah hanya satu titik di antara banyaknya peristiwa ketidakadilan lainnya yang terjadi di republik ini. Balada Sumarah ditulis oleh Tentrem Lestari dan pertama kali ditampilkan oleh Luna Vidya pada Festival Monolog Dewan Kesenian Jakarta 2005 di Teater Kecil-TIM. Lalu Luna menampilkannya di Paris, Prancis pada 7 Desember 2008. Saat itu sesi acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" menghadirkan Sitor Sitomorang, Richard Oh, Laksmi Pamuntjak, Djenar Maesa Ayu, Lily Yulianti Farid dan Luna Vidya di samping para pakar sastra dan indonesianis Paris dan Belanda serta para penerbit terkemuka Perancis seperti Gallimard dan Flammarion yang telah menerbitkan karya-karya Pramoedya A Toer, Ayu Utami serta Laksmi Pamuntjak. Kemudian beberapa kota besar lainnya di dunia juga pernah mengundang pemonolog ini.

Belantara yang rimbun, puncak-puncak gunung yang melelahkan dalam pendakian, danau yang alami serta alam yang keras telah berhasil mencetak seorang perempuan bernama Luna Vidya. Luna Vidya lahir di Sentani, Papua. Luna Vidya bermain teater sejak tahun 1984 di Makassar bersama berbagai kelompok teater, sejak datang ke Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain teater terbaik Sulawesi Selatan. Ia juga bekerja sebagai Communication Coordinator Sustainable Mariculture Project di Makassar, Sulawesi Selatan.

Ia bekerja pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah orang lain maupun menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis). “Makkunrai”, “Dapur” adalah naskah monolog yang ia sadur dari cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Lily Yulianti Farid dalam kumpulan cerpen “Makkunrai.” Bersama Lily Yulianti Farid, Makkunrai menjadi titik awal bergulirnya Makkunrai Project (2007), sebuah proyek eksplorasi berdimensi gender lewat penulisan sastra dan teater.

LV, demikian salah satu panggilan akrabnya di Makassar. Ia juga melewatkan waktu dengan menulis puisi. Salah satu puisinya saya posting di sini. Sebuah puisi yang Ia tulis buat sahabatnya, Aan Mansyur.



Hujan Yang Kau Cintai

:aan

Hujan, dan kau berulang tahun.

Beberapa waktu lalu
hujan yang kau cintai jadi basah di wajahku.
Basah seperti lantai hutan yang menebal oleh daun gugur, rumput berkepala es,
Atau bangku-bangku taman
ketika sesaat matahari musim dingin mendekam. Melelehkan waktu yang beku.
Daun maple duduk di sana menemani tai merpati
Menemaniku
waktu mengalir, jadi sungai

dari rumput dan daunan beku di lantai hutan telanjang, dingin, kilaumatahari dalam kristal es, musim, cagak telanjang, kau belajar merayakan kenangan.
Kenangan tentang hujan, hijau dan matahari.
Tentang hidup yang tidak sederhana, tanpa banyak pilihan di kampung bermusim dua: kemarau dan hujan; berangin dua: barra' dan timmorro'.

belibis dan itik berenang di kanal dan sungai tua, goyang ekornya menguakku
ingatan meriak. mengelus belakang jalan veteran, berbagai bonto di bulukumba dan jeneponto,
di mana hidup ditertawakan dan dirayakan dalam tepian penuh plastik, sampah dan pestisida,
di mana keberanian di tenggelamkan dalam cahaya lampu dan galian-galian pembangunan

merayakan kenangan bersamamu,
kau jatuh ke dalam gelas plastik
bersama koin satu Euro, kenangan tentang ceplok matahari yang dikerumuni mulut lapar, dan ibu
kau terselip pilu di berlembar-lembar lapis baju
–petang itu tak ada hujan, tapi angin tikam-
Ketika gelas plastic di usung, pengemis perempuan menyodorkan dua tangan
Di bawah bayang Eiffel, menjemput koin dan kelam.

jauh. jauh dari sini beberapa waktu lalu
Di lantai hutan, kilau matahari kupatahkan dari ujung rumput,
Di belakang jalan veteran, anak-anak berenang merayakan alir buangan kota
Ditemani hujan, plastic dan tai. Warnanya meriah.

kau. tentu kau yang tersedu-tersedu di bahuku
melihat kenangan dan warna musim
mengalir berkilau.

2009


Tahun-tahun bergegas lewat dan saya tidak lagi pernah punya kesempatan menikmati pementasannya. Ia satu-satunya yang masih terbaik di Makassar dalam mementaskan teater monolog. Putri Sentani itu satu-satunya perempuan mengagumkan dari Papua, ujung paling timur yang masih bergolak hingga saat ini.


sumber: disarikan dari beberapa catatan lama di bangku kuliah

Fanny Fredlina, Cerpenis Rasa Stroberi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 07 November 2009 | November 07, 2009


Perempuan ini benar-benar energik dalam menulis. Di sela-sela kegiatannya yang padat dalam bidang pemberian jasa hukum, setiap hari dia menulis cerpen, cerber, puisi dan apa saja. Ratusan cerpennya telah dimuat di beberapa majalah remaja di ibukota dan bahkan majalah terbitan luar negeri.

Fanny Fredlina, cerpenis kelahiran Jakarta ini sangat menyukai buah stroberi dan lagu-lagu Agnes Monica. Sesuai dengan jiwanya, energik, riang dan bergerak bebas penuh gagasan tanpa beban. Di dunia maya, dia tergolong blogger langka. Di celah waktu yang menyita kesehariannya, delapan blog sekaligus dia kelola. Bahkan diupdate setiap hari. Luar biasa dan istimewa.

http://just-fatamorgana.blogspot.com
http://sanubari-fanny.blogspot.com
http://perjalanan-fanny.blogspot.com
http://fanny-fredlina.blogspot.com
http://miss-gaptek-belajar.blogspot.com
http://tips-write-shortstory.blogspot.com
http://job-notary.blogspot.com
http://blognyaf2.blogspot.com

Karya-karya mbak Fanny terasa sangat pas hadir di tengah pergulatan rutinitas kehidupan kota-kota besar di Indonesia. Kebanyakan berkisah dari sudut-sudut problematika cinta remaja namun yang beda adalah teknik penulisan seperti plot dan ending yang tidak klise sebagaimana cerpen dan cerber remaja lainnya. Salah satu kelebihan perempuan cerpenis ini adalah kecerdasan melihat hal-hal kecil apapun yang bisa dituangkan sebagai karya. Dan yang menakjubkan bukan sekedar menghibur, tulisan-tulisannya juga kadang menyentil meski dia tidak mau bermain di wilayah politik sebab dia tidak suka politik, seperti pengakuannya.

Beberapa bulan lalu dua buah cerpennya dibacakan di program sastra RCA 102, 5 FM. Saya menyebutnya Sang Cerpenis Rasa Stroberi, rasanya rame dan menyenangkan. Karya-karyanya manis dan renyah.

Elly Suryani: Inspirator dari Sebuah Taman Bunga Puitika

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 05 November 2009 | November 05, 2009


Akhirnya saya diberinya ijin untuk membacakan salah satu narasinya di salah satu edisi sebuah program sastra di radio beberapa bulan lalu. Sejak itu saya baru sadar bahwa memang teramat menyenangkan jika memperdengarkan karya-karya bagus seperti karyanya. Membaca tulisan-tulisannya adalah seolah bertandang ke sebuah halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga harum filosofi kehidupan. Dari taman bunga itulah ia seorang perempuan dengan inspirasi meluber yang selalu siap dibaginya kepada siapapun.

Elly Suryani, Sang Inspirator kelahiran Palembang pada 18 November ini menyukai musik Kenny G. di samping menulis dan membaca. Saya selalu menyapanya dengan "bunda Elly," setiap kali mengunjungi alumnus Universitas Lampung 1991 Ilmu Lingkungan dan Pasca sarjana Universitas Andalas 2002 ini di blog Life With Your Own Vision. Satu hal yang hingga saat ini masih membuat saya penasaran adalah teknik yang digunakan bunda Elly menuliskan rentetan puitikanya dalam narasi yang enak dibaca sebagai motivasi dan renungan.

Banyak penulis, prosais, penyair dan esais yang mampu menulis sesuai genre dan pakem yang ada. Tapi penikmatnya mungkin bisa saja mengalami pengkotak-kotakan. Penggemar puitika hanya akan memburu puisi dan pencinta prosa hanya akan membaca karya naratif, misalnya. Yang istimewa dari tulisan-tulisan bunda Elly justru terletak di sana. Ia telah menemukan semacam bentuk yang sama sekali baru dalam teknik penulisan. Apapun yang dia tuliskan entah puisi, esai dan prosa maka tetap saja penikmatnya melebur bersama sebab ada benang merah produk pemikiran yang pabrik inspirasinya telah disetting khusus.

Secara fisik, sepintas tulisan-tulisan yang diposting bunda Elly di blognya memang telah menyemburatkan stimulan paling tidak bagi siapapun yang pada mulanya hanya berniat bergegas lewat. Saya masih meyakini, belum pernah ada seorang pun yang mau melanjutkan perjalanannya sebelum mengecup tuntas makna-makna dari tulisannya. Saya sendiri selalu menunggu postingannya yang paling anyar setiap hari.

Salah satu stimulan yang khas itu adalah pilihan judul yang menarik kemudian diksi yang enak dikunyah. Tengok saja misalnya peristiwa aktual yang dilipatnya dalam "Ngopi Sore Sambil Melirik Cicak dan Buaya" atau "Pemberdayaan Perempuan Di Antara Kepulan Asap Kopi." Temuilah ia dalam realita "Serenade Sore Kali Ini" dan "Sebuah Orkestra Hari Milik Tante Laksmi" dan banyak lagi sketsa menarik lainnya yang hanya bisa dibaca di http://newsoul-sayangidirimu.blogspot.com/


Lily Yulianti Farid, Penulis Makkunrai dari Makassar

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 03 November 2009 | November 03, 2009

Agak sulit juga melacak perempuan sastrawan ini. Jam terbangnya sangat tinggi. Dua hari lalu Minggu, 1 November jurnalis dan penulis fiksi ini tampil di ajang Singapore Writers Festival 2009 di gedung seni Play Den, Singapura. Bersama Luna Vidya, perempuan seniman lainnya dari Makassar, alumnus Fakultas Pertanian Unhas ini memproduseri pentas drama The Kitchen. Dia bekerjasama dengan tujuh seniman asal Jakarta dan Makassar, termasuk mengundang John McGlynn untuk menerjemahkan karya itu ke dalam versi bahasa Inggris.

Lily Yulianti Farid, jurnalis dan penulis fiksi. Lahir dan besar di Makassar. Sebagai jurnalis ia pernah bekerja di Harian Kompas, Radio Australia di Melbourne, Radio NHK di Tokyo dan menjadi kolumnis di majalah berita Nytid, Norwegia. Ia telah menerbitkan dua buku kumpulan cerita pendek Makkunrai (perempuan dalam bahasa Bugis) pada Maret 2008 dan Maiasaura pada Juni, 2008 yang mengeksplorasi isu gender dan respon perempuan terhadap korupsi, konflik dan juga nilai-nilai dalam keluarga dan masyarakat Bugis, serta agama. Bersama pemonolog Luna Vidya, ia menggagas Makkunrai Project, program kampanye isu-isu gender melalui sastra dan monolog. Makkunrai Project telah mementaskan sejumlah nomor monolog di Makassar, Paris dan Singapore Writers Festival 2009.

Jika anda pernah membaca salah satu bukunya, Cerpen Makkunrai maka akan jelas terlihat kasus demi kasus yang sering terjadi dalam konteks masa kini dari sudut pandang seorang perempuan. Sekaligus paling kuat menjadi judul kumpulan cerpen ini. Kronik politik era desentralisasi yang lagi tren merambah dari pusat ke daerah bawah sekelas kabupaten pun ikut dibahas. Pesta pernikahan adalah perihal yang sakral namun bukan kekal. Seringpula dijadikan usaha pelanggengan kekuasaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam cerpen Makkunrai, tokohnya adalah perempuan yang dikutuk oleh mitos yang dipercaya oleh kakeknya yang tukang kawin. Hanya karena dirinya adalah perempuan ke-enam yang lahir dari rahim-kandung ibunya pada saat azan Jumat berkumandang. Ada hubungan apa suara azan Jumat dan kelahiran bayi perempuan? Mungkin pernah terjadi satu bencana maha-dahsyat yang menimpa nenek moyang si kakek pemercaya mitos itu, di hari jumat kelahiran bayi perempuannya, sementara azan persis dikumandangkan. Tentu hanya orang bodoh yang memercayai mitos demikian. Dikisahkan, perempuan itu tak mau tunduk oleh tindak-tanduk kakeknya yang sering bertingkah seenaknya saja.

Kumpulan Cerpen karya Lily ini mungkin tidak akan kadaluwarsa hingga beberapa dasawarsa. Sebab, problem sosiokultural, apalagi menyangkut perempuan, menurut ramalan pengamat masih akan tetap berlangsung lama di Indonesia. Lily Yulianti mengemasnya dengan luar biasa apik, juga menohok.

Galih Pandu Adi, Hujan Puisi dari Rembang

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 01 November 2009 | November 01, 2009


Saya tidak menyangka bisa berkenalan dengannya meski hanya melalui Facebook sekitar dua minggu lalu. Galih Pandu Adi, dilahirkan di Rembang, 1 Agustus 1987. Resmi menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di Undip Semarang pada tahun 2005. Menulis puisi dan berteater di beberapa kelompok teater di Semarang antara lain; Teater Lingkar, Teater Komunitas Panggung dan Teater EmKa fakultas Sastra Undip Semarang. Beberapa puisinya terpilih dalam antologi "Aku Ingin Mengirimimu Hujan", dan "Mencari Rumah".

Membaca puisi-puisinya seperti membaca hujan, batu, angin dan benda-benda alam yang terdekat dengan keseharian kita. Galih menemukan simbol yang berbeda di sana. Benda-benda itu adalah bahan baku di dalam batok kepalanya. Lalu hatinya menjadi penterjemah yang efektif. Selebihnya, dia serahkan kepada para penikmatnya yang entah tidur atau terjaga. Puisi-puisinya berikut ini saya berhasil sobek dari kolom puisi koran Kompas milik tetangga.

Lelaki dan Hujan Saat Desember
Seorang lelaki mengenakan tubuhku lewat desember yang basah
Berbiak di depan pintu dan mengguruiku
Tentang batubatu berwarna merah
Aku serupa arwah dalam kabut gaib
Berwajah sakit
Menggumamkan mantramantara penyakit
Dan langit di atas bukit selalu enggan melepaskan rindu dan petuah ibu
Hujan di bawah lampu
Adalah desember yang melambat di garis wajahmu
-garis tanganku
Lelaki menggenggam sabit
Mengenakan tubuh dari aksara ganjil
Lebih dulu meramalkan takdir
Tentang akhir seorang Khidir
Lewat desember di bawah lampu
Aku arwah yang basah serupa tanah
Saat logam-logam jatuh dari Langit
Semarang, 22/12/08
Pancaroba Bulan April
Seperti hujan diatas April yang gundah
Aku jatuh pada kemarau yang merah
Pancaroba dilindap rumputan
Seperti kita yang sesat di ramalan leluhur
“Musim begitu tiba-tiba Ya?”
Kita betapa salah me’reka
Hujan tiba-tiba
Selepas usang
Seperti wajah kering kakek-kakek tua
“kuning ya matanya”
Kemarau yang nyala
Doa di putik kamboja

Kita masih saja menebak
Siapa datang?
Mengetuk pintu rumah

Kita masih saja rebah
dan saling berpandangan
Di atas ranjang april yang tua
Juga tiba-tiba
Semarang, April 2008
Gerbong Kereta
Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda
dan nisan hanyalah jurusan
hendak ke mana kita berpulang
saat loket di buka
orang-orang bergiliran mengantri pada penjagalan
Denting lonceng,
pilar-pilar tegak ialah isyarat
pelayat menunduk dan mendoa
saat gerbong-gerbong kereta semakin jauh
ke arah rembang
pada stasiun tak bernama
di kota tua yang terlupa
masih ada perbincangan terakhir
hingga aku mengingatkanmu
akan roda sejarah terakhir yang datang
yang tak bisa menanti
dan suara peluit kereta ialah sasmitha
mengingatkan untuk berjejalan
bersama wajah-wajah pucat
mengantarkan pada kota
yang lama kita tanggalkan wajahnya
dari ingatan
– “Aku harus berangkat” katamu –
kelak bila jumpa,
hendakkah kita bisa saling menyapa?
dan aku lebih memilih rebah ke rumah malam
dari pada menungguimu diusung gerbong keranda
pada akhir sebuah peradaban
Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda
dan nisan hanyalah jurusan
hendak ke mana kita berpulang
maka seperti pelayat
ku titipkan doa lewat kamboja
saat denting lonceng semakin riuh
dan rembang semakin berlabuh
Semarang, 5 Februari 2007
Ketika Maghrib
sampai kepada maghrib kita selalu melambat dan terhenti
pada ayat-ayat yang menggema di telinga
mendudukkan tubuh di depan kaca
dan kita bertaruh tentang kegaiban yang benar-benar menjelma
menjadi semacam sayatan atau luka
jatuh di tepi sajadah
kita terlelap tentang nubuat di balik jendela
sementara daun-daun terus berlalu
dan runtuh di alas sujudku
sujudmu,
di depan kaca lihatlah kita yang jumawa di wajah maghrib
berbusung dada dengan sekerat logam tajam berkarat
hendak kita rajamkan di denyut waktu
kian lemah berdegub
sedang sunyi tak hendak menggurui kita
tentang ada dan tiada
kekal dan sementara
karna semestapun harus menjadi bisu saat ini juga
tak terkecuali kita
Semarang, 06/12/08
Wanita di Bawah Langit
Dan kita selalu mengumpat matahari yang terang kusam
Karena muara sungai-sungai selalu habis sebelum sempat menggenang
Maka di atas batu-batu kali telah kita tulis semacam mantra
Tenun yang kejam untuk musim yang tak reda,
Lihatlah kekal yang selalu saja lindap
Pada dedaun yang kuning matang
Ranting-ranting yang telah menyerah di ujung keramat
Sebelum bisik-bisik malaikat
Curiga dan berpicing mata
Kita kan bersorak pada maghrib yang runtuh
Sedang daun-daun yang jatuh selalu habis dan tak pernah utuh
“Itulah takdir” katamu
Kukulum habis rembulan perawan yang jatuh di betismu
Sedang kita tak pernah sekejap saja menunduk
Dan masih saja kulihat kepal tanganmu tegak ke langit
Mengutuki gaib yang curiga
Kita terlampau waspada
Semarang,30/11/08
Mencari Sunyi
Aku tak hendak mencari sunyi di ruang ini
Ranjang tua, seprai bekas luka
Debu-debu, sisa keringat kita di situ
Bau dendam
Jejak cinta terakhir ku tanam di sana
Lahirlah anak-anak angin kita
Menyapu wajahmu
Menyingkap kelahiranku
Pada waktu yang terlampau usang
Aku tak hendak mencari sunyi di ruang ini
Manekin-manekin usang tergantung sudut pintu
Terlalu bosan menghakimi tamu
Tak kunjung tiba
Semarang, 07/11/08
Jakarta
Ku dapati juga kota ini
Lampu-lampu dalam terowong
Gembel tidur dalam gorong-gorong
Roda dan debu adalah tangan dengan kibasan angin
Yang turun di matanya serbuk besi juga polusi
Membuat awan-awan katarak
Kadang hijau
Kadang abu-abu
Kita kian tamak mengecupinya
Sejak faletehan merebutnya
Hingga kita tak tahu siapa duduk di atas nisannya
Sambil mariyuana
Doa-doa terjerat di kelembaknya

Ku dapati juga kota ini
Dengan kubah emas kopiah nya
Gema siapa tertinggal di sana?
Surut diantara suara-suara orang belanja
Juga desah orang bercinta,
Yang dulu sunda kelapa
Tempat abang pitung mengibaskan goloknya
Bagi kepala orang Batavia
Juga abang jali meramu mantra jadi kelewang
Mengukus doa jadi nasi buat orang betawi
Karena orang pribumi lebih pantas kerja rodi bagi kompeni
Dari pada sejahtera di bumi sendiri
Kinilah hutan beton hutan besi
Gembel tidur di gorong-gorong
Mimpi jadi orang kaya
Tidurnya di ranjang busa
Enak buat senggama

Ku dapati juga kota ini
Yung dulu sunda kelapa, yang dulu jayakarta
Tempat orang mengejar mimpi
Dan mengibiri ketakutannya sendiri
Jakarta, 23 juli 2008

Rasanya tak mau berhenti menikmati dan mengendapkannya. Beberapa dari puisi-puisinya seperti hujan yang menghapus kemarau meski tidak seluruhnya. Tapi batu-batu hitam dibersihkannya. Seperti hujan, Galih Pandu Adi menyirami pepohonan meranggas di halaman rumah kita.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday