Latest Post

Epos I La Galigo Akhirnya Pulang Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Februari 2011 | Februari 26, 2011


Lebih lima tahun terakhir mengembara di berbagai negara, pentas teater kelas dunia I La Galigo akhirnya berlabuh di kota kelahirannya, Makassar. Pementasan ini akan berlangsung di Fort Rotterdam, 23-24 April mendatang berkat prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar , dan Change Performing Arts (Italia).

Pementasan I La Galigo terinspirasi dari Sureq Galigo, hikayat kepahlawanan di Sulawesi Selatan. Lakon ini dipentaskan pertama kali di Singapura pada tahun 2003, lalu menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan di Jakarta pada tahun 2005.
Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi dua sampai 2,5 jam. Setidaknya seratus pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.

Penyelenggara saat ini masih mensurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Gladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.

Kehadiran I La Galigo di Makassar merupakan penghormatan bagi mereka yang membuat epos ini dikenal hingga dunia. Tanri Abeng berhasil meyakinkan sutradara Robert 'Bob' Wilson untuk mementaskannya di Makassar.

Ke depan rencananya juga  akan dibangun perpustakaan dan museum I La Galigo yang lebih lengkap untuk menambah khazanah kebudayaan Sulawesi Selatan.

I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang ditulis dalam huruf lontara. Naskah asli berada di Leiden, Belanda, dengan tebal 6.000 halaman. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan oleh M Salim, dosen fakultas seni dan desain Universitas Negeri Makassar. Salim membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Adapun pentas teater akan menampilkan tari, musik, dan dialog berbahasa Bugis klasik.


Rumata' , Rumah Budaya di Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Februari 2011 | Februari 19, 2011

Saatnya kita kembali ke rumah kita sendiri. Ketika kota begitu bising dan matahari menyengat kenyataan, masuklah ke dalam rumah yang ramah. Rumah yang ramah bagi seni budaya. Salah satu rumah yang ramah itu adalah Rumata.' 

Kata Rumata' dalam bahasa Makassar berarti 'rumah kita'. Rumata' merupakan rumah budaya sebagai pusat pertunjukan seni, teater serta berbagai bentuk kegiatan berekspresi kebudayaan lainnya di Sulawesi Selatan. 

Sutradara muda kelahiran Makassar, Riri Riza adalah penggagas di balik rumah budaya ini.
Sineas muda yang telah mendapat 10 penghargaan internasional itu akan mewujudkan mimpinya sejak dulu di antaranya di Rumata' para seniman bisa menggelar pameran dan festival film, foto dan lukisan, pidato kebudayaan, lokakarya hingga pengembangan kemampuan literasi dan seni rupa. 

Saat ini sejumlah program Rumata' telah disusun, antara lain Rumata' akan menerima seniman atau penulis dari luar Makassar bahkan Indonesia, untuk melahirkan karya dengan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal. 

Rumata' juga akan membantu seniman atau kelompok seni lokal terpilih dalam merancang pengembangan dan pemberdayaannya sehingga bisa mencapai kemandirian proses berkesenian. Dalam proses ini, komunitas-komunitas kesenian, baik lokal maupun dari luar Makassar akan dikolaborasikan sehingga terjadi pertukaran wawasan kebudayaan. 

Sementara penulis Lily Yulianty Farid menjelaskan, peluncuran rumah budaya Rumata' di Makassar 18-21 Februari, diisi berbagai kegiatan. Antara lain pameran 40 foto "I Bring Melbourne to Makassar" karya fotografer Australia, Wendy Miller serta pertunjukan seni dan teater. 

Selain itu, mereka juga menggelar pemutaran film Riri Riza dan peluncuran buku kumpulan cerita "Family Room" karya Lily Yulianty Farid. Rangkaian acara akan ditutup dengan diskusi dan kuliah umum yang berlangsung di kampus Universitas Hasanuddin. 

Pendiri situs jurnalisme warga Panyingkul.Com itu menyatakan, Rumata' memiliki visi menjadikan seni dan budaya sebagai bagian penting bagi identitas Kota Makassar. Kehadiran Rumata' yang berlokasi di eks-rumah masa kecil Riri Riza itu diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan kultural sebagai penyeimbang pertumbuhan material di kota Makassar.




(pelbagai sumber) 

Selamat Jalan, Ali Walangadi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Februari 2011 | Februari 14, 2011


Pelukis sekaligus pencipta logo Sulawesi Selatan, Ali Walangadi, meninggal dunia di usia 83 tahun, pukul 21.15 wita, Minggu (13/2/2011) malam. 

Ali Walangadi adalah salah satu perupa modern angkatan pertama yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI Yogyakarta pada pertengahan tahun 1950-an. 

Seniman gaek ini meninggal karena komplikasi penyakit usus turun, stroke dan katarak, yang ia derita bertahun-tahun. Ia meninggalkan sembilan orang anak, dan satu istri.

Ali Walangadi mulai terkenal sejak tahun 1956, ketika ia menciptakan maha karya, dengan membuat logo Sulawesi Selatan. Logo Sulsel tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1972, yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultural, patriotik, sosiologis, ekonomi, dan menunjukkan Sulsel merupakan bagian mutlak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ali Walangadi juga pernah membuat heboh di tahun 1990-an ketika mengadakan pertunjukan unik yaitu aksi membakar lukisan-lukisan karyanya sendiri.

Pelangi Budaya II Mandar- Kajang di Tinambung

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Februari 2011 | Februari 09, 2011


Dalam Islam, silaturahim adalah saling mengerti dan terlibat satu dengan yang lain. Keterlibatan menyebabkan seseorang memiliki keperdulian berintegrasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi adalah budaya religi. Sementara dari kacamata budaya, silaturahim antar budaya-etnis juga mencuatkan tujuan itu, ritual saling memahami dan perduli antar seni budaya.

Ritual saling memahami dan perduli budaya ini juga dilakukan dalam Pagelaran Pelangi Budaya II, Silaturrahim Penggiat Budaya Mandar-Kajang yang berlangsung  tanggal 12-15 Pebruari 2011 di Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Salah satu komunitas dari Sulsel yang dipastikan hadir adalah Laskar Kelor dari Bulukumba.

Dilansir dari suaramandar.com, selain  pagelaran sastra dan musik, silaturrahmi budaya Mandar-Kajang ini juga diisi dengan ziarah ke sejumlah kantong-kantong seni di Mandar, workshop bersama, diskusi hingga rekaman musik puisi  karya Laskar Kelor dan Teater Flamboyant,

Dalam kiprahnya, Laskar Kelor lebih fokus pada garapan musik puisi. Sebahagian besar puisi garapannya diangkat dari karya-karya Dr. Ahyar Anwar, dosen UNM dan karya-karya Andika Mappasomba. Dalam lawatan Laskar Kelor ke Mandar kali ini, akan ditemani oleh Andika Mappasomba, putra Bulukumba yang memperistri gadis Mandar.

Ziarah Laskar Kelor selain ke beberapa komunitas seni di Tinambung juga akan ziarah ke Rumah Husni Djamaluddin salah seorang sastrawan nasional yang berjuluk 'panglima puisi' di Kandeapi, dan ke rumah para pelaku seni dan budayawan Mandar lainnya.

Kegiatan rekaman musik puisi karya Laskar Kelor dan karya Teater Flamboyant akan dilakukan di Aula SMP Negeri 1 Tinambung, dan pada tanggal 15, pentas Seni Musik Puisi Laskar Kelor, Teater Flamboyant dan Komunitas Seni Korumta Mekkatta.


Catatan Jingga, Sebuah Karya Untuk Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Februari 2011 | Februari 05, 2011


Dari sebuah kerja luar biasa namun santai dan bersemangat, sineas muda Bulukumba dari Tunta Production berhasil merampungkan film berjudul "Catatan Jingga" yang akan diputar perdana pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba, Sulsel. Film ini adalah salah satu kado istimewa untuk Hari Jadi Bulukumba ke-51, 4 Februari 2011.

Catatan Jingga merupakan film fiksi pertama yang digarap oleh sineas Bulukumba. Catatan Jingga mengeksplorasi nuansa adat, budaya, wisata dan cinta. Film ini diproduseri oleh Andi Wasfaedy Alamsyah S.KM dengan sutradara Mardi Marwan S.sos.

Tunta Production sebelumnya telah sukses memproduksi beberapa karya, di antaranya film pendek, film dokumenter dan video klip band. Baru-baru ini salah satu film mereka mendapatkan antusias luar biasa dari penonton di Botol Music Hotel Quality Makassar.

Pemutaran film "Catatan Jingga" pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba juga didukung oleh  Sophie Paris, Hotel Nusa Bira Indah, Agri Restaurant, Fery Salon, Bira Beach Hotel, Gajah Mada Production dan Pemkab Bulukumba, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bulukumba.

Tunta Production bekerjasama RCA 102,5 FM sebagai media partner bersama Tabloid Remaja Yess, radio Pemkab Bulukumba  SPL (Swara Panrita lopi 95 FM) serta enam radio komunitas yakni Delstar FM, MD FM, Sugesthi FM, Jack Radio, Lereng FM dan  Lingu Peace Radio.

Film Catatan Jingga adalah satu dari barisan panjang film independen (indie) di Indonesia. Sebenarnya banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri, misalnya film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).
Di ajang Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Akar film independen sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru.

Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 28 Januari 2011 | Januari 28, 2011


Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial.

Hari ini sastra sedang gelisah. Untuk menangkapi pertanda sekalipun itu hanya isyarat diam,  para pegiat sastra di Sulsel akan menggelar Pengadilan Sastra bertema "Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit." 

Mereka mengkampanyekan suara kegelisahan bersama atas keresahan sosial yang menyentak hati dan melukai realitas tanah pertiwi dengan bahasa yang beda.

Kalimat dari mulut Andhika Mappasomba, salah seorang pegiat sastra di Sulsel agaknya cukup mewakili kegelisahan itu, "bagi pegiat sastra dari Bulukumba  yang tak sempat pulang ke Bulukumba mengikuti perayaan Hari Jadi ke-51 Bulukumba yang dibiayai oleh pajak yang ditarik dari peluh dan air mata rakyat bulukumba, ada baiknya menghadiri acara ini. Gratis dan tidak menggunakan uang Pajak. Dengarkan lagu-lagu berbahasa Konjo Kajang dinyanyikan di Pengadilan Sastra ini."


 
Pengadilan Sastra menyuguhkan secara gratis pementasan karya sastra oleh Pegiat Sastra Makassar juga pentas musik oleh kelompok musik Laskar Kelor di Pelataran Kampus YPT. Al-Gazali Universitas Islam Makassar setelah shalat Jumat 4 Februari 2011.


Tumpahkan Sunyimu, Ri

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 23 Januari 2011 | Januari 23, 2011


-buat adikku, Riri

rindu jadi batu
lalu mewaktu
tumpahkan sunyimu, ri

rindu jadi waktu
lalu membatu
sunyikan cintamu, ri

bulukumba, ahad 23 januari 2011

Refleksi Seniman dalam Lagu Berbahasa Konjo

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 21 Januari 2011 | Januari 21, 2011


UNESCO telah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki banyak bahasa Ibu (bahasa daerah), mau atau tidak, bangsa kita perlu melakukan upaya refleksi dan re-evaluasi terhadap keberadaan bahasa Ibu.

Sebuah refleksi telah dilakukan oleh sekelompok sastrawan dan musisi Sulsel terhadap nasib sebuah bahasa daerah di Bulukumba, Bahasa Konjo.  Konjo merupakan bahasa Asli suku Kajang dan salah satu kekayaan khasanah budaya Nusantara.  Lagu berbahasa Konjo dengan aransemen musik kontemporer mereka launching di Makassar dengan performance kelompok musik Laskar Kelor, Sabtu, 22 Januari 2011.  Diharapkan dengan transformasi bahasa ini, Bahasa Konjo yang ada di Bulukumba dapat terus eksis dan tak senasib dengan begitu banyak bahasa lain di dunia yang punah karena kehabisan penutur.

Seperti dilansir dari lama RCA FM, Andhika Mappasomba, penyair yang juga pencipta lagu berbahasa Konjo mengatakan, "Ini adalah hasil kreativitas seniman yang melakukan transformasi perjuangan kebertahanan bahasa. Sebab tak dapat dipungkiri, Bahasa Konjo akan terancam punah ditinggalkan oleh penuturnya." 

Launching lagu berbahasa Konjo ini juga akan diramaikan oleh pembacaan puisi dan sastra lainnya oleh sastrawan Makassar dan juga pementasan seni lainnya oleh kelompok seni mahasiswa Makassar, seperti Wahana Kerja Mahasiswa Makassar (WKMM), Laskar Kelor Management dan Bulan Sabit Jingga (BSJ).

Launching akan digelar pukul 19:30 - 23:00 Wita di pelataran LPTQ Jln. Tala'salapang-Minasa Upa, Makassar. Untuk reservasi tiket, informasi dan sponsor dapat menghubungi panitia/WKMMatau Herman 085242915003.  Tiket tersedia hanya untuk 1000 orang. Acara ini dirangkaikan juga dengan perkenalan dengan lagu/puisi karya Ahyar Anwar dan "S" karya Andhika Mappasomba.
 

Sajak Menelan Kekuasaan

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 19 Januari 2011 | Januari 19, 2011


Republik Kebohongan

Inilah Republik Kebohongan
Yang dibangun dari puing kepura-puraan
Menjadi surga bagi para penjarah
Karena penguasanya juga bedebah
Tahukah kamu ciri-ciri para bedebah?
Itulah mereka
Yang kalau berkata isinya dusta
Kalau berikrar mereka ingkar
Kalau diberi amanat mereka khianat
Di Republik Kebohongan
Hukum hanyalah alat kekuasaan
Bagi mereka penjara hanya kata basi
Tak ada tembok apalagi terali besi
Maka bila bedebah rendah jatuh sial
Tak akan sungguh-sungguh masuk sel
Masih sanggup menjangkau semua pulau
Atau nebar daya pukau dan tetap disebut: beliau
Para bedebah akan tetap gagah dan menjarah
Karena orang baik hanya bisa berbisik-bisik
Sedangkan para imam hanya bisa menggumam
Sambil berharap Tuhan segera turun tangan
Padahal Tuhan sudah berfirman:
Tak akan mengubah nasib suatu bangsa
Kecuali rakyatnya bergerak berarak-arak
Meruntuhkan istana kebohongan

Indonesia – Januari 2011


Membaca sajak "Republik Kebohongan"  yang ditulis oleh Adhie M. Massardi adalah salah satu cara melihat Indonesia secara keseluruhan hanya dalam satu sajak dengan waktu hanya beberapa menit. 

Adhie M Masardi adalah mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid. Adhie mengambil gagasan sajak di atas itu dari refleksi pemerintahan SBY yang ia anggap sebagai “Republik Kebohongan”.  

Ini juga merupakan bukti bahwa sebuah sajak mampu menelan kekuasaan dengan teks-teksnya yang khas. Sebaliknya kekuasaan tidak mampu menelan sebuah sajak sependek apapun sajak  itu.


Dialektika dengan Teknologi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 15 Januari 2011 | Januari 15, 2011


Benarkah  teknologi membuat kita berjarak dengan ingatan masa lalu? Sudah saatnya teknologi tidak diterima sebagai sesuatu yang datang menyerbu kita begitu saja, termasuk internet.  Teknologi semestinya dimaknai lagi, ditampilkan dengan pendekatan baru. 

Pendekatan baru itu coba disampaikan oleh tiga perupa muda asal Bandung yang menamakan dirinya Tromarama. Mereka menggelar pameran tunggal kedua kalinya di galeri Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta sepanjang 6-25 Januari ini. Sebelumnya mereka menggelar pameran tunggal untuk pertama kalinya di Mori Art Museum, Jepang.

Bertema "Kidult" -- paduan dua kata: kid dan adult -- dua kategori yang selama ini selalu dilihat sebagai oposisi binner, tak saling bersinggungan. Dalam pameran ini, Tromarama menunjukkan bahwa keduanya merupakan kategori yang saling melengkapi dan bisa beririsan. Pameran ini memamerkan 4 judul karya berupa video animasi berikut juga instalasi obyek.

Jika sebagian besar seniman video berkonsentrasi pada penggunaan kamera untuk merekam realitas, maka upaya ketiga perupa ini untuk terus bekerja dengan tangan merupakan satu bentuk dialektika dengan teknologi.

(pelbagai sumber) 


Sejarah dalam Wajah Avant-Garde

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 12 Januari 2011 | Januari 12, 2011


Periot, seniman dan sutradara Prancis kelahiran 1974, tampaknya ingin memperlihatkan film-film dokumenter ataupun pendek dengan bentuk lain: wajah avant-garde. Dia seakan mengaminkan: sejarah bisa kita kunyah-kunyah dengan garing melalui dokumentasi pendek.

Misalnya negara Prancis pada tahun 1940. Di sebuah lapangan terbuka, puluhan perempuan diarak. Semua mata memandang ke arah mereka. Tawa sinis, cemoohan, bahkan adu fisik dilimpahkan kepada perempuan itu. Tak jarang para lelaki memperlakukannya dengan sadis. Mereka dikumpulkan di sebuah teras gedung, didudukkan satu per satu menghadap khalayak, lalu digunduli.

Itulah cuplikan film pendek berjudul Eut-elle ete criminelle (Even If She Had Been A Criminal) ini adalah karya sutradara Prancis, Jean-Gabriel Periot. Video pendek itu satu di antara lima film pendek lain yang dipamerkan di Centre Culturel Francais (Pusat Kebudayaan Prancis), Salemba, Jakarta Pusat, hingga 14 Januari mendatang.

"Saya menemukan arsip video ini. Menarik bagi saya karena ini fenomena penting," ujar Periot. "Betapa perempuan-perempuan ini mengalami kekerasan. Bahkan tindakan kriminal itu tak dapat dijelaskan."

Menurut Periot, di tengah kondisi ekonomi Prancis yang morat-marit, kemiskinan di mana-mana, posisi perempuan seperti tak mendapat sedikit harapan. "Karya ini memperlihatkan sejarah Prancis yang tidak mudah kepada generasi muda," katanya.

Mereka menamainya L'épuration, pembersihan masyarakat Prancis dari pihak-pihak yang berkaitan dengan Nazi selama empat tahun. Dan perempuan itu tertuduh telah berhubungan seks dengan orang-orang Nazi. Namun mereka yang menghukum tak pernah bisa membuktikannya.

Sehari setelah digunduli, sebagian di antaranya dikurung atau dibuang di luar Prancis. Namun tak sedikit pula yang dibunuh ataupun digantung. Perempuan-perempuan itu, kata Periot, bisakah dikatakan berbuat kriminal hanya karena berhubungan seks dengan antek Nazi itu.

Periot memilih bagian-bagian tertentu, lalu ia susun menjadi video pendek berdurasi 15 menit. Karya itu ditampilkan sebagaimana adanya. Ia memakai teknik editing klasik yang diciptakan oleh Russian avant-garde, Dziga Vertov.

Maka kita akan melihat gambar-gambar bisu hitam-putih dengan banyak noise, dan tentu motion yang sedikit cepat. Di awal video, kita akan mendengar lagu kebangsaan Prancis berkarakter mars, bendera-bendera Prancis yang dipasang di kanan-kiri jalan, mengesankan setting yang kental dengan nasionalisme. Namun ternyata sarat dengan mimpi buruk.

Periot berusaha menceritakan perihal kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah. Dan menunjukkan betapa penting melatih daya ingat untuk memahami masa kini ataupun masa depan dari kejadian-kejadian lalu.

Tak hanya itu. Periot juga menghadirkan film pendek yang ia buat pada 2005 berjudul Undo. Ini sebuah video yang cukup unik. Ia menangkap momen-momen yang sebetulnya adalah aktivitas keseharian. Kamera mulai membidik orang-orang yang sibuk berbelanja di supermarket membawa troli. Lalu mengambil gambar orang-orang yang sedang makan siang di sebuah kafetaria, hingga lorong-lorong kota dan fasade bangunan yang tak bergerak.

Karya Periot yang lain menampilkan muka berbagai macam jalan yang berbeda-beda. Ia mengemasnya dalam Dies Irae. Periot mengumpulkan beberapa arsip tentang gambar jalan ataupun gerbang yang berposisi sama. Lalu menumpuknya dan memperlihatkannya dengan sangat cepat. Efeknya seperti menghipnotis penonton.

Selamat Jalan Ibu Maemunah

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 08 Januari 2011 | Januari 08, 2011


Istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Hj Maemunah Thamrin, menghembuskan nafas terakhir dalam usia 82 tahun di kediaman pribadi, Jalan Multikarya 11 Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu, 8 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.

Sebelum meninggal dunia, Maemunah sempat mendapat perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta karena menderita stroke. Stroke yang terakhir menyerang Maemunah pada September 2010.

Maemunah meninggal enam tahun setelah kepergian Pramoedya, seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Satu-satunya penulis Indonesia yang pernah berkali-kali menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra. Seorang penulis yang begitu dihargai di luar negeri namun justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri. Itulah Pramoedya Ananta Toer (biasa disebut Pram saja).
Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. 

Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. 

Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka.

Lumpur Lapindo: Memori Di Bawah Tanah

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 05 Januari 2011 | Januari 05, 2011


Sejak  2008 tercatat sebanyak 10.106 kepala keluarga terpaksa meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Kampung halaman tercinta meninggalkan banyak kenangan. Jepretan dalam foto tak cukup untuk menerjemahkan kesedihan itu.

Lumpur Lapindo nyaris dilupakan orang bahkan oleh presiden SBY terlebih lagi Aburizal Bakrie. Tapi Lafadl Initiatives, sebuah lembaga nirlaba, menggelar pameran foto bertajuk “Memori Bawah Tanah: Mengingat dan Memotret Hak-Hak Dasar Korban Lumpur Lapindo”. Pameran yang bekerja sama dengan lembaga Hivos ini digelar di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 5-7 Januari 2011.

Pameran foto ini adalah hasil dari workshop fotografi yang dilakukan sejumlah warga dari desa-desa yang terkena dampak lumpur Lapindo. Mereka menggambarkan kondisi hak-hak asasi manusia di Porong, Sidoarjo. Foto-foto yang dipamerkan lahir dari mata mereka yang terkena langsung dampak lumpur Lapindo.

Bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak akhir Mei 2006 setiap hari mengeluarkan sekitar 100.000 meter kubik material lumpur dari dalam perut bumi. Material semburan itu ditampung dalam tanggul seluas sekitar 800 hektare dan secara perlahan disalurkan ke sungai Porong. Bencana ini telah menyebabkan sebayak 4 desa di Sidoarjo, Jawa Timur – Kedungbendo, Siring, Jatirejo, dan Renokenongo – tenggelam oleh lumpur.

(pelbagai sumber)

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday