Latest Post

Syair Para Mujahid

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 06 April 2011 | April 06, 2011










Semoga Allah merahmati Ibnul Jauzi, ketika beliau menggelorakan semangat mereka untuk berjihad dan melindungi wilayah Islam serta melindungi kaum muslimin dari serangan orang kafir. Setelah melihat manusia pada tidak mau untuk berperang, beliau berkata  :

" Wahai Manusia, mengapa kalian melupakan agama kalian ?
Mengapakah kalian menanggalkan harga diri kalian ?
Mengapa kalian tidak mau menolong agama Allah, Sehingga Allah pun tidak menolong kalian ? Kalian kira harga diri ('izzah) itu milik orang musyrik, padahal Allah telah jadikan harga diri itu milik Allah, Rasul Nya dan Orang-Orang beriman.
Celakalah kalian! Tidak pedih dan terlukalah hati kalian 
melihat musuh-musuh Allah dan musuh kalian 
menyerang tanah air kalian 
Yang telah disuburkan oleh bapak-bapak kalian dengan darah ?
Musuh menghina dan memperbudak kalian, 
Padahal dulu kalian adalah para pemimpin dunia !
Tidaklah hatikalian bergetar dan emosi kalian meledak 
menyaksikan saudara-daudara kalian dkepung dan disiksa dengan berbagai siksaan dari musuh ?

Hanya makan minum dan bernikmat-nikmat denan kelezatan hidup sajakah kalian, Sementara saudara-saudara mu disana berselimutkan jilatan api, 
Bergelut dengan kobarannya dan tidur diatas bara ?

Wahai Manusia !!!

Sungguh perang suci telah dimulai, Penyeru jihad telah memanggil 
Pintu -Pintu langit telah terbuka Jika kalian tidak mau menjadi pasukan berkuda dalam perang, Bukalah jalan untuk kaum wanita agar mereka bisa berperang !Pergi sajalah kalian dan ambillah kerikil dan celak mata .....
Wahai wanita bersurban dan berenggot !

Jika tidak, pergilah mengambil kuda-kuda,
Inilah dia tali kekangnya untuk kalian.....!

Wahai manusia, tahukah kalian dari apa tali kekang ini dibuat ?
Kaum wanita telah memintalnya dari rambut mereka 
Karena mereka karena mereka tidak punya apa-apa selain itu.
Demi Allah, Ini adalah gelungan rambut wanita-wanita pingitan 
Yang belum pernah tersentuh oleh sinar matahari 
Karena mereka sangat menjaga dan melindunginya ; mereka terpaksa
memotongnya karena zaman bercinta sudah selesai dan babak perang suci telah dimulai,babak baru perang di jalan Allah !

Jika kalian masih tidak sanggup mengendalikan kuda,
ambil saja tali kekang ini dan jadikanlah sebagai kucir dan gelang rambut kalian, Sebab tali kekang itu terbuat dari rambut wanita !
Sungguh, berart tidak ada lagi perasaan dalam diri kalian !"

Setelah itu Ibnul Jauzi melempar tali kekang itu dari atas mimbar dihadapan khalayak ramai seraya berteriak lantang,
"Bergeraklah wahai Tiang-Tiang masjid, Retakkaanlah wahai bebatuan, Dan Terbakarlah wahai hati!
Sungguh hati ini sakit dan terbakar, para lelaki telah menaggalkan kejantanan mereka!!"

Benar, para lelaki telah menanggalkan kejantanan mereka.
 
Ibnul Jauzi (508-597 H), salah seorang ulama dan penulis besar di abad pertengahan. Salah satu syairnya di atas menginspirasi para kaum mujahid dari zaman ke zaman.



Ibnu Taymiyyah

Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa Arab: أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني), atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja (lahir: 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Lahir di harran, 10 Rabiul Awwal 661 H di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam. Ketika berusia enam tahun, Taymiyyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus.


Dikutip Dari: http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/ibnu-taymiyah/amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.


Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, syairnya berikut ini sungguh menginspirasi para mujahid dari zaman ke zaman:

"Ketahuilah -semoga Allah senantiasa memperbaiki diri kalian-, ni'mat terbesar bagi orang yang Allah kehendaki pada dirinya adalah ketika Allah menghidupkannya sekarang ini, zaman ketika Allah tengah memperbaharui agamaNya, Dia menghidupkan kembali syiar kaum muslimin.
Dia menghidupkan ihwal kaum mu'minin dan para mujahidin; sehingga keadaannya mirip dengan Assabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar. maka siapa saja yang melaksanakan semua ini di zaman sekarang, berarti ia termasuk orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam kebaikan. Maka sudah selayaknya kaum mukminin bersyukur kepada Allah atas ujian yang pada hakikatnya adalah anugerah dari Allah ini. seharusnya mereka mensyukuri terjadinya fitnah yang didalamnya terdapat nikmat besar. Hingga seandainya para sahabat Assabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar , seperti abu Bakar, 'Umar, Utsman, 'Ali, dan yang lainnya, mereka hadir ditempat ini, tentu amalan yang mereka lakukan adalah berjihad melawan orang-orang jahat itu. Dan tidak ada yang ketinggalan dari peperangan seperti ini selain orang yang merugi perdagangannya, dungu jiwanya, dan diharamkan untuk mendapatkan bagian besar dari Dunia dan Akhirat."

(pelbagai sumber)

Muhammad Salim, Maestro Penterjemah I La Galigo

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 29 Maret 2011 | Maret 29, 2011


Tidak banyak orang yang mengenal namanya. Muhammad Salim, 75, padahal ternyata dia adalah seorang pembaca lontara sekaligus penterjemah (aksara Bugis) yang ulung.

Dialah yang menterjemahkan naskah I La Galigo dari aksara lontara kuno ke Bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan sebuah pementasan oleh sutradara ternama Robert Wilson menjadi pertunjukan yang terkenal di penjuru dunia.

La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman. Epos yang panjangnya melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu yang sempat menjadi kepercayaan di antara masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan yang lama terpendam di perpustakaan negara Belanda dan akhirnya diterjemahkan oleh Salim.

Dari 12 jilid naskah La Galigo yang diterjemahkannya selama lima tahun dua bulan tersebut, belum ada satu pun hasil terjemahannya yang dibukukan. Padahal itu menjadi cita-cita utamanya.

"Dia sangat antusias sekali bercerita bahwa Bapak Tanri Abeng berencana membukukan naskah La Galigo terjemahannya setelah pementasan La Galigo April nanti di Benteng Makassar," jelas Hamdan, anak ketiga Salim.

Menurut Jamiah, istri Salim, pria kelahiran Kabupaten Sidrap 1936 dan menikah dengannya 1957 tersebut, tidak pernah mengeluh sakit meski usianya sudah tua. Tapi, Minggu (27/3) setelah berwudhu untuk shalat magrib, dia mengaku sakit di bagian dadanya sebelum memejamkan mata dengan tenang untuk selamanya.

Muhammad Salim telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba.


Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.


Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel. 


Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana.


Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987,  Salim terbang ke Belanda.


Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.  


Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf.

Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.

(pelbagai sumber)

Koin Untuk Paus Sastra Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 25 Maret 2011 | Maret 25, 2011


Sebuah kerugian besar bagi bangsa ini jika Gedung Pusat Dokumentasi Sastra HB Yasin terancam ditutup karena kurang dana. Padahal, bangunan yang telah berdiri sejak 34 tahun itu merupakan pusat dokumentasi sastra terbesar di dunia.  Di dalamnya terkumpul 50 ribu sejarah dan hasil karya sastrawan besar Indonesia. 

Diberitakan berbagai media nasional, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh telah mengirimkan tim untuk memverifikasi permasalahan yang dihadapi Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. M Nuh mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk membantu PDS HB Jassin agar tetap dapat eksis. Syukurlah, meski terhitung terlambat. Itupun setelah dipancing dengan gerakan koin para mahasiswa untuk pengumpulan dana gedung tersebut.

Gedung HB Yasin tampak sangat bersahaja. sama sekali berbeda 180 derajat dengan bagunan teater modern di sampingnya. Meski demikian, keindahannya masih terpancar. Begitu pintu dibuka, sebuah foto HB Yasin, sang Paus Sastra Indonesia terpajang gagah. Foto tersebut tetap dijaga untuk mengenang sang pendiri gedung dan pencinta sastra.

Gedung HB Yasin tidak hanya aset Indonesia semata. Karya-karya sastra di dalamnya kerap menjadi inspirasi mahasiswa dunia untuk belajar tentang sastra.

Namun, semua keindahan itu hampir sirna seiring keluarnya Surat Keputusan Gubernur 16 Februari lalu. Pasalnya, keputusan untuk memangkas dana bantuan pengelolaan menjadi Rp50 juta per tahun dirasa tidak mencukupi untuk membayar pegawai dan perawatan barang.

Ini pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kita baru merasa kehilangan sesuatu jika sesuatu itu sudah tiada.


Tanpa Tanda Titik Dua

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 17 Maret 2011 | Maret 17, 2011


seperti membangunkanmu 
dengan cinta yang tidak lagi lengkap
aku hanya ingin mencuri perihal-perihal dirimu
termasuk sejak awal tentang 
pekarangan tubuhmu yang 
bunga
yang belum sempat juga 
kau ceritakan:
tanpa tanda titik dua
semesta penjelasan cinta tak pernah berbeda:
  aku kini hanya merasa begitu lengkap dengan   bunga                  
di salah satu pekarangan hatimu.
       
         
 bulukumba, 17 maret 2011




Contemporary Archeology Chapter Two

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 13 Maret 2011 | Maret 13, 2011


Contemporary Archeology Chapter Two mulai Sabtu 12 hingga 27 Maret  digelar SIGIarts Gallery, Jakarta. Ini adalah pameran bersama para seniman patung muda Indonesia, antara lain, Dita Gambiro, Faisal Reza, Hary Mahardika, Itsnataini Rahmadillah,Rangga Aditya, Rini Maulina, Risa Astrini, dan Teguh Agus Priyatno.

Arkeologi secara etimologis berarti "sejarah kuno", dari "masa lalu". Karena itu istilah contemporary archeology terdengar paradoks, yaitu arkeologi yang merujuk pada masyarakat masa kini. 

 Arkeologi  adalah disiplin ilmu yang berupaya memahami sejarah manusia dan masyarakat masa lalu melalui analisis terhadap benda-benda atau artefak buatan manusia. Arkeologi terutama terfokus pada masyarakat prasejarah, di mana tak tersedia catatan tertulis bagi para sejarawan untuk memahami masyarakat di zaman yang berbeda.

Karya-karya seni rupa kontemporer memang dipercaya merefleksikan situasi dan kondisi kebudayaan kontemporer. Karena itu karya seni dianggap bernilai karena konten representasinya. Dengan kata lain karya seni berharga karena potensinya sebagai "penanda" bagi persoalan yang diperkarakan oleh seniman.

Karya-karya para seniman dalam pameran ini bukan hanya bisa membangkitkan sensasi kepuasan estetik  namun juga membangkitkan kadar konseptual dan intelektual penikmatnya.

(pelbagai sumber)

Maluku Kobaran Cintaku diluncurkan Secara Nasional

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 11 Maret 2011 | Maret 11, 2011


Ratna Sarumpaet memposisikan kesenian sebagai alat perjuangannya, menyuarakan penolakannya atas kebijakan-kebijakan Negara yang dianggapnya menyimpang. Serta pemihakannya pada orang-orang yang tersudut oleh kebijakan kebijakan itu. Novel Maluku Kobaran Cintaku, karyanya yang terbaru juga mempertegas idealismenya. 

Karya-karyanya yang lain (drama/film), seperti Rubayat Umar Khayam, Dara Muning, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah, Pesta Terakhir, Terpasung, Marsinah Menggugat, ALIA, Luka Serambi Mekah, Anak-anak Kegelapan, Jamila & Sang Presiden. 
 

Sebelumnya novel Maluku Kobaran Cintaku telah  launching di beberapa negara seperti di Belanda, Prancis, dan secara lokal di Maluku. Kali ini peluncuran novel secara nasional  dilakukan di Taman Ismail Marzuki, pada Jumat 11 Maret 2011.

Peluncuran  diikuti dengan diskusi terbuka yang menghadirkan, Prof Dr. Ahmad Syafii Maarif, Pendeta Gomar Gultom (Sekjen PGI), dan Usman Hamid (Kontras). Diskusi akan mengangkat tema-tema kemanusiaan, toleransi, dan HAM. Peluncuran novel ini juga dipastikan akan dihadiri sejumlah tokoh lainnya, seperti mantan Wapres H.M. Jusuf Kalla, Prof Dr. Musdah Mulia, dan R.D.P benny Susetyo.

Peluncuran novel ini juga dimeriahkan dengan musik dan tari-tarian Maluku. Ikut menampilkan Glend Fredly, sebagai putra Maluku, pembacaan nukilan oleh Tere Pardede, Imam Soleh, Harris Priyadi Bah dan Chimey Gozali.

Dikutip dari salah satu media di Maluku, Ambon Ekspress, Ratna Sarumpaet menyatakan, novel ini bisa disebut, satu dari sedikit karya sastra yang berlatar konflik Maluku, sebuah episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia dekade ini. Berkisah tentang sekelompok anak muda (Mey, Ali, Melky,Ridwan, Peter dan Aisah) yang terjebak dalam pusaran sebuah konflik yang menggerus kerukunan antar suku dan agama.

Disuguhkan dengan dramatis, dengan narasi sangat filmis, melalui novel ini Ratna mengingatkan kita, bahwa di tengah konflik Maluku ada pihak yang terus mencari keuntungan dengan tetap memelihara konflik itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Meski novel ini karya fiksi, penerima "The Female Special Award for Human Rights" (1999) dari The Fondation of Human Rights in Asia ini, dua tahun merelakan waktu, pikiran dan tenaganya melakukan riset dan menulis novel ini. Ia bolak-balik Jakarta – Maluku dan Maluku Utara untuk mendapat gambaran utuh mengenai konflik.


Pencipta Gambar Che Guevara Ajukan Hak Cipta

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Maret 2011 | Maret 04, 2011


Di kamar jutaan anak-anak muda di seantero dunia, di tembok kota, di jaket, kendaraan dan sebagainya, gambar yang satu ini begitu akrab. Tokoh dalam gambar itu benar-benar menginspirasi banyak kaum radikal-progresif dan revolusioner di planet ini. Profesor Martin Kemp, sejarawan seni di Oxford University, bahkan memasukkan gambar ini ke dalam 10 gambar ikonik sepanjang sejarah (Lukisan Mona Lisa berada di urutan pertama).

Gambar klasik siluet hitam Che Guevara berambut gondrong dan berbaret dengan latar merah itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Gambar itu turut pula diusung para demonstran dalam unjuk rasa di Mesir beberapa waktu lalu dan juga hadir dalam berbagai demonstrasi di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Seorang seniman Irlandia kelahiran Dublin 65 tahun yang lalu, Jim Fitzpatrick,  kerap kali menyatakan,"Seringkali tak ada yang percaya bahwa akulah pembuatnya."

Setelah empat dekade membiarkan karyanya itu dicetak ulang secara gratis, Fitzpatrick kini memutuskan untuk mengajukan klaim pemilikan hak cipta atas karya tersebut. "Ini bukan soal mencari uang, ini soal bagaimana memastikan agar karya itu digunakan secara benar... tidak dipakai untuk tujuan-tujuan komersial yang kasar," kata perupa dan fotografer yang telah membuat sampul album untuk grup-grup musik Irlandia, Thin Lizzy dan Sinead O'Connor.

Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, gambar itu diakui dibuat Fitzpatrick berdasarkan foto karya Alberto Korda. Ketika menciptakannya pada 1968, dia tak pernah mengajukan hak ciptanya. Malahan, gambar itu disebar untuk digunakan oleh kelompok-kelompok revolusioner di Eropa. Dalam tempo singkat, gambar itu diadopsi oleh para mahasiswa kiri, yang menempatkannya di kaos dan poster, sehingga turut mengangkat citra Che sebagai lambang pemberontakan global. Tapi, gambar tokoh revolusi Marxis, yang membantu Fidel Castro berkuasa di Kuba pada 1959, itu telah pula diambil oleh para produsen cangkir, tongkat baseball, dan bahkan pakaian dalam. 

Masalah rumit dari kasus ini adalah fakta bahwa karya Fitzpatrick itu berdasarkan foto yang diambil fotografer Kuba, Alberto Korda, di sebuah pemakaman di Havana. Fitzpatrick kini mengajukan dokumen untuk membuktikan dialah pemilik hak cipta gambar itu. Dia juga berencana untuk ke Havana tahun ini untuk menyerahkan kepemilikan hak cipta itu kepada keluarga Guevara.

Epos I La Galigo Akhirnya Pulang Kampung

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Februari 2011 | Februari 26, 2011


Lebih lima tahun terakhir mengembara di berbagai negara, pentas teater kelas dunia I La Galigo akhirnya berlabuh di kota kelahirannya, Makassar. Pementasan ini akan berlangsung di Fort Rotterdam, 23-24 April mendatang berkat prakarsa Tanri Abeng, Yayasan Bali Purnati, Pemerintah Kota Makassar , dan Change Performing Arts (Italia).

Pementasan I La Galigo terinspirasi dari Sureq Galigo, hikayat kepahlawanan di Sulawesi Selatan. Lakon ini dipentaskan pertama kali di Singapura pada tahun 2003, lalu menyusul di antaranya di Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, New York, dan di Jakarta pada tahun 2005.
Di Makassar, pentas akan digelar dalam format opera di ruang terbuka dengan durasi dua sampai 2,5 jam. Setidaknya seratus pendukung acara, termasuk seniman Sulawesi Selatan, akan dilibatkan.

Penyelenggara saat ini masih mensurvei lokasi untuk menyiapkan detail tata panggung dan pencahayaan. Gladi bersih diperkirakan bisa dihelat dua minggu sebelum pementasan.

Kehadiran I La Galigo di Makassar merupakan penghormatan bagi mereka yang membuat epos ini dikenal hingga dunia. Tanri Abeng berhasil meyakinkan sutradara Robert 'Bob' Wilson untuk mementaskannya di Makassar.

Ke depan rencananya juga  akan dibangun perpustakaan dan museum I La Galigo yang lebih lengkap untuk menambah khazanah kebudayaan Sulawesi Selatan.

I La Galigo bersumber dari naskah Sureq Galigo yang ditulis dalam huruf lontara. Naskah asli berada di Leiden, Belanda, dengan tebal 6.000 halaman. Penerjemahan secara utuh sudah dilakukan oleh M Salim, dosen fakultas seni dan desain Universitas Negeri Makassar. Salim membutuhkan waktu lima tahun dua bulan untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.

Dari 24 jilid yang diterjemahkan, baru dua jilid yang diterbitkan. Adapun pentas teater akan menampilkan tari, musik, dan dialog berbahasa Bugis klasik.


Rumata' , Rumah Budaya di Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Februari 2011 | Februari 19, 2011

Saatnya kita kembali ke rumah kita sendiri. Ketika kota begitu bising dan matahari menyengat kenyataan, masuklah ke dalam rumah yang ramah. Rumah yang ramah bagi seni budaya. Salah satu rumah yang ramah itu adalah Rumata.' 

Kata Rumata' dalam bahasa Makassar berarti 'rumah kita'. Rumata' merupakan rumah budaya sebagai pusat pertunjukan seni, teater serta berbagai bentuk kegiatan berekspresi kebudayaan lainnya di Sulawesi Selatan. 

Sutradara muda kelahiran Makassar, Riri Riza adalah penggagas di balik rumah budaya ini.
Sineas muda yang telah mendapat 10 penghargaan internasional itu akan mewujudkan mimpinya sejak dulu di antaranya di Rumata' para seniman bisa menggelar pameran dan festival film, foto dan lukisan, pidato kebudayaan, lokakarya hingga pengembangan kemampuan literasi dan seni rupa. 

Saat ini sejumlah program Rumata' telah disusun, antara lain Rumata' akan menerima seniman atau penulis dari luar Makassar bahkan Indonesia, untuk melahirkan karya dengan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal. 

Rumata' juga akan membantu seniman atau kelompok seni lokal terpilih dalam merancang pengembangan dan pemberdayaannya sehingga bisa mencapai kemandirian proses berkesenian. Dalam proses ini, komunitas-komunitas kesenian, baik lokal maupun dari luar Makassar akan dikolaborasikan sehingga terjadi pertukaran wawasan kebudayaan. 

Sementara penulis Lily Yulianty Farid menjelaskan, peluncuran rumah budaya Rumata' di Makassar 18-21 Februari, diisi berbagai kegiatan. Antara lain pameran 40 foto "I Bring Melbourne to Makassar" karya fotografer Australia, Wendy Miller serta pertunjukan seni dan teater. 

Selain itu, mereka juga menggelar pemutaran film Riri Riza dan peluncuran buku kumpulan cerita "Family Room" karya Lily Yulianty Farid. Rangkaian acara akan ditutup dengan diskusi dan kuliah umum yang berlangsung di kampus Universitas Hasanuddin. 

Pendiri situs jurnalisme warga Panyingkul.Com itu menyatakan, Rumata' memiliki visi menjadikan seni dan budaya sebagai bagian penting bagi identitas Kota Makassar. Kehadiran Rumata' yang berlokasi di eks-rumah masa kecil Riri Riza itu diharapkan menjadi pemicu pertumbuhan kultural sebagai penyeimbang pertumbuhan material di kota Makassar.




(pelbagai sumber) 

Selamat Jalan, Ali Walangadi

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 14 Februari 2011 | Februari 14, 2011


Pelukis sekaligus pencipta logo Sulawesi Selatan, Ali Walangadi, meninggal dunia di usia 83 tahun, pukul 21.15 wita, Minggu (13/2/2011) malam. 

Ali Walangadi adalah salah satu perupa modern angkatan pertama yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI Yogyakarta pada pertengahan tahun 1950-an. 

Seniman gaek ini meninggal karena komplikasi penyakit usus turun, stroke dan katarak, yang ia derita bertahun-tahun. Ia meninggalkan sembilan orang anak, dan satu istri.

Ali Walangadi mulai terkenal sejak tahun 1956, ketika ia menciptakan maha karya, dengan membuat logo Sulawesi Selatan. Logo Sulsel tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1972, yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultural, patriotik, sosiologis, ekonomi, dan menunjukkan Sulsel merupakan bagian mutlak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ali Walangadi juga pernah membuat heboh di tahun 1990-an ketika mengadakan pertunjukan unik yaitu aksi membakar lukisan-lukisan karyanya sendiri.

Pelangi Budaya II Mandar- Kajang di Tinambung

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 09 Februari 2011 | Februari 09, 2011


Dalam Islam, silaturahim adalah saling mengerti dan terlibat satu dengan yang lain. Keterlibatan menyebabkan seseorang memiliki keperdulian berintegrasi dan berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi adalah budaya religi. Sementara dari kacamata budaya, silaturahim antar budaya-etnis juga mencuatkan tujuan itu, ritual saling memahami dan perduli antar seni budaya.

Ritual saling memahami dan perduli budaya ini juga dilakukan dalam Pagelaran Pelangi Budaya II, Silaturrahim Penggiat Budaya Mandar-Kajang yang berlangsung  tanggal 12-15 Pebruari 2011 di Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Salah satu komunitas dari Sulsel yang dipastikan hadir adalah Laskar Kelor dari Bulukumba.

Dilansir dari suaramandar.com, selain  pagelaran sastra dan musik, silaturrahmi budaya Mandar-Kajang ini juga diisi dengan ziarah ke sejumlah kantong-kantong seni di Mandar, workshop bersama, diskusi hingga rekaman musik puisi  karya Laskar Kelor dan Teater Flamboyant,

Dalam kiprahnya, Laskar Kelor lebih fokus pada garapan musik puisi. Sebahagian besar puisi garapannya diangkat dari karya-karya Dr. Ahyar Anwar, dosen UNM dan karya-karya Andika Mappasomba. Dalam lawatan Laskar Kelor ke Mandar kali ini, akan ditemani oleh Andika Mappasomba, putra Bulukumba yang memperistri gadis Mandar.

Ziarah Laskar Kelor selain ke beberapa komunitas seni di Tinambung juga akan ziarah ke Rumah Husni Djamaluddin salah seorang sastrawan nasional yang berjuluk 'panglima puisi' di Kandeapi, dan ke rumah para pelaku seni dan budayawan Mandar lainnya.

Kegiatan rekaman musik puisi karya Laskar Kelor dan karya Teater Flamboyant akan dilakukan di Aula SMP Negeri 1 Tinambung, dan pada tanggal 15, pentas Seni Musik Puisi Laskar Kelor, Teater Flamboyant dan Komunitas Seni Korumta Mekkatta.


Catatan Jingga, Sebuah Karya Untuk Bulukumba

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Februari 2011 | Februari 05, 2011


Dari sebuah kerja luar biasa namun santai dan bersemangat, sineas muda Bulukumba dari Tunta Production berhasil merampungkan film berjudul "Catatan Jingga" yang akan diputar perdana pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba, Sulsel. Film ini adalah salah satu kado istimewa untuk Hari Jadi Bulukumba ke-51, 4 Februari 2011.

Catatan Jingga merupakan film fiksi pertama yang digarap oleh sineas Bulukumba. Catatan Jingga mengeksplorasi nuansa adat, budaya, wisata dan cinta. Film ini diproduseri oleh Andi Wasfaedy Alamsyah S.KM dengan sutradara Mardi Marwan S.sos.

Tunta Production sebelumnya telah sukses memproduksi beberapa karya, di antaranya film pendek, film dokumenter dan video klip band. Baru-baru ini salah satu film mereka mendapatkan antusias luar biasa dari penonton di Botol Music Hotel Quality Makassar.

Pemutaran film "Catatan Jingga" pada Rabu 9 Februari 2011 di Lapangan Pemuda Bulukumba juga didukung oleh  Sophie Paris, Hotel Nusa Bira Indah, Agri Restaurant, Fery Salon, Bira Beach Hotel, Gajah Mada Production dan Pemkab Bulukumba, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bulukumba.

Tunta Production bekerjasama RCA 102,5 FM sebagai media partner bersama Tabloid Remaja Yess, radio Pemkab Bulukumba  SPL (Swara Panrita lopi 95 FM) serta enam radio komunitas yakni Delstar FM, MD FM, Sugesthi FM, Jack Radio, Lereng FM dan  Lingu Peace Radio.

Film Catatan Jingga adalah satu dari barisan panjang film independen (indie) di Indonesia. Sebenarnya banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri, misalnya film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).
Di ajang Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Akar film independen sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru.

Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 28 Januari 2011 | Januari 28, 2011


Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial.

Hari ini sastra sedang gelisah. Untuk menangkapi pertanda sekalipun itu hanya isyarat diam,  para pegiat sastra di Sulsel akan menggelar Pengadilan Sastra bertema "Sastra Mengadili Realitas Sosial yang Sakit." 

Mereka mengkampanyekan suara kegelisahan bersama atas keresahan sosial yang menyentak hati dan melukai realitas tanah pertiwi dengan bahasa yang beda.

Kalimat dari mulut Andhika Mappasomba, salah seorang pegiat sastra di Sulsel agaknya cukup mewakili kegelisahan itu, "bagi pegiat sastra dari Bulukumba  yang tak sempat pulang ke Bulukumba mengikuti perayaan Hari Jadi ke-51 Bulukumba yang dibiayai oleh pajak yang ditarik dari peluh dan air mata rakyat bulukumba, ada baiknya menghadiri acara ini. Gratis dan tidak menggunakan uang Pajak. Dengarkan lagu-lagu berbahasa Konjo Kajang dinyanyikan di Pengadilan Sastra ini."


 
Pengadilan Sastra menyuguhkan secara gratis pementasan karya sastra oleh Pegiat Sastra Makassar juga pentas musik oleh kelompok musik Laskar Kelor di Pelataran Kampus YPT. Al-Gazali Universitas Islam Makassar setelah shalat Jumat 4 Februari 2011.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday