Latest Post

Cinta Dua Zaman

Posted By Redaksi on Minggu, 09 Agustus 2020 | Agustus 09, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

"Aku mencintaimu, Uleng. Hanya kau perempuan satu-satunya yang ingin kujadikan pendamping hidupku." Aku  berlutut di hadapan Uleng, wanita yang kucintai.

"Aku juga mencintaimu, Karaeng Maruling. Tapi kasta kita berbeda. Kau adalah 'ana' arung', putra dari menteri kerajaan ini. Sementara aku hanyalah 'ata." Uleng menepis tanganku yang berusaha untuk menggenggam tangannya.

"Aku tidak peduli!" Teriakku.

"Kalau kita nekad untuk menikah, maka malapetaka akan menimpa kita dan keluargaku. Kita akan diusir keluar dari kerajaan ini dengan hina karena menentang adat istiadat. Dan orang tuaku? Bisa saja mereka dibunuh oleh suruhan Raja, Karaeng!"

Aku diam cukup lama, hanya bisa menatap wajah perempuan yang kukasihi itu. Di Negeri ini, statusnya hanya 'ata', kasta yang paling rendah. Orang yang berasal dari kasta ini, adalah orang suruhan atau budak para keluarga Raja dan kalangan bangsawan. Sangat pantang keluarga bangsawan sepertiku menikah dengan perempuan yang berasal dari kasta 'ata'.

"Baiklah, kalau di kehidupan ini kita tidak bersatu. Aku bersumpah, di kehidupan selanjutnya, kita akan bersama dalam satu ikatan suci!"

"Aku juga bersumpah Karaeng, tidak akan menikah selain denganmu!"

Sumpah kami sepertinya didengar oleh semesta. Petir seketika membelah bumi dan menyambar tubuhku dan tubuh Uleng. Gunung Bawakaraeng, tempat yang sering kami jadikan untuk memadu kasih menjadi saksi leburnya tubuh kami bersatu dengan bumi.

***

Makassar, 1 Januari 2020

 

Aku adalah seorang dokter umum di sebuah Rumah Sakit di kota Makassar. Usiaku kini tidak lagi muda. Sudah hampir 30 tahun. Namun belum punya niat untuk menikah. Sudah beberapa perempuan yang Mama perkenalkan padaku, tapi tidak satupun dari mereka yang berhasil mencuri hatiku.

"Itu bukan perempuan idamanku, Mama," ucapku setiap kali Mama bertanya tentang alasan menolak perempuan yang dia bawa ke hadapanku.

Mulai dari dokter, bidan, pegawai Bank, guru sudah Mama jodohkan denganku. Tapi entah kenapa, selalu saja tidak menemukan yang tepat. Belum ada yang bisa membuatku jatuh cinta.

Siang itu, selepas menangani pasien terakhirku,  Aku mengendarai mobil menuju pantai Losari. Kesibukan yang cukup padat akhir-akhir ini membuatku mencari suasana baru untuk refreshing.

"Maaf," ucapku ketika tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang mengenakan jilbab ungu saat tiba di pantai Losari. Sore itu pengunjung sepi, hanya beberapa orang yang sedang menikmati senja. Ada juga pasangan yang asyik memadu kasih.

"Tidak apa-apa." Perempuan itu tersenyum ke arahku. Kemudian dia segera melanjutkan langkahnya ke arah pintu keluar pantai Losari.

"Tunggu!"

Perempuan itu menoleh. "Ada apa?"

"Sepertinya aku mengenalmu. Wajahmu tidak asing bagiku. Kau ...."

"Maaf, aku baru di kota ini. Mungkin perempuan yang anda lihat, hanya mirip denganku," sergah perempuan itu.

"Aku Rendi!" kuulurkan tanganku padanya.

"Namaku Tendry. Maaf! Aku buru-buru, sebentar lagi matahari terbenam." Perempuan yang bernama Tendry langsung berlalu dari hadapanku saat kami selesai berkenalan.

"Sial," umpatku dalam hati. Padahal, ingin rasanya dia kutahan di sini untuk lebih lama lagi.

Kutatap terus kepergian Tendry sampai dia menghilang dari pandangan.

Matahari pun terbenam. Tapi aku masih di sini memandang senja yang perlahan lenyap. Pikiranku masih tertuju pada sosok Tendry. Perempuan itu, kenapa aku seperti sangat mengenalnya? Tapi di mana?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Tendry, aku harus bertemu denganmu!" Kutinggalkan pantai Losari seiring dengan adzan Maghrib berkumandang.

***

 

"Rendi!"

Aku menoleh mencari pemilik suara yang memanggil namaku. Di Rumah Sakit ini tidak ada yang langsung menyebut namaku.

Ada kebahagiaan yang membuncah saat tahu pemilik suara itu. Pantaslah dia tidak memanggilku dokter. Wajah itu, sejak pertemuan pertama, senantiasa hadir dalam mimpiku. Dia juga membuatku gelisah, karena tidak tahu harus menemuinya di mana. Dan sepertinya kami ditakdirkan lagi untuk bertemu.

"Tendry? Kau sedang apa di sini?"

"Aku perawat baru di sini. Dan kau sendiri ada keperluan apa? Apa kau pasien di Rumah Sakit ini?

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tendry. Aku memang jarang memakai jas dokter yang berwarna putih itu. Jadi, jika orang pertama kali melihatku, tentu tidak mengetahui kalau aku dokter.

Aku mensejajarkan langkah dengan Tendry  di koridor. Tidak peduli pada tatapan sejumlah perawat yang memandang aneh. Ini pertama kalinya  berjalan berdampingan dengan perempuan sejak bekerja di sini. Pantaslah, mereka merasa heran.

"Aku dokter di Rumah Sakit ini," sahutku pelan.

"Apa? Jadi kamu dokter? Maaf ...."

"Santai saja, tidak usah mata membulat begitu," kilahku memotong kalimat Tendry yang belum selesai.

"Aku ingin mengajakmu makan malam, apakah kau bersedia, Tendry?" Aku sangat berharap dia menerima undanganku.

"Iya dokter, aku bersedia!"

 

***

 

Malam ini, di salah satu restoran ternama di Makassar. Aku memesan tempat yang privat. Ini kencan pertamaku, jadi kubuat seromantis mungkin.

"Apa kau percaya reinkarnasi, Tendry?"

"Maksud dokter Rendi?"

"Dibangkitkan kembali setelah kematian."

"Antara percaya dan tidak percaya sih, dok. Tapi kalau Allah berkehendak, Apa sih yang tidak mungkin. kok, pertanyaannya seperti itu, dok?

"Aku merasa, di kehidupan sebelumnya kita sangat dekat. Kau berulang kali hadir dalam mimpiku." Kubuat suaraku senetral mungkin. Ada perasaan takut, jangan sampai Tendry menertawakan ucapanku yang tidak rasional ini. Tapi ini fakta, dan harus kuberi tahu pada Tendry. Terserah dia percaya atau tidak.

"Aku pun mengalami hal serupa, dok." Lama baru Tendry menjawab.

"Maksudmu?" kutatap Tendry sedemikian rupa.

"Jauh sebelum aku ke Makassar, mimpi aneh sering hadir dalam tidurku. Dan wajah yang muncul di mimpiku, sangat mirip kau, dok." Tendry menghela napas, kemudian mempermainkan jemarinya.

"Seperti apa mimpimu?"

"Aku seperti melihat tempat yang berlatar belakang jaman kerajaan. Dan ada dua sosok manusia yang mengucap sumpah di puncak gunung. Dan wajah itu sangat mirip aku dan kau, dokter."

Aku terperangah mendengar penjelasan Tendry. Mimpi itu sama persis dengan mimpiku. Apa dua orang yang ada dalam mimpi kami, adalah aku dan Tendry pada kehidupan sebelumnya?

Kugemgam kuat tangan Tendry, dia pun membalasnya. Kami saling menatap. Rasa cinta  begitu kuat terpancar dari sorot mata kami. Ini seperti cinta lama yang belum usai. Pertemuan kami bukanlah kebetulan, seperti ada yang mengaturnya. Apapun itu, ini adalah rahasia Sang Pencipta untuk cintaku dan Tendry.

Apakah ini cinta dari masa lalu? Aku tidak tahu. Apakah aku dan Tendry mengalami reinkarnasi? Aku juga tidak tahu. Seperti kata Tendry, tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak.(*)

Tidore, 1 Februari 2020

 

Note:

Ana' arung : Bangsawan 

Karaeng : Gelar untuk bangsawan Makassar

Ata : Budak

Tunggu Aku, Ukhti

 Oleh: Assyifa Barizza

Aku masih terjaga seorang diri di villa ini. Aryan dan Bima sudah terlelap dari sejam yang lalu. Rasa lelah menempuh perjalanan selama lima jam lebih dengan menggunakan motor, membuat keduanya langsung terlelap di bawah buaian desiran angin malam dan suara riak ombak. Ah, aku merasa seperti mendengar suara musik alam. Menenangkan dan bikin jiwa damai.

Dengan gelas kopi di tangan, aku memandang jauh ke pantai. Panorama keindahan alamnya tak berkurang meski malam hari. Perahu nelayan yang bersilewaran, semakin menambah keelokan pantai. Mata seakan enggan berkedip menyaksikan keajaiban alam yang terpapar di depanku. Sungguh Maha Karya Tuhan yang Sempurna.

Pantai Bira yang yang terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan adalah destinasi wisata yang menjadi tujuan kami di liburan semester kali ini. Aryan dan Bima mempunyai hobi diving. Aku sendiri tidak berani untuk menyelam, hanya lebih suka memotret pantai saat senja dan menikmati sunset. Berulangkali Aryan dan Bintang membujuk, aku selalu menolak. Entahlah, aku hanya lebih suka memotret, dari pada menikmati keindahan bawah laut.

"Sekali saja kau mencoba, kau akan ketagihan, Brow," ucap Bintang tempo hari saat berada di Tebing Apparalang, pantai yang tidak jauh letaknya dari tempat kami berada sekarang. Siapa yang tidak mengenal Bulukumba? Tempat wisata dengan pantainya yang terkenal sampai ke manca negara. Pantai Bira yang tidak pernah sepi pengunjung karena pasirnya yang putih, lautnya yang biru dan jernih, serta pemandangan alamnya yang eksotis membuat orang tidak bosan untuk berkunjung. Sekali kita berkunjung ke tempat ini, maka selalu rindu untuk kembali. Begitu pula denganku, selalu rindu untuk datang. Pantai ini, seakan memanggilku untuk ke sini lagi.

"Aku alergi air laut, Brow. Kulitku akan pedih saat bersentuhan dengan air asin," begitu selalu alasanku untuk mengelak dari ajakan mereka yang doyan menikmati pemandangan bawah laut.

Malam yang bertaburan bintang, menciptakan rasa berani untuk melangkahkan kaki di tepi pantai. Terlalu sayang melewatkan malam di tempat ini hanya dengan tidur. Aku pun semakin jauh meninggalkan villa. Berjalan ke tepi pantai, ingin menyaksikan pemandangan laut lebih dekat lagi. Malam adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama dengan pantai.

Dari kejauhan, aku mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an. Suaranya sungguh merdu, membuat merinding tubuh ini. Ada kedamaian saat mendengarnya. Perempuan siapa yang membaca kitab suci di jam seperti ini? Rasa penasaran semakin menderaku.

Aku mencoba mencari darimana suara itu berasal. Di gazebo, yang letaknya tidak jauh dari pantai, seorang perempuan dengan menggunakan hijab syar'i yang panjangnya sampai ke pinggang terlena dengan bacaan Al-Qur'an. Sesekali aku mendengar isakan tangis keluar dari mulutnya.

"Masya Allah, indah sekali suaramu, Ukti." Aku berjalan ke arahnya saat dia mengakhiri bacaan Al-Qur'annya.

Ekspresinya sangat kaget melihat kedatanganku. Buru-buru dia berdiri dari tempatnya duduk. Memperbaiki letak hijabnya.

"Aku bukan orang jahat, aku ke sini hanya untuk mengagumi mahakarya sang pencipta," lanjutku untuk menghilangkan prasangka buruk di pikirannya tentangku.

"Maaf Akhi, kalau suaraku mengganggumu. Aku hanya ingin bertafakur untuk merenungi diri dari segala dosa dan kekhilafan," ucap perempuan itu dengan suara pelan sambil menundukkan wajahnya.

Rasa kagum pun tidak bisa kuhindari. Perempuan seperti ini sangat langka. Di saat orang lain terlelap dalam mimpi, dia terbangun untuk mengingat sang pencipta. Aku merasa malu di hadapan perempuan ini. Bagaimana tidak? Salat saja, aku sering lalai. Bahkan lupa, kapan terakhir membaca ayat suci Al-Qur'an. Aku lebih sibuk dengan urusan duniawi.

"Maaf Akhi, aku harus segera pulang ke villa tempatku nginap. Lagipula, tidak baik seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan di tempat sepi seperti ini. Nanti menimbulkan fitnah. Assalamu Alaikum!" Perempuan itu segera berlalu dan tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.

Perempuan ini betul-betul sangat menjaga fitrahnya sebagai muslimah. Dia sangat berbeda dari perempuan yang sering aku temui. Di kampus, tidak sedikit perempuan yang berusaha mendapatkan perhatianku. Dianugerahi wajah cukup tampan dan menjabat sebagai ketua BEM, tentulah aku menjadi idola cewek. Namun, sampai saat ini, belum ada yang memikat hati. Belum menemukan perempuan idaman hati.

"Waalaikum salam," jawabku sambil memandangi kepergian perempuan itu. Tanpa dia sadari, ekor mataku mengikuti ke mana dia pergi. Ternyata, Villanya tidak jauh dari tempatku nginap. Apakah dia mahasiswa juga, sama sepertiku? Kenapa ada debaran indah tanpa sengaja mampir padaku saat ini?

Ingin rasanya aku menahannya untuk sekedar bertanya siapa namanya, tapi aku sadar, ini bukan cara yang tepat untuk bisa berkenalan dengannya. Baru pertama kalinya, aku tidak berani lancang untuk berkenalan dengan seorang perempuan.

Dia bukan perempuan biasa, tapi perempuan istimewa. Itu kesan pertama yang bisa kutangkap. Cantik dan salehah, itu sebutan yang paling cocok untuknya.

***

Keesokan hari, saat memasuki toko kerajinan tangan khas Bira, netraku menangkap sosok perempuan yang aku temui tadi malam di tepi pantai.

Aku membatalkan dulu belanja oleh-oleh, cendera mata itu masih bisa menunggu. Segera kudatangi tempat perempuan itu. Dia tidak sendiri, tapi bersama beberapa teman perempuannya yang semuanya menggunakan hijab syar'i.

Ah, sungguh mulia hati perempuan ini. Lihatlah, dia begitu peduli pada sesama. Tanpa mempedulikan terik matahari, dia terus berjalan mendatangi pengunjung pantai ini untuk meminta sumbangan. Bibirnya yang mungil selalu tersenyum kepada orang yang dia ajak untuk berbagi, meski ada juga yang menolak. Langkahku semakin mendekat ke arahnya, rasa penasaran tidak bisa kucegah untuk melihatnya dari jarak yang cukup dekat.

[Donasi untuk adik Taufik, korban kebakaran]. Kalimat itu yang sempat kubaca pada karton bekas yang di bawa perempuan itu.

Taufik, bocah berusia lima tahun korban kebakaran yang disebabkan oleh ledakan tabung gas. Saat ini belum ditangani pihak Rumah Sakit karena ketiadaan biaya. Berita ini menjadi viral dua hari ini di sosial media.

Ah, sekali lagi aku merasa tertampar. Perempuan itu, sekali lagi semakin membuatku kagum. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan sangat takut pada Tuhannya. Sementara aku, hanya sibuk memikirkan liburan. Tapi dia, liburan sambil menggalang dana. Sungguh ide yang kreatif. Lain kali, aku juga akan mengikuti idenya.

Rasa ingin mengenalnya semakin menggebu, tapi untuk berkenalan dengannya, tentunya aku harus memantaskan diri terlebih dahulu.

Wahai perempuan berhijab, tunggu aku. Aku akan datang padamu dengan cara yang halal.

Tidore, 20 Januari 2020

Dendam di Rumah Panggung

Posted By Redaksi on Sabtu, 08 Agustus 2020 | Agustus 08, 2020

                                             Oleh: Assyifa Barizza 

Dari kejauhan, aku menatap rumah panggung yang bergaya tradisional khas Makassar. Tidak ada yang berubah, tetap sama dengan puluhan tahun yang lalu. Hanya saja, rumah itu tampak rapuh dimakan usia. Halamannya pun tampak tidak terawat, bunga tidak tertata rapi. Pagarnya juga sudah banyak yang ambruk.

Di rumah itu, masa kecilku kuhabiskan. Masih teringat jelas, tiap pagi Ibu siapkan bubur Bassang untuk sarapan. Ayah yang selalu mendudukkanku di pangkuannya tatkala menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Ibu di sore hari. Ah, masa kecil itu seakan menari di pelupuk mata. Bagaimana aku menunggu Ayah di serambi rumah jika dia pergi berkebun. Berharap, saat pulang dia membawa buah-buahan untukku. Ibu yang selalu menjewer telingaku saat lupa pulang ke rumah jika bermain di rumah tetangga. Rumah itu, menyimpan banyak kenangan.

Tapi kebahagiaan itu sirna, saat saudara jauh Ibu yang bernama Marni datang ke rumah. Dia datang dengan mengiba, menangis di pangkuan Ibu menceritakan tentang suaminya yang menikah lagi dengan perempuan remaja dan menceraikannya. Dan Ibu yang berhati malaikat, tanpa prasangka buruk membawa Marni masuk ke dalam rumah dan memberinya tumpangan.

Rupanya, di situlah awal mala petaka itu. Aku yang masih kecil, hanya menganggap biasa saja ketika Ayah masuk ke kamar Marni saat Ibu berkeliling kampung menawarkan dagangannya. Ibu saat itu tukang kredit peralatan dapur. Bahkan, saat Ibu ke kota belanja pesanan pelanggan, Marni berani masuk ke kamarnya. Teriakan kecil dan desahan dari mulut Marni yang terdengar sampai ke kamarku, kadang menimbulkan tanya dalam hati, apakah Marni dipukuli Ayah? Tapi saat keluar kamar, tidak ada luka di tubuh Marni.

***

Tubuh tua itu memelukku dengan erat saat kuberi tahu siapa diriku. Dia mengusap rambut panjangku dan mengelus pipiku.

"Setelah puluhan tahun, akhirnya kau pulang, Nak!" Ujarnya dengan mata yang memancarkan penuh kerinduan. "Kau sangat cantik."

Aku tersenyum, memandangi wajahnya yang sudah berkeriput itu, rambutnya sudah memutih semua. Laki-laki ini adalah saudara tertua Ibuku.

"Bagaimana kabar Ibumu, Tenry?"

"Baik-baik saja, Puang. Dia juga kembali ke sini." jawabku lirih. "Aku pulang untuk merebut hak Ibuku, Puang."

Laki-laki yang kupanggil Puang memandangku sejenak. "Maksudmu?"

"Rumah panggung itu, Puang. Rumah yang ditempati oleh laki-laki biadab itu beserta istri dan anaknya adalah hasil jerih payah Ibuku. Aku tidak ikhlas, jika rumah itu jatuh ke tangan anak dari perempuan pelacur itu." Ada rasa jijik jika mengingat wajah perempuan itu.

Puang terdiam, tangannya sibuk menggulung rokok tembakau.

"Tapi, itu sulit Tenry. Kudengar kabar, Ayahmu telah memberikan rumah itu kepada Herman, anak hasil pernikahannya dengan Marni."

Darahku mendidih mendengar ucapan Puang. Laki-laki itu sangat keterlaluan, bagaimana mungkin rumah yang dibangun dari hasil keringat Ibu sebagai tukang kredit diberikan kepada anak pelacur itu? Demdam semakin merajai hati.

"Aku butuh bantuanmu, Puang!"

Puang menghisap rokoknya kuat-kuat dan memandangku tajam. "Bagaimana caranya?"

Aku mendekat ke arah Puang dan berbisik di telinganya. Wajahnya seketika cerah mendengar kalimat yang kubisikkan padanya.

Rumah itu bagaimana pun caranya, harus kurebut.

Dulu, rumah itu menjadi saksi saat Ibu diusir keluar oleh Ayah. Kala itu, dini hari, Ibu kaget tidak melihat ayah tidur di sampingnya. Ibu pun terbangun dan keluar kamar, alangkah terperanjatnya Ibu ketika mendengar suara Ayah dan tawa manja Marni terdengar dari arah kamar Marni.

Ibu sangat marah dan mengusir Marni malam itu juga. Tapi, Ayah justru membela Marni dan akan menikahinya, karena dia telah hamil dua bulan. Ibu tidak terima, dia memberi pilihan pada Ayah. Pilih dia atau Marni. Ibu meraung, saat ayah memilih Marni dan mengusir Ibu untuk keluar dari rumah malam itu.

Saat itu juga, dengan air mata yang terus menetes tanpa henti, Ibu mengemasi pakaiannya dan pakaianku ke dalam koper. Aku yang sudah terbangun dari tadi mendengar pertengkaran mereka, hanya menurut ketika Ibu memelukku dan menggandeng tanganku  keluar dari rumah.

"Kita mau ke mana, Bu?"

"Akan pergi ke tempat yang jauh, Nak."

Ibu memegang tanganku menyusuri jalan yang masih gelap. Ketika azan subuh berkumandang, aku dan Ibu beristirahat sejenak di Masjid sekaligus menunaikan salat Subuh.

Hari itu, aku dan Ibu melakukan perjalanan panjang selama lima jam melalui jalur darat. Kemudian melanjutkan perjalanan naik kapal yang sangat besar, belakangan baru kutahu, kalau itu namanya kapal Pelni. Kami melakukan perjalanan selama tiga hari tiga malam baru sampai di tujuan. Kalimantan, ke situlah Ibu membawaku.

***

Dengan langkah anggun, kulangkahkan kakiku ke rumah panggung itu. Tiga orang menyambutku di sana, laki-laki tua yang masih sangat kuhapal raut mukanya. Seorang perempuan tua yang sangat kubenci sampai detik ini, juga ada laki-laki muda yang usianya sekitar 23 tahun.

Tanpa menunggu dipersilahkan, kujatuhkan pantatku di sofa. Pandanganku kuarahkan ke sekeliling ruang tamu itu, tidak ada yang istimewa. Hanya beberapa bingkai foto yang mengabadikan kebersamaan keluarga mereka.

"Aku kembali ke sini, untuk merebut milik Ibuku," tanpa basa-basi terlebih dahulu, aku langsung ke pokok permasalahan.

"Kau siapa?" Perempuan yang tiada lain adalah Marni itu menatap lekat wajahku. Sedang dua orang laki-laki di sampingnya hanya diam, menatapku bingun.

Aku tertawa kecil. "Apakah kau lupa padaku, perempuan pelacur? Aku Tenry, anak dari Maryani. Perempuan yang memberimu tempat tinggal, malah kau rebut suaminya.

"Tenry, kau … anakku?"

Laki-laki tua itu menghampiri dan ingin memelukku. Namun aku menghindar. Tidak sudi rasanya tubuhku dipeluk oleh lelaki tua yang dulu kupanggil Ayah. Dia tetap Ayahku, hanya saja aku belum bisa memaafkan apa yang pernah dia lakukan pada Ibu.

"Sekali lagi kukatakan, aku datang ke sini untuk mengambil hak Ibuku. Rumah ini adalah hasil keringatnya. Kalian harus keluar dari sini," ucapku datar tanpa ekspresi.

"Tidak bisa, rumah ini sudah diserahkan Ayahmu pada Herman, anakku."

"Dasar perempuan pelacur! Kau tidak saja merebut suami Ibuku, tapi juga ingin menguasai rumah ini."

"Sekali lagi kau menghina Ibuku, aku tidak segan untuk menghancurkan mulutmu itu." Laki-laki yang bernama Herman itu bersuara juga.

Kualihkan pandanganku ke arahnya sambil tersenyum menghina.  "Jadi, kau anak yang terlahir dari hasil zina mereka?"

"Dia adikmu, Tenry." Laki-laki tua itu menyelaku.

"Tidak, seumur hidupku tidak akan kuakui dia sebagai saudaraku. Apalagi dia lahir dari rahim perempuan pelacur ini." Kuarahkan jari telunjukku pada Marni.

Mirna diam, begitupun laki-laki tua yang dulu kupanggil Ayah. Herman mukanya sudah merah padam, tapi sudah tidak berani mengeluarkan suara lagi. Anak itu tidak punya salah, tapi kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Kesalahan orang tuanya.

"Ingat, rumah ini akan kuambil alih. Camkan itu!"

Aku meninggalkan rumah itu dengan tatapan angkuh, suara Marni masih sempat terdengar di telingaku.

"Rumah ini sertifikatnya atas nama Ayahmu, jadi jangan pernah bermimpi untuk merebutnya."

***

Sore ini, gerimis jatuh membasahi bumi. Dari balik kaca mobil, aku menyaksikan Ayah, Marni dan Herman keluar dari rumah panggung itu dengan menenteng koper. Dejavu, aku seperti melihat kejadian beberapa tahun silam yang terjadi padaku dan Ibu. Senyum bahagia tersungging dari bibirku dan juga Ibu yang duduk bersamaku dalam mobil.

Puang, yang kumintai bantuan dengan iming-iming 50 juta rupiah berhasil mendapatkan tanda tangan Ayah untuk pengalihan sertifikat nama rumah atas nama Ibuku.

Saat Ayah seorang diri di rumah, Puang mendatanginya. Memaksanya untuk menandatangani berkas yang sudah kusiapkan terlebih dahulu. Awalnya Ayah menolak, tapi saat Puang mengeluarkan golok tajam dan menodongkan ke lehernya, dia pun membubuhkan tandatangan di berkas itu.

"Silahkan angkat kaki di rumah ini, Ayah sudah menyerahkan rumah ini pada Ibuku." Siang tadi, aku datang ke rumah panggung itu dan memperlihatkan berkas pengalihan rumah yang telah ditandatangani oleh Ayah.

"Bagaimana mungkin?" teriak Marni histeris. Ayah hanya diam, begitupun Herman. " Terus, kami akan tinggal di mana? Jangan usir kami dari sini.

Apa peduliku dengan mereka? Apa yang dilakukan mereka dulu pada Ibu lebih kejam, sebuah pengkhianatan. Bukan itu saja, mengusir Ibu untuk keluar dari rumah panggung itu tanpa belas kasih. Saat itu, Ibu tidak berdaya untuk melawan. Karena rumah tersebut, sertifikatnya atas nama Ayah.

Rumah panggung itu, sebenarnya kami tidak membutuhkannya. Hanya saja ingin membalas perlakuan mereka puluhan tahun yang lalu dengan melakukan hal yang sama, pengusiran. Di Kalimantan kami sudah sukses. Ibu dengan kepiawaiannya berdagang telah berhasil membeli berhektar-hektar kebun sawit dan toko elektronik pun telah kami miliki di sana. Kami hanya pulang untuk membalaskan sakit hati.

***

Dengan memegang kunci rumah di tangan yang berhasil kudapatkan dari Ayah, kusaksikan kobaran api yang melahap rumah itu. Tidak ada yang tersisa, semuanya menjadi abu.

Rumah panggung itu, Ibu tidak sudi lagi menginjakkan kakinya di sana. Kenangan pahit tidak bisa dia lupakan. Perbuatan Ayah dan Marni masih sangat membekas dalam ingatannya.

Hanya dengan merubah rumah itu menjadi abu, satu-satunya cara untuk membantu Ibu terlepas dari bayang masa lalu.

Tidore, 11 Februari 2020

Note:  Puang merupakan panggilan hormat suku Bugis untuk orang yang lebih tua, dituakan. Jaman dulu, sebutan Puang adalah sebutan yang hanya digunakan oleh bangsawan.

Aku dan Gadis Mualaf

                                           Oleh: Assyifa Barizza

Cuaca hari ini tak bersahabat, gelombang di lautan tampak bergejolak. Sedikit ngeri melihat ombak yang saling berkejaran.Namun, tidak menyurutkan langkahku untuk tetap menaiki kapal kayu yang akan membawaku dari Halmahera menuju Ternate.

Ombak dan gelombang adalah hal yang biasa bagiku sebagai anak yang berasal dari daerah kepulauan. Apalagi ayahku berprofesi sebagai seorang nelayan.

Dengan perlahan, aku menaiki tangga kapal dan mencari tempat duduk yang nyaman. Kapal agak sedikit oleng, jadi kuputuskan untuk duduk di lantai bawah, biar goncangan kapal tidak terasa. Aku memilih bersandar dekat pintu masuk, agar bisa memandang bebas ke laut lepas. Hentakan ombak pada dinding kapal tak urung membuat nyaliku gentar.

Di sampingku duduk seorang perempuan, berambut keriting sebahu, manis dan masih muda. di lehernya tergantung kalung bertanda salib. Sesekali dia memperbaiki letak roknya yang tertiup angin.

Kapal mulai meninggalkan pelabuhan, aku mencoba membuka percakapan dengan gadis itu, biar perjalanan yang memakan waktu lebih satu jam tidak membosankan.

"Ke Ternate?"

"Iya," jawab perempuan itu singkat. Terlihat ada ketakutan di raut wajahnya. Ombak kali ini memang ganas, kapal sampai oleng ke kanan dan ke kiri. Tangannya berpegangan pada tiang kapal, agar tubuhnya tidak ikut terhuyung.

"Dari mana?"

"Tobelo, tapi kuliah di Ternate. Universitas Khairun."

"Oh," ucapku singkat sambil meraih rokok di saku bajuku dan membakarnya.

Tobelo memang penduduknya mayoritas menganut Kristiani.

"Kakak kuliah juga?" Perempuan itu melirikku.

Aku menggeleng, "Mau menemui teman."

Aku memang mau menemui teman, teman perempuan yang berstatus sebagai kekasihku. Dia saat ini sudah menungguku di Ternate, tempat kostnya. Rasanya tidak sabar lagi untuk menuntaskan rindu padanya.

[Kak Rifki, Adek kangen] Kemarin Mita mengirim pesan padaku.

[Baru seminggu yang lalu lalu ketemu, kok, sudah kangen lagi?] Aku menggoda Mita. Perempuan itu sudah kupacari sejak setahun lalu. Namun, hubungan kami sudah selayaknya suami istri, entah sudah berapa kali aku dan Mita mereguk kenikmatan surga duniawi. Nafsu yang kami atas namakan cinta telah membuatku jatuh dalam perbuatan dosa berkali-kali.

[Adek rindu dibelai sama kakak Rifki]

Aku tersenyum membaca pesan Mita, perempuan itu sudah takluk dalam pelukanku, dia selalu memintaku untuk memuaskan nafsu birahinya.

Mita dan entah berapa lagi perempuan yang sudah menjadi korban rayuan gombalku.  Bermodal wajah tampan dan kelihaian merayu, membuat perempuan mudah jatuh hati padaku. Dengan janji manis, aku mudah membawa mereka mereguk kenikmatan.

Tiba-tiba goncangan kapal semakin kuat. Ombak memukul kapal hingga Semakin oleng ke kanan, lamunanku pun buyar seketika.

Ketakutan terlihat di wajah penumpang. Penumpang kapal yang sekitar lima puluh orang tampak panik, tidak sedikit yang sudah mulai menangis. Gadis di sebelahku mulutnya komat komit sambil memegang salib di lehernya, jelas kecemasan terlihat di wajahnya yang sudah pucat pasi.

"Krak." Terdengar bunyi keras di dinding kapal.

"Kapal bocor!" Teriak seorang awak kapal.

"Buang semua muatan!" Suara nahkoda kapal lantang memerintahkan awak kapal untuk melemparkan semua barang yang berada di dek.

"Di mana pelampung?" Seorang penumpang laki-laki berteriak ke arah awak kapal.

"Di sini tidak tersedia pelampung," jawab awak kapal yang sibuk membuang barang ke laut.

Kapal kayu di sini memang tidak menyiapkan pelampung. Mungkin selama pelayaran mereka, tidak pernah terjadi apa pun, jadi pelampung dianggap tidak penting.

Penumpang semakin panik dan berteriak-teriak minta tolong, namun dalam kondisi yang seperti ini, penumpang hanya memikirkan nasib mereka masing-masing.

Air sudah mulai memenuhi lantai bawah, penumpang sibuk berdo'a dengan keyakinan yang mereka anut. Jeritan dan teriakan terdengar dari para penumpang, nahkoda dan awak kapal berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan mereka.

"Allahu Akbar." Beberapa kali kalimat itu menggema dari mulut para penumpang.

"Tuhan Yesus, selamatkan kami!" Di dalam kapal ini, beberapa orang beragama Kristiani rupanya.

Namun, kapal dengan perlahan mulai tenggelam.

"Ya Tuhan, jika Allahnya orang Islam itu ada, maka selamatkan aku, aku berjanji untuk memeluk agama Islam. Tolong aku Tuhan!" Gadis di sebelahku bersuara lantang sambil mengangkat tangannya ke atas, seperti orang berdo'a. Dia tidak lagi memegang salibnya.

Seketika aku juga tiba-tiba mengingat Allah. Aku lupa, kapan terakhir aku salat, seingatku terakhir Idul Fitri beberapa bulan yang lalu. Sholat Jumat saja tidak pernah aku lakukan, apalagi shalat lima waktu.

Dosa yang kulakukan juga silih berganti hadir di depan mataku. Ya, aku adalah seorang peminum, hampir tiap malam aku mabuk-mabukan bersama pemuda di kampungku. Kadang juga berjudi, main perempuan. Entah sudah berapa gadis perawan yang sudah kutiduri. Sungguh tidak terhitung dosaku ya Rabbi.

Takut menyergap dalam jiwaku, aku takut bila harus meninggal hari ini. Aku belum sempat bertaubat. Penyesalan muncul dalam diriku, takut bila hari ini adalah hari terakhir bagiku.

'Ya Rabbi, aku memang pendosa. Tidak pernah menjalankan perintahmu, hanya kemaksiatan yang sering aku lakukan, Namun aku tidak pernah mengingkari keberadaanMu. Aku tetap mengakui Islam sebagai agamaku. Tolong beri aku kesempatan untuk hidup.' Aku berusaha berdo'a dalam hati.

Kapal semakin tenggelam, aku tidak peduli dengan penumpang lainnya. Aku berusaha menyelamatkan diri. Kebetulan bisa berenang, jadi segera kuceburkan diriku ke laut dan berenang mencari pantai terdekat.

Aku berenang dengan sisa tenaga yang aku punya, mengikuti ritme gelombang laut yang membawaku entah ke mana. Aku sudah pasrah dengan nasibku, menangis dalam terjangan ombak yang beberapa kali memukul badanku yang semakin melemah.

"Aku bukan Fir'aun ya Allah, aku hanya makhluk hina yang penuh dengan dosa."

 

***

"Dia sudah sadar." Terdengar suara asing di dekatku.

"Aku di mana?"

"Kau ditemukan terdampar tadi malam di pantai dalam keadaan pingsan, jadi aku membawamu ke rumahku," papar seorang laki-laki setengah baya yang duduk di dekat kepalaku.

"Kapal yang aku tumpangi tenggelam, Pak." Aku langsung mengingat kejadian mengerikan kemarin. "Apa penumpang di kapal itu semua selamat?"

Laki-laki itu menggeleng lemah, "menurut kabar yang kudengar, banyak penumpang yang meninggal karena tidak bisa berenang."

"Dan gadis itu, bagaimana nasibnya? semoga dia selamat," desisku dalam hati.

Dengan tubuh yang masih lemah, aku mencoba untuk berdiri.

"Mau ke mana?" tegur laki-laki itu.

"Aku mau shalat, Pak! aku mau mengucapkan terima kasih karena Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup, karena tanpa campur tangan dariNya mustahil aku masih bisa hidup," ucapku sembari menanyakan letak kamar mandi.

Semoga dengan kejadian yang aku alami, membawaku hijrah ke jalan Allah. Selama ini hidupku penuh dengan noda hitam, dan semoga dengan peristiwa ini merupakan langkah awal dalam hidupku untuk meraih ridho Allah.

***

Hatiku merasa tenang dan tenteram setiap kali mendengar tauziah yang di bawakan oleh ustadz Yusuf.

"Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri."

Ucapan ustadz Yusuf  yang dikutip dari surah Al-Baqarah ayat 222 bagai oase menyirami hatiku yang selama ini berkubang dengan nafsu duniawi dan dosa yang banyaknya seperti buih di lautan.

Aku selalu menyempatkan diri untuk menghadiri setiap kajian yang di bawakannya di Masjid Agung Ternate setiap hari Minggu. Bahkan aku juga banyak membaca buku islami untuk mengisi otakku yang cetek tentang ilmu agama Islam.

Setelah insiden kapal tenggelam itu, aku menemui temanku Rahmat yang alumni pondok pesantren untuk mengajariku mengaji dan membimbingku untuk mempelajari ilmu agama. Rahmat pulalah yang mengenalkan aku dengan ustadz Yusuf, seorang ustadz yang sangat dihormati karena akhlak dan ilmu agamanya yang tinggi.

Setelah keluar dari gerbang masjid, netraku menangkap sosok perempuan yang tidak asing di mataku, seorang gadis yang kutemui di kapal sebelum peristiwa tenggelamnya kapal. Tapi, dia berbeda sekarang, sangat berbeda.

Tapi tidak ada lagi untaian salib di lehernya, kini kepalanya bertutup mahkota sebuah jilbab syar'i. Tubuhnya anggun mengenakan gamis biru tua senada dengan hijab yang dikenakannya. Aura kecantikannya lebih terlihat dengan balutan busana islami.

"Masya Allah." Aku mengguman dalam hati sambil berusaha mengatur detak jantung yang tidak beraturan. Aku gembira melihatnya selamat, sama seperti diriku.

"Kau juga selamat dari kapal tenggelam itu?" Aku berjalan mendekatinya.

"Alhamdulillah Kak, Allah mendengar do'aku saat itu. Kini, aku sudah berada di jalan Allah, memeluk agama Islam, seperti agama yang kau yakini," ujarnya dengan mata berbinar-binar bahagia.

"Alhamdulillah, Allah telah memberikan hidayah pada kita lewat peristiwa itu. Semoga kita tetap istiqamah," ucapku dengan kebahagiaan yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

"Aku pamit pulang ya, Kak! Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam." Aku memandangi kepergiannya dengan senyum yang tak pernah lepas membingkai mulutku. Ada kekaguman yang muncul secara tiba-tiba, kekaguman karena dia menepati janji saat berdo'a beberapa menit sebelum kapal tenggelam. Allah telah memberinya keselamatan. Ah, harusnya aku bertanya, bagaimana dia bisa selamat dari peristiwa itu.

Alangkah indah dan nikmatnya hidayah yang engkau berikan padaku ya Allah, dan juga pada perempuan itu. Perempuan yang belum kuketahui namanya, semoga dipertemuan selanjutnya aku bisa mengenal namanya dengan cara yang halal.(*)

Tidore, 1 Agustus 2020

Pasang ri Kajang, dari Sebuah Telusur Kecil

Sejak dahulu komunitas adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menganut suatu pedoman hidup yang disebut Pasang. Pasang Ri Kajang adalah suatu ungkapan yang dikomunikasikan dalam bahasa Konjo. Bahasa Konjo adalah bahasa sehari-hari penduduk Kabupaten Bulukumba di bagian timur. Sebahagian kecil lainnya di bagian barat. Bahasa Konjo berada dalam wilayah rumpun Bahasa Makassar.  

Satu-satunya padanan kata "Pasang" dalam Bahasa Indonesia hanya dapat kita temukan jika merujuk pada kata atau makna "pesan" atau "amanat". Namun makna kata "Pasang" atau "Pappasang" sesungguhnya jauh lebih kompleks. Lebih dari sekadar bermakna "Pesan, Amanat atau Ajaran di Kajang."

Dengan tata bahasa yang disublimasi secara apik serta memuat kandungan yang memungkinkan multi-interpretasi, maka Pasang Ri Kajang jelas merupakan salah satu bentuk sastra yang purba di nusantara. Sebagaimana mantra misalnya, sejak dahulu Pasang Ri Kajang berada dalam wilayah sastra tutur, sastra lisan, dan semacamnya.

Pasang ri Kajang berisi ratusan pasal teks lisan berupa sumber nilai dan pesan leluhur. Dari sekian banyak pasal tersebut, ada sekitar 20-an pasal diantaranya berisi tentang sistem pengelolaan Iingkungan. Walaupun butir Pasang tersebut hanya berupa pesan lisan namun dapat disebut sebagai suatu kearifan lingkungan. Di dalam Pasang tercakup aturan untuk menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dan aturan tesebut ditaati sejak leluhur mereka.

Isi Pasang meliputi berbagai materi yang merujuk kepada amanah, tuntunan atau wasiat maupun ajaran. Semua isi dan kandungan Pasang merupakan nilai budaya dan nilai sosial bagi komunitas adat Ammatoa. Semua kegiatan yang merupakan umpan balik dari tuntunan tersebut, pelaksanaannya diawasi langsung oleh Amma Toa, selaku pemimpin. Pelaksanaan Pasang telah menjadi suatu tradisi yang melembaga dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Wujud Pasang sesungguhnya merupakan himpunan dari seluruh pengetahuan dan pengalaman masa lampau. Cakupannya sangat luas yakni seluruh aspek kehidupan dari leluhur komunitas Amma Toa. Bahkan Pasang dapat dianggap sebagai payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi.

Rupanya materi Pasang bukan hanya pada verbal, tapi juga bersifat faktual. Ia meliputi perbuatan dan tingkah laku. Maka Pasang kemudian bisa disebut sebagai rujukan dan himpunan dari sejumlah sistem. Ia merupakan konstitusi sekaligus norma. Cakupan dari sejumlah sistem dan sejumlah norma tersebut meliputi sistem kepercayaan, sistem ritus dan sejumlah norma sosial lainnya. 

Sebagai sistem ritus, Pasang dan ajarannya mengatur tata peribadatan manusia kepada yang dianggap mutlak (oleh mereka disebut Tu’ Rie’ A’ra’na). Selanjutnya Pasang merupakan suatu sistem norma atau kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Seluruh isi dan makna Pasang tersebut diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem pewarisan itu, melalui penuturan lisan dalam bentuk ungkapan atau cerita-cerita lisan (Folklore). Tak satu butir Pasang pun yang diamanahkan dalam bentuk tulisan. Bagi komunitas adat Ammatoa sebagai pemilik, sangat dipantangkan untuk menulis materi/butir Pasang.

Sejarah dan latar belakang Pasang  serta sejarah komunitas pemiliknya, sampai sekarang masih tetap menjadi tanda tanya. Apa yang diungkapkan tentang kehidupan komunitas adat Amma Toa  dan Pasang, itu bersumber dari penuturan para pemangku adat. Penuturan tentang Pasang itu sendiri, teraktualisasikan dalam bentuk cerita dan ungkapan tradisional, sehingga latar belakang Pasang itu diperoleh dari cerita-cerita lisan. Cerita lisan tersebut berbentuk mitos dan ungkapan-ungkapan yang menyebut tentang Pasang dan komunitas adat Amma Toa.

Komunitas adat Amma Toa Kajang yakin, bahwa Pasang sebenarnya berasal dari suatu wujud yang mutlak di luar manusia. Dari Amma Toa pertama Pasang tersebut di amanahkan/dipindahkan kepada penggatinya. Selanjutnya Pasang tersebut di wariskan kepada generasi berikutnya dan seterusnya hingga generasi sekarang.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Pasang itu diterima oleh Amma Toa pertama. Hal ini disebabkan karena ungkapan dan cerita lisan tersebut tidak menyebutkan angka tahun. Namun berdasarkan  beberapa sumber yang berasal dari pengakuan Amma Toa yang bernama Puto Palasa yang merupakan Amma Toa Ke- XVI. Dari pengakuan itu, dapat diduga dengan mengadakan perhitungan bahwa setiap Amma Toa berkuasa sepanjang usianya. Dengan asumsi bahwa Amma Toa memegang pimpinan adat ± 30 tahun, sehingga diperkirakan pemerintahan Amma Toa pertama sekitar 480 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1500 M. Pada masa tersebut di Sulawesi Selatan, dikenal sebagai abad pemerintahan To Manurung, seperti raja-raja pertama pada kerajaan Bugis-Makassar.

Pasang Ri Kajang berisi ratusan pasal teks lisan berupa sumber nilai dan pesan leluhur. Dari sekian banyak materi Pasang itu berikut ini penulis sajikan beberapa butir yang diolah dari berbagai sumber.


Pasang Sebagai Sistem Nilai

Pasang sebagai kumpulan pesan-pesan, petuah, petunjuk dan aturan bagi manusia (komunitas Ammatoa) maka  Pasang berisi sejumlah materi pedoman tentang bagaimana memposisikan diri agar terjalin harmonisasi antara manusia-alam-Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas Ammatoa, bagaimana seseorang menempatkan dirinya. Penempatan diri dimaksud ialah yang paling bernilai dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniaan maupun keakheratan.

Kedudukan Pasang yang sedemikian tinggi ini, disebabkan isi yang dipasangkan sudah tertata sedemikian rupa sejak  mula Tau (Manusia Pertama). Menurut paham kepercayaan Patuntung, Mula Tau (Ammatoa) sekaligus pula sebagai “WakilTu Rie A’ra’na (wakil yang berkehendak), di bumi. Dalam perjalanannya dari generasi ke generasi. Pasang mendapat penambahan-penambahan melalui orang-orang yang mendapat ilham dari Tu Rie’ A’ra’na. Jadi, isi Pasang adalah gagasan ke “ilahian Tu Rie’ A’ra’n disampaikan kepada manusia melalui orang pilihan Nya.

Dalam perjalanannya isi Pasang mengandung dua fungsi, yaitu sebagai sistem nilai budaya, dan yang kedua ialah sebagai sistem nilai kepercayaan. Sebagai sistem nilai budaya, Pasang menciptakan peran (sikap dan kelakuan) komunitas didalam bermasyarakat dan menghadapi lingkungannya. Adapun peran/fungsi Pasang sebagai sistem nilai kepercayaan/spiritual, Pasang melahirkan sikap mental komunitas terhadap kekuatan diluar dirinya. Kedua bentukan nilai dalam Pasang dilandasi oleh semangat Kamase-mase, yaitu hidup apa adanya dan berserah diri kepada Tu Rie’ A’ra’na (“Tuhan”).

Ide-ide spiritual untuk tujuan keduniaan, membentuk pola hidup Akkamase-mase seperti disebutkan di atas. Sedang untuk tujuan keakheratan melalui kepercayaan Patuntung, membentuk keyakinan adanya kehidupan yang kekal sesudah berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini.

Menurut Pasang, Inne linoa pammari-mariangji, Ahera pammantangngang kara’ra’kang (satuli-tuli). Artinya : “Dunia ini hanya tempat persinggahan, hari kemudian adalah kehidupan yang kekal abadi.”

 

Materi Pasang 
 
Pasang Sehubungan dengan “Religi Ketuhanan”, dapat ditelusuri pada beberapa Pasang berikut ini:
 
Anne Linoa pammari mariangji ahera pammantangang satuli-tuli. Artinya “ Dunia ini hanya terminal sementara, akhiratlah tempat yang abadi,
 
Tu Rie’ A’ra’na ammantangi ri pangnga’rakanna artinya “Tu Rie’ A’ra’na (Tuhan) berbuat sesuai kehendaknya.
 
Abboyaku Suruga narie’ nuerang mange riahera, napunna naraka nuhoja, naraka to nuerang mange konjo.    Artinya “Carilah surga (semasa tinggal di dunia), sebab kalau neraka yang engkau cari neraka juga yang  kau bawa ke akhirat”.                      
 
Anre nissei rie’na anre’na Tu Rie’ A’ra’na nakipala doang.Pada to’ji pole natarimana pa’nganrota iya toje’na artinya “ Tidak diketahui dimana adanya “Tuhan”, tetapi kita minta do’a kepadanya. Diterima atau ditolak permohonan kita tergantung dari ketentuannya. 
 
Butir Pasang tersebut di atas mengandung ajaran tentang religi atau Ketuhanan, yang bermakna harus melakukan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Manusia juga harus berusaha mencari nilai kebajikan demi kehidupan di hari kemudian. Sekalipun komunitas Amma Toa tidak melaksanakan syariat Islam, tetapi sikap pengamalan Pasang ini adalah perbuatan luhur sesuai ajaran Patuntung.
 
 
Pasang sehubungan dengan kehidupan dan kemasyarakatan
 
Ako naha-nahai lanupunnai numaeng taua napattiki songo’ artinya “ Jangan berniat memiliki sesuatu yang berasal dari tetesan keringat orang lain”. Ini merupakan nasehat agar jangan mengambil hak orang lain.
 
Ako appadai tummue parring artinya “ jangan seperti orang membelah bambu. Ini bermakna anjuran untuk berlaku adil.
 
Ako kalangnge-langngere, ako kaitte-itte, ako katappa-tappa, rikarambu lalang riasu timuang. Artinya “jangan sebarang mendengar, jangan sembarang melihat, jangan sembarang percaya kepada anjing yang melolong”. Pesan ini mengandung makna jangan mudah terpengaruh oleh pendengaran dan penglihatan. Harus ada filter untuk menyaring pengaruh / budaya yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
 
A’lemo sibatu A’ bulo sibatang. Artinya “ Bersatu bagai limau, seiring sejalan bagai air dalam pembuluh”. Pasang Ini mengandung makna pentingnya persatuan dan kesatuan. Tallasa tuna kamase-mase Artinya “ Hidup sederhana dan bersahajaa. Ini merupakan prinsip hidup komunitas Amma Toa, agar manusia hidup sederhana atau secukupnya. Alasannya manusia yang materialistis dapat terjerumus dalam perbuatan dosa.
 
Ako allingkai batang artinya “ Jangan melangkahi kayu  yang sudah roboh. Ini bermakna larangan melakukan pelanggaran yang disengaja. Katutui rie’nu rigentengan tabattuna palaraya. Artinya “Jagalah harta milikmu sebelum tiba masa paceklik. Ini merupakan anjuran untuk berhemat. 
 
Butir Pasang di atas, menganjurkan masyarakat agar selalu berbudi luhur, menghargai hak orang lain, dan berlaku adil. Bagi orang Kajang berlaku adil adalah prinsip, termasuk penguasa. Dahulu keadilan dan kejujuran menjadi salah salah satu materi sumpah oleh Karaeng (Raja / Camat) pada saat pelantikan. Pasang tersebut di atas juga memberikan tuntunan melakukan kebajikan, berlaku hemat sebagai pola hidup. Hidup boros dan meterialis dapat menjerumusakan orang pada perbuatan negatif. Juga Pasang mengingatkan untuk tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang belum jelas, serta menganjurkan persatuan.

 

Pasang sehubungan dengan pemerintahan 
 
Bola-bola pa’lettekang, baju-baju pasampeang, petta kalennu kamaseang kolantu’nu, naiya kala’biranga a’lele cera’ minto’i. Artinya “ Rumah-rumah dapat dipindahkan, baju-baju dapat ditanggalkan, jaga dirimu kasihani lututmu, yang dikatakan kekuasaan mengalir bagai darah. Pasang ini memberikan peringatan kepada pemimpin, bahwa kekuasaan itu tidak selamanya dimiliki. Kekuasaan itu akan berpindah seperti darah yang mengalir dalam tubuh. Ini merupakan anjuran kepada pemegang kekuasaan agar selalu melaksanakan amanah.
 
Lambusu’nuji nukaraeng, gattannuji nu ada’, sa’bara’nuji nu guru, pisonanuji nu sanro. Artinya, karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena sabar engkau menjadi guru, karena pasrah engkau menjadi dukun. Pasang ini bermakna bahwa seseorang yang memegang jabatan harus memiliki sifat, yaitu jujur, tegas, sabar, dan pasrah.
 
 
Pasang sehubungan dengan pelestarian alam (hutan) 
 
Nipanjari inne linoa lollong bonena, lani pakkegunai risikonjo tummantanga ribahonna linoa.Mingka u’rangi toi ampallarroi linoa rikau tala rie’ lana pangngu’rangiang. Artinya dijadikan bumi ini beserta isinya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Tetapi perlu diingat apabila bumi marah kepada  engkau, tidak ada yang dapat mencegahnya. Pasang ini mengandung makna bahwa manusia dilarang mengeksploitasi alam secara berlebihan, sebab dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Apabila alam murka, tidak dapat dicegah atau dihindari.
 
Nikasipalliangngi ammanra’-manraki borong. Artinya, dipantangkan merusak hutan. Pasang ini bersifat anjuran untuk pelestarian alam, dan jangan merusak hutan. 
 
Ako annatta’uhe, attuha kaloro. Artinya, jangan memotong rotan dan meracuni sungai. Ini merupakan anjuran yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan lingkungan hidup serta menjaga ekosistem alam. 
 
Materi atau butir Pasang tersebut di atas, hanya sebagian kecil dari keseluruhan ajaran yang dipedomani komunitas adat Ammatoa. 
 
Menggeneralisir Pasang ri Kajang, maka kita bisa menemukan bahwa himpunan tutur penuh makna itu merupakan suatu sumber nilai atau budaya yang berisi tuntunan hidup komunitas adat Ammatoa. Tuntunan hidup yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam komunitasnya, yaitu sistem reiligi, masalah sosial, termasuk hubungan manusia dengan Iingkungannya.(*) 
 
Referensi:
    Kaimuddin Salle. 2008. “Kebijakan Lingkungan menurut Pasang”.  Makalah. 
    Marwan Azis. 2008. “Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa”.  Makalah.   
    Hasanuddin. 2005. ”Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba”.  Lephas. 
    Yusuf Akib. 2008.  “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam” . Pustaka Refleksi. 
    Mas Alim Katu. 2005. “ Tasauf Kajang”.  Lephas.
    Muhammad Arief Saenong. 2013. "Komunitas Ammatoa dan Pasang ri Kajang". Makalah.

 

Editor: Alfian Nawawi
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday