Latest Post

Lelaki Gesit Itu Bernama Radhar Panca Dahana

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 30 November 2009 | November 30, 2009


Ia begitu komplit dan gesit untuk ukuran seniman Indonesia. Energinya menjalar-jalar di dunia seni. Pernah menjadi pemain pantomim bayaran hingga pemain gitar sekaligus perkusi dalam kelompok musik Poci Jakarta. Pernah bergumul dengan dunia jurnalistik, politik, dan akademik.

Pertama kali main teater ketika berumur 14 tahun. Pada usia 12 tahun telah menjadi editor tamu majalah Kawanku. Cerpennya yang pertama "Tamu Tak Diundang" dimuat Kompas ketika ia masih berumur 10 tahun. Karir jurnalistiknya dimulai sebagai reporter lepas hingga pemimpin redaksi di berbagai media, seperti Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, Vista TV dan indline.com. Beberapa di antara belasan karyanya seperti Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002), Lalu Waktu (kumpulan sajak, 2003), Jejak Posmodernisme (2004), Cerita-cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005), Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006), Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007), dan Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007).

Ia menjadi aktor yang pertama kali memerankan tokoh perempuan Rebecca dalam drama Jack dan Penyerahan (1978), kemudian menyutradarai dan menulis sendiri puluhan drama. Radhar diganjar berbagai penghargaan nasional dan internasional, di antaranya Paramadina Award dan Le Prix Francophonie ini, profilnya pernah dibuat dan disiarkan oleh Stasiun TV NHK Jepang, dan juga mengasuh sebuah rubrik gagasan (Teroka) di Harian Kompas, penulis tetap cerita komik Mat Jagung di Koran Tempo, dan Kolom Perspektif di majalah Gatra. Ia juga pernah diundang untuk membaca Puisi ke beberapa festival sastra di Eropa maupun bicara dalam berbagai forum sastra Internasional seperti di Tokyo, Hongkong, Bangkok, Filipina, Jerman, Prancis, Belgia, Brunei, dan Belanda.

Lelaki kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini menyelesaikan studi sosiologinya di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis. Selain itu Ia juga sibuk mengurusi Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Cahaya Prima Putradahana, putra tunggalnya. Anda ingin akrab dengan Radhar? Dia mudah ditemui di facebook.

* disarikan dari berbagai sumber

Sajak Hati Kecil Untuk Sebuah Pertemuan Kecil

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 29 November 2009 | November 29, 2009




seru juga memahamimu. setelah meniup harmonika aku datang dari lembah-lembah yang jauh lalu mengetuk pintu rumahmu di sebuah kota kecil pada larut malam.

siapakah dia, perempuan yg mencuci rambut diatas karang. wajahnya diguyur rembulan di sebuah kota kecil. dia selalu menungguku membawa berita singkat tentang rindu di tanah purba, tanah alang-alang.
tapi kerjap waktu begitu sejenak, lelahnya aku rasakan begitu lekang menempuh jarak ke situs hati, dimana masih tercatat puisi-puisi lampau, diorama kampung halaman dan bukit-bukit batu.

seru juga memahamimu. saat sebutir huruf tak tereja dan aku meninggalkanmu.
"maafkan," tulisku pada selembar daun lontar. biarkan hanya angin yang membacanya kali ini.

Bulukumba, Minggu 29 Nopember 2009

Rasullullah, SAW Bukan Seorang Ummi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 26 November 2009 | November 26, 2009


Pada zaman jahiliah, Kabbah di kota Mekkah adalah tempat menggantung puisi-puisi para penyair tanah Arab. Hampir semua kabilah Arab memiliki penyair-penyair hebat. Kiblat umat Islam yang ratusan tahun sebelumnya dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail menjadi saksi betapa sastra sangat diapresiasi begitu tinggi oleh masyarakat Arab.

Satu pertanyaan besar, jika pada masa itu orang Arab telah sangat apresiatif terhadap sastra maupun ilmu tata bahasa, apakah mungkin seorang nabi besar Muhammad, SAW yang di lahirkan di tengah mereka adalah seorang ummi atau buta huruf? 

Di kalangan ummat Islam “ummi” artinya buta huruf, tuna aksara, tidak tahu membaca dan menulis. Benarkah anggapan ini? Namun ternyata istilah ummiy (dengan plural ummiyyuun atau ummiyyiin) dalam Al-Qur’an sama sekali bukanlah bermakna seperti itu, karena umumnya ummat Islam merujuk dalam Al-Qur’an, Surat al-A`raf ayat 157, bahwa Rasulullah Muhammad SAW sebagai an-nabiyy al-ummiy (Nabi yang “Ummi”). Terlebih jika mengingat salah satu sifat yg dimiliki oleh Nabi dan Rasul adalah Fathonah, yg artinya Cerdas/Pandai. Dengan demikian, seorang Nabi dan Rasul tidaklah mungkin Jahlun (Bodoh).

Sebelum datangnya Islam masyarakat Arab telah mengenal sastra tulisan natsar (prosa) dan sya`ir (puisi). Setiap tahun Kaum Quraisy menyelenggarakan festival (pekan raya) di Ukazh. Di sana diperlombakan pembacaan prosa dan puisi, lalu naskah yang dipandang bagus mendapat kehormatan untuk ditempelkan di dinding Ka`bah. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa masyarakat Arab zaman itu, termasuk suku Quraisy, mahir membaca dan menulis, sehingga istilah ummiyyuun bukanlah berarti “masyarakat buta huruf”.

Kaum Yahudi semasa Rasulullah SAW sering merendahkan orang-orang Arab yang mereka anggap tidak mempunyai Kitab. Ejekan orang Yahudi itu dijelaskan dalam QS Ali Imran ayat 75: “Tiada yang patut disalahkan bagi kami atas kaum ummiyyiin”. Maka Allah SWT menyindir bahwa di kalangan Yahudi sendiri banyak juga yang ummiy, tidak memahami Taurat, sebagaimana tercantum dalam Surat al-Baqarah ayat 78: “Dan sebagian mereka ummiyyuun, tidak mengetahui Kitab.”

Istilah an-nabiyy al-ummiy pada Surat al-A`raf ayat 157 berhubungan dengan kaum Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memeluk agama Islam. Kalimatnya tertulis begini: “Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi, yang mereka dapati tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil”. Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa meskipun Muhammad SAW itu Nabi yang Ummi, artinya berasal dari kaum ummiyyuun, kaum Ahlul-Kitab seharusnya memeluk agama Islam, sebab kedatangan Nabi Muhammad SAW sudah diberitakan dalam Kitab Taurat dan Injil.

Nabi Muhammad SAW adalah seorang bisnisman sukses di masa muda beliau sebelum menjadi Rasul. Keberhasilan beliau dalam melakukan transaksi niaga merupakan indikasi logis bahwa beliau mampu membaca dan menulis, sehingga istilah an-nabiyy al-ummiy dalam Al-Qur’an bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”.

Kisah turunnya wahyu yang pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat bahwa beliau mampu membaca. Malaikat Jibril berkata,"Iqra (bacalah)." Ketika itu Rasulullah SAW bertafakur menyendiri di Gua Hira.

Maka sangat jelaslah bahwa istilah an-nabiyy al-ummiy bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”, melainkan pengertiannya “nabi yang tidak pernah membaca Kitab Allah sebelum Al-Qur’an” atau “nabi dari kalangan ummiyyuun yang belum pernah menerima Kitab Allah sebelum Al-Qur’an”. Jadi terjemahan “ummi” dalam bahasa Indonesia bukanlah “buta huruf”, melainkan “buta kitab”. Para ulama abad pertengahan mengembangkan pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar tidak dapat membaca dan menulis, mungkin dengan tujuan agar umat Islam makin yakin bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Nabi.


referensi: Al Quran dan disarikan dari berbagai sumber


SELAMAT IDUL ADHA 1430 HIJRIAH

Guru, Siswa dan Pelajaran Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 25 November 2009 | November 25, 2009



Ibu guru berkata kepada semua siswanya di kelas, "Sekarang kalian menulis kejadian yang kalian alami hari ini." Lalu dengan patuh para siswanya menyiapkan alat tulis dan mulai menulis. Beragam tulisan mereka. Ada anak yang menulis kejadian hari itu dalam bentuk sajak. Beberapa anak lebih suka menuliskan kisah lucu dengan temannya hari itu. Ada pula yang serius menulis cerpen bahkan esai.

Tapi tunggu dulu. Kejadian di atas adalah peristiwa biasa sehari-hari di sebuah sekolah di Prancis. Jika itu terjadi di Indonesia maka perintah gurunya pasti akan disambut pertanyaan dari siswanya, "Kami harus menulis apa, bu?" Atau, "Bu, maaf, saya tidak bisa mengarang." Di negara-negara yang berperadaban lebih maju, pengajaran apresiasi sastra sudah begitu mendalam. Para siswanya sudah diakrabkan dengan karya-karya besar sastrawan dunia dan mereka menunjukkan sikap apresiatif yang lebih baik.

Sejenak kita menengok pedoman pengajaran dan pembelajaran sastra di tanah air. Ternyata porsinya sangat minimalis, muatannya juga jauh dari yang seharusnya. Hampir sebagian besar pengajaran sastra kita hanya terbentur pada apa, siapa dan kapan; yang berputar tentang judul-judul karya, jenisnya, penulisnya –sampai-sampai tanggal lahir dan kapan meninggalnya pujangga itu yang menjadi bahan hapalan siswa.

Benarkah apresiasi sastra dalam proses pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita kian kering? Kenyataan yang dihadapi oleh para guru adalah metode pengajaran yang serba "menghapal" padahal sastra yang serba hafalan dapat menjadikan siswa sulit menikmati sastra sebagai pelajaran yang mengasyikkan. Sudah saatnya para guru-guru di sekolah melakukan pembenahan muatan pengajaran yang intuitif dan "melabrak" kurikulum. Dengan begitu mereka bisa menyeimbangkan antara nilai teoritis dengan apresiasi sastra yang lebih dalam. Hal ini sangat mungkin sekali dilakukan oleh guru-guru bahasa kita itu untuk lebih menekankan pada pembelajaran apresiasi sastra.

Pengajaran sastra idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan ditafsirkan oleh siswa. Mungkin lebih indah jika pengajaran sastra juga diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan karya yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian atau kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah karya lain. Sudah saatnya para guru pelajaran sastra menyadari bahwa setelah ajaran agama, pengajaran sastra adalah juga kandungan nilai-nilai spiritualitas yang dapat mempengaruhi perilaku kehidupan siswa. Dengan mengakrabkan siswa dengan sastra, secara perlahan dapat memasukkan nilai-nilai humanisme bagi pembentukkan karakter para remaja.

SELAMAT HARI GURU 25 NOPEMBER (^_*)

Sejarah Singkat Fotografi

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 24 November 2009 | November 24, 2009


Untuk sekedar melengkapi postingan berita budaya kemarin tentang pameran foto esai, hari ini ada sedikit catatan kaki dari sejarah fotografi. Dimulai pada abad ke-5 SM, seorang pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala alam. Apabila pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi. Kemudian, pada abad ke-10 Masehi, seorang Arab bernama Ibn Al-Haitham menemukan fenomena yang sama pada tenda miliknya yang berlubang.


Fotografi lalu tercatat dimulai resmi pada abad ke-19. Tahun 1839 yang dicanangkan sebagai tahun awal fotografi. Bahkan di Perancis dinyatakan secara resmi bahwa fotografi adalah sebuah terobosan teknologi. Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata sudah bisa dibuat permanen.

Penemu fotografi dengan pelat logam, Louis Jacques Mande Daguerre, sebenarnya ingin mematenkan temuannya itu. Tapi, Pemerintah Perancis, dengan dilandasi berbagai pemikiran politik, berpikir bahwa temuan itu sebaiknya dibagikan ke seluruh dunia secara cuma-cuma untuk kepentingan umat manusia. Sebenarnya, temuan Daguerre bukanlah murni temuannya sendiri. Seorang peneliti Perancis lain, Joseph Nicephore Niepce, pada tahun 1826 sudah menghasilkan sebuah foto yang kemudian dikenal sebagai foto pertama dalam sejarah manusia. Foto yang berjudul View from Window at Gras itu kini disimpan di University of Texas di Austin, AS.

Niepce membuat foto dengan melapisi pelat logam dengan sebuah senyawa buatannya. Pelat logam itu lalu disinari dalam kamera obscura sampai beberapa jam sampai tercipta imaji. Metode Niepce ini sulit diterima orang karena lama penyinaran dengan kamera obscura bisa sampai tiga hari.Pada tahun 1827, Daguerre mendekati Niepce untuk menyempurnakan temuan itu. Dua tahun kemudian, Daguerre dan Niepce resmi bekerja sama mengembangkan temuan yang lalu disebut heliografi. Dalam bahasa Yunani, helios adalah matahari dan graphos adalah menulis.

Karena Niepce meninggal pada tahun 1833, Daguerre kemudian bekerja sendiri sampai enam tahun kemudian hasil kerjanya itu diumumkan ke seluruh dunia. Fotografi kemudian berkembang dengan sangat cepat. Tidak semata heliografi lagi karena cahaya apa pun kemudian bisa dipakai, tidak semata cahaya matahari. Dalam perkembangannya kemudian dikenal Seni Fotografi yang menekankan estetika dalam pengambilan gambar.

referensi: The History of Photography karya Alma Davenport, University of New Mexico Press, 1991

Ketika Jurnalis Foto Berhasil Mengeksekusi Realitas

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 22 November 2009 | November 22, 2009


Seni fotografi diproses pertama kali oleh mereka yang menjepretnya melalui mata. Lalu mereka kabarkan hasil pandangan mata itu di hadapan publik. Peran seorang fotografer kadang hanya dianggap sebagai bagian kecil dari suatu kerja tim yang rumit dalam industri media—terutama media cetak. Seseorang wartawan foto mengeksekusi realitas atau peristiwa hanya dalam bingkai-bingkai tertentu.

Delapan jurnalis dari beberapa media di Semarang menggelar pameran foto esai yang terangkum dalam tema "Serenada Kehidupan", di Rumah Seni Semarang pada 20-27 November 2009. Mereka yang menampilkan karyanya, adalah Arif Slam Nugroho dari Seputar Indonesia, S. Bowo Pribadi dari Republika, Budi Purwanto dari Tempo, Suherdjoko dari The Jakarta Post, Adityo Dwi R dari Radar Semarang, dan Cun Cahya dari Harian Semarang. Kemudian, Bahana Patria Gupta dan P. Raditya Mahendra Yasa, keduanya dari Kompas. Para pewarta foto itu tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang.

Beragam potret kehidupan manusia yang unik terekam dengan apik, seperti dalam foto bertema "Suara-Suara di Keheningan" karya Arif Slam Nugroho yang menceritakan tentang proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus di SLB. Budi Purwanto menceritakan kisah para pemburu gelam (lembaran kulit pohon jati) di Desa Balongan Kabupaten Blora yang telah menekuni profesi itu secara turun temurun sejak puluhan tahun silam. Ia menampilkan 10 foto yang diberi tema "Pemburu Gelam", mulai dari potret aktivitas mereka sebelum berangkat, saat berangkat mengendarai sepeda "onthel", hingga aksi pemburu itu menguliti pohon jati.

Sementara itu, Cun Cahya lebih memilih mengambil objek foto di Pondok Pesantren Maunatul Mubarok yang terletak di tengah hutan bambu di Dukuh Lengkong, Desa Sayung, Kecamatan Sayung, Demak.


Karya-karya lain yang ditampilkan, di antaranya foto bertema "Jati Pendem" karya Bahana Patria Gupta, "Sutra Alam" karya S. Bowo Pribadi, "Seni Foto Gerak Cepat" karya P. Raditya Mahendra Yasa, dan "Merangkai Dasar Laut, Merangkai Serpihan Sejarah" karya Suherdjoko.
Pada dataran idealisme-humanisme para pewarta foto bisa menghadirkan dunia dalam cara pandang baru dan penuh afeksi. Ini bisa jadi suatu tanda keberpihakan terhadap humanisme. Pada ranah inilah jurnalisme membaktikan dirinya. Sebuah foto adalah juga esai tanpa kata. Visualisasi yang tak bergerak menjadikannya makna dari realitas.


referensi: -Antara, dan
-ocehan teman, seorang wartawan foto

Ide JK Rowling Di Atas Kereta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 November 2009 | November 21, 2009


Siapapun tidak akan mengira bahwa ide cerita Harry Potter lahir di atas kereta api yang mogok. Dalam sebuah perjalanan dari Manchester ke London tahun 1990, kereta yang ditumpangi Joane mogok selama empat jam. Saat duduk di kereta, sambil memandangi segerombolan sapi melalui jendela, ide tentang kisah Harry Potter tiba-tiba muncul di benak perempuan ini. Selama beberapa bulan berikutnya Joane berhasil merampungkan kisah petualangan penyihir cilik Harry Potter.

Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling dilahirkan pada 31 Juli 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Kekayaan Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah.

Sejak kecil Joanne Kathleen Rowling punya cita-cita jadi penulis. Tapi, mengikuti saran orangtuanya, ia belajar Sastra Prancis di Universitas Exeter supaya bisa jadi sekretaris yang mampu bicara dalam dua bahasa. Pekerjaan itu ternyata tidak cocok baginya. Soalnya, bukannya mencatat jalannya rapat, ia malah sibuk menulis cerita fiksi. Bisa ditebak, akhirnya ia dipecat.

Pada September 1990 Joane jatuh cinta pada seorang jurnalis televisi berkebangsaan Portugal bernama Jorge Arantes. Mereka menikah dan tahun 1993, lahirlah putri mereka, Jessica. Sayang sekali akhirnya mereka bercerai, dan Joanne balik ke Edinburgh, Skotlandia. Pada masa itu hidup Joanne benar-benar terpuruk, begitu miskin sehingga ke mana-mana ia harus jalan kaki meski ongkos bus kota murah. Ia sering menulis di kafe, karena flatnya yang sempit dan dingin jelas bukan tempat yang penuh inspirasi. Untung si pemilik kafe baik bati, membiarkan Joanne menulis di sana meski ia cuma memesan secangkir kopi dan segelas air, sementara bayinya tertidur.

Nasib Joane ditakdirkan berubah total ketika penerbit Inggris, Bloomsbury Press, bersedia menerbitkan buku Harry Potter yang pertama Harry Potter and the Philosopher`s Stone (di Amerika terbit dengan judul Harry Pooter and Sorcerer`s Stone) pada tahun 1997. Sebuah buku yang membuat dunia terperangah dan JK Rowling sukses sebagai penulis sesuai cita-citanya.

"Jangan Main-main Dengan Kelaminmu," Kata Djenar

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 November 2009 | November 20, 2009


Putri dari sutradara film legendaris Syuman Djaya dan aktris Tutie Kirana ini diberi nama Djenar Maesa Ayu yang lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Sejak remaja cerpen-cerpennya menyerbu Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post.

Buku pertama Djenar yang berjudul "Mereka Bilang, Saya Monyet!" telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, juga diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Cerpen “Waktu Nayla” adalah Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen “Asmoro” dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu. Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan.

Nayla adalah novel pertama Djenar yang juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Bukunya yang termasuk fenomenal berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, sebuah kumpulan cerpen.

Buku keduanya yang fenomenal sebab banyak menuai kritik dari kaum moralis, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan pada Februari 2005. Kumpulan cerpen berhasil ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004.

Perempuan penulis yang eksotik ini membuktikan dua hal menarik dalam dirinya. Pertama, dia menulis karena ada desakan kuat untuk menulis. Kedua, Perempuan pengarang ini memang luar biasa, pengalaman hidupnya yang tidak “menguntungkan”, lahir dari keluarga perceraian, namun dia sangat bersyukur mampu merefleksikan pengalaman “kecilnya” ke dalam teks. Bahkan, dalam pengakuannya di sebuah majalah ibukota pada Oktober 2003, Djenar menuturkan bahwa pengungkapan seksualitas dalam karya-karyanya itu adalah buah pengalaman masa lalunya. Karya-karyanya yang berani membuat penulis perempuan ini sering dimaki sekaligus dicintai.

Putu Wijaya dari Tabanan

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 19 November 2009 | November 19, 2009



Tapak jejaknya baru saja membekas di Mojokerto Art Festival (MORAL) 2009 pada hari Rabu 18 Nopember kemarin. Putu Wijaya mementaskan monolog Burung Merak bersama Teater Mandiri. Dilahirkan dengan nama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya Puri Anom pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Sastrawan yang dikenal serba bisa ini adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu.

Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan besar yang dihuni lebih 200 orang. Semua anggota keluarganya punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mendambakan Putu jadi dokter. Namun, Putu kecil tidak menyukai ilmu pasti. Ia justru akrab dengan sastra, sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan besar yang dihuni lebih 200 orang. Semua anggota keluarganya punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mendambakan Putu jadi dokter. Namun, Putu kecil tidak menyukai ilmu pasti. Ia justru akrab dengan sastra, sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Lebih dari 30 novel, 40 naskah drama, sekitar 1000 cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama lahir dari tangannya. Putu Wijaya akhir-akhir ini juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri.

Cerpennya masih bisa dilacak pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Beberapa bukunya yang paling sering diperbincangkan di jagad kesusastraan tanah air seperti Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat dan Nyali. Putu Wijaya, namanya masih menjadi jaminan kualitas bagi jajaran terdepan pementasan teater, penulisan cerpen dan skenario film di Indonesia.

*referensi: catatan lama di bangku sekolah

Aku Menulis Ulang Puisi Ini Setelah Kemarin Sengaja Aku Hanyutkan di Sepotong Matamu Yang Lain

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 18 November 2009 | November 18, 2009



-buat adikku Nayla

rindu saja yang mungkin meletup-letup. matahari yang mungkin terkesiap. padahal kita tidak sedang ingin saling menatap.

"sebuah puisi selalu menulis dirinya sendiri," katamu di sebuah pagi yang menggemaskan. "lantas setiap penyair pasti terlahir dari puisi itu sendiri kan?" sergahku sambil menyeruput kopi panas. sepotong matahari diam-diam mengetuk di jendela. kadang seperti itulah percakapan. kadang melindap-lindap.

suara bising industri mulai lagi bergerak di atas kepala dan telinga. demonstrasi di mana-mana. makassar hujan. sebuah bom meledak di jantung kota kabul afghanistan. jakarta mati lampu. seorang legislator bernostalgia sewaktu menjadi aktivis idealis. makassar mati lampu. boommm! sementara itu bau asap rokok, lengkingan anak-anak penjaja kue, bunyi klakson mobil tetangga dan nada dering telepon seluler tidak sebagaimana matamu yang meredup-redup tatap.

"sekujur waktu telah menjadi batu!" teriakmu lagi dari kamar mandi. "dan kita akan selalu mencoba memahami makna-makna kenyataan yang tak selalu persis sama dengan mimpi," kataku. tapi aku lebih memilih berangkat ke tempat kerja lebih cepat dari biasanya.
sepotong matahari diam-diam mengetuk di jendela. aku menulis ulang puisi ini setelah kemarin sengaja aku hanyutkan di sepotong matamu yang lain. ah, rumput basah mungkin akan lebih mengerti tentang jejak-jejak pada pagi.

dik, kota kita disekap puisi.


Bulukumba, awal musim hujan Rabu 18 Nopember 2009

Tari Serampang Duabelas Bukukan Rekor MURI

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 17 November 2009 | November 17, 2009


Hari terakhir pagelaran Gema Pariwisata (Gempar) Sumut 2009, Minggu 15 Nopember pagi ditandai dengan pembukuan rekor Museum Rekor Indonesia (MuRI) dengan menampilkan 1.386 penari Serampang Dua Belas dalam satu pentas! Para penari Serampang Dua Belas yang merupakan tarian tradisional kaum muda Melayu itu berasal dari berbagai pelajar Kota Medan.


Dalam sejarah, Tari Serampang Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.

Ada dua alasan mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. Pertama, nama Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat (quick step). Nama tarian yang diawali kata “pulau” biasanya bertempo rumba, seperti Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri. Sedangkan Tari Serampang Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari Serampang Laut. Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut Tari Serampang Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat di antara lagu yang bernama serampang. Kedua, penamaan Tari Serampang Duabelas merujuk pada ragam gerak tarinya yang berjumlah 12, yaitu: pertemuan pertama, cinta meresap, memendam cinta, menggila mabuk kepayang, isyarat tanda cinta, balasan isyarat, menduga, masih belum percaya, jawaban, pinang-meminang, mengantar pengantin, dan pertemuan kasih Penjelasan tentang ragam gerak Tari Serampang Duabelas akan dibahas kemudian.

Tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara tarian Portugis dan Melayu Serdang. Pengaruh Portugis tersebut dapat dilihat pada keindahan gerak tarinya dan kedinamisan irama musik pengiringnya.

Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun demikian, pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya.

Wiji Thukul dan Sebutir Peluru

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 16 November 2009 | November 16, 2009


Penyair ini bukan “menghilang" melainkan "dihilangkan" secara misterius pada detik-detik menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Dia menawarkan sebuah pemberontakan yang sama sekali baru bagi kaum marjinal. Dia salah seorang penyaksi betapa hidup dan bersuara di negeri sendiri harus dibayar mahal dengan penculikan dirinya. Dia juga adalah sebutir peluru bagi revolusi kreatif dunia kepenyairan tanah air.

Puisi tidak harus dimuat atau diterbitkan oleh kaum industrialis, kaum yang mempekerjakan buruh. Puisi bagi Wiji Thukul adalah cara yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang tertindas, yang secara kebetulan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya. Dia sesungguhnya tidak bermasud membela rakyat, melainkan membela dirinya sendiri, lingkungan, komunitas yang menghidupi dirinya: tukang pelitur, istri tukang jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan hidupnya yang melarat.

Wiji Thukul lahir di tengah keluarga tukang becak dan buruh, 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Dengan susah payah berhasil menamatkan SMP (1979), masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat (1982). Wiji Thukul sempat berjualan koran, kemudian bekerja di sebuah perusahan mebel antik sebagai tukang pelitur. Di tempat kerjanya itu dia dikenal sebagai penyair pelo (cadel) yang sering menghibur teman-teman sekerjanya dengan puisi.

Wiji Thukul menulis puisi dan main teater sejak masih duduk di bangku SD. Bersama kelompok teater JAGAT (Jagalan Tengah) dia pernah keluar masuk kampung mengamen puisi dengan iringan rebana, gong, suling, kentongan dan gitar.

Istrinya Sipon bekerja sebagai tukang jahit. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan menerima pesanan sablonan. Dia memiliki dua orang anak: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Penghargaan di bidang sastra: dia menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra. Sejak Peristiwa 27 Juli 1996 yang menggemparkan, Wiji Thukul menjadi salah seorang korban politik Orde Baru. Hingga sekarang masih menjadi misteri, di mana Wiji Thukul berada.

Karya-karya Wiji Thukul dapat dibaca dalam sebuah buku yang diberi judul Aku Ingin Jadi Peluru (2000), Penerbit Indonesia Tera, Magelang. Penerbit ini sangat berjasa dalam menghimpun karya-karya Thukul yang semula tersebar di berbagai manuskrip dan terbitan. Dari Taman Budaya Surakarta, diperoleh dua buah manuskrip, yakni “Darman dan Lain-lain”, dan “Puisi Pelo”. Kumpulan terakhir “Baju Loak Sobek Pundaknya” diperoleh dari Jaap Erkelens (Perwakilan KITLV di Indonesia). Sisanya diperoleh dari Mbak Sipon, istrinya.
Aku Ingin Jadi Peluru berisi 136 puisi yang dibagi atas lima kumpulan puisi.

1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar
2: Ketika Rakyat Pergi
3: Darman dan Lain-lain
4: Puisi Pelo berisi
5: Baju Loak Sobek Pundaknya

Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulisnya ketika dalam masa pelariannya diburu aparat rezim Orba.

Wiji Thukul adalah sebutir peluru meski revolusi belum bisa dipesan di masa hidupnya. Dia adalah setitik Splendor Veritatis atau Cahaya Kebenaran yang mampu memberikan ide perlawanan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cara-cara dan sistem yang memanusiakan manusia. Bagi dia, hanya ada satu kata,"lawan!" seperti dalam salah satu puisinya "Peringatan" yang paling sering dibacakan oleh para demonstran di tanah air.

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

*disarikan dari berbagai sumber

Dongeng, Buku dan Televisi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 14 November 2009 | November 14, 2009


Ketika pagi hari masih berembun, listrik mati dan kopi masih mengepul panas saya mulai mencoba mengingat-ingat sejak kapan minat baca saya mulai tumbuh? Ingatan saya lalu terbentur pada bayangan buku karangan Mark Twain berjudul Tom Sawyer hadiah dari almarhum ayah ketika saya naik kelas. Tapi sejak kapan saya menyenangi buku – buku cerita hingga segala macam jenis buku lainnya?

Akhirnya saya menyimpulkan ini semua adalah berkat jasa nenek yang pernah mendongeng beberapa kali ketika saya hendak beranjak tidur. Sebenarnya saya tidak seberuntung anak-anak lainnya. Nenek hanya beberapa kali sempat mendongeng sebelum meninggal. Namun ternyata itu telah cukup memberi saya rasa penasaran kuat terhadap buku-buku cerita sejak masih bocah.

Tidak semua bocah di negeri ini bernasib beruntung pernah ditidurkan oleh nenek ataupun ibunya dengan dongeng pengantar tidur. Kenyataan perubahan telah di depan mata. Kesibukan orang tua merupakan salah satu sebab lunturnya tradisi dongeng mendongeng di lingkungan keluarga.

Banyak ibu-ibu di tanah air yang kebetulan tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Sebahagian dari mereka malah buta huruf. Namun amat menakjubkan mereka mampu mendongeng dengan fasih, menarik dan teratur. Dongeng yang beragam itu mampu menghipnotis penikmatnya, yaitu anak-anak mereka yang memang membutuhkan sentuhan edukasi melalui cerita lisan. Ketika beranjak dewasa, anak-anak itu lebih memiliki minat baca yang tinggi dibanding mereka yang tidak pernah menikmati dongeng lisan di masa kecil.

Unsur pendidikan dalam dongeng sangat mudah menjadi rekaman kuat hingga penikmatnya beranjak dewasa. Dengan banyak – banyak mendongeng kepada anak – anak di usia dini mudah – mudahan saja kita bisa menaklukkan musuh literasi, yaitu televisi!. Tapi cobalah menengok kampung kita, bahkan mungkin dongeng telah hilang sama sekali.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday