Latest Post

Lima Sastrawan Lampung Diundang Ke Brunei

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 05 Desember 2009 | Desember 05, 2009


Sebagaimana buku antologi puisi "Kota Cahaya" yang ditulis Izbedi Stiawan ZS, Lampung akan menyala lagi di kancah dunia. Sebuah undangan istimewa diterima Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka di Bandarlampung pada 30 November lalu. Lima sastrawan Lampung yang beruntung itu adalah Arman AZ, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Ari Pahala Hutabarat, Syaiful Irba Tanpaka dan Harry Jayaningrat.

Mereka diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XV di Brunei Darussalam, 11-13 Desember 2009 yang dilaksanakan oleh Asosiasi Sastrawan dan Satrawani (Astrawani) Brunei. Pertemuan tersebut bertajuk "Mencarukkan Sastera Nusantara", Seperti biasa, pertemuan tersebut juga diikuti seniman lain dari Indonesia, serta Malaysia, Singapura, Thailand dan tuan rumah.

Kesempatan bagi kelima sastrawan Lampung itu untuk ajang sosialisasi sastra Indonesia khususnya Lampung di kancah internasional. Izbedi Stiawan dan Syaiful adalah dua sastrawan Lampung yang diundang untuk kedua kalinya di PSN. Dua tahun lalu di Kedah Malaysia, keduanya membacakan puisi di PSN.

sumber: Antara

Hamzah Fansuri: Penyair Pertama Nusantara

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 04 Desember 2009 | Desember 04, 2009

Jagad kepenyairan Indonesia kemungkinan besar tidak akan pernah ada jika tidak diawali syair-syair yang ditulis Hamzah Fansuri, penyair pertama nusantara pada abad ke-16. Hamzah Fansuri adalah ibarat Jalaluddin Rumi-nya nusantara. Ia seorang ulama dan sastrawan sufi terbesar di zamannya bahkan sampai hari ini. Mobilitasnya tinggi dan sering berpindah tempat dan merupakan ciri khas penyair Melayu klasik yang suka berpetualang. Karya-karyanya dalam bentuk prosa: Asrar al-Arifin, Sharab al-Asyikin dan Zinat al-Muwahidin.
Syair-syairnya yang diyakini sebagai puisi-puisi petama di nusantara:
Dengan menguasai bahasa Arab, Urdu, Persia, dan Melayu beliau dapat memahami dan menghayati tasawuf/thariqat dan filsafat Ibn Arabi, Al Hallaj, Al Bistani, Maghribi, Syah Nikmatullah, Abdullah Jalil, Jalaluddin Rumi, Abdulkadir Jaelani, dan lain-lain dengan baik.
Uniknya, riwayat hidup Hamzah Fansuri tidak satu pun meninggalkan catatan, baik tahun kelahiran maupun tahun wafatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan kekaburan ini sebab beliau tidak mencantumkan tahun dalam karya-karyanya—walaupun Hamzah merupakan pengarang Melayu pertama yang menulis karya-karya ilmiah dengan mencantumkan nama dalam karyanya—hal ini kemudian diikuti oleh pengarang-pengarang Melayu berikutnya.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan Hamzah dilahirkan di Pantsoer (Barus). Barus merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah, secara geografis terletak di pesisir barat pulau Sumetera, dan secara dialektologi penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Mandailing. Pada jaman Hamzah daerah ini merupakan pusat perdagangan dengan penduduk yang ramai.
Nama Fansur adalah ucapan Arab untuk Pancur yang oleh orang Batak disebut Pansur. Sebelumnya Barus disebut Pangsur. Bisa disimpulkan bahwa nama Hamzah Fansuri berarti Hamzah berasal dari Barus. Pendapat lain mengatakan bahwa Hamzah berasal dan lahir di Syarnawi, Ayuthia (ibu kota Siam pada jaman dahulu).

referensi: Oud en Niew Oost-Indien karya Francois Valentijn

Festival Musi 2009

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 03 Desember 2009 | Desember 03, 2009


Mulai hari ini tanggal 3 hingga 6 Desember, Pemerintah Kota Palembang menggelar Festival Musi 2009. Even budaya ini disemarakkan dengan Festival Dragon Boat Internasional, Festival Kuliner Nusantara dan Pameran Pembangunan Pendidikan.

Festival Musi ini juga bertepatan dengan peringatan ke-4 hari Wisata Sungai, sejak di-launching tahun 2005 lalu. Potensi besar festival ini dapat menarik kunjungan wisatawan ke Palembang.

Sebelumnya even ini bernama Festival Dragon Boat dan tidak berskala nasional. Namun setelah disetting sedemikian rupa dan berubah nama menjadi Festival Musi, skalanya berubah menjadi skala nasional. Pemerintah Kota Palembang berharap kegiatan budaya ini dapat lebih menarik minat wisatawan baik asing maupun domestik untuk datang ke Palembang.
Selain Festival Tari dan Dragon Boat, even ini juga akan menghadirkan festival kuliner. 

Di Festival itu, akan didirikan 40 stand makanan dan minuman khas daerah di Tanah Air. Perinciannya, 22 stan disediakan bagi peserta yang langsung masak di tempat, sisanya, 18 stand khusus untuk pameran makanan jadi.

sumber: http://bulletinmetropolis.com/

Ketika Sastra Cetak Terusik Oleh Sastra Cyber

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 02 Desember 2009 | Desember 02, 2009


Sastra cyber atau sastra yang diposting di internet sangat berbeda sama sekali jika dibandingkan dengan tulisan purba Mesir yang terdapat di dinding piramid maupun buku-buku di zaman modern. Pada 10 tahun lalu sastra cyber masih dianggap baru. Lantas, sesuatu yang baru itu pernah dianggap "asing" (alien) dan mengerikan atau menjadi "hantu baru" dalam ranah sastra. Sekarang saja bagi sebahagian kalangan, berkarya di internet masih dianggap non-konvensional. Lalu pernahkah para penikmat sastra membayangkan sebuah zaman di mana kertas dan bahan bakunya telah habis di planet ini? Kira-kira di manakah letak sastra cetak di tengah kondisi seperti itu?

Mungkinlah sastra akan menemui kesunyian gara-gara segelintir sastrawan zaman sekarang mendewakan apresiasi "hanya" pada sastra cetak? Ketika sastra cyber dianggap mengancam stabilitas sastra cetak, maka sejak 2 tahun terakhir muncullah tandingan situs-situs yang mengatas namakan sastra internet yang resmi. Situs-situs itu mengadopsi tradisi sastra cetak di mana karya-karya disaring selayaknya redaksi koran atau penerbit di dunia nyata. Padahal sejatinya sebuah karya di internet tidak memerlukan dewan penyeleksi yang jumlahnya tidak akan bisa mewakili jumlah maupun selera pembacanya. Di internet, yang menjadi penilai adalah para pembacanya sendiri.

Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik mungkin dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Ajaib, yang mau berdarah-darah justru adalah kebanyakan mereka yang mengunakan internet.

Sastra di Indonesia juga tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.

Menulis di mana saja dan menggunakan media apa saja adalah sastra yang sebenarnya. Selalu ada saja yang mau membaca bahkan menilai karya-karya itu. Paling tidak, seorang penulis adalah pembaca pertama dari tulisannya sendiri. Dengan demikian sastra tak akan menjadi sunyi. Hari ini tidak seorang pun membaca tulisan ini tapi siapa tahu 10 tahun yang akan datang ada seseorang yang tersesat di blog ini dan terdampar membaca tulisan ini. Para pendiri situs-situs "resmi" sastra yang mengklaim diri sebagai dewan penyeleksi itu mungkin akhirnya akan terdampar juga di sini. Entah. (^_*)

Perempuan dan Pameran Foto Meutia Hatta

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 01 Desember 2009 | Desember 01, 2009


Seni Fotografi menjadi unik ketika memiliki konsep perjuangan perempuan bahkan saat menyentuh ranah politik sebagai cetusan aspirasi. Foto-foto juga mampu mengemukakan gambaran perjuangan perempuan tidak ada hentinya dan menjadi suatu pemberontakan dalam bingkai positif. Itulah catatan kecil kesimpulan dari pameran foto Meutia Hatta baru-baru ini.

Sebanyak 13 foto karya mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dipamerkan di Pejaten Village Mall Minggu 29 Nopember 2009. Foto-foto itu dibuat Meutia ketika masih menjabat sebagai menteri. Selain pameran, ada diskusi membahas foto-foto tersebut dengan menghadirkan budayawan Mohammad Sobari dan fotografer Kompas, Lasti Kurnia.

Putri proklamator Mohammad Hatta itu meyakini sebuah foto dapat memberi inspirasi dan pembelajaran pada siapapun yang melihatnya. Dia salah satu dari sedikit perempuan di Indonesia yang selalu membawa kamera dan mengabadikan momen-momen yang menarik. Menurut Meutia, ada simbol dan makna di balik hasil jepretannya.

Meski menyukai seni fotografi, istri dari Sri Edi Swasono itu mengaku bahwa dirinya bukan fotografer profesional. Memotret baginya hanya adalah hobi yang dapat dilakukannya di sela-sela kesibukannya yang padat.

Sambil memposting berita budaya ini mendadak saya juga punya keinginan untuk belajar fotografi. Ide saya yang pertama yaitu menjepret ekspresi wajah orang-orang ketika mati lampu. Buru-buru saya menyelesaikan postingan ini, sebab sesaat lagi tiba jadwal mati lampu. Krisis listrik di Sulsel semakin menjadi-jadi. Pemadaman bergilir kini berdurasi 6-9 jam dalam sehari.

referensi: Antara

Lelaki Gesit Itu Bernama Radhar Panca Dahana

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 30 November 2009 | November 30, 2009


Ia begitu komplit dan gesit untuk ukuran seniman Indonesia. Energinya menjalar-jalar di dunia seni. Pernah menjadi pemain pantomim bayaran hingga pemain gitar sekaligus perkusi dalam kelompok musik Poci Jakarta. Pernah bergumul dengan dunia jurnalistik, politik, dan akademik.

Pertama kali main teater ketika berumur 14 tahun. Pada usia 12 tahun telah menjadi editor tamu majalah Kawanku. Cerpennya yang pertama "Tamu Tak Diundang" dimuat Kompas ketika ia masih berumur 10 tahun. Karir jurnalistiknya dimulai sebagai reporter lepas hingga pemimpin redaksi di berbagai media, seperti Hai, Kompas, Jakarta Jakarta, Vista TV dan indline.com. Beberapa di antara belasan karyanya seperti Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002), Lalu Waktu (kumpulan sajak, 2003), Jejak Posmodernisme (2004), Cerita-cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005), Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006), Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007), dan Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007).

Ia menjadi aktor yang pertama kali memerankan tokoh perempuan Rebecca dalam drama Jack dan Penyerahan (1978), kemudian menyutradarai dan menulis sendiri puluhan drama. Radhar diganjar berbagai penghargaan nasional dan internasional, di antaranya Paramadina Award dan Le Prix Francophonie ini, profilnya pernah dibuat dan disiarkan oleh Stasiun TV NHK Jepang, dan juga mengasuh sebuah rubrik gagasan (Teroka) di Harian Kompas, penulis tetap cerita komik Mat Jagung di Koran Tempo, dan Kolom Perspektif di majalah Gatra. Ia juga pernah diundang untuk membaca Puisi ke beberapa festival sastra di Eropa maupun bicara dalam berbagai forum sastra Internasional seperti di Tokyo, Hongkong, Bangkok, Filipina, Jerman, Prancis, Belgia, Brunei, dan Belanda.

Lelaki kelahiran Jakarta, 26 Maret 1965 ini menyelesaikan studi sosiologinya di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis. Selain itu Ia juga sibuk mengurusi Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Cahaya Prima Putradahana, putra tunggalnya. Anda ingin akrab dengan Radhar? Dia mudah ditemui di facebook.

* disarikan dari berbagai sumber

Sajak Hati Kecil Untuk Sebuah Pertemuan Kecil

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 29 November 2009 | November 29, 2009




seru juga memahamimu. setelah meniup harmonika aku datang dari lembah-lembah yang jauh lalu mengetuk pintu rumahmu di sebuah kota kecil pada larut malam.

siapakah dia, perempuan yg mencuci rambut diatas karang. wajahnya diguyur rembulan di sebuah kota kecil. dia selalu menungguku membawa berita singkat tentang rindu di tanah purba, tanah alang-alang.
tapi kerjap waktu begitu sejenak, lelahnya aku rasakan begitu lekang menempuh jarak ke situs hati, dimana masih tercatat puisi-puisi lampau, diorama kampung halaman dan bukit-bukit batu.

seru juga memahamimu. saat sebutir huruf tak tereja dan aku meninggalkanmu.
"maafkan," tulisku pada selembar daun lontar. biarkan hanya angin yang membacanya kali ini.

Bulukumba, Minggu 29 Nopember 2009

Rasullullah, SAW Bukan Seorang Ummi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 26 November 2009 | November 26, 2009


Pada zaman jahiliah, Kabbah di kota Mekkah adalah tempat menggantung puisi-puisi para penyair tanah Arab. Hampir semua kabilah Arab memiliki penyair-penyair hebat. Kiblat umat Islam yang ratusan tahun sebelumnya dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail menjadi saksi betapa sastra sangat diapresiasi begitu tinggi oleh masyarakat Arab.

Satu pertanyaan besar, jika pada masa itu orang Arab telah sangat apresiatif terhadap sastra maupun ilmu tata bahasa, apakah mungkin seorang nabi besar Muhammad, SAW yang di lahirkan di tengah mereka adalah seorang ummi atau buta huruf? 

Di kalangan ummat Islam “ummi” artinya buta huruf, tuna aksara, tidak tahu membaca dan menulis. Benarkah anggapan ini? Namun ternyata istilah ummiy (dengan plural ummiyyuun atau ummiyyiin) dalam Al-Qur’an sama sekali bukanlah bermakna seperti itu, karena umumnya ummat Islam merujuk dalam Al-Qur’an, Surat al-A`raf ayat 157, bahwa Rasulullah Muhammad SAW sebagai an-nabiyy al-ummiy (Nabi yang “Ummi”). Terlebih jika mengingat salah satu sifat yg dimiliki oleh Nabi dan Rasul adalah Fathonah, yg artinya Cerdas/Pandai. Dengan demikian, seorang Nabi dan Rasul tidaklah mungkin Jahlun (Bodoh).

Sebelum datangnya Islam masyarakat Arab telah mengenal sastra tulisan natsar (prosa) dan sya`ir (puisi). Setiap tahun Kaum Quraisy menyelenggarakan festival (pekan raya) di Ukazh. Di sana diperlombakan pembacaan prosa dan puisi, lalu naskah yang dipandang bagus mendapat kehormatan untuk ditempelkan di dinding Ka`bah. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa masyarakat Arab zaman itu, termasuk suku Quraisy, mahir membaca dan menulis, sehingga istilah ummiyyuun bukanlah berarti “masyarakat buta huruf”.

Kaum Yahudi semasa Rasulullah SAW sering merendahkan orang-orang Arab yang mereka anggap tidak mempunyai Kitab. Ejekan orang Yahudi itu dijelaskan dalam QS Ali Imran ayat 75: “Tiada yang patut disalahkan bagi kami atas kaum ummiyyiin”. Maka Allah SWT menyindir bahwa di kalangan Yahudi sendiri banyak juga yang ummiy, tidak memahami Taurat, sebagaimana tercantum dalam Surat al-Baqarah ayat 78: “Dan sebagian mereka ummiyyuun, tidak mengetahui Kitab.”

Istilah an-nabiyy al-ummiy pada Surat al-A`raf ayat 157 berhubungan dengan kaum Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memeluk agama Islam. Kalimatnya tertulis begini: “Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi, yang mereka dapati tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil”. Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa meskipun Muhammad SAW itu Nabi yang Ummi, artinya berasal dari kaum ummiyyuun, kaum Ahlul-Kitab seharusnya memeluk agama Islam, sebab kedatangan Nabi Muhammad SAW sudah diberitakan dalam Kitab Taurat dan Injil.

Nabi Muhammad SAW adalah seorang bisnisman sukses di masa muda beliau sebelum menjadi Rasul. Keberhasilan beliau dalam melakukan transaksi niaga merupakan indikasi logis bahwa beliau mampu membaca dan menulis, sehingga istilah an-nabiyy al-ummiy dalam Al-Qur’an bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”.

Kisah turunnya wahyu yang pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat bahwa beliau mampu membaca. Malaikat Jibril berkata,"Iqra (bacalah)." Ketika itu Rasulullah SAW bertafakur menyendiri di Gua Hira.

Maka sangat jelaslah bahwa istilah an-nabiyy al-ummiy bukanlah berarti “nabi yang buta huruf”, melainkan pengertiannya “nabi yang tidak pernah membaca Kitab Allah sebelum Al-Qur’an” atau “nabi dari kalangan ummiyyuun yang belum pernah menerima Kitab Allah sebelum Al-Qur’an”. Jadi terjemahan “ummi” dalam bahasa Indonesia bukanlah “buta huruf”, melainkan “buta kitab”. Para ulama abad pertengahan mengembangkan pengertian bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar tidak dapat membaca dan menulis, mungkin dengan tujuan agar umat Islam makin yakin bahwa Al-Qur’an itu bukan karangan Nabi.


referensi: Al Quran dan disarikan dari berbagai sumber


SELAMAT IDUL ADHA 1430 HIJRIAH

Guru, Siswa dan Pelajaran Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 25 November 2009 | November 25, 2009



Ibu guru berkata kepada semua siswanya di kelas, "Sekarang kalian menulis kejadian yang kalian alami hari ini." Lalu dengan patuh para siswanya menyiapkan alat tulis dan mulai menulis. Beragam tulisan mereka. Ada anak yang menulis kejadian hari itu dalam bentuk sajak. Beberapa anak lebih suka menuliskan kisah lucu dengan temannya hari itu. Ada pula yang serius menulis cerpen bahkan esai.

Tapi tunggu dulu. Kejadian di atas adalah peristiwa biasa sehari-hari di sebuah sekolah di Prancis. Jika itu terjadi di Indonesia maka perintah gurunya pasti akan disambut pertanyaan dari siswanya, "Kami harus menulis apa, bu?" Atau, "Bu, maaf, saya tidak bisa mengarang." Di negara-negara yang berperadaban lebih maju, pengajaran apresiasi sastra sudah begitu mendalam. Para siswanya sudah diakrabkan dengan karya-karya besar sastrawan dunia dan mereka menunjukkan sikap apresiatif yang lebih baik.

Sejenak kita menengok pedoman pengajaran dan pembelajaran sastra di tanah air. Ternyata porsinya sangat minimalis, muatannya juga jauh dari yang seharusnya. Hampir sebagian besar pengajaran sastra kita hanya terbentur pada apa, siapa dan kapan; yang berputar tentang judul-judul karya, jenisnya, penulisnya –sampai-sampai tanggal lahir dan kapan meninggalnya pujangga itu yang menjadi bahan hapalan siswa.

Benarkah apresiasi sastra dalam proses pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita kian kering? Kenyataan yang dihadapi oleh para guru adalah metode pengajaran yang serba "menghapal" padahal sastra yang serba hafalan dapat menjadikan siswa sulit menikmati sastra sebagai pelajaran yang mengasyikkan. Sudah saatnya para guru-guru di sekolah melakukan pembenahan muatan pengajaran yang intuitif dan "melabrak" kurikulum. Dengan begitu mereka bisa menyeimbangkan antara nilai teoritis dengan apresiasi sastra yang lebih dalam. Hal ini sangat mungkin sekali dilakukan oleh guru-guru bahasa kita itu untuk lebih menekankan pada pembelajaran apresiasi sastra.

Pengajaran sastra idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan ditafsirkan oleh siswa. Mungkin lebih indah jika pengajaran sastra juga diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan karya yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian atau kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah karya lain. Sudah saatnya para guru pelajaran sastra menyadari bahwa setelah ajaran agama, pengajaran sastra adalah juga kandungan nilai-nilai spiritualitas yang dapat mempengaruhi perilaku kehidupan siswa. Dengan mengakrabkan siswa dengan sastra, secara perlahan dapat memasukkan nilai-nilai humanisme bagi pembentukkan karakter para remaja.

SELAMAT HARI GURU 25 NOPEMBER (^_*)

Sejarah Singkat Fotografi

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 24 November 2009 | November 24, 2009


Untuk sekedar melengkapi postingan berita budaya kemarin tentang pameran foto esai, hari ini ada sedikit catatan kaki dari sejarah fotografi. Dimulai pada abad ke-5 SM, seorang pria bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala alam. Apabila pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang, maka di bagian dalam ruang itu akan terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi. Kemudian, pada abad ke-10 Masehi, seorang Arab bernama Ibn Al-Haitham menemukan fenomena yang sama pada tenda miliknya yang berlubang.


Fotografi lalu tercatat dimulai resmi pada abad ke-19. Tahun 1839 yang dicanangkan sebagai tahun awal fotografi. Bahkan di Perancis dinyatakan secara resmi bahwa fotografi adalah sebuah terobosan teknologi. Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata sudah bisa dibuat permanen.

Penemu fotografi dengan pelat logam, Louis Jacques Mande Daguerre, sebenarnya ingin mematenkan temuannya itu. Tapi, Pemerintah Perancis, dengan dilandasi berbagai pemikiran politik, berpikir bahwa temuan itu sebaiknya dibagikan ke seluruh dunia secara cuma-cuma untuk kepentingan umat manusia. Sebenarnya, temuan Daguerre bukanlah murni temuannya sendiri. Seorang peneliti Perancis lain, Joseph Nicephore Niepce, pada tahun 1826 sudah menghasilkan sebuah foto yang kemudian dikenal sebagai foto pertama dalam sejarah manusia. Foto yang berjudul View from Window at Gras itu kini disimpan di University of Texas di Austin, AS.

Niepce membuat foto dengan melapisi pelat logam dengan sebuah senyawa buatannya. Pelat logam itu lalu disinari dalam kamera obscura sampai beberapa jam sampai tercipta imaji. Metode Niepce ini sulit diterima orang karena lama penyinaran dengan kamera obscura bisa sampai tiga hari.Pada tahun 1827, Daguerre mendekati Niepce untuk menyempurnakan temuan itu. Dua tahun kemudian, Daguerre dan Niepce resmi bekerja sama mengembangkan temuan yang lalu disebut heliografi. Dalam bahasa Yunani, helios adalah matahari dan graphos adalah menulis.

Karena Niepce meninggal pada tahun 1833, Daguerre kemudian bekerja sendiri sampai enam tahun kemudian hasil kerjanya itu diumumkan ke seluruh dunia. Fotografi kemudian berkembang dengan sangat cepat. Tidak semata heliografi lagi karena cahaya apa pun kemudian bisa dipakai, tidak semata cahaya matahari. Dalam perkembangannya kemudian dikenal Seni Fotografi yang menekankan estetika dalam pengambilan gambar.

referensi: The History of Photography karya Alma Davenport, University of New Mexico Press, 1991

Ketika Jurnalis Foto Berhasil Mengeksekusi Realitas

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 22 November 2009 | November 22, 2009


Seni fotografi diproses pertama kali oleh mereka yang menjepretnya melalui mata. Lalu mereka kabarkan hasil pandangan mata itu di hadapan publik. Peran seorang fotografer kadang hanya dianggap sebagai bagian kecil dari suatu kerja tim yang rumit dalam industri media—terutama media cetak. Seseorang wartawan foto mengeksekusi realitas atau peristiwa hanya dalam bingkai-bingkai tertentu.

Delapan jurnalis dari beberapa media di Semarang menggelar pameran foto esai yang terangkum dalam tema "Serenada Kehidupan", di Rumah Seni Semarang pada 20-27 November 2009. Mereka yang menampilkan karyanya, adalah Arif Slam Nugroho dari Seputar Indonesia, S. Bowo Pribadi dari Republika, Budi Purwanto dari Tempo, Suherdjoko dari The Jakarta Post, Adityo Dwi R dari Radar Semarang, dan Cun Cahya dari Harian Semarang. Kemudian, Bahana Patria Gupta dan P. Raditya Mahendra Yasa, keduanya dari Kompas. Para pewarta foto itu tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang.

Beragam potret kehidupan manusia yang unik terekam dengan apik, seperti dalam foto bertema "Suara-Suara di Keheningan" karya Arif Slam Nugroho yang menceritakan tentang proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus di SLB. Budi Purwanto menceritakan kisah para pemburu gelam (lembaran kulit pohon jati) di Desa Balongan Kabupaten Blora yang telah menekuni profesi itu secara turun temurun sejak puluhan tahun silam. Ia menampilkan 10 foto yang diberi tema "Pemburu Gelam", mulai dari potret aktivitas mereka sebelum berangkat, saat berangkat mengendarai sepeda "onthel", hingga aksi pemburu itu menguliti pohon jati.

Sementara itu, Cun Cahya lebih memilih mengambil objek foto di Pondok Pesantren Maunatul Mubarok yang terletak di tengah hutan bambu di Dukuh Lengkong, Desa Sayung, Kecamatan Sayung, Demak.


Karya-karya lain yang ditampilkan, di antaranya foto bertema "Jati Pendem" karya Bahana Patria Gupta, "Sutra Alam" karya S. Bowo Pribadi, "Seni Foto Gerak Cepat" karya P. Raditya Mahendra Yasa, dan "Merangkai Dasar Laut, Merangkai Serpihan Sejarah" karya Suherdjoko.
Pada dataran idealisme-humanisme para pewarta foto bisa menghadirkan dunia dalam cara pandang baru dan penuh afeksi. Ini bisa jadi suatu tanda keberpihakan terhadap humanisme. Pada ranah inilah jurnalisme membaktikan dirinya. Sebuah foto adalah juga esai tanpa kata. Visualisasi yang tak bergerak menjadikannya makna dari realitas.


referensi: -Antara, dan
-ocehan teman, seorang wartawan foto

Ide JK Rowling Di Atas Kereta

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 21 November 2009 | November 21, 2009


Siapapun tidak akan mengira bahwa ide cerita Harry Potter lahir di atas kereta api yang mogok. Dalam sebuah perjalanan dari Manchester ke London tahun 1990, kereta yang ditumpangi Joane mogok selama empat jam. Saat duduk di kereta, sambil memandangi segerombolan sapi melalui jendela, ide tentang kisah Harry Potter tiba-tiba muncul di benak perempuan ini. Selama beberapa bulan berikutnya Joane berhasil merampungkan kisah petualangan penyihir cilik Harry Potter.

Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling dilahirkan pada 31 Juli 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Kekayaan Rowling semakin bertambah saat seri ke-4, Harry Potter dan Piala Api diterbitkan pada bulan Juli tahun 2000. Seri ini menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah.

Sejak kecil Joanne Kathleen Rowling punya cita-cita jadi penulis. Tapi, mengikuti saran orangtuanya, ia belajar Sastra Prancis di Universitas Exeter supaya bisa jadi sekretaris yang mampu bicara dalam dua bahasa. Pekerjaan itu ternyata tidak cocok baginya. Soalnya, bukannya mencatat jalannya rapat, ia malah sibuk menulis cerita fiksi. Bisa ditebak, akhirnya ia dipecat.

Pada September 1990 Joane jatuh cinta pada seorang jurnalis televisi berkebangsaan Portugal bernama Jorge Arantes. Mereka menikah dan tahun 1993, lahirlah putri mereka, Jessica. Sayang sekali akhirnya mereka bercerai, dan Joanne balik ke Edinburgh, Skotlandia. Pada masa itu hidup Joanne benar-benar terpuruk, begitu miskin sehingga ke mana-mana ia harus jalan kaki meski ongkos bus kota murah. Ia sering menulis di kafe, karena flatnya yang sempit dan dingin jelas bukan tempat yang penuh inspirasi. Untung si pemilik kafe baik bati, membiarkan Joanne menulis di sana meski ia cuma memesan secangkir kopi dan segelas air, sementara bayinya tertidur.

Nasib Joane ditakdirkan berubah total ketika penerbit Inggris, Bloomsbury Press, bersedia menerbitkan buku Harry Potter yang pertama Harry Potter and the Philosopher`s Stone (di Amerika terbit dengan judul Harry Pooter and Sorcerer`s Stone) pada tahun 1997. Sebuah buku yang membuat dunia terperangah dan JK Rowling sukses sebagai penulis sesuai cita-citanya.

"Jangan Main-main Dengan Kelaminmu," Kata Djenar

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 20 November 2009 | November 20, 2009


Putri dari sutradara film legendaris Syuman Djaya dan aktris Tutie Kirana ini diberi nama Djenar Maesa Ayu yang lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Sejak remaja cerpen-cerpennya menyerbu Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post.

Buku pertama Djenar yang berjudul "Mereka Bilang, Saya Monyet!" telah cetak ulang sebanyak delapan kali dan masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003, juga diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Cerpen “Waktu Nayla” adalah Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen “Asmoro” dalam antologi cerpen pilihan Kompas itu. Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan.

Nayla adalah novel pertama Djenar yang juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Bukunya yang termasuk fenomenal berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, sebuah kumpulan cerpen.

Buku keduanya yang fenomenal sebab banyak menuai kritik dari kaum moralis, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) meraih sukses dan cetak ulang kedua hanya dua hari setelah buku itu diluncurkan pada Februari 2005. Kumpulan cerpen berhasil ini meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2004.

Perempuan penulis yang eksotik ini membuktikan dua hal menarik dalam dirinya. Pertama, dia menulis karena ada desakan kuat untuk menulis. Kedua, Perempuan pengarang ini memang luar biasa, pengalaman hidupnya yang tidak “menguntungkan”, lahir dari keluarga perceraian, namun dia sangat bersyukur mampu merefleksikan pengalaman “kecilnya” ke dalam teks. Bahkan, dalam pengakuannya di sebuah majalah ibukota pada Oktober 2003, Djenar menuturkan bahwa pengungkapan seksualitas dalam karya-karyanya itu adalah buah pengalaman masa lalunya. Karya-karyanya yang berani membuat penulis perempuan ini sering dimaki sekaligus dicintai.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday