Latest Post

Rendra Baca Puisi di RCA 102,5 FM

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 31 Mei 2009 | Mei 31, 2009


Dalam sebuah tulisan terdahulu "Rumah Politik Untuk Seni Budaya" penulis memprotes WS Rendra mungkin agak habis-habisan. Namun kali ini tidak demikian sebab kali ini bukan berbicara di ranah politik dan penulis hanya ingin berbagi secuil pengetahuan lantaran Rendra akhirnya baca puisi juga dalam program Ekspresi, sebuah lembaran acara sastra di RCA 102,5 FM hari ini jam 11.00-13.00 Wita. 

Penyebab lainnya lantaran seorang teman yang mengaku sering dibingungkan dengan banyaknya istilah, genre yang simpang siur antara berbagai media sastra sampai tak tahu harus menulis apa dalam tugas makalahnya di kampus. Tapi semoga tulisan ini bermanfaat. Penulis hanya berupaya agar teman itu tidak bingung lagi antara sastra lisan, tulis, elektronik, multimedia dan sebagainya.



Pada banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, Iroquois, dan lain-lain. Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.

Sebuah studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Keduanya meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi lisan.

Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.

Menurut Wellek dan Warren (1989), salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hal ini menurut Teeuw sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Lebih lanjut menurut Teeuw, bahasa tulis memiliki tujuh ciri, yakni: (1) dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca kehilangan sarana komunikasi suprasegmental; (2) dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara penulis dan pembaca; (3) dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi; (4) teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi aslinya; (5) bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang; (6) teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas; dan (7) komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan kebudayaan.

Genre sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis.Dewasa ini bentuk karya sastra yang paling diminat adalah cerpen dan novel. Waluyo (2002:28) membagi karya fiksi menjadi roman, cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi novel adalah novelet.

Alhamdulillah, jika tak ada aral melintang siang hari ini Rendra baca puisi juga di RCA. Puisi tulis dari Rendra berkolaborasi dengan radio. Selengkapnya, siapa saja boleh dengar bagaimanakah gaya seorang Rendra di radio. Semoga hubungan timbal balik antara sastra tulis, lisan, elektronik-audio, digital dan sebagainya bisa tetap tumbuh dan menjadi sebuah bangunan utuh.

referensi: Wikipedia bahasa Indonesia



Cerpen, dari Mesir Purba sampai Gola Gong

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 29 Mei 2009 | Mei 29, 2009


Tulisan ini muncul secara tidak sengaja setelah kemarin anak tetangga sebelah minta bantuan secara darurat. Guru bahasa di kelasnya memberi tugas PR, harus mengumpulkan segala data seputar sejarah cerpen.

Cerita pendek sebenarnya berasal dari Mesir purba, sekitar 3200 SM. Untuk pertama kalinya terbit cerpen Dua Bersaudara. Bahkan kisah Piramus dan Tisbi yang dibuat Shekespeare ke dalam drama disadur dari cerita pendek Yunani purba. Cerita pendek berkembang di Eropa dimulai sekitar tahun 1812 dengan munculnya penulis Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm, mereka menerbitkan cerpen berdasarkan cerita rakyat. Sementara perkembangan cerita pendek Amerika sekitar tahun 1912, penulis Washington Irving sebagai pelopor. Jejak Irving diikuti oleh Edgar Allan Poe dan Nathanael Hawthorne. Edgar Allan Poe menulis cerpen gothic yang seram,, penuh misteri. Secara tidak sadar Edgar merintis penulisan cerita detektif. Sementara Nathanael Hawthorne menulis cerpen-cerpen brcorak filosofis.

Arus deras erpen-cerpen mulai mewarnai kesusastraan Indonesia pada sekitar tahun 1936. Kebangkitan cerpen di Indonesia ditandai oleh Balai Pustaka yang menerbitkan Teman Duduk karya M. Kasim. Selanjutnya Suman Hs dengan Kawan Bergelut-nya diterbitkan pada tahun 1938. Ciri khas cerita-cerita rakyat yang lucu

Masa-masa sulit sejak tahun 1946 tidak menjadikan cerpen mati di Indonesia. Bersama waktu dan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia nilai cerpen pun mulai berubah. Dahulu bercorak cerita rakyat, tahun 1940-an mulai bergeser pada kehidupan rakyat sehari-hari. Contohnya karya Hamka yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan diterbitkan pada tahun 1940, warna kehidupan rakyat sehari-hari sudah terlihat, walaupun Hamka mengerjakannya secara sentimental.Tetapi kehadiran cerpen Indonesia baru terlihat sekitar tahun 1930-an. Sebetulnya cerpen Indonesia kalah berkembang oleh cerpen daerah – misalnya pada kesusastraan Sunda – perkembangan cerpennya sudah dimulai sekitar tahun 1928-an, sebagai contoh dengan terbitnya kumpun cerpen (carpon) berjudul Dogdog Pangrewong karya GS sekitar tahun 1928-an.

Cerpen Indonesia mengalami masa subur sekitar tahun 1950-an setelah era perang kemerdekaan. Buku-buku kumpulan cerpen menandainya, di antaranya kumpulan cerpen Subuh karya Pramoedya Ananta Toer (BP:1951); Yang Terempas dan Terkandas karya Rusman Sutiasumarga (BP:1951); Manusia dan Tanahnya karya Aoh KArtahadimaja (BP:1952); Terang Bulan Terang di Kali karya S.M. Ardan (Gunung Agung: 1955) dan lain-lain.

Pada tahun 1960-an muncul para penulis baru. Era tahun 1960-an perkembangan cerpen ditandai oleh kumpulan cerpen Rasa Sayange karya Nugroho Notosusanto diterbitkan Pembangunan tahun 1961; Trisno Sumarjo kumpulan cerpennya Daun Kering diterbitkan Balai Pustaka tahun 1962; Djamil Suherman kumpulan cerpennya Umi Kalsum diterbitkan Nusantara tahun 1963; dan lain-lain.

Sejarah sastra Indonesia mencatat nama-nama dan karya dari barisan cerpenis muda di awal era orde baru. Cerpenis muda saat itu, seperti Putu Wijaya, Umar Kayam, Budi Darma dan masih banyak lagi. Sebuah gaya penulisan baru mulai ditawarkan. Unsur ekstrinsik terasa lebih mengalir terutama ilmu filsafat. Mulailah cerpen dijadikan barometer perkembangan sastra, di samping puisi, novel, dan drama. Setelah Putu Wijaya, berpuluh tahun kemudian lahirlah generasi berikutnya. Barisan cerpenis yang belakangani ini tentu jauh lebih banyak jumlahnya. Aliran dan corak pun jauh lebih beragam. Mulai dari nama Gola Gong hingga Zara Zettira. Lalu, saat ini?

Jagad Baru Sastra Multimedia

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 28 Mei 2009 | Mei 28, 2009

Kini geliat seni dan kreativitas memang telah berada di jagad yang baru. Semisal sastra radio dan sastra televisi yang berkembang cukup bagus meskipun masih kurang digarap di Indonesia. Di sebuah stasiun radio yang menjadi penentu adalah manajer program. Tidak dipungkiri sebuah program sastra tidak serta merta bisa disajikan sebagai acara yang mampu meraup iklan, misalnya. Tidak semua stasiun radio memiliki program sastra. Di tanah air, RRI tercatat dalam sejarah sebagai lembaga penyiaran publik yang pertama kali mengudarakan program pembacaan puisi dan prosa. Di Jepang stasiun televisi NHK punya program apresiasi haiku sekali seminggu. Contoh lainnya stasiun televisi BBC Inggris yang memproduksi sajak-sajak pendek atau memperkenalkan sastrawan dalam program khusus. Masih banyak contoh tak terhitung banyaknya di berbagai belahan bumi lainnya.

Beberapa minggu lalu seorang teman, penyair muda yang sekaligus blogger meminta kepada saya agar sudi kiranya puisinya dibacakan di RCA 102, 5 FM. Puisi yang dia maksud saya copy paste dari blognya. Lalu dalam program sastra di RCA, puisinya pun saya bacakan. Beberapa hari lalu seorang gadis pelajar dari Bandung mengirimkan catatan prosa kepada saya melalui jejaring sosial facebook. Tulisannya pun lolos untuk menghiasi program sastra di RCA. Gadis itu mendengarkan karyanya dibacakan di RCA melalui link radio online di facebook. Sebuah contoh yang prosesnya sangat sederhana. Sebuah kolaborasi kreativitas multimedia? Mungkin. Radio, blog dan facebook kini bisa menjadi satu kesatuan untuk sebuah jaringan dan proses apresiasi sastra. Sebuah program sastra dan budaya di radio kini tak harus terpaku pada kreativitas pendengar yang konvensional. Keterlibatan internet bisa sangat memudahkan.

Stasiun radio yang belum bisa online di internet pun sebenarnya bukan alasan untuk tidak bisa memanfaatkan jaringan multimedia. Banyak bentuk-bentuk kreativitas lainnya yang dapat dibangun menuju apresiasi yang berbentuk proses berskala besar. Ketika telah lebih satu dasawarsa sastra memasuki jagad baru, akankah proses kreativitas pelaku sastra juga telah siap?


Rumah Politik untuk Seni Budaya

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 27 Mei 2009 | Mei 27, 2009

Apakah seniman, sastrawan dan makhluk sejenisnya masih bisa dijamin independensinya dalam ranah politik? Adalah hak setiap individu termasuk seorang seniman mengekspresikan diri untuk sebuah pilihan politik. Pilihan politik bisa diam-diam ataupun terbuka. Adakah yang menyentak dari penampilan WS Rendra yang baca puisi di acara deklarasi Mega-Prabowo di Bantar Gebang Jakarta? Siapa saja tidak berhak memprotes ketika seorang budayawan sekelas Ishak Ngeljaratan hadir di acara deklarasi JK-Win di Makassar. Semuanya sah dan halal-halal saja. Tapi saya merasa aneh dan ganjil. Akibatnya saya memindahkan channel televisi ketika WS Rendra berorasi menyatakan dukungannya lalu baca puisi.

Tidak ada pertanyaan dengan tanda tanya besar dengan huruf tebal di sana. Kecuali mungkin sisa tanya tentang biaya setengah milyar hanya untuk deklarasi di atas pemukiman pemulung sampah Bantar Gebang. Setengah milyar rupiah yang bisa saja menusuk hati orang-orang miskin yang menyaksikannya melalui layar kaca. Apalagi bagi para wong cilik sendiri yang kebetulan hadir di sana. Begitu perih? Pasti. Ironis dengan konsep perjuangan wong cilik Mega-Pro. Terlebih dengan deklarasi SBY-Boediono yang menghabiskan lebih satu milyar rupiah. Bayangkan jika uang sebesar itu disumbangkan kepada kaum dhuafa. Lalu deklarasi cukuplah dilakukan di tempat sederhana.


Tiba-tiba
kita menemukan tanah air yang berbeda di hari ini. Sebuah delarasi ternyata memerlukan juga sebuah puisi yang bisa dibolak-balikkan sesuai momen oleh seorang WS Rendra. Politik ternyata membutuhkan seorang penyair besar yang sejak orde baru dikenal independen dan tak berpihak itu. Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar dibacakan Rendra hanya karena tercantum nama Bung Karno di sana? Bisa jadi agar ada stimulan bagi rakyat yang menyaksikannya. Tidak ada tanya tentang independensi seorang seniman, budayawan dan masa depan seni itu sendiri. Padahal belum ada bentuk jelas dari desain rumah politik bagi seni budaya di tanah air ketika seniman dan budayawan terang-terangan berkampanye untuk capres tertentu.

Sangat rumit untuk memastikan sikap manakah yang paing ideal bagi seniman. Di satu sisi ada nuansa yang unik ketika seniman terkenal dikenali oleh rakyat sebagai simpatisan capres tertentu. Bisa jadi ada nilai tambah atau sebaliknya justru menjadi bumerang. WS Rendra berhak memproklamirkan pilihan politiknya. Itu adalah pendidikan politik yang bagus. Lalu bagaimanakah dengan proyek idealis dari seorang Rendra untuk mencerdaskan bangsa melalui seni budaya? Saya sendiri masih bingung.
Jika seorang Rendra saja bisa pikun dan siapa tahu telah kehilangan cita rasa kebudayaan, nah apalagi dengan yang lainnya.

Sastra Dunia, Defenisi Linglung!

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 26 Mei 2009 | Mei 26, 2009

Istilah "Sastra Dunia" atau "Weltliteratur" pertama kali dipopulerkan oleh Wieland, seorang sastrawan Jerman. Kata "welt" dikaitkan dengan konteks budaya dunia yang mengarah pada sastra yang mungkin saja bisa dikenal dunia. Mungkin sangat penting bagi para ahli untuk kembali mendefenisikan istilah "Sastra Dunia". Masalahnya sastra dunia kini tidak sesempit pada susastra atau karya klasik. Ribuan karya sastra pada hari ini bukan lagi sekedar aliran tapi telah melewati sekat-sekat geografis bahkan garis demarkasi.


Seorang penyair lainnya, Goethe pernah mempopulerkan "Sastra Multikultur." Goethe mengidamkan sebuah proses interaksi peleburan antara Barat dengan Timur. Mungkinkan Goethe mengharapkan Barat menengok ke Timur untuk menggali udara sejuk? Kegersangan spiritual di Barat mungkin terangsang untuk menjelajahi pencerahan pada kedalaman spiritual Timur.


Sastra Dunia, kini defenisinya menjadi linglung. Seorang teman bahkan pernah mengajak bertaruh dengan siapa saja sdasrawan Indonesia yang dikenali dunia. Kebetuan dia memiliki sebuah blog sastra yang mempunyai traffic tinggi. Sebenarnya hanya bersisi esai dan puisi-puisi iseng, menurut pengakuannya. Tapi blognya dikunjungi oleh puluhan bahkan mungkin ratusan pembaca dari luar negeri dalam sebulan. Jujur, blognya lebih banyak dikenal di luar negeri daripada karya Pramoedy Ananta Toer!
Padahal Pramudya Ananta Toer adalah sastrawan yang dikagumi dunia. Karyanya sudah banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Benarkah syarat dari sastra dunia adalah sastra yang harus diapresiasi dunia, telah pernah memperoleh nobel sastra, atau selalu dibicarakan dalam berbagai bedah buku di barat dan di timur?






Sastra Islam: Panglima Pencerahan!

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 25 Mei 2009 | Mei 25, 2009


Hampir semua orang menulis dengan dasar keyakinan agama yang dianut, lingkaran sosial, budaya,dan sejarah di sekitarnya. Seorang penulis yang mengakrabi lingkup sosial, budaya, dan sejarah yang bernuansa Islami, dipastikan karyanya tidak jauh dari kesehariannya.
Semua genre dan aliran sastra melakukan dakwah dengan cara dan ideologinya masing-masing. Bentuk propagandanya berbeda-beda tapi sama-sama estetis.

Ketika muncul manifesto kebudayaan yang melawan Lekra yang realis sosialis di masa orde lama maka banyak tudingan bahwa kaum manifestan adalah penganut prinsip humanisme universal dan bermoto lart pour lart, seni untuk seni. Ketika muncul puisi sufi, sastra religius dan sastra tasawuf maka orang manggut-manggut memahami bahwa itu dakwah islam dalam bentuk sastra.

Penulis sendiri masih meyakini bahwa sastra bukan anak kandung dari estetika, tapi dilahirkan oleh agama, teologi, konsep ketuhanan dan keyakinan. Estetika hanyalah sekedar bawaan alamiah yang dari bawah sadar. Biasnya, sastra adalah tetap produk proses untuk mempresentasikan identitas agama atau sosial politik dan budaya. Bagi Islam, manakala ajakan dan ajaran bermuatan dakwah maka itulah dakwah Islam. Jika sastra berdakwah meski dengan gayanya yang khas, sastra itu tetaplah dakwah. Pemikiran seperti itulah barangkali yang agak menyengat bagi penganut sastra untuk sastra, lart por lart, atau sastra murni.

Sastra islam tidak mengharuskan ada embel-embel sajadah, kopiah, santri dan termin-termin sempit semacamnya. Penyempitan substansi dakwah inilah yang agaknya masih rumit diimplementasikan oleh mereka yang ingin terjun total ke sastra dakwah. Tapi lihatlah Muhammad Iqbal, sastrawan termasyhur dari dunia islam. Iqbal yang ketua Liga Muslim yang turut membentuk negara Islam Pakistan dan berpisah dari India itu menulis antologi Pesan-Pesan dari Timur dan tak terhitung lagi karyanya yang sastra islami, tapi cair dan diterima di Barat sekalipun. Kahlil Gibran yang berdarah Yahudi pun diterima dengan manis oleh generasi muda islam. Persoalan cairnya sebuah karya mungkin saja adalah hal tersulit tapi cairnya karya menjadi wajib jika ingin diterima. Karya sastra masih akan berfungsi menghibur dan mendidik. Dengan fungsi itu karya sastra tetap mampu menyelinap sebagai katarsis untuk pembersihan jiwa. Di celah peradaban, sastra islam adalah tetap panglima pencerahan.

praliterasi versus postliterasi.

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 24 Mei 2009 | Mei 24, 2009


Sebelum terbit di media cetak maka pasti ada seleksi redaksi yang kita kenal sebagai praliterasi bagi sebuah karya sastra maupun bentuk tulisan lainnya. Sejak dulu tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari seleksi ketat sang redaktur sebuah media cetak. Tapi hari ini jika ada yang menganggap media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membentuk seseorang menjadi sastrawan maka itu opini yang menyesatkan. Akan muncul resistensi.

Sastra adalah dunia imajiner yang bebas diinterpretasikan oleh siapapun. Persoalan sastra cetak dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra cetak selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Siapa saja bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan karya-karyanya. Pembaca koran misalnya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan pelengkap kolom-kolom dan rubrik konvensional. Berbeda dengan sebuah blog gratisan di mana updating bisa saja dilakukan setiap detik. Seorang penggemar puisi tidak perlu menunggu seminggu lamanya untuk bisa membaca sebuah puisi terbaru.


Kini hampir setiap orang bisa mempublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Karya sastra atau apapun yang berbau sastra secara online di ratusan bahkan ribuan blog yang gratisan bisa dijumpai setiap detik. Bicara masalah kualitas? Sastra cyber sesungguhnya dilahirkan dari kepekaan nurani, hasil kreativitas yang mengembara jauh dan malah ada yang berdarah-darah. Mereka tidak harus dicurigai sebagai makhluk hipokrit yang menuruti kepuasan selera dan sekadar memperturutkan liarnya imajinasi di rimba hitam gelap dunia maya.


Nasionalisme, Sastra dan Kemungkinan Baru

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 23 Mei 2009 | Mei 23, 2009

Nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumur gagasan yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Nasionalisme menjadi unik dan menarik ketika mengembara ke dalam ranah seni dan budaya. Sebahagian di antaranya menjadi propaganda. Sastra, salah satu ranah subur bagi nasionalisme manakala anak-anak bangsa sangat membutuhkan literatur yang mampu mencekoki otak mereka tentang paham -paham kebangsaan.

Banyak karya sastra dunia yang membicarakan nasionalisme. Karya-karya semacam Nyanyian Lawino (Okot P Bitek, Afrika Selatan), dan A Woman Named Solitude (Andre Schwarz-Bart, Perancis), Nolimetangere (Yoze Rizal, Philipina), Dr Chivago (Boris Paternact), The Banished Negroes (Wordsorth, Perancis), Ourika (Claire de Durass, Perancis). Di Indonesia pun tak terhitung jumlahnya karya sastra yang bermain di wilayah nasionalisme. Ada sedikit perbedaan dengan yang terjadi di Indonesia. Idealisme di satu sisi sesuai zaman yang memang menuntut keberanian. Tapi heroisme sastra terbukti tergerus saat nasionalisme dicomot sesuai rezim siapa yang sedang berkuasa.


Chairil Anwar, Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan Indonesia dari zaman yang berbeda namun bisa ditelusuri nafas nasionalisme dalam karya mereka. Tentu berbeda caranya dengan sejarawan, negarawan, atau politikus. Dan pemikiran mereka berikut cara ungkapnya akan menjadi pembanding yang menarik, bahkan bisa sebagai wacana tandingan bagi arus-arus pemikiran yang berkait dengan persoalan nasionalisme. Nasionalisme adalah cara menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa. Moralitas sastra menjadi penentu kadar apakah sebuah karya layak bernafas nasionalisme yang direkayasa atau tidak.

Sastra yang mencomot ideologi nasionalisme sebenarnya bukan hal baru bagi kesusastraan dunia. Lebih ekstrim dari itu bahkan nasionalisme dalam sastra kini tengah menuju kepada pemahaman baru bahwa nasionalisme bukan saja terdiri dari Indonesia tapi lebih besar dari itu. Nasionalisme kini mulai dipahami sebagai universalitas dunia yang mengglobal. Persoalan-persoalan bersama di tengah berbagai nation menggerakkan idealisme sastra yang baru. Mereka tengah menuju ke arah itu. Mungkin tak akan ada lagi sastra yang terpencil? Jawabannya terletak di kepala para sastrawan sendiri. Selama mereka mau membuka diri dan membuka ruang bagi segala kemungkinan baru.

Kudeta Sastra

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 22 Mei 2009 | Mei 22, 2009

TAPI

aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih

aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya

aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma

aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski

aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi

aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir

aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau

tanpa apa aku datang padamu
wah!

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981

BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?

batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

HERMAN

herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa

di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

TANGAN

seharusnya tangan bukan hanya tangan tapi tangan yang memang tangan tak cuma tangan tapi tangan yang tangan pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam

seharusnya tangan bukan segumpal jari menulis sia se kedar duri menulis luka mengusap mata namun gerimis tak juga reda

walau lengkap tangan buntung walau hampir tangan bun tung walau satu tangan buntung walau setengah tangan buntung yang copot tangan buntung yang lepas tangan buntung yang buntung tangan buntung

segala buntung segala tak tangan hanya jam yang lengkap tangan menunjuk entah kemana

1976

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1

WALAU

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu

walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah

1979

Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981 1


Puisi-puisi Sutardji adalah magma tersendiri dalam jagad sastra Indonesia. Penulis tak akan menyentuh tentang puisinya yang kata orang adalah puisi mantra. Penulis hanya ingin menuliskan sebuah puisi berisi dua kata kepada Sutardji Calzoum Bachri (entahlah jika kebetulan dia sempat menemukan blog dan tulisan ini):

Kakek Tardji

kudeta

sastra

!?

Bulukumba, 22 Mei 2009


Penyair berwajah brewok ini pernah memproklamirkan diri sebagai presiden penyair Indonesia pada dekade 1980-an. Sungguh, dia sebongkah ide bagi siapa saja yang pernah belajar puisi atau sekedar pernah mampir di buku sejarah puisi tanah air. Sutardji pernah mengkudeta makna kata hingga kata terbebas dari belenggu makna. Bisa dipastikan, perbuatannya bukan termasuk subversif.


Sutardji menggali mantra dari rahim bumi nusantara. Lahirlah puisi-puisi mantra. Tidak terlalu banyak orang yang suka dengan puisi Sutardji. Juga tak ada mantra untuknya dari penyair angkatan muda. Itu pasti, Barangkali ada juga beberapa orang anak muda yang pernah menganyam sebait pengharapan bercampur kegamangan: kapan lagi ada kudeta sastra seperti yang pernah dilakukan kakek Tardji?


Puisi Laci

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 21 Mei 2009 | Mei 21, 2009


Orgasme (mengenang reformasi)

reformasi adalah orgasme dari persetubuhan poligamis bangsa dengan kebenaran, kejujuran, keadilan

tapi tak ada cinta
tak ada nafsu birahi

semenjak akad nikah mei yang lalu
sang istri
--kebenaran, kejujuran, keadilan itu--
tak pernah merasakan dekapan mesra sepenuh jiwa
kesepian dalam lembaran-lembaran teks pidato
yang diucapkan dengan berapi-api
penuh janji-janji

sang suami lebih senang serong
berselingkuh dengan pelacur-pelacur jalanan
rumah tangga jadi berantakan
sarat perselisihan dan sengketa

sekawanan gagak mengendus bau darah pembantaian
siap berpesta dengan menu bangkai
anak bangsa yang sia-sia

reformasi adalah orgasme yang nikmat
namun tak mungkin tercapai
tanpa persetubuhan dengan nurani


Puisi di atas adalah karya Muhammad Amri. Dia salah seorang penyair yang berani mengakui bahwa puisinya mungkin hanya layak disimpan dalam laci. Dia bahkan menyebutnya memang sebagai puisi laci. Sebelum itu ditolak oleh media cetak dan lalu memlih dikuburkan di sebuah blog. Puisi di atas adalah salah satu puisi yang akan dibacakan dalam Ekspresi, program sastra dan budaya di RCA 102, 5 FM pada edisi Minggu, 24 Mei 2009.


Puisi laci bisa dibayangkan sebagai sebuah benda berharga sebab dia diletakkan di tempat yang aman. Tapi tidak semua orang belum tentu dapat melihat atau menikmati. Di suatu waktu, di sebuah tempat, mungkin tiba-tiba saja muncul. Ada yang muncul dengan sederhana. Namun, biasanya menghardik. Puisi laci, siapa tahu ada yang terlupa di dalam rumah atau kamar kita selama ini? Hari ini, hari di mana Soeharto meletakkan jabatan pada 21 Mei 1998 lampau. Seperti puisi laci, pasti masih terlalu banyak yang tersimpan diam-diam. Tidak ketahuan oleh orang banyak di tengah bangsa ini. Sejarah bergerak. Diam, adalah juga bagian sejarah.



Kebangkitan Nasional ataukah Rasional?

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 20 Mei 2009 | Mei 20, 2009


Dengan gigihnya seorang ulama bernama KH. Firdaus AN bersikukuh dengan pendiriannya bahwa tanggal 20 Mei bukan kebangkitan nasional karena katanya, “Budi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. 

"BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya,” tegas KH. Firdaus AN.

Kilas balik jauh ke zaman lampau. BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya. 


Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka.

Lalu siapakah yang benar? Sebahagian ahli berpendapat bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya diperingati setiap tanggal 16 Mei. Wallahualam. Nampaknya para ahli sejarah memiliki tugas berat untuk menelusuri kebenarannya. Sebagai salah seorang anak bangsa yang kebetulan tidak pernah mengalami zamannya Budi Oetomo, penulis sendiri bingung.

Seorang teman chatting dengan penulis ketika online di facebook. Ada sedikit tema tentang Hari Kebangkitan Nasional. Teman saya berkata,"Buat apa mempersoalkan kapan hari tepatnya? Yang seharusnya dipersoalkan dan dipikirkan adalah sudah sejauh manakah makna dan aplikasi dari Hari Kebangkitan Nasional itu? Malah saya punya ide untuk mengubah namanya menjadi Hari Kebangkitan Rasional. Agar bangsa ini lebih rasional dalam berpikir dan menyelesaikan persoalan-persoalan besar. Sosial, politik, seni budaya, ekonomi dan macam-macam lagi."

Puisi Pamflet di Bulan Mei

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 19 Mei 2009 | Mei 19, 2009

Sikap kepala batu para anggota DPR RI menjelang lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998 memantik reaksi keras di mana-mana. Mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia menduduki gedung MPR/DPR RI kala itu. Harmoko sang ketua DPR masih enggan untuk mengabulkan permintaan kaum reformis untuk segera memaksa Soeharto menanggalkan jabatan presiden. Tak ketinggalan, kalangan penyair angkat bicara. Di berbagai arena demonstrasi selalu saja puisi-puisi perlawanan ditulis dan dibacakan dengan sangat kerasnya.

Sebab batu harus dilawan dengan air maka WS Rendra menulis pamflet Sajak Di Bulan Mei 1998:

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja/ Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan /Amarah merajalela tanpa alamat /Kelakuan muncul dari sampah kehidupan/ Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah O, zaman edan! O, malam kelam pikiran insan!/ Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan /Kitab undang-undang tergeletak di selokan /Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja! /Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara /O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! /O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! /Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada/Ratu Adil itu tipu daya! /Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara/ Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya / Wahai, penguasa dunia yang fana!/ Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta! /Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? /Apakah masih akan menipu diri sendiri?/ Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan!/ Cadar kabut duka cita menutup wajah /Ibu Pertiwi Airmata mengalir dari sajakku ini. (Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)


Para mahasiswa yang aktif turun ke jalan pada masa itu pasti juga sangat akrab dengan puisi-puisi perlawanan yang dibacakan kawan-kawan mereka, para penyair kampus di tengah aksi orasi. Gaya, bahasa, tema dan tujuan semuanya sama. Satu kata, turunkan Soeharto, tumbangkan orde baru. Isinya lebih mirip semacam pamflet. Mungkin bukan suatu kebetulan. Puisi pamflet yang dipelopori Rendra telah sejak lama menginspirasi penyair-penyair muda di kampus-kampus. Banyak di antara karya mereka yang hanya bisa dinikmati di mading fakultas ataupun koran kampus. Rezim orde baru yang represif mengakibatkan karya sastra mahasiswa yang beraliran keras hanya berceceran di kampus-kampus. Selebihnya di jalanan saat mereka turun berdemo.

Jauh setelah masa itu, setelah kebebasan berekspresi lebih memungkinkan dieksplorasi justru puisi-puisi pamflet kini jarang ditemukan di mading fakultas. Penerbitan koran dan majalah kampus lebih banyak memuat karya-karya sastra yang agak lebih jinak. Ada apa dengan perubahan? Tapi syukurlah kalau begitu, mungkin artinya negeri ini benar-benar sudah menuju perubahan.




Seniman Sulsel

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 18 Mei 2009 | Mei 18, 2009

Setelah membaca tulisan pada Daftar Nama sastrawan Indonesia, seorang teman mengernyitkan kening. Dia bertanya dengan agak gelisah,"Kapan-kapan tulis juga dong tentang daftar sastrawan Sulawesi Selatan." Saya berusaha meluluskan permintaannya. Agak berat juga sebab referensi tentang itu memang langka. Kelangkaan itu karena dua hal. Pertama karena memang jumlahnya sedikit. Kedua karena memang banyak tapi tidak pernah terkoordinasi dengan tepat. Paling cuma sekelebatan makhluk bernama Celebes Award atau apalah namanya.

Di depan teman yang gelisah itu saya mencoba mengingatkannya akan beberapa nama seniman, sastrawan dan budayawan yang mungkin juga pernah hinggap di kepalanya. Basri Baharuddin Sila dari Bone, seorang seniman musik, Andi Abu Bakar Hamid (seniman tari), Mike Turusi dari Tator (perupa), Badaruddin Amir dari Barru (sastra), Ahmad Dharsyaf Pabottingi dari Bulukumba (seni teater).

Sementara yang berdedikasi di bidang kebudayaan, bisa disebut Andi Anton Pangerang dari Palopo, H A M Ali dari Bone, AM Mappasanda dari Enrekang, Anwar Ibrahim dari Makassar, Drs Muhannis dari Sinjai, dan Akhyar Anwar.

Mungkin masih banyak lagi. Saya masih mencoba menguras ingatan tapi teman di hadapan saya terlanjur menguap karena mengantuk. Mungkin dia juga tak akan menyangka bahwa perbincangan kecil itu bahkan telah memproduksi sebuah ide kecil untuk mencoba mengabsen mereka yang masih tersisa di Sulawesi Selatan. Seniman dan budayawan yang pernah memperoleh Celebes Award, hampir pasti tak dikenali atau kurang dikenali oleh sekampungnya sendiri. Teman itu pernah bertanya dengan nada gusar,"Sebenarnya siapakah paling yang berhak untuk mendefenisikan bahwa seseorang adalah seniman?" Giliran saya yang mengantuk setelah mendengar kegusarannya.


..:: Berita Lengkapnya ::..

Daftar Nama Sastrawan Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 17 Mei 2009 | Mei 17, 2009

Sebuah pagi beranjak dengan ayunan langkah kecil anak-anak dusun menuju sekolah. Matahari perlahan meninggi. Seseorang dari gerombolan bocah berseragam putih merah itu tiba-tiba mampir di beranda rumah dengan senyum malu-malu. "Om bisa bantu saya nggak?"suaranya sedikit tersipu dengan rambut masih basah. Khas anak dusun yang pasti selalu mandi pagi di pancuran. Dia lalu memaparkan dengan singkat maksudnya pagi itu. Lalu saya bergegas ke belakang. Berselang beberapa menit saya keluar lagi dengan selembar kertas hasil print berisi daftar sastrawan Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah.
Pagi itu saya agak tercenung dengan kejadian kecil itu. Bukan lantaran telah berhasil menyelesaikan kewajiban membantu sesama apalagi menolong seorang anak bangsa. Bahkan dalam pikiran saya tadi pasti sahabat kecil itu bisa saja dihukum oleh gurunya jika ketahuan tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah dengan mengumpulkan daftar nama sastrawan Indonesia. Saya tertegun sebab saya menyadari kemampuan diri yang belum tentu bisa menyamai keberanian anak kecil itu. Entah ilham darimana pula dia tiba-tiba meminta bantuan saya. Bahkan, jujur saya sendiri sudah banyak lupa dengan nama-nama sastrawan penting bangsa ini. Sebaliknya bocah kecil itu masih punya daya hapal kuat yang mampu mengisi memorinya otaknya dengan pengetahuan tentang sastrawan tanah air.
Dengan secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok mulailah saya menjelajahi isi kopian kertas yang berhasil diperoleh bocah itu pagi tadi.
Inilah daftar sastrawan Indonesia


Penyair Indonesia

Cerpenis

Novelis

Kritikus/Eseis

Matahari meninggi. Sejak kejadian kecil pagi itu semakin bermunculan gelembung-gelembung ingatan saya terhadap puluhan sosok yang menancapkan tonggak penting di pelataran sastra tanah air. Namun masih terlalu banyak yang tak kunjung berhasil saya transfer ke dalam otak tentang biograpfi, sepak terjang, asal usul dan siapa saja mereka itu. Mereka dari sastra cetak, tentunya. Sebagian besar telah dikuburkan tapi tidak dengan karyanya. Siapa tahu ada seseorang yang mau membantu saya untuk mendapatkan daftar sastrawan cyber, sastrawan jalanan, sastrawan radio atau apapun namanya?

Referensi: *Wikipedia Bahasa Indonesia
*Pamusuk Eneste, 2001; Buku Pintar sastra Indonesia

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday