Latest Post

Kahlil Gibran di Makassar 6 Januari 2011

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 26 Desember 2010 | Desember 26, 2010


Seperti apakah penyair dalam pikiran Kahlil Gibran? Kahlil berkata dalam puisinya:

Suara Penyair
Berkah amal soleh tumbuh subur dalam ladang hatiku.
Aku akan menuai gandum dan membahagikannya pada mereka yang lapar.
Jiwaku menyuburkan ladang anggur yang kuperas buahnya dan kuberikan sarinya pada mereka yang kehausan.
Syurga telah mengisi pelitaku dengan minyaknya dan akan kuletakkan di jendela.
Agar musafir berkelana di gelap malam menemui jalannya.
Kulakukan semua itu kerana mereka adalah diriku.
Andaikan nasib membelenggu tanganku dan aku tak bisa lagi menuruti hati nuraniku, maka yang tertinggal dalam hasratku hanyalah : Mati! 
Aku seorang penyair, apabila aku tak bisa memberi, akupun tak mau menerima apa-apa.


Lalu seperti apakah Kahlil Gibran di benak para penyair dan para pesastra lainnya? 

Untuk menghargai hari besar, pesastra besar dunia Kahlil Gibran, maka tanggal 6 Januari 2011 pukul 19.30 Wita, bertempat di sebuah gedung di Makasssar, akan diadakan pagelaran pembacaan karya sastra yang dilaksanakan oleh Komunitas Bulan Sabit Jingga Sastra 09 UNM. Dirangkaikan dengan pameran karya Pesastra Makassar di antaranya karya pesastra Akhyar Anwar dan Andhika Mappasomba. Untuk reservasi tiket dan informasi bisa menghubungi Budiman Sukma 085242102600. Tempat terbatas hanya untuk 500 orang.


Ketika Puisi Disetubuhi Mantra

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 Desember 2010 | Desember 23, 2010

Bukan hanya sebagai negerinya pantun, Indonesia juga negerinya mantra. Penyair mantra, Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu nama yang paling akrab dengan wilayah itu. Bahkan dalam salah satu kalimat dalam "Kredo Puisi" nya yang terkenal Sutardji mengatakan, "Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera."

Dalam Bahasa Sansekerta mantra atau mantera berarti pesona. Di pesisir timur Sumatra Utara yang didiami orang kampong dikenal beratus-ratus mantra yang dipergunakan untuk pengobatan atau kegiatan harian lainnya. 

Dari beratus mantra inipun seluruhnya berbentuk puisi yang mempunyai kekuatan. Puisi mantra ini diciptakan langsung oleh "mambang", "jembalang". Misalnya penggalan mantra yang digunakan mambang laut agar nelayan tetap sehat dan tangkapan ikannya melimpah:

Assalamualaikum/ Aku kirim salam kepada jin tanah/ Aku tahu asalmu/ Kau keluar dari air ketuban/ Bukan aku melepas bala mustaka/ Sang Kaka Sang kipat/ Melepas bala mustaka

Atau mantra untuk penawar bila orang yang tersengat racun hewan:

Aku tahu asal mulamu/ Bisa darah haid siti hawa/ Surga akan tempatmu/ Cabut bisamu/ Naikkan bisa tawarku 


Oleh Sapardi Djoko Damono, dalam bukunya "Mantra Orang Jawa" mantra-mantra orang Jawa ini dituliskan kembali menjadi puisi-puisi. Ini adalah wilayah eksplorasi kreativitas Sapardi di mana semua mantra-mantra ini dihadirkan kembali dalam bentuk kemasan puisi. 

Beberapa puisi yang  dikemas Djoko Damono, seperti berikut ini:


BISMILLAH

Bis: kulit
Mil: daging
Lah: tulang

Alrahman
Alrahim:
sepasang mata
kiri dan kanan

DEFINISI

Ashadu: rasa pun turun
Ilaha: hakikat rasa
Illalah: rasa pun menyawa

Mohammad sebagai ujud
Allah hakikat hidup

Di masyarakat Batak, mantra disebut Tabas, yang bermakna luas sebagai permohonan. Tabas-pun berbentuk bait-bait puisi (umpasa).

Di dalam masyarakat Jawa. mantra dipercaya mengandung kekuatan dan semangat supranatural. Ronggowarsito, misalnya, dalam kesusastraan Jawa di abad 19 cukup banyak menulis mantra dari tradisi lisan (tutur) yang ada di masyarakat Jawa. Bahkan mantra juga digunakan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam karena orang Jawa pada waktu itu tidak lazim membaca teks kitab agama, sehingga agama diajarkan menggunakan tembang, kidung, atau kesenian rakyat seperti wayang kulit, ludruk, ketoprak, dan lain sebagainya, dalam hal ini mantra juga disisipi ajaran agama.



Dewan Ketahanan Budaya Sulsel 2011

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 Desember 2010 | Desember 18, 2010


Rencananya pada 2011 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan membentuk dewan ketahanan budaya guna melestarikan budaya khas Sulsel. Pembentukan dewan ketahanan budaya ini juga merupakan bentuk apresiasi terhadap kebudayaan di Sulsel yang menunjukkan identitas diri dan memiliki nilai yang sangat tinggi, seperti dikutip dari lama RCA FM.
Keberadaan dewan ketahanan budaya ini nantinya dapat menjadi sarana sekaligus media untuk memelihara dan menjadi pusat kebudayaan di Sulsel. Selama ini tidak adanya wadah yang menjadi induk kebudayaan membuat kecenderungan semakin terancamnya budaya Sulsel, tidak hanya di mata masyarakat dunia, melainkan juga masyarakat Sulsel sendiri.

Di belahan bumi manapun berada, masyarakat tidak mungkin mengisolasi diri dari kemungkinan interaksi kebudayaan maupun pengaruh ideologi atau informasi dari luar. Untuk dapat tetap bertahan dalam pergaulan global diperlukan ketahanan yang diharapkan akan menjadi fondasi untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual, memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, serta untuk identitas daerah itu sendiri. 

Kearifan-kearifan lokal dapat menjadi landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional yang sering kali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Misalnya, dalam bahasa, seni dan bahkan teknologi yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Tersisa satu pertanyaan yang akan sering mengusik di masa-masa yang akan datang, mampukah dewan ketahanan budaya lebih sigap dibanding dewan kesenian?

La Galigo Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 Desember 2010 | Desember 15, 2010


Karya sastra terpanjang di dunia dan terbentang sepanjang zaman, I La Galigo yang merupakan warisan budaya Bugis-Makasssar, diusulkan untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia. 


Proses pengusulan I La Galigo ini sudah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu, dan diajukan melalui dialog ilmiah dengan Memory of the Word (MOW) Unesco. 

Hasil dialog ilmiah tersebut diajukan ke tingkat nasional dan kemudian diajukan lagi hingga ke tingkat internasional. I La Galigo sendiri merupakan salah satu warisan budaya yang diusukan bersama dengan dua warisan budaya Babad Diponegoro dari Pulau Jawa dan juga Mak Yong dari Kepulauan Riau.

Budayawan Sulawesi Selatan, Dr Mukhlis Paeni mengatakan, sastra I La Galigo layak untuk mendapatkan penghargaan secara internasional. Penghargaan sebagai warisan budaya dunia ini, kata dia, menunjukkan bahwa I La Galigo tidak hanya menjadi milik masyarakat Sulsel, melainkan juga masyarakat internasional.  Tidak ada yang bisa membantah bahwa I La Galigo merupakan warisan sejarah yang sangat besar, baik dalam konteks budaya, sejarah, sastra, dan nilai-nilai kemanusiaan. I La Galigo sebagai produk budaya bisa menjadi sarana pengembangan nilai serta karakter bangsa. 

Menurut dia, pengusulan I La Galigo untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia menjadi sangat penting di era ekonomi kreatif dan juga industri budaya yang semakin berkembang.  Budaya harus juga bisa dikelola sebagai mata tambang yang bisa menambah khasanah kehidupan masyarakat.
 
Dr Mukhlis Paeni juga mewanti-wanti,  perlu pengawalan serius untuk bisa mewujudkan I La Galigo menjadi salah satu warisan budaya dunia, mengingat sangat banyak warisan budaya dari negara lain yang juga diusulkan. 



Sastra Makassar

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 09 Desember 2010 | Desember 09, 2010

Masyarakat Etnik Makassar sejak berabad-abad lalu mengenal berbagai sastra lisan baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang  dalam bentuk prosa maupun puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik.

Beberapa sastra prosa dinamakan sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan cara dinyanyikan karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi diberi nama kelong yang secara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.

Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).

Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong sekarang ini di atas 70 tahun dan hanya mewariskan kepada beberapa orang generasi muda. Hal inilah menggugah perhatian kami untuk melakukan penelitian/perekaman agar sastra lisan ini dapat dipertahankan keberlanjutannya dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakatnya dewasa ini

Selain sastra Royong, manusia Makassar sejak zaman dahulu mengenal bahasa berirama semacam pantun, bukan hanya suku lain saja seperti Padang. Seorang penulis, HM. Siradjuddin Bantang  dalam buku "Sastra Makassar" mengungkapkan orang Makassar menggunakan sastra tersebut sebagai bahasa sehari-hari, misalnya ketika ada seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis, biasanya keluarga pemuda tersebut mencari orang yang mampu bersilat lidah atau ahli pantun/sastra dan melantunkan bahasa kiasan atau tutur kata agar pinangannya diterima contoh beberapa sastra/pantun dalam bahasa Makassar dinamakan kelong yang dilantunkan seperti :

Niaka Anne Mammempo
Angerang kasi’ asikku’
Saba’ nia’na
Hajjakku lakkupabattu

(Saya datang menghadap
Membawa pengharapanku/rendah hatiku
Dikarenakan Adanya
Maksud ingin kusampaikan)

Kamase-mase kuerang
Toddongko rimangko kebo
Naki’ minasa
Nipaempoi kalabbirang

(Rendah hati kubawa
Kutaruh di mangkuk putih
Kami berharap
Didudukkan pada adat)


Orang Makassar di zaman dahulu khususnya orang tua rutin mendendangkan kelong atau pantun yang penuh pesan, pendidikan, petuah-petuah, tapi sekarang sudah tergerus oleh zaman.

Metafora Dalam Puisi Bugis

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 Desember 2010 | Desember 04, 2010

Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda atau perasaan dimana hubungan tersebut lebih bersifat abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Makna-makna tersembunyi dalam beragam puisi Bugis purba juga menjelaskan bahwa metafora telah digunakan manusia Bugis pada ribuan tahun lalu.

Sastra Bugis yang paling banyak dikenal mungkin hanya I La Galigo sebagai karya sastra terpanjang di dunia, Pappaseng dan lain-lain. Padahal masih banyak ragam sastra Bugis yang belum banyak dikenal. Salah satunya puisi Bugis yang terdiri atas beragam jenis. Salah satunya adalah elong maliung bettuanna, atau sajak-sajak yang menyimpan makna tersembunyi. Seorang sastrawan muda Makassar,  M Aan Mansyur telah melakukan riset atas sejumlah jenis puisi ini, dan mengajak kita menelusuri makna-makna tersembunyi di balik sejumlah elong.  

Selain La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia, mungkin tak banyak lagi karya sastra Bugis yang kita ketahui. Padahal, menurut Roger Tol dalam sebuah artikelnya, selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya sastra Bugis sangat menarik untuk terus diperbincangkan.

Meskipun secara harfiah,
satu jenis karya sastra Bugis adalah elong yang berarti ‘lagu’, tetapi dalam pembahasan sastra elong dimaksudkan sebagai satu jenis puisi.,Menurut Salim (1990:3-5) sedikitnya ada 14 jenis elong, yang bisa dibedakan menurut isi (keluarga, agama, nasehat dan hiburan), peristiwa (lulabi, perang, pernikahan, melamar, dll) dan kepelikan atau keanehannya (bentuk dan permainan bahasa). Contoh-contoh elong bisa ditemukan dalam beberapa buku yang ditulis oleh Muhammad Salim, Muhammad Sikki, Rahman Daeng Palallo, dan paling komprehensif ditulis oleh B.F Matthes.

Ada sebuah jenis elong yang belum banyak dibahas namun justru sangat menarik yaitu elong maliung bettuanna. Maliung sebenarnya berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’. Frase maliung bettuanna dalam jenis puisi ini berarti ‘susah ditemukan maknanya’. Dengan kata lain, puisi dengan makna tersembunyi (Palallo, 1968, 11:7).

Bukankah semua puisi memang menyembunyikan maknanya? Betul. Tetapi, ternyata ada yang berbeda dalam jenis puisi Bugis ini. Selain menggunakan simbol atau majas tertentu, jenis puisi ini menggunakan satu (permainan) bahasa yang disebut Basa to Bakke’ (yang tidak akan ditemukan dalam jenis puisi lain) untuk menyembunyikan makna. 

Secara harfiah Basa to Bakke’elong maliung bettuanna, Basa to Bakke juga ditemukan dalam puisi sejarah abad ke-20 Tolo’na Arung Labuaja (Tol, 1992, 148:85). berarti bahasa orang-orang Bakke’. Tetapi dalam pengertian puisi ini frase itu berarti permainan bahasa orang-orang Bakke’. Bakke’ di sini merujuk kepada Datu Bakke’ atau Pangeran (dari) Bakke’. Daerah Bakke terletak di Soppeng. Sang pangeran konon dikenal sebagai tokoh yang intelek dan sangat pandai berbahasa. Selain dalam  
 
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. 

Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih.

Tuntutan-tuntutan seperti itu relatif longgar pada genre sastra lainnya, semisal prosa (cerita pendek, novel) dan drama.
Perhatikan stanza berikut ini:

Kegaena na mumaberrekkeng,
buaja bulu’ede,
lompu’ walennae?
 
[Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?]

Sepintas lalu bentuk puisi ini mirip haiku, puisi tradisional Jepang. Namun ternyata ada beberapa hal yang membedakannya. Puisi (teka-teki) ini sesungguhnya ingin menyampaikan sebuah makna, yakni: ‘yang mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’ Bagaimana bisa sampai begitu?

Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki keunikan. Beberapa keunikan aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca ‘pa’, ‘ppa’, ‘pang’, ‘ppang’, ‘pa’’, atau ‘ppa’’. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam elong maliung bettuanna .

Dalam satu elong yang disebutkan tadi, langkah pertama untuk menyingkap maknanya telah dilakukan. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan. Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’ede dan lompu’ walennae. Buaja bulu’ede berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennae berarti ‘lumpur sungai’.

Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari pernyataan (frase) yang telah ditemukan. Buaja bulu’ede (buaya gunung) dalam puisi itu merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannae (lumpur sungai) merujuk kepada kessi’
Jika hanya sampai di sini, puisi itu berarti ‘yang mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tetapi bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Lalu bagaimana caranya agar tiba pada makna sesungguhnya? Kita masih membutuhkan satu langkah lagi. (pasir).

Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis ‘ma-ca’ dan ‘ke-si’.
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’ Luar biasa, kan? (pasir) sama dengan Perhatikan beberapa contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjekko,
Anre-anrena to Menre’e,
atena unnyie.
[Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.]

Puisi ini sesungguhnya berarti ‘aku mencintaimu’. Bagaimana bisa demikian? Gellang riwata’ majjekko merujuk kepada meng (kail), anre-anrena to Menre’e merujuk kepada loka (pisang) — konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan atena unnyie merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca melo’ ka ridi (aku mencintaimu).

Tiga lapis menyingkap makna itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; lapis pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan (bunyi). Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali kiasan itu; gellang riwata majjekko, anre-anrena to Menre’e, dan atena unnyie. Kiasan dari frase itu, secara berurutan masing-masing; meng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). 

Lapis kedua adalah bunyi meng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis selanjutnya, untuk menemukan makna, bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis ‘me’, bunyi loka ditulis ‘lo-ka’, dan bunyi ridi ditulis ‘ri-di’. Untuk menemukan makna elong semua bunyi itu dirangkai menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi melo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.

Jika disederhanakan rumus tiga lapis menyingkap makna sebuah elong maliung bettuanna
(1) frase ->(2) bunyi -> (3) makna. adalah:

Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’ede,
bali ulu bale.
 
[Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.]

Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya membencimu’, makna itu ditemukan dari rangkaian kata teng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi ‘te-a-wa-(r)i-ko’, aku tidak mau (benci) padamu. Frase elong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’ede, dan bali ulu bale. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah teng (teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi ‘te-a-wa-(r)i-ko’. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca teawa (r)iko (aku benci padamu).

Nah, berikut ini satu contoh lagi. Mari kita sama-sama mencoba menemukan makna dari elong tersebut.

Duami uwala sappo,
Wunganna panasae,
Na belo-belona kanukue.
 
[Dua saja pagarku,
bunga nangka,
dan cat kuku.] 

Wunganna panasae merujuk kepada lempu (bunga nangka) jika dituliskan memakai aksara Bugis, kata lempu (bunga nangka) tak berbeda dengan lempu’ (jujur) yaitu ‘le-pu’. Sementara belo-belona kanukuepacci (daun pewarna kuku) yang jika ditulis sama dengan paccing (bersih) yaitu ‘pa-ci’. Jadi sesungguhnya maksud bait pendek yang mirip haiku itu adalah: hanya dua yang aku jadikan benteng; kejujuran dan kejernihan. 

Selain puitis, elong maliung bettuanna juga kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak serumit yang kita duga. Jenis puisi ini betul-betul unik. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dahulu) menyembunyikan maksudnya. Dan tentu saja, alangkah kreatifnya mereka.


Permainan Bahasa  
Sesungguhnya ada pola-pola umum yang paling sering digunakan dalam permainan bahasa orang Bakke. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geografical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
1. Frase berhubungan dengan nama daerah Satu contoh frase untuk topik geografis adalah sebagai berikut:

Toddanna Tangka nataro,
toddanna Palangiseng,
nalao purai.
 
[Di sebelah utara Tangka dia letakkan,
di sebelah utara Palangiseng,
dia akan menyelesaikannya.]

Frase Toddanna Tangka merujuk kepada Lebureng yang juga bisa berarti ‘perawan’ dan frase toddanna Palangiseng merujuk kepada Baringeng yang jika disebut nyaris terdengar ringeng
(ringan, murahan). Elong itu kira-kira bermakna, ‘dia mengabaikan seorang perawan lalu menikahi pelacur’. Tangka, Lebureng, Palingeseng, dan Baringeng adalah nama-nama daerah.

Apakah manusia Bugis sejak zaman dahulu pandai menyembuyikan maksud? Metafora dalam puisi-puisi Bugis purba memang menjelaskan bahwa itu benar adanya.

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday