Latest Post

Daftar Nama Sastrawan Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 17 Mei 2009 | Mei 17, 2009

Sebuah pagi beranjak dengan ayunan langkah kecil anak-anak dusun menuju sekolah. Matahari perlahan meninggi. Seseorang dari gerombolan bocah berseragam putih merah itu tiba-tiba mampir di beranda rumah dengan senyum malu-malu. "Om bisa bantu saya nggak?"suaranya sedikit tersipu dengan rambut masih basah. Khas anak dusun yang pasti selalu mandi pagi di pancuran. Dia lalu memaparkan dengan singkat maksudnya pagi itu. Lalu saya bergegas ke belakang. Berselang beberapa menit saya keluar lagi dengan selembar kertas hasil print berisi daftar sastrawan Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah.
Pagi itu saya agak tercenung dengan kejadian kecil itu. Bukan lantaran telah berhasil menyelesaikan kewajiban membantu sesama apalagi menolong seorang anak bangsa. Bahkan dalam pikiran saya tadi pasti sahabat kecil itu bisa saja dihukum oleh gurunya jika ketahuan tidak mampu menyelesaikan tugas sekolah dengan mengumpulkan daftar nama sastrawan Indonesia. Saya tertegun sebab saya menyadari kemampuan diri yang belum tentu bisa menyamai keberanian anak kecil itu. Entah ilham darimana pula dia tiba-tiba meminta bantuan saya. Bahkan, jujur saya sendiri sudah banyak lupa dengan nama-nama sastrawan penting bangsa ini. Sebaliknya bocah kecil itu masih punya daya hapal kuat yang mampu mengisi memorinya otaknya dengan pengetahuan tentang sastrawan tanah air.
Dengan secangkir kopi susu dan beberapa batang rokok mulailah saya menjelajahi isi kopian kertas yang berhasil diperoleh bocah itu pagi tadi.
Inilah daftar sastrawan Indonesia


Penyair Indonesia

Cerpenis

Novelis

Kritikus/Eseis

Matahari meninggi. Sejak kejadian kecil pagi itu semakin bermunculan gelembung-gelembung ingatan saya terhadap puluhan sosok yang menancapkan tonggak penting di pelataran sastra tanah air. Namun masih terlalu banyak yang tak kunjung berhasil saya transfer ke dalam otak tentang biograpfi, sepak terjang, asal usul dan siapa saja mereka itu. Mereka dari sastra cetak, tentunya. Sebagian besar telah dikuburkan tapi tidak dengan karyanya. Siapa tahu ada seseorang yang mau membantu saya untuk mendapatkan daftar sastrawan cyber, sastrawan jalanan, sastrawan radio atau apapun namanya?

Referensi: *Wikipedia Bahasa Indonesia
*Pamusuk Eneste, 2001; Buku Pintar sastra Indonesia

Capres: dari Blog hingga Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 16 Mei 2009 | Mei 16, 2009

Pada kampanye pilpres 2004 di Amerika para pengguna internet pasti tak akan melupakan John Kerry. Kerry adalah capres pertama di dunia yang memusatkan salah satu media kampanye melalui blog. Walau pada akhirnya Kerry kalah tapi teman-temannya dari kalangan blogger tak berkurang malah bertambah. Kemudian Barack Obama juga ngeblog dan memasuki facebook. Hillary Clinton tak mau kalah meski kalah juga di pilpres dan akhirny digaet menjadi menteri luar negeri oleh Obama, pemenang pilpres.Itu di Amerika. Bagaimana di Indonesia? Jusuf Kalla pun punya blog. Capres lainnya pun juga mungkin punya blog. Entahlah. Sejak dulu banyak elite politik ngeblog. Yuzril Ihza Mahendra juga ngeblog. Amien Rais pun punya blog. Sederhananya, blog alias web-blog adalah catatan harian tentang apa saja yang dipublikasikan berkala melalui jaringan internet.

Blog menjadi pilihan sebab ia bisa menjelma menjadi media publikasi yang efektif. Blogger yang sastrawan, penulis, politisi, mahasiswa, sampai tukang kebun dan pemulung bisa memposting ide-idenya melalui blog dan bahkan dapat memiliki penggemar di internet.

Blogger yang politisi bisa melakukan banyak hal jika ia memiliki blog pribadi. Ia bisa menyajikan gagasan-gagasan maupun pandangan sikap atas peristiwa, kasus, atau isu yang sedang marak dibicarakan. Politisi yang ngeblog bisa menyajikan profil pribadinya, mempromosikan gaya hidupnya yang sederhana, memoar pengalaman hidupnya yang bisa memberi inspirasi, dan macam-macam lagi yang bisa menarik simpati dan perhatian. Blog bisa menjelma sebagai media kampanye politik untuk menggalang suara.

Bagi masyarakat di negara maju semisal masyarakat AS, blog sudah barang tentu bisa efektif. Internet singgah di setiap rumah bahkan merasuki usia dini. Bagaimana di Indonesia? Jumlah pengguna internet yang masih sedikit tentu adalah persoalan tersendiri. Tapi peningkatan jumlah pengguna internet setiap saat di Indonesia bisa jadi memang sudah dipikirkan oleh seorang Jusuf Kalla, misalnya. Mungkin ada pemikiran jangka panjang dari aktivitas ngeblog pak JK. Lebih dari sekedar postingan kampanye. Pasti sama dengan blogger lainnya ketika pertama kali ngeblog. Ada yang lebih luhur dari itu semua. Lagian,memang seorang capres tidak boleh sama sekali gaptek.

Selain tidak boleh gaptek ternyata para capres juga mencoba merambah dunia seni. Dunia yang satu ini tentu agak lebih mudah menembus masyarakat grassroot. Lumrah saja jika seorang capres mendadak menjadi penyair. Keesokan harinya malah bisa menjadi pemain piano di hadapan banyak orang. Bahkan ada politisi yang sempat menjadi pemain film semisal Yuzril Ihza Mahendra. Tapi, esensi kecintaan terhadap seni masih merupakan barometer untuk bisa menilai kedekatan seorang capres dengan seni. Ada sedikit kekhawatiran siapa tahu hanya kamuflase untuk menggaet kalangan pencinta seni tapi kemudian melupakan seni? Bangsa yang besar inilah yang bisa menilai calon pemimpin yang benar-benar tulus.





Ketika Sastra Menjadi Sunyi

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 15 Mei 2009 | Mei 15, 2009

Beberapa hari yang lalu ada yang sungguh terlupa dalam tulisan saya "Dari Cihampelas Hingga Sastra Sunda" yang merupakan sedikit oleh-oleh dari tanah parahyangan. Saya tidak sempat mencatat sedikit hal tentang geliat sastra di Bandung. Padahal beberapa bulan lalu tepatnya tanggal 25 Januari 2009 di Gedung Indonesia Menggugat Jalan Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, Majelis Sastra Bandung didirikan. Majelis itu ditegakkan oleh Matdon, seorang penyair sekaligus jurnalis bersama penyair muda lainnya yang sering malang melintang di tiap sudut kota Bandung. Pada hari itu juga dibuka temu ide dan bicara yang bertajuk "Menengok Tradisi Sastra di Jawa Barat."

Memang banyak Matdon-Matdon lainnya di banyak kota di tanah air. Matdon adalah contoh tipikal anak muda yang punya kegigihan untuk berbuat sesuatu yang dirasa sebagai penyelamatan seni, atau sastra pada khususnya. Ketika sastra dirasakan menjadi sunyi maka anak muda semacam Matdon akan muncul. Tapi tentunya siapapun tidak boleh berharap terlalu banyak akan selalu ada anak muda semacam ini. Jangan-jangan Matdon hanya terdapat di beberapa kota saja di tanah air.

Matdon melihat kehidupan sastra di kota Bandung telah berada pada titik menjemukan. Miskin apresiasi dan ruang diskusi. Karya-karya para penyair mudanya pun masih terhitung sedikit. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Kenyataan ini berbeda dengan ruang seni lain yang lebih aktif dan memiliki komunitas yang kuat serta infrastruktur yang bagus. “Situasi sastra kita yang menjemukan ini harus diubah. Penyair muda harus mau berdarah-darah untuk membuat sebuah karya,” kata Matdon. Maka ia bersama para penyair lain di kota Bandung mendirikan Majelis Sastra Bandung. Tujuannya sederhana saja, bahwa para penyair Bandung tak akan punya alasan kekurangan ruang apresiasi dan ruang bertukar pikiran.

Bilamanakah sastra menjadi sunyi? Yang jelas bukan ketika para sastrawan senior telah meninggal dunia semua. Sastra bisa jadi adalah tugu kematian di dalam sebuah festival, kampung budaya dan semacamnya jika memang sastra kebetulan hanya berupa ruh gentayangan. Secara fisik dia tak ada lagi. Tapi syukurlah, masih banyak yang mau berbuat seperti Matdon secara fisik. Bahkan mampu berdarah-darah untuk itu semua. Sastra di Indonesia tak akan menjadi sunyi selama masih ada anak-anak muda yang paling tidak tetap rajin menulis karya sastra meski tak kunjung dimuat juga oleh penerbit manapun. Yang tidak bisa disepelekan juga adalah sastra cyber yang sebahagian besar malah tak mau bergantung kepada sastra cetak sebab internet adalah rumah yang nyaman bagi mereka.

Bagaimana dengan anda? Tetaplah menulis di mana saja. Yakinlah selalu ada yang mau membaca karya anda. Dengan demikian sastra tak akan menjadi sunyi.




Gerakan Mahasiswa dan Bulan Mei

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 13 Mei 2009 | Mei 13, 2009

Di bulan Mei banyak momentum yang mesti jadi rute napak tilas bagi orang-orang yang selalu ingin mengevaluasi tentang apa saja yang telah dilakukan. Tulisan ini muncul disebabkan permintaan seorang teman yang kebetulan mantan aktivis mahasiswa di era 90-an. Katanya agak malas mencari referensi lain makanya ngotot untuk dibuatkan artikel seputar sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Saya bukan ahli sejarah tapi dari sumber beberapa buku akhirnya alhamdulillah tulisan ini selesai juga meski terlalu ringkas.

Di sebuah warung kopi saya dan teman itu berbincang dalam bahasa paling sederhana. Perbincangan tentang ke arah mana lagi wajah Indonesia setelah melalui begitu banyak episode gerakan mahasiswa? Kilas balik jauh beberapa tahun kebelakang kita mengenal angkatan gerakan kemahasiswaan dengan segala momentum sejarah kebangsaan di tanah air.



Gerakan Mahasiswa Tahun 1966


Dikenal dengan istilah angkatan 66, gerakan ini awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang sekarang berada pada lingkar kekuasaan dan pernah pada lingkar kekuasaan, siapa yang tak kenal dengan Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara. Apalagi Sebut saja Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) periode tahun 1999-2004.
Angkatan 66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakayat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) dari Presiden Sukarno kepada penerima mandat Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA (orde lama) dan berpindah kepada ORBA (orde baru). Angkatan 66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyaknya aktivis 66 yang duduk dalam kabibet pemerintahan ORBA.


Gerakan Mahasiswa Tahun 1972


Gerakan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Dan Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, catat saja tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.


Gerakan Mahasiswa Tahun 1980 an


Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004 beliau menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia / PSI).



Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an


Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).

Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang berbuat "over", bahkan tidak segan-segan untuk men-DO-kan. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah tok.
Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Maka jangan heran jika misalnya hari ini menyusun strategi demo, besoknya aparat sudah siap siaga. Karena banyak intel berkedok mahasiswa.

Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK, termasuk juga pada kegiatan TARPADNAS.

Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif Pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (pergerakan mahasiswa islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kristen Indoenesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung.


Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 21 mei 1998.

Gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang ada, kondisi dimana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama 32 tahun ! politisi diluar kekuasaan pun menjadi tumpul karena terlalu kuatnya lingkar kekuasaan, dan dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).

Gedung DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia, seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di Gedung Dewan ini, tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Sungguh aneh dan luar biasa, elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan : Turunkan Soeharto.
Yang menarik, beberapa tokoh senior alumnus perguruan tingg juga turun gunung.

Di Makassar misalnya, Jusuf Kalla yang alumni UNHAS yang akrab disapa kak Ical bahkan turun ke jalan bersama mahasiswa lainnya. Orasi-orasi dari Jusuf Kalla turut mewarnai gerakan mahasiswa Makssar kala itu. Kalangan budayawan, seniman dan profesional lainnya turut ambil bagian dalam masa itu. Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Tapi ternyata perjuangan masih panjang dan berliku sesudah itu. Gerakan mahasiswa tetap menampilkan ciri sebagai motor penggerak Pembaharuan dan kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat.


Namun terdapat perbedaan yang mencolok yakni penyikapan isu yang tidak sentral lagi, karena REFORMASI TOTAL belum tuntas dan aktivis angkatan 98 sudah melepas statusnya sebagai mahasiswa, serta mereka sudah tidak seidealis lagi ketika waktu masih menjadi mahasiswa di dalam menyikapi persolan bangsa, mereka sekarang sudah terjun kedalam dunia politik praktis dan tersebar di banyak partai pemilu sejak 2004 hingga pemilu 2009. Dulu mereka menggugat rezim orba tapi sekarang duduk dan bergabung dalam lingkaran opurtunis rezim orba. Ini sebuah realita perpolitikan di Indonesia. Siapa tahu di antara kita juga yang dulunya mengaku idealis mendadak menjadi seorang opurtunis ? Hati kecil kita yang mampu menjawabnya.

Dongeng di Masa Kecil

Tidak semua bocah di negeri ini bernasib beruntung pernah ditidurkan oleh ibunya dengan dongeng pengantar tidur. Kenyataan perubahan telah di depan mata. Kesibukan orang tua merupakan salah satu sebab lunturnya tradisi dongeng mendongeng di lingkungan keluarga.

Tidak salah jika terdapat gerakan pemurnian untuk kembali ke masa kejayaan dongeng yang dilakukan oleh beberapa komunitas dongeng di Indonesia. Mungkin banyak dongeng versi televisi tapi tetap saja belum mampu menggantikan keberadaan dongeng murni. Dongeng tidak sesulit yang dibayangkan serta mudah untuk dipelajari. Banyak ibu-ibu di tanah air yang kebetulan tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Sebahagian dari mereka malah buta huruf. Namun amat menakjubkan mereka mampu mendongeng dengan fasih, menarik dan teratur. Dongeng yang beragam itu mampu menghipnotis penikmatnya, yaitu anak-anak mereka yang memang membutuhkan sentuhan edukasi melalui cerita lisan.

Unsur pendidikan dalam dongeng sangat mudah terekam kuat hingga penikmatnya beranjak dewasa. Mulai dari kisah si Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih hingga adukan fiksi-sejarah-islam semisal cerita Ali Bin Abi Thalib yang mempunyai kekuatan super. Perlukah modifikasi dongeng di dalam kenyataan perubahan saat ini? Mungkin belum perlu sebab komunikasi intens antara orang tua dan anak yang semakin menipis justru disebabkan oleh frekuensi tradisi mendongeng di dalam rumah yang semakin pudar. Tengoklah kampung kita,
bahkan mungkin dongeng telah hilang sama sekali.

Puisi Demonstran

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 12 Mei 2009 | Mei 12, 2009


Kadang puisi bagi seorang demonstran adalah ibarat spanduk kata, alat pengeras suara untuk orasi, bahkan menjadi batu yang dapat dilemparkan kearah tank tentara ketika tak ada lagi celah untuk sebuah kompromi. Bagaimana pun puisi bagi demonstran di mana-mana di berbagai belahan dunia lainnya kerap masih jadi ritual intelektual di tengah-tengah aksi di bawah terik matahari.

Soe Hok Gie berteriak dengan sangat puitis dari dalam buku hariannya,"Lebih baik mati,daripada memperkosa kebenaran!" Demonstran itu mengecap romantisme perjuangan idealisme sebagai mahasiswa sejak orde lama hingga peralihan orde baru. Setiap zaman mencatat buku hariannya sendiri termasuk Soe Hok Gie. Sangat puitis dan realistis. Tapi tidak semua demonstran adalah penyair. Wiji Thukul berbeda dengan Soe Hok Gie. Rendra berbeda dengan Ronggowarsito.

Pada setiap angkatan muda yang memberontak di tengah berbagai bangsa yang menuntut perubahan, maka akan selalu ada puisi di samping berbagai bentuk seni lainnya. Keanehan yang sangat menarik untuk dikaji. Benarkah ada takdir bahwa estetika bahasa sastra yang bertema protes adalah pencerminan kompromi terhadap realitas yang tak mampu dilawan dalam tempo sekejap?

Sejarah membuktikan bahwa demonstran adalah mereka yang membangkang demi perubahan namun sesekali bisa juga manis dan romantis. Anak-anak muda yang puitis tapi sebahagian besar di antara mereka kadang ditembaki.

Dari Cihampelas Hingga Sastra Sunda

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 11 Mei 2009 | Mei 11, 2009

Sepulang dari Bandung ternyata saya tidak bisa membagikan oleh-oleh secara merata kepada semua teman dekat di kampung. Tapi semoga saja tulisan ini bisa menjadi oleh-oleh bagi beberapa orang teman yang kebetulan tidak kebagian baju kaos Bandung, manisan khas Bandung ataupun cinderamata lainnya. Hanya empat hari di kota Bandung tapi kesannya mungkin bisa terasa sampai empat tahunan atau lebih lama lagi. Berjalan-jalan di kota Bandung pasti tidak lengkap jika tidak menginjak kawasan Cihampelas. 

Konon menurut legenda, Cihampelas berasal dari nama kolam pemandian yang terletak di sisi jalan kecil Cihampelas, yaitu Jalan Taman Hewan. Kata Cihampelas berasal dari nama pohon Hampelas yang pada saat pembuatan kolam tahun 1904 banyak tumbuh di sekitar kolam. Sejak dekade 1980-an, Kawasan pertokoan Cihampelas terkenal dengan produk khasnya , yaitu pakaian berbahan kain denim atau sering disebut jeans.

Kekhasan Cihampelas dengan jeans mulai melegenda bersamaan dengan ramainya Kawasan Cibaduyut sebagai pusat produksi sepatu. Saking terkenalnya, bahkan pak Jusuf Kalla memakai sepatu dinas produksi Cibaduyut. Kekhususan dua tempat ini dengan produk jeans dan sepatu menjadikan siapa saja yang datang ke Bandung pasti merasa ada yang kurang jika belum berkunjung di dua tempat itu. Yang juga tak kalah unik di sepanjang jalan terdapat patung-patung raksasa personifikasi tokoh-tokoh komik legendaris luar negeri seperti Ironman, Batman, Spiderman, Superman, Tarzan, Cat Woman dan sebagainya.

Ternyata di Bandung bukan hanya terdapat Gedung sate yang terkenal itu atau pun berjubelnya moyang parahyangan yang manis dan cantik-cantik. Terdapat bangunan mal berciri open air concept dengan nama Cihampelas Walk (Ciwalk). Pusat perbelanjaan yang dibangun di atas bekas sebuah pabrik daging di zaman Belanda tersebut berusaha menampilkan diri sebagai mal yang asri. Pohon-pohon berukuran besar tampaknya sengaja tetap dibiarkan berdiri kokoh di sekitar kawasan mal sebagai peneduh. Benar-benar teduh. Teman-teman dari Jakarta bilang,"Bandung banget." Sebagai mal berkonsep terbuka, pengunjung bebas berjalan-jalan menikmati suasana dan menghirup udara segar sembari berbelanja. Bermacam-macam restoran ditampilkan dengan kursi pengunjung berada di luar ruangan.

Jika diberi waktu dan kesempatan lagi ke Bandung, saya masih ingin menikmati semangat anak-anak muda yang bermain musik dengan sopan di lampu merah atau aksi topeng monyet yang lucu di perempatan jalan. Bukan hanya itu Bandung juga terkenal dengan apresiasi tinggi masyarakatnya terhadap Sastra Sunda. Bahkan masih ada beberapa stasiun radio di Bandung yang tetap intens dengan program acara sastra Sunda seperti dongeng sunda, puisi Sunda dan semacamnya. Di luar itu masih ada beberapa komunitas seni Sunda lainnya yang tetap hidup sampai kini.

kupersembahkan buat kang Yusral, mas Ari, mbak Poppy, Andre Bule, Irvan Prambors Semarang, Sonny Bebeh'pria penghibur dari Bandung, dan semuanya.

Presiden dan Puisi

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 10 Mei 2009 | Mei 10, 2009

John F Kennedy pernah berkata dengan sangat yakin,"Manakala kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi maka puisi mengingatkan kepada keterbatasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkan betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkannya. Jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik." Kennedy juga pernah jujur dengan salah satu kalimatnya yang terkenal,"Saya lebih takut kepada sebait puisi daripada satu batalyon tentara."

Ucapan-ucapan terkenal dari Kennedy itulah yang paling sering dikutip ketika orang bicara tentang politik dan puisi. Meski tentu saja sering diselewengkan terjemahannya. Entah mengapa pada tanggal 22 November 1963, Kennedy ditembak oleh orang tak dikenal. Dor! Sebutir peluru telah berhasil mengotori politik Amerika. Kennedy mati tapi syukurlah, puisi masih hidup sampai kini. Presiden dan politik di satu sisi dan puisi di satu sisi yang humanis jelas adalah dua dunia yang sama sekali berbeda. Kennedy juga pernah bilang, "Seni bukan sebentuk propaganda. Seni adalah kebenaran," ujarnya. Di suatu kesempatan bahkan Kennedy pernah menyindir seterunya, Stalin, " Di tengah masyarakat yang bebas, seni bukan senjata dan seni tidak pernah menjadi alat ideologi. Seniman tidak mungkin bisa menjadi insinyur jiwa manusia."

Kennedy, dengan pidatonya yang dikenang abadi itu, mungkin gagal mengingatkan para politisi sesudahnya. Mungkinkah presiden Amerika yang lainnya teremasuk George W Bush dan Obama pernah baca puisi? Kenyataan sejarah bahwa puisi dan penyair di Amerika bisa intensif dengan sangat bebasnya memberdayakan perannya membersihkan politik dan berbagai bidang kehidupan lain di sana. Bacalah karya-karya Allen Ginsberg yang menentang perang Vietnam dengan puisi-puisinya. Ada sebuah buku kumpulan puisi para tahanan di penjara Abu Ghraib untuk kemudian diterbitkan sebagai sebuah cara memperingatkan dunia bahwa betapa ada kezaliman di penjara tersebut.

Di mana-mana penyair sesungguhnya telah juga memberikan hal terbaik untuk negaranya. Sebuah negara yang kebetulan memberikan keleluasaan kepada penyair sesungguhnya membuka jalan agar siapa pun di negara itu bisa melihat ke masa lalu dengan bangga, dan menatap ke masa depan dengan penuh harapan. Tentu dengan lebih menikmati sisi manis humanisme.
Bung Karno adalah contoh seorang presiden (salah seorang sahabat Kennedy) yang juga sesekali meluangkan waktu membaca puisi para penyair indonesia dan dunia. Seorang presiden bisa saja lebih takut terhadap sebait puisi daripada satu batalyon tentara. Bagaimana dengan presiden atau calon presiden di Indonesia saat ini?

Musa Manurung

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 03 Mei 2009 | Mei 03, 2009

Anak muda itu bernama Musa Manurung. Dia salah satu dari sekian banyak anak muda di negeri ini yang suka menulis puisi, prosa dan sebagainya. Seperti kebanyakan pendengar radio lainnya, Musa dengan saya belum pernah bertemu langsung. Komunikasi kami hanya melalui email, SMS dan saling mengunjungi blog masing-masing. Yang juga agak sedikit berbeda dengan pendengar radio lainnya, Musa hanya bisa mendengarkan RCA 102, 5 FM melalui internet. 

Rumahnya di kota Barru, salah satu kabupaten yang belum bisa terjangkau oleh siaran RCA yang baru meliputi tujuh kabupaten di Sulsel. Saya memastikan dia paling menyukai program acara Ekspresi, sebuah program pembacaan puisi dan prosa di RCA setiap jam 11 siang hari Minggu.

Yang menarik, sejak sebulan terakhir saya baru menyadari bahwa ternyata nama Musa Manurung jauh lebih akrab di telinga pendengar RCA dibanding nama-nama besar seperti Afrizal Malna, Zawawi Imron,
WS Rendra, Ikranegara dan sederetan sastrawan lainnya yang karya mereka juga sering dibacakan di RCA. Beberapa waktu lalu sebuah survei kecil-kecilan pernah dilakukan oleh beberapa relawan terhadap masyarakat pendengar radio.

Program Ekspresi RCA memang identik dengan dominasi karya-karya sastra yang tidak atau belum pernah dipublikasikan di media cetak. Sebuah peluang manis bagi siapa saja yang suka menulis. Pintu istimewa bagi para penulis muda seperti Musa untuk lebih intens menetaskan karya. 

Pada edisi Minggu hari ini di Ekspresi saya akan membacakan sebuah puisi karya Musa yang dikirim beberapa hari lalu melalui e-mail di ivankavalera@yahoo.co.id dan sebenarnya saya juga sangat menginginkan dia untuk sekali waktu mengirimkan rekaman pembacaan puisi dengan suaranya sendiri (siapa pun juga boleh). Entah dalam bentuk CD, kaset atau audio lewat e-mail. Meski membacakan karya sendiri di Ekspresi itu bukanlah hal yang wajib. Berikut ini isi email dari Musa yang estetis:

apa kabar mas ivan? maaf, baru muncul, sibuk sih. ni aku baru nulis lagi sekitar 3 jam lalu, itung itung met hari kartini kemaren mas. nih ada dikit buat acara ekspresi:



Surat

salam sejahtera wahai perempuan calon
ibu dari anak anakku
hanya mampu kusapa engka dari kejauhan ini
ketika langit sedang mendung
dan
angin angin menerbangkan dedaunan

bahkan rindu tak membuatku berani menemuimu
aku takut!
haruskah dengan belasan luka kuhampiri
engkau di kaki pelangi sudut sana
atau dengan api yang menyala dalam pelukku?

kutemukan aromamu pada cahaya senja
dan hangat air laut
mereka masih resah membisikkan syair syairmu
syair yang engkau balut dengan bening keristal airmata
dan nada nada gema

di kejauhan ini, di sebuah persimpangan
pilihanku jelas.

Puisi dari Musa itu merupakan kiriman karyanya yang ke lima kalinya ke RCA. Sesuatu yang luar biasa sebab nama anak muda itu lebih populer dibanding WS Rendra khusus bagi kalangan pendengar RCA. Sastra di radio, dia melintas di telinga dan tidak banyak terdokumentasikan bagi penikmatnya dalam bentuk arsip cetak. Sebagian kecil mungkin juga ada pendengar yang berusaha merekamnya. 

Mungkin sebahagian kadang terlepas dan ada juga karya dan nama penulisnya yang tertangkap pendengaran hati di kalangan pendengar radio. Kadang ada yang menyadari sendiri bahwa karya mereka mungkin akan dimakamkan di sastra-audio seperti radio, bukan di pekuburan sastra cetak atau bahkan sastra cyber sebab sebahagian penulis di sastra radio bukan blogger. Mereka sebahagian besar hanya anak-anak muda biasa, pelajar, mahasiswa, pengangguran, sastrawan sungguhan dan sebagainya. Musa Manurung adalah salah seorang dari mereka.


Hardiknas

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Mei 2009 | Mei 02, 2009

"Sekiranya aku seorang Belanda aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikitpun."

Cukuplah kutipan tulisan Ki Hajar Dewantara di atas yang terkenal itu sebagai bahan renungan kita di hari ini.Tulisan beliau itu terdapat dalam artikel berbahasa Belanda berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda). Sungguh sebuah artikel yang paling berani pada zamannya. Dimuat dalam surat kabar de Expres tahun 1913. Artikel itu ditulis akibat perasaan gerah Ki Hajar Dewantara terhadap rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan hari kemerdekaan Belanda.

Banyak aksi heroisme yang tetap dikenang dari beliau walau mungkin hanya sebatas kenangan. atau juga hanya tersimpan dibalik lipatan buku-buku sejarah. Bahkan program pendidikan gratis pun yang mulai dicanangkan pemerintah Indonesia saat ini belum bisa menandingi apapun yang pernah dilakukan oleh beliau untuk pendidikan bangsa. 

Salah satu ucapan terkenal lainnya dari tokoh dan pahlawan pendidikan nasional ini adalah:
“Tanah air kita meminta korban. Dari sinilah kita, siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi… kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?”

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Ing ngarsa sung tuladha, di depan memberi contoh. Ing ngarsa mangun karsa, di tengah memberi semangat. Tut wuri handayani, di belakang memberi kekuatan.


Sastra Buruh

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 01 Mei 2009 | Mei 01, 2009

Adakah dan apakah sastra buruh itu? Sebenarnya tidak ada satupun defenisi yang pernah diberikan para ahli. Mungkinkah sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika penulisnya menjadi buruh? Ada beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh di Indonesia di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk). Beberapa karya sastra tentang buruh juga ditulis oleh mereka yang sama sekali tidak pernah menjadi buruh. 

Kepedulian terhadap nasib kaum buruh adalah energi yang bisa menjadi alasan utama penulis-penulis non-buruh.Mungkin ada di antara kita yang pernah membaca cerpen Matinya Seorang Buruh Kecil karya Anton Chekov. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Maxim Gorki yang kebetulan semenjak kecil juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan.
 
Sastra menjadi salah satu alat perjuangan buruh secara tidak langsung. Efektifitasnya bisa dirasakan paling tidak mampu menggedor-gedor sisi kemanusiaan kita. Tidak sebagaimana dunia politik di mana ada partai yang mengatasnamakan buruh tapi heran, nasib buruh masih berbanding terbalik dengan nasib mujur politisi yang jadi legislator. Sebagaimana biasa, kebanyakan politisi macam ini tidak pernah sama sekali merasakan beratnya hidup sebagai buruh.
Sastra buruh di tanah air tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui rimbanya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani, dan jujur dalam puisi-puisinya. meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Wiji Thukul adalah buruh yang pertamakali memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik-pabrik, kampus, lorong-lorong, trotoar, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an. Wiji Thukul "dihilangkan" secara misterius oleh rezim orde baru yang represif pada masa itu.


Jagad sastra Indonesia juga masih mencatat beberapa nama yang karya-karyanya berbau buruh seperti Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik. Masih ada lagi nama terkenal lainnya, Wowok Hesti Prabowo yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh dengan Roda-Roda Budayanstitut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Wowok dan teman-teman seperjuangannya berhasil kemudian menerbitkan kumpulan puisi Buruh Menggugat, Rumah Retak, dan Trotoar. Rupanya dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok inilah yang menjalar ke segenap semangat insan buruh di berbagai penjuru tanah air. Buruh dan sastra, keduanya mengalami keintiman sebab memang pas. Bukankah sastra yang baik adalah sastra yang memperjuangkan suatu hak dan kebenaran? 

Cobalah dengarkan sesekali sastra buruh walau sejenak dan hanya beberapa kata sebab mereka adalah salah satu bagian terpenting bangsa ini. "...lawan!" (Wiji Thukul). Selamat Hari Buruh Sedunia 1 Mei.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday