Latest Post

NH Dini: dari Sajak di Radio hingga Seks

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 11 Juni 2009 | Juni 11, 2009


Perempuan luar biasa ini adalah termasuk dari sedikit perempuan Indonesia yang mendunia melalui sastra dan gerakan feminis. Nama lengkapnya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936. Masih berdarah Bugis. Jika keras kepalanya muncul ibunya sering berujar,"Nah darah Bugisnya muncul lagi." Para penikmat sastra Indonesia lebih mengenalnya dengan nama NH Dini.


NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.

Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.

Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini juga suka mendengarkan radio. Dini pun tak menyangka jika radio ternyata bisa menjadi salah satu pijakan awalnya di belantara sastra tanah air. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.


Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. 

Dalam karyanya berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif.

Kebanyakan novel-novelnya yang berjumlah lebih 20 itu bercerita tentang perempuan. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk. Cita-citanya yang dulu tidak pernah kesampaian, masinis!

Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.

Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.

Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.

Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita. Tanaman-tanamannya di dunia sastra masih terus berbau harum. Perempuan ini pernah ditanya masalah seks yang kerap muncul dalam karya-karyanya. Dia menjawab dengan ringkas,"Itu wajar-wajar saja. Perempuan Indonesia dalam sastra sesekali harus dipandang dari sudut paling peka sekalipun untuk memahami mereka." Masihkah akan muncul NH Dini-NH Dini lainnya setelah 50 tahun ke depan?

sumber: wikipedia bahasa Indonesia

Menulis Cerpen untuk Radio

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 08 Juni 2009 | Juni 08, 2009


Anak tetangga sebelah pada mulanya tidak begitu suka membaca novel. Tapi sejak menonton film Laskar Pelangi, beberapa hari kemudian justru anak itu penasaran ingin membaca novel karya Andrea Hirata itu. Masalahnya, anak itu kecewa berat sebab ada saja yang mengganjal pikirannya tentang adegan film yang berbeda dengan cerita aslinya. Bisa dibayangkan kejadian sebaliknya yang lebih parah bagi pembaca novel yang mendadak keranjingan menonton film yang diangkat dari sebuah novel laris, misalnya. Disimpulkan, ranah dan media yang berbeda tetap akan memunculkan perbedaan mendasar dari cara menikmati sebuah karya seni.

Penulis teringat seorang teman yang tidak terlalu suka dengan segala yang berbau sastra. Awalnya hanya suka menyetel radio untuk menikmati lagu-lagu terbaru dan sesekali informasi aktual. Di suatu hari telinganya menangkap sebuah cerpen yang dibacakan di radio. Dia menanyakan kepada penulis, "cerpen yang dibacakan itu dimuat di koran apa ya?" Penulis belum tahu apakah dia akan lebih suka yang mana, antara menikmati melalui radio ataukah langsung membaca teks asli cerpen tersebut? Sebuah rasa penasaran yang sungguh potensial untuk digarap oleh pelaku sastra, khususnya penulis cerpen yang mungkin berniat intens menulis cerpen untuk radio.

Cerpen di koran, majalah ataupun yang dibaca di internet tentunya memiliki kelebihan masing-masing bagi penikmatnya. Yang mungkin kurang digarap saat ini adalah penulisan cerpen untuk dibacakan khusus di radio. Persoalannya, era sandiwara radio yang telah berakhir sejak akhir 1990-an akan sangat berbeda dengan nuansa pembacaan cerpen secara monolog dari penyiar radio. Berbeda dengan puisi yang lebih dulu mampu berkubang dalam program sastra radio.

Sejauh ini, musik latar dan sound efek tertentu lumayan membantu pembacaan cerpen untuk menghidupkan chemistry ataupun merangsang telinga pendengar. Kerumitan yang muncul, nyaris semua cerpen yang pernah dibacakan di radio merupakan cerpen yang ditulis khusus buat dibaca orang-orang di media cetak. Nyaris tidak pernah ada cerpen yang ditulis khusus untuk konsumsi telinga. Sebagaimana halnya teks berita. 

Teks berita berbeda tergantung medianya apakah untuk dibacakan di radio, di televisi atau dimuat di koran. Cerpen radio akan sangat berbeda strategi dalam penulisan sebab akan dibacakan untuk menggiring imajinasi pendengar yang tidak langsung berhadapan dengan teks sebagaimana pembaca cerpen di media cetak. Siapa tahu sebuah peluang baru bagi anda yang ingin merambah-jelajahi bahkan mungkin akan muncul istilah baru "cerpenis radio?"

Syair Islam: Cikal Bakal Puisi Indonesia

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 07 Juni 2009 | Juni 07, 2009


Sejak kapan orang Indonesia mengenal puisi? Sejarah kesusastraan nusantara membuktikan masuknya Islam pada abad ke 10 yang membawa istilah syair. Syair berasal dari bahasa Arab yaitu, ‘syi’r’ yang berarti puisi. Syair merupakan serapan dari bahasa Arab yang banyak diartikan sejenis puisi lama yang berkembang di Indonesia. Awal-awal digemarinya syair, puisi Arab dan Parsi mempengaruhi bentuk-bentuk syair Melayu Nusantara. Berabad-berabad kemudian syair ber-evolusi melewati banyak zaman keemasan dari kerajaan-kerajaaan yang bergiliran jatuh bangun di nusantara. 

Awal mula Islam masuk ke Nusantara, ternyata para ulama telah akrab dengan budaya menulis. Tulisan tangan asli para ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Manuskrip berbentuk tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan pasti punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan sebagainya.


Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya. Manuskrip Islam tertua berjudul Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14) ditemukan di Terengganu, Malaysia. Para ahli menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang paling tertua di nusantara.

Pernah ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Hal ini membuktikan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka. Rentang abad 16–17, di kawasan lain juga ditemukan manuskrip seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Sulawesi tersebutlah Hikayat Gowa, Hikayat Wajo dan lainnya. Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima ditemukan di Nusa Tenggara. Hingga Hikayat Hitu di Maluku. 

Lahirlah Hamzah Fansuri di Aceh, menulis banyak syair dan tulisan lainnya dalam rentang abad 16–17. Hamzah Fansuri seorang sufi, disepakati dalam sejarah sebagai penyair pertama di nusantara. Lalu penyair lainnya, Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama pada masa kejayaan Kesultanan Aceh di bawah tampuk kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Jauh setelah kilas balik ke belakang, kini kita berada di zaman puisi Indonesia moderen. Wajah puisi Indonesia, entahlah besok akan mencatat siapa dan bagaimana lagi.

Orang Kritis Bermula dari Membaca

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 06 Juni 2009 | Juni 06, 2009


Apa penyebab utama sehingga muncul orang-orang kritis? Jawabannya adalah orang-orang kritis membiasakan dirinya dengan membaca. Membaca bukan sekedar untuk menciptakan manusia berilmu. Mulailah dengan membaca. Memulai budaya membaca bisa diawali dari rumah, bukannya di sekolah atau kampus yang hanya menyediakan waktu terbatas. 

Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Bj Habiebie, Yusuf Kalla, dan lain- lain menjadi orang besar bukan secara kebetulan tapi mereka mengadopsi budaya tulisan melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya atau berkualitas tinggi. Sementara Buya Hamka, Haji Agus Salim,dan lain-lain, tidak pernah menempuh pendidian formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayawan dan tokoh intelektual. Orang-orang besar memulainya dengan membaca di rumah maupun di tengah sawah.

Membaca adalah awal budaya tulisan. Apakah semua orang terdidik di negeri kita rajin membaca? Itu bisa ditelisik dari sejauh mana budaya menulis di kalangan terpelajar. Ternyata hanya dari orang terdidik yang memiliki budaya menulis yang lebih kritis dan analitis. Jenis ini lebih memiliki ciri khas critical thinking and analytical thinking. Di kampus-kampus, hanya mahasiswa yang rajin membaca dan menulis yang menonjol dalam pergerakan kemahasiswaaan.

Di negara- negara maju membaca dan menulis sudah menjadi konsumsi sehari- hari. Sebuah jawaban untuk menjelaskan penyebab kalangan muda di negara maju lebih banyak menentang ijazah pendidikan formal sebagai syarat utama untuk memperoleh pekerjaan. Dengan membaca kalangan muda itu menjelma menjadi kaum intelektual secara otodidak dan bisa dipekerjakan secara layak sesuai keahliannya masing-masing.

Di Indonesia, gerakan gemar membaca hanya dimulai dari simposium, seminar dan semacamnya. Hanya didukung dari spanduk dan perpustakaan keliling yang terbatas. Akhirnya lahirlah generasi sertifikat. Ilmu pengetahuan sebatas dinilai dari piagam, ijazah, sertifikat dan semacamnya sebab sistem pendidikan memang menginginkan itu. Paradigma budaya membaca dan menulis seyogyanya telah dipahami sebagai cikal bakal manusia analitis dan kritis. Bukannya pemahaman bahwa budaya membaca dan menulis hanya untuk mencetak penulis profesional.

Imperialisme Bahasa

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 04 Juni 2009 | Juni 04, 2009


Tidak ada yang lebih dikhawatirkan oleh para pakar bahasa selain imperialisme bahasa. Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa pula yang menjadi pengawal budaya sebuah bangsa. Benteng apalagi yang tepat kita gunakan ketika kenyataan kini menunjukkan imperialisme bahasa dalam setiap sudut? Abad baru menawarkan dua imperialisme bahasa. Imperium pertama adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional yang paling penting. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa kaum elite di banyak negara berkembang bahkan berhasil memilah-milah stratifikasi sosial dalam masyarakat. Imperium kedua adalah bahasa gaul (prokem). Keseharian kita, jujur 90% kaum terdidik adalah pembawa kedua imperialisme tersebut. Walaupun bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional namun terbatas dalam penggunaan.

Uniknya, bahasa daerah tak luput menjadi korban akulturasi bahasa gaul lokal di masing-masing ranah budaya dan suku. Anak Makassar berkata,"Kenapako nda' bisa menulis kah? Mudahji itu, ces!" Menakjubkan, sama sekali tak ada unsur bahasa Makassar maupun bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kalimat itu. Sepertinya begitu rumit untuk mengubahnya menjadi,"Mengapa tidak bisa menulis? Sebenarnya menulis itu sangat mudah, kawan!" dengan dialek berintonasi lokal sebenarnya bisa dilakukan. Tapi masalahnya nyaris tak ada usaha untuk mengasah kebiasaan. Bahasa gaul yang paling besar imperialismenya di tanah air adalah bahasa Jakarta ( dialek dan logat Betawi )."Eh lo mo kemane? Di sini aja ngebacain puisi buat gue!" Sebuah kalimat yang bukan bahasa Betawi sekaligus sama sekali bukan bahasa Indonesia.

Negara menghargai dan mempertahankan semua bahasa daerah di Indonesia, namun pemakaiannya dalam ruang lingkup daerah itu sendiri dan pada ranah budaya. Pemakaian bahasa pada ruang publik secara luas tentu saja sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional seperti pada salah satu fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara yang tercantum pasal 36 Bab XV UUD 1945.


Sesungguhnya belajar dan menggunakan satu bahasa tambahan merupakan cara yang sangat ampuh untuk menghargai dan memahami budaya-budaya lain. Mahatma Gandhi berkata, "Saya tidak ingin rumah saya ditemboki pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya menolak untuk terbawa dan terempaskan."

Arus deras penyebaran dan pertumbuhan bahasa Inggris tidak mungkin lagi dihindari dalam peta kekuasaan dunia, upaya yang bisa dilakukan bukanlah menghentikan atau memperlambat pertumbuhan bahasa Inggris di Indonesia. Upaya ini akan sia-sia saja dan malah tidak akan menguntungkan posisi bahasa Indonesia. Yang perlu adalah menemukan formula tepat untuk menjinakkan penyebaran bahasa Inggris, untuk memastikan bahwa bahasa ini tidak bertindak sebagai rintangan dalam perolehan ilmu pengetahuan maupun pengembangan pribadi dan bangsa. Sementara untuk memangkas bahasa gaul lebih membutuhkan penyadaran, pembiasaan, bukannya secara radilkal tapi dibutuhkan kehati-hatian sebab ranah bahasa gaul adalah yang terbesar pemakainya di tanah air. Dari sabang sampai Merauke. Instrumen pendukung satu-satunya adalah keberanian memangkas bahasa gaul di radio, televisi, majalah serta media lainnya. Media sebagai ranah khas bagi kaum terdidik adalah tempat paling efektif untuk memulai. Khusus di radio, semisal program berita, dakwah, sastra, budaya, talk show dan semacamnya diharapkan mampu meredam imperialisme bahasa gaul. Penyusupan ke dalam program musik dan entertainment yang lebih akrab dengan anak muda, juga diyakini mampu menjadi proses pembiasaan. Dibutuhkan lebih dari kreativitas untuk melakukan itu.Yang penulis maksud adalah tergantung kebijakan para pemilik media di Indonesia.






.




Romantisme Sastra, Makhluk Apa Pula Itu?

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 03 Juni 2009 | Juni 03, 2009


Konon seorang sastrawan yang selalu mampu menggedor cakrawala cinta pembacanya sangat berkemungkinan mengundang rasa penasaran perempuan pembacanya. Benarkah? Apakah si penulis itu romantis dan sangat memahami wanita? Sudut pandang yang berbeda diletakkan pada kecurigaan yag sama oleh setiap orang tapi tentu bisa salah.

Ada beberapa kasus di mana para lelaki pun bisa penasaran, lalu berkhayal dengan mencari referensi dari sana-sini, yang ujung-ujungnya adalah obsesi bahwa sang wanita penulis novel (atau penulis blog) itu juga sosok yang bisa menggelegak dan masih mencari penyaluran hasrat-hasrat rahasia. Wah! Mungkin akan terlalu jauh lagi analisa ini jika dikaitkan dengan kisah-kisah pesona sang sastrawan dan kenyataan bahwa kaum perempuan memang sebahagian besar menyukai hal-hal yang melenakan.Termasuk puisi-puisi indah, mungkin.
Tapi maaf, paragraf pertama di atas bukan untuk memprovokasi para perempuan untuk berhati-hati terhadap sastrawan. Romantisme bisa bersumber darimana saja.

Seorang teman yang menyebut dirinya penyair rombeng mengakui bahwa para perempuan yang ditemui dan dikenalnya justru adalah makhluk-makhluk sumber inspirasinya. Bukan untuk dicintai, katanya. Namun tak lebih sebagai proses olah rasa yang mencari estetika murni. Sebuah alasan yang menggugah jika itu memang benar. Menjijikkan jika itu pembenaran profesionalisme. Paragraf ketiga tulisan ini hanya untuk menegaskan bahwa sastra itu murni, kritis sekaligus romantis. Bila terdapat ekses dari romantisme dan ketidakmurnian olah rasa artistik maka itu hanya berasal dari "oknum" pelaku sastra. Bagaimana dengan anda?


Sehebat Apakah Secuil Inspirasi?

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 02 Juni 2009 | Juni 02, 2009

Dalam bahasa latin, kata “inspirasi” berasal dari dua kata yaitu in dan spiro yang berarti menghembuskan ke dalam. Dalam bahasa Ibrani kata inspirasi adalah Neshama dan Nismah yang berarti nafas. 

Yang menarik, pada beberapa agama seperti Islam dan Kristen ada keyakinan yang mengarah pada pemahaman bahwa inspirasi adalah setitik atom wahyu ilahi yang diwariskan melalui Adam. 

Secara biologis menurun kepada kita sampai hari ini. Hakikatnya inspirasi adalah bersumber dari Sang Maha Pencipta. Inspirasi umat manusialah yang pertama kali memencet tombol lalu bergeraklah kebudayaan, seni, sains, politik dan sebagainya. Inspirasi itu pula yang memantik perang, misalnya.

Sehebat apakah inspirasi itu? Dia hanya setitik atom dalam pikiran tapi bersinergi amat luar biasa dengan apa yang ada diluar tubuh manusia. Penemuan-penemuan terbesar sepanjang sejarah ternyata selalu dimulai dari secuil inspirasi sederhana. 


Seekor burung terbang mengilhami seorang Leonardo Da Vinci di zaman renaissance untuk merancang sebuah mesin terbang. Seabad kemudian ide yang dianggap gila pada masanya itu berhasil diwujudkan oleh Wright bersaudara untuk menciptakan pesawat terbang pertama di dunia. Setitik hujan yang merupakan kejadian alam yang nampaknya sepele bisa menjadi sebuah karya sastra yang dahsyat. Semisal puisi tentang hujan yang ditulis oleh Sapardi Djoko Darmono.



Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
.
tak ada yang lebih bijak
dari bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
.
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
***
untukmu: aku ingin menjadi hujan bulan juni itu

“Hujan Bulan Juni” merupakan buku antologi puisi Sapardi Djoko Darmono yang diterbitkan oleh PT Grasindo pada tahun 2004 lampau. Ribuan lagi contoh lainnya bagaimana inspirasi mampu menghentak manusia. Anda pasti lebih paham bagaimana Thomas Alfa Edison, Albert Einstein dan orang-orang hebat lainnya mampu mengubah dunia hanya dengan setitik inspirasi gilanya masing-masing. 

Bagaimana bisa karya sastra terpanjang di dunia I La Galigo itu ditulis di zaman purba? Blog dan facebook pun ternyata bermula dari inspirasi anak-anak muda yang tidak tergolong jenius. Saya tidak dapat membayangkan bila milyaran atom inspirasi dari setiap manusia ternyata bisa diwujudkan seluruhnya. Percayalah, seremeh apapun inspirasi maka dia adalah sebuah energi luar biasa yang diberikan Tuhan.

Rendra Baca Puisi di RCA 102,5 FM

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 31 Mei 2009 | Mei 31, 2009


Dalam sebuah tulisan terdahulu "Rumah Politik Untuk Seni Budaya" penulis memprotes WS Rendra mungkin agak habis-habisan. Namun kali ini tidak demikian sebab kali ini bukan berbicara di ranah politik dan penulis hanya ingin berbagi secuil pengetahuan lantaran Rendra akhirnya baca puisi juga dalam program Ekspresi, sebuah lembaran acara sastra di RCA 102,5 FM hari ini jam 11.00-13.00 Wita. 

Penyebab lainnya lantaran seorang teman yang mengaku sering dibingungkan dengan banyaknya istilah, genre yang simpang siur antara berbagai media sastra sampai tak tahu harus menulis apa dalam tugas makalahnya di kampus. Tapi semoga tulisan ini bermanfaat. Penulis hanya berupaya agar teman itu tidak bingung lagi antara sastra lisan, tulis, elektronik, multimedia dan sebagainya.



Pada banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, lirik-lirik Orpheus, maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi Zuni, Aztec, Inuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku Indian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, Iroquois, dan lain-lain. Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.

Sebuah studi sastra lisan terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry dan Lord. Keduanya meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan, si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade, terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi merupakan ciri khas puisi lisan.

Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur kebudayaan.

Menurut Wellek dan Warren (1989), salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hal ini menurut Teeuw sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Lebih lanjut menurut Teeuw, bahasa tulis memiliki tujuh ciri, yakni: (1) dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca kehilangan sarana komunikasi suprasegmental; (2) dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara penulis dan pembaca; (3) dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi; (4) teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi aslinya; (5) bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang; (6) teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas; dan (7) komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan kebudayaan.

Genre sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis.Dewasa ini bentuk karya sastra yang paling diminat adalah cerpen dan novel. Waluyo (2002:28) membagi karya fiksi menjadi roman, cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi novel adalah novelet.

Alhamdulillah, jika tak ada aral melintang siang hari ini Rendra baca puisi juga di RCA. Puisi tulis dari Rendra berkolaborasi dengan radio. Selengkapnya, siapa saja boleh dengar bagaimanakah gaya seorang Rendra di radio. Semoga hubungan timbal balik antara sastra tulis, lisan, elektronik-audio, digital dan sebagainya bisa tetap tumbuh dan menjadi sebuah bangunan utuh.

referensi: Wikipedia bahasa Indonesia



Cerpen, dari Mesir Purba sampai Gola Gong

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 29 Mei 2009 | Mei 29, 2009


Tulisan ini muncul secara tidak sengaja setelah kemarin anak tetangga sebelah minta bantuan secara darurat. Guru bahasa di kelasnya memberi tugas PR, harus mengumpulkan segala data seputar sejarah cerpen.

Cerita pendek sebenarnya berasal dari Mesir purba, sekitar 3200 SM. Untuk pertama kalinya terbit cerpen Dua Bersaudara. Bahkan kisah Piramus dan Tisbi yang dibuat Shekespeare ke dalam drama disadur dari cerita pendek Yunani purba. Cerita pendek berkembang di Eropa dimulai sekitar tahun 1812 dengan munculnya penulis Jacob Grimm dan Wilhelm Grimm, mereka menerbitkan cerpen berdasarkan cerita rakyat. Sementara perkembangan cerita pendek Amerika sekitar tahun 1912, penulis Washington Irving sebagai pelopor. Jejak Irving diikuti oleh Edgar Allan Poe dan Nathanael Hawthorne. Edgar Allan Poe menulis cerpen gothic yang seram,, penuh misteri. Secara tidak sadar Edgar merintis penulisan cerita detektif. Sementara Nathanael Hawthorne menulis cerpen-cerpen brcorak filosofis.

Arus deras erpen-cerpen mulai mewarnai kesusastraan Indonesia pada sekitar tahun 1936. Kebangkitan cerpen di Indonesia ditandai oleh Balai Pustaka yang menerbitkan Teman Duduk karya M. Kasim. Selanjutnya Suman Hs dengan Kawan Bergelut-nya diterbitkan pada tahun 1938. Ciri khas cerita-cerita rakyat yang lucu

Masa-masa sulit sejak tahun 1946 tidak menjadikan cerpen mati di Indonesia. Bersama waktu dan perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia nilai cerpen pun mulai berubah. Dahulu bercorak cerita rakyat, tahun 1940-an mulai bergeser pada kehidupan rakyat sehari-hari. Contohnya karya Hamka yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan diterbitkan pada tahun 1940, warna kehidupan rakyat sehari-hari sudah terlihat, walaupun Hamka mengerjakannya secara sentimental.Tetapi kehadiran cerpen Indonesia baru terlihat sekitar tahun 1930-an. Sebetulnya cerpen Indonesia kalah berkembang oleh cerpen daerah – misalnya pada kesusastraan Sunda – perkembangan cerpennya sudah dimulai sekitar tahun 1928-an, sebagai contoh dengan terbitnya kumpun cerpen (carpon) berjudul Dogdog Pangrewong karya GS sekitar tahun 1928-an.

Cerpen Indonesia mengalami masa subur sekitar tahun 1950-an setelah era perang kemerdekaan. Buku-buku kumpulan cerpen menandainya, di antaranya kumpulan cerpen Subuh karya Pramoedya Ananta Toer (BP:1951); Yang Terempas dan Terkandas karya Rusman Sutiasumarga (BP:1951); Manusia dan Tanahnya karya Aoh KArtahadimaja (BP:1952); Terang Bulan Terang di Kali karya S.M. Ardan (Gunung Agung: 1955) dan lain-lain.

Pada tahun 1960-an muncul para penulis baru. Era tahun 1960-an perkembangan cerpen ditandai oleh kumpulan cerpen Rasa Sayange karya Nugroho Notosusanto diterbitkan Pembangunan tahun 1961; Trisno Sumarjo kumpulan cerpennya Daun Kering diterbitkan Balai Pustaka tahun 1962; Djamil Suherman kumpulan cerpennya Umi Kalsum diterbitkan Nusantara tahun 1963; dan lain-lain.

Sejarah sastra Indonesia mencatat nama-nama dan karya dari barisan cerpenis muda di awal era orde baru. Cerpenis muda saat itu, seperti Putu Wijaya, Umar Kayam, Budi Darma dan masih banyak lagi. Sebuah gaya penulisan baru mulai ditawarkan. Unsur ekstrinsik terasa lebih mengalir terutama ilmu filsafat. Mulailah cerpen dijadikan barometer perkembangan sastra, di samping puisi, novel, dan drama. Setelah Putu Wijaya, berpuluh tahun kemudian lahirlah generasi berikutnya. Barisan cerpenis yang belakangani ini tentu jauh lebih banyak jumlahnya. Aliran dan corak pun jauh lebih beragam. Mulai dari nama Gola Gong hingga Zara Zettira. Lalu, saat ini?

Jagad Baru Sastra Multimedia

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 28 Mei 2009 | Mei 28, 2009

Kini geliat seni dan kreativitas memang telah berada di jagad yang baru. Semisal sastra radio dan sastra televisi yang berkembang cukup bagus meskipun masih kurang digarap di Indonesia. Di sebuah stasiun radio yang menjadi penentu adalah manajer program. Tidak dipungkiri sebuah program sastra tidak serta merta bisa disajikan sebagai acara yang mampu meraup iklan, misalnya. Tidak semua stasiun radio memiliki program sastra. Di tanah air, RRI tercatat dalam sejarah sebagai lembaga penyiaran publik yang pertama kali mengudarakan program pembacaan puisi dan prosa. Di Jepang stasiun televisi NHK punya program apresiasi haiku sekali seminggu. Contoh lainnya stasiun televisi BBC Inggris yang memproduksi sajak-sajak pendek atau memperkenalkan sastrawan dalam program khusus. Masih banyak contoh tak terhitung banyaknya di berbagai belahan bumi lainnya.

Beberapa minggu lalu seorang teman, penyair muda yang sekaligus blogger meminta kepada saya agar sudi kiranya puisinya dibacakan di RCA 102, 5 FM. Puisi yang dia maksud saya copy paste dari blognya. Lalu dalam program sastra di RCA, puisinya pun saya bacakan. Beberapa hari lalu seorang gadis pelajar dari Bandung mengirimkan catatan prosa kepada saya melalui jejaring sosial facebook. Tulisannya pun lolos untuk menghiasi program sastra di RCA. Gadis itu mendengarkan karyanya dibacakan di RCA melalui link radio online di facebook. Sebuah contoh yang prosesnya sangat sederhana. Sebuah kolaborasi kreativitas multimedia? Mungkin. Radio, blog dan facebook kini bisa menjadi satu kesatuan untuk sebuah jaringan dan proses apresiasi sastra. Sebuah program sastra dan budaya di radio kini tak harus terpaku pada kreativitas pendengar yang konvensional. Keterlibatan internet bisa sangat memudahkan.

Stasiun radio yang belum bisa online di internet pun sebenarnya bukan alasan untuk tidak bisa memanfaatkan jaringan multimedia. Banyak bentuk-bentuk kreativitas lainnya yang dapat dibangun menuju apresiasi yang berbentuk proses berskala besar. Ketika telah lebih satu dasawarsa sastra memasuki jagad baru, akankah proses kreativitas pelaku sastra juga telah siap?


Rumah Politik untuk Seni Budaya

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 27 Mei 2009 | Mei 27, 2009

Apakah seniman, sastrawan dan makhluk sejenisnya masih bisa dijamin independensinya dalam ranah politik? Adalah hak setiap individu termasuk seorang seniman mengekspresikan diri untuk sebuah pilihan politik. Pilihan politik bisa diam-diam ataupun terbuka. Adakah yang menyentak dari penampilan WS Rendra yang baca puisi di acara deklarasi Mega-Prabowo di Bantar Gebang Jakarta? Siapa saja tidak berhak memprotes ketika seorang budayawan sekelas Ishak Ngeljaratan hadir di acara deklarasi JK-Win di Makassar. Semuanya sah dan halal-halal saja. Tapi saya merasa aneh dan ganjil. Akibatnya saya memindahkan channel televisi ketika WS Rendra berorasi menyatakan dukungannya lalu baca puisi.

Tidak ada pertanyaan dengan tanda tanya besar dengan huruf tebal di sana. Kecuali mungkin sisa tanya tentang biaya setengah milyar hanya untuk deklarasi di atas pemukiman pemulung sampah Bantar Gebang. Setengah milyar rupiah yang bisa saja menusuk hati orang-orang miskin yang menyaksikannya melalui layar kaca. Apalagi bagi para wong cilik sendiri yang kebetulan hadir di sana. Begitu perih? Pasti. Ironis dengan konsep perjuangan wong cilik Mega-Pro. Terlebih dengan deklarasi SBY-Boediono yang menghabiskan lebih satu milyar rupiah. Bayangkan jika uang sebesar itu disumbangkan kepada kaum dhuafa. Lalu deklarasi cukuplah dilakukan di tempat sederhana.


Tiba-tiba
kita menemukan tanah air yang berbeda di hari ini. Sebuah delarasi ternyata memerlukan juga sebuah puisi yang bisa dibolak-balikkan sesuai momen oleh seorang WS Rendra. Politik ternyata membutuhkan seorang penyair besar yang sejak orde baru dikenal independen dan tak berpihak itu. Puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar dibacakan Rendra hanya karena tercantum nama Bung Karno di sana? Bisa jadi agar ada stimulan bagi rakyat yang menyaksikannya. Tidak ada tanya tentang independensi seorang seniman, budayawan dan masa depan seni itu sendiri. Padahal belum ada bentuk jelas dari desain rumah politik bagi seni budaya di tanah air ketika seniman dan budayawan terang-terangan berkampanye untuk capres tertentu.

Sangat rumit untuk memastikan sikap manakah yang paing ideal bagi seniman. Di satu sisi ada nuansa yang unik ketika seniman terkenal dikenali oleh rakyat sebagai simpatisan capres tertentu. Bisa jadi ada nilai tambah atau sebaliknya justru menjadi bumerang. WS Rendra berhak memproklamirkan pilihan politiknya. Itu adalah pendidikan politik yang bagus. Lalu bagaimanakah dengan proyek idealis dari seorang Rendra untuk mencerdaskan bangsa melalui seni budaya? Saya sendiri masih bingung.
Jika seorang Rendra saja bisa pikun dan siapa tahu telah kehilangan cita rasa kebudayaan, nah apalagi dengan yang lainnya.

Sastra Dunia, Defenisi Linglung!

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 26 Mei 2009 | Mei 26, 2009

Istilah "Sastra Dunia" atau "Weltliteratur" pertama kali dipopulerkan oleh Wieland, seorang sastrawan Jerman. Kata "welt" dikaitkan dengan konteks budaya dunia yang mengarah pada sastra yang mungkin saja bisa dikenal dunia. Mungkin sangat penting bagi para ahli untuk kembali mendefenisikan istilah "Sastra Dunia". Masalahnya sastra dunia kini tidak sesempit pada susastra atau karya klasik. Ribuan karya sastra pada hari ini bukan lagi sekedar aliran tapi telah melewati sekat-sekat geografis bahkan garis demarkasi.


Seorang penyair lainnya, Goethe pernah mempopulerkan "Sastra Multikultur." Goethe mengidamkan sebuah proses interaksi peleburan antara Barat dengan Timur. Mungkinkan Goethe mengharapkan Barat menengok ke Timur untuk menggali udara sejuk? Kegersangan spiritual di Barat mungkin terangsang untuk menjelajahi pencerahan pada kedalaman spiritual Timur.


Sastra Dunia, kini defenisinya menjadi linglung. Seorang teman bahkan pernah mengajak bertaruh dengan siapa saja sdasrawan Indonesia yang dikenali dunia. Kebetuan dia memiliki sebuah blog sastra yang mempunyai traffic tinggi. Sebenarnya hanya bersisi esai dan puisi-puisi iseng, menurut pengakuannya. Tapi blognya dikunjungi oleh puluhan bahkan mungkin ratusan pembaca dari luar negeri dalam sebulan. Jujur, blognya lebih banyak dikenal di luar negeri daripada karya Pramoedy Ananta Toer!
Padahal Pramudya Ananta Toer adalah sastrawan yang dikagumi dunia. Karyanya sudah banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.

Benarkah syarat dari sastra dunia adalah sastra yang harus diapresiasi dunia, telah pernah memperoleh nobel sastra, atau selalu dibicarakan dalam berbagai bedah buku di barat dan di timur?






Sastra Islam: Panglima Pencerahan!

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 25 Mei 2009 | Mei 25, 2009


Hampir semua orang menulis dengan dasar keyakinan agama yang dianut, lingkaran sosial, budaya,dan sejarah di sekitarnya. Seorang penulis yang mengakrabi lingkup sosial, budaya, dan sejarah yang bernuansa Islami, dipastikan karyanya tidak jauh dari kesehariannya.
Semua genre dan aliran sastra melakukan dakwah dengan cara dan ideologinya masing-masing. Bentuk propagandanya berbeda-beda tapi sama-sama estetis.

Ketika muncul manifesto kebudayaan yang melawan Lekra yang realis sosialis di masa orde lama maka banyak tudingan bahwa kaum manifestan adalah penganut prinsip humanisme universal dan bermoto lart pour lart, seni untuk seni. Ketika muncul puisi sufi, sastra religius dan sastra tasawuf maka orang manggut-manggut memahami bahwa itu dakwah islam dalam bentuk sastra.

Penulis sendiri masih meyakini bahwa sastra bukan anak kandung dari estetika, tapi dilahirkan oleh agama, teologi, konsep ketuhanan dan keyakinan. Estetika hanyalah sekedar bawaan alamiah yang dari bawah sadar. Biasnya, sastra adalah tetap produk proses untuk mempresentasikan identitas agama atau sosial politik dan budaya. Bagi Islam, manakala ajakan dan ajaran bermuatan dakwah maka itulah dakwah Islam. Jika sastra berdakwah meski dengan gayanya yang khas, sastra itu tetaplah dakwah. Pemikiran seperti itulah barangkali yang agak menyengat bagi penganut sastra untuk sastra, lart por lart, atau sastra murni.

Sastra islam tidak mengharuskan ada embel-embel sajadah, kopiah, santri dan termin-termin sempit semacamnya. Penyempitan substansi dakwah inilah yang agaknya masih rumit diimplementasikan oleh mereka yang ingin terjun total ke sastra dakwah. Tapi lihatlah Muhammad Iqbal, sastrawan termasyhur dari dunia islam. Iqbal yang ketua Liga Muslim yang turut membentuk negara Islam Pakistan dan berpisah dari India itu menulis antologi Pesan-Pesan dari Timur dan tak terhitung lagi karyanya yang sastra islami, tapi cair dan diterima di Barat sekalipun. Kahlil Gibran yang berdarah Yahudi pun diterima dengan manis oleh generasi muda islam. Persoalan cairnya sebuah karya mungkin saja adalah hal tersulit tapi cairnya karya menjadi wajib jika ingin diterima. Karya sastra masih akan berfungsi menghibur dan mendidik. Dengan fungsi itu karya sastra tetap mampu menyelinap sebagai katarsis untuk pembersihan jiwa. Di celah peradaban, sastra islam adalah tetap panglima pencerahan.
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday