Latest Post

Sepucuk Surat Dari Desa

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 31 Desember 2009 | Desember 31, 2009


-prosa kecil buat thantri

terbangun pada pagi hari di negerimu adalah terbangun karena aroma khas sepiring nasi goreng yang diracik dari puisi yang belum habis dikunyah pada mimpi semalam. secangkir kopi susu yang kau hidangkan di depan hidungku adalah sisa beberapa lembar halaman dari sebuah novel yang pernah kita perbincangkan saat matahari tenggelam. thantri, pelajaran apa lagi yang telah kau siapkan untuk anak-anak muridmu hari ini?
“sekeranjang nyanyian dan judul-judul puisi yang belum selesai,” jawabmu sederhana dan segera berlalu.
“apakah sekeranjang soundtrack film yang kau anggap sama membiusnya dengan novel-novel di kamar kosmu itu?” tanyaku menggumam tidak jelas tapi memang tidak ingin aku perdengarkan sebab langkahmu telah sampai di koridor kampus. disana telah banyak bergerombol para penyair yang belum cuci muka dan kumur-kumur. kebetulan mereka hanya lusuh karena waktu.


thantri, hari ini entah kenapa aku sangat merindukan mulut dan hatimu mendongeng sambil berteka-teki saja. sebab itu adalah negeri-negeri kenyataan bagi gagasan. bukannya mencintai puisi, cerpen, atau pun film yang kadang menghancurkan para penulisnya sendiri sebelum karya mereka sampai kepada penikmatnya. aku tidak bermaksud mengguruimu di negerimu sendiri. sebab bahkan kita telah terlanjur mencintai gagasan-gagasan dari karya-karya besar itu. walau tak kunjung menjadi nyata, sekalipun pada benak para penciptanya. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk membuat sepiring lagi nasi goreng atau secangkir kopi susu dengan gagasan yang tidak pernah pura-pura. sebab telah kau tulis dengan puisi-puisi yang nyata. bukan puisi religius yang ditulis oleh penyairnya seusai meniduri salah seorang kekasih gelapnya. bukan puisi cinta yang ditulis oleh penyairnya sembari mengunyah-ngunyah paham hedonisme. bukan puisi pemberontakan terhadap segala ketimpangan termasuk kolusi. dimana justru puisi itu dimuat di koran tapi setelah melalui proses kolusi setidaknya hubungan pertemanan dengan redaktur koran. bukan puisi-puisi pengkhianatan!
aku tidak ingin kau menulis seperti mereka. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk menemaniku menempelkan puisi-puisi pada batang-batang padi di sawah. setiap pagi dan sore hari dibaca oleh nurani anak-anak petani desa setiap menggiring ternak pulang ke kandang. aku ingin segera terbangun pada pagi hari di negerimu. selalu. tanpa pura-pura. sebab disini, beberapa lembar puisi dari kota tak lagi renyah saat kita baca dalam hati. 

bulukumba, 23 maret 2008.

Buku dan Cekal

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 30 Desember 2009 | Desember 30, 2009

Indonesia adalah sebuah negeri di mana setiap rezim terkesan 'mudah' mencekal buku-buku yang dianggapnya dapat meresahkan atau mengusik stabilitas. Ada kebiasaan yang janggal, penguasa justru 'malas' membuat tandingan dengan menerbitkan buku putih, misalnya. Penguasa di Indonesia lebih merasa nyaman ketika mereka cukup main cekal saja.

Paling tidak ada tiga macam acuan umum penyebab sebuah buku dapat dicekal:
-buku tersebut dianggap mengandung unsur-unsur pornografi yang  dapat    merusak moral masyarakat
-buku tersebut  mengandung unsur-unsur Ideologi/aliran/kepercayaan yang dapat dianggap meresahkan masyarakat.
-buku tersebut dapat dianggap merusak citra/nama baik seseorang/lembaga tertentu.



Ada dua jenis buku yang paling sering menjadi korban pencekalan penguasa. Pertama, buku karya sastra yang 'menohok' penguasa. Kedua, buku ilmiah yang dilengkapi fakta akurat yang menelanjangi kebobrokan penguasa.

Para penikmat sastra di Indonesia pasti tak akan pernah lupa dengan pencekalan buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer oleh rezim Orde Baru. Pementasan teater dan pembacaan puisi yang dinilai radikal juga tak luput dari pemberangusan. Pemerintah Orde Baru yang terkesan represif malah juga pernah membreidel beberapa media cetak yang dianggap "terlalu mencerdaskan" masyarakat melalui pemberitaan yang apa adanya. Setelah zaman reformasi, ternyata budaya 'mudah mencekal' terkesan masih dilanjutkan oleh rezim SBY.

Buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis George Junus Aditjondro, termasuk kategori jenis buku yang kedua di atas. Sangat aneh ketika pihak-pihak yang merasa disentil justru terlalu cepat kebakaran jenggot. Kepanikan mereka justru semakin meyakinkan masyarakat bahwa fakta dan data dalam buku itu memang benar adanya. Padahal jika mau ditelisik, seluruh data dalam buku tersebut sama sekali tidak ada yang baru. Malah jauh lebih lengkap yang diungkap oleh berbagai media selama ini. Juga jauh lebih 'seram' data-data yang disuarakan dalam berbagai orasi mahasiswa. Pencekalan buku adalah sesuatu yang sangat janggal di zaman intelektual yang mengedepankan informasi berimbang.



Sastra yang Absurd

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 28 Desember 2009 | Desember 28, 2009

Awalnya karya sastra yang absurd, gelap dan  abstrak tidak dikenal di Indonesia. Sastra beraliran absurd di Indonesia mulai merajalela sejak 1970-an. Berbagai bentuk puisi-puisi gelap, novel anti hero dan anti plot, drama tak jelas terus berlanjut hingga kini. Semuanya itu masih bisa bertahan akibat ketidakjelasannya tapi justru menjadi kekuatannya. Sastra yang absurd ini lahir lewat proses panjang dan berdasar.

Ada beberapa penyair, cerpenis dan novelis yang barangkali memang sedang sadar telah membuat aliran absurd dalam karya-karyanya dengan tendensi berbeda-beda. Puisi-puisi abstrak dituding sebagai biang keladi sastra absurd di Indonesia. Puisi-puisi gelap ini lahir seiring dengan perkembangan teater di tanah air. Sejatinya puisi-puisi abstrak lahir di balik dapur teater kemudian terbawa keluar kedunia yang bukan dunia teater, karena tidak semua seniman Sastra Puisi orang teater, tetapi orang teater pasti seorang sastrawan.

Abstrak memiliki arti, tak berbentuk, tak berpola, yang sifatnya sebagai abstraksi para seniman terhadap persoalan, peristiwa atau apapun yang ditangkap dan dikunyah oleh para seniman itu. Dalam bentuk puisi, sesungguhnya yang benar-benar abstrak tidak ada! Puisi adalah bentuk berkesenian yang bermain pada kosa kata, pada kalimat. Setiap Kosa kata dan kalimat memiliki arti. Arti yang dapat kita mengerti dengan jelas, hanya mungkin cara para seniman memainkan kosa kata menjadi kalimat yang tidak umum itu yang membuat kita bingung untuk mengartikannya.

Puisi, novel, cerpen dan teater di Indonesia adalah karya-karya yang amat mudah dimengerti. Karya-karya itu dilahirkan di negeri yang polos. Tidak abstrak! Novel-novel Iwan Simatupang ataupun puisi-puisi Ikranegara yang bisa membuat kening kita  berkerut mengunyah maknanya, sesungguhnya adalah karya-karya yang polos. Sama halnya cerita tentang buaya yang dapat bercakap-cakap dengan kancil dalam sastra fabel.

Eksakta Kepenyairan Umar Khayyam

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 27 Desember 2009 | Desember 27, 2009



Di dunia Barat, Umar Khayyam telah melampaui batas geografis dan demografis dengan julukan The Rub iy t of Omar Khayyam. Bahkan nama besarnya diabadikan menjadi salah satu nama planet kecil di luar angkasa. Pada tahun 1980, seorang ahli astronomi dari Uni Soviet bernama Lyudmila Zhuravlyova menemukan sebuah planet kecil melalui teleskop. Zhuravlyova kemudian menamakan planet itu Umar Khayyam. Kontribusi dan dedikasi Khayyam di bidang astronomi juga diabadikan sebagai salah satu nama kawah di bulan. Pada tahun 1970, para astronom sepakat untuk menggunakan nama Khayyam di salah satu kawah bulan.

Ia seorang ilmuwan matematika, astronomi dan filsafat tapi lebih termasyhur sebagai penyair.  Beberapa sumber sejarah menyebutkan, syair dan puisinya banyak dipengaruhi karya-karya Abu Nawas. Khayyam telah menulis seribu bait syair dan puisi. Puisi-puisinya yang dikenal skeptik justru begitu berpengaruh di dunia Barat. Lahir di Persia (Iran) pada 18 Mei 1048 M dengan nama lengkap Ghiyath A-Din Abu'l-Fath Umar ibnu Brahim Al-Nisaburi A-Khayyami. Secara bahasa, Khayyam berarti 'pembuat tenda'. Nama itu digunakan, karena sang ayah bernama Ibrahim adalah seorang pembuat tenda.

Sebagai seorang ahli matematika ia  menulis buku tentang aljabar berjudul Treatise on Demonstration of Problems of Algebra. Salah satu kontribusinya yang lain dalam bidang matematika, dia menemukan metode memecahkan persamaan kubik dengan memotong sebuah parabola dengan sebuah lingkaran. Pada 1077 M, Khayyam menulis kitab Sharh ma ashkala min musadarat kitab Uqlidis (Penjelasan Kesulitan dari Postulat-postulat Euclid). Umar Khayyam juga berkontribusi dalam geometri, khususnya pada teori perbandingan.

Sebagai pakar astronomi, Khayyam sempat diundang penguasa Isfahan, Malik Syah pada tahun 1073 M. Ia diminta untuk membangun dan bekerja pada sebuah observatorium, bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan terkemuka lainnya. Akhirnya, Khayyam dengan sangat akurat (mengoreksi hingga enam desimal di belakang koma) mengukur panjang satu tahun sebagai 365,24219858156 hari.

Ia terkenal di dunia Persia dan Islam karena observasi astronominya. Khayyam pernah membuat sebuah peta bintang (yang kini lenyap) di angkasa. Salah satu prestasinya dalam bidang astronomi dan matematika adalah keberhasilannya mengoreksi kalender Persia.

Pada 15 Maret 1079 M, Sultan Jalaluddin Maliksyah Saljuqi (1072 M - 1092 M) memberlakukan kalender yang telah diperbaiki Khayyam, seperti yang dilakukan oleh Julius Caesar di Eropa pada tahun 46 SM dengan koreksi terhadap Sosigenes, dan yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada Februari 1552 dengan kalender yang telah diperbaiki Aloysius Lilius.

Rubaiyat Umar Khayyam merupakan antologi puisi karya Umar Khayyam yang ditulis dalam bahasa Persia. Antologi puisi karya ahli matematika dan astronom itu berjumlah sekitar seribu. Setiap syair dan puisi Khayyam berjumlah empat baris. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Salah satu asset terbesar dari dunia Islam itu tetap dikagumi dunia Barat sampai hari ini. Ironisnya, justru kurang dikenal di Timur bahkan di kalangan masyarakat islam sendiri. Mungkin juga akibat kegersangan dunia Timur akan ilmu pengetahuan itulah yang telah disorot Umar Khayyam  dalam salah satu syairnya:


Mari, di bawah pohon dengan sepotong roti 
Sebotol anggur, buku puisi dan Engkau ini 
Di sampingku bernyanyi-nyanyi di padang gurun
Dan padang gurun pun menjadi tanah surgawi.


Kaleidoskop Novel Indonesia 1920-2009

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Desember 2009 | Desember 26, 2009

(Bagian Kedua)

Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.

Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambangan minyak nasional.

Dekade 1990-an lahir novel mutakhir berjudul Saman, terbit tahun 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap tabu. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.



Era tahun 2000-an ditandai dengan lahirnya seorang penulis termuda yang menulis novel berjudul Area X, tahun 2003.  Area X, adalah sebuah novel futuristik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani. Novel itu ditulisnya ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMA Nusantara Magelang.

Novel terus mengalami perkembangan dan mewakili semangat dari setiap zaman di mana novel itu muncul. Di awal tahun 2000 muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chicklit, teenlit,dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulu mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Di antara karya-karya tersebut yang tergolong ke dalam jajaran best seller, antara lain Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I'm In Love karya Rahma Arunita, Jomblo karya Aditya Mulya, dan lain sebagainya. Yang cukup fenomenal adalah Supernova karya Dee, Dadaisme karya Dewi Sartika, Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan novel-novel mutakhir lainnya yang memiliki energi dan segmen pembaca masing-masing.

*disarikan dari berbagai sumber

Kaleidoskop Novel Indonesia 1920-2009

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 25 Desember 2009 | Desember 25, 2009

Sejarah mencatat pada pertengahan abad ke-19 di tanah air, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi telah meletakkan dasar-dasar penulisan prosa dengan teknik bercerita yang mengacu pada pengumpulan data historis dan penjelajahan biografis. Namun karya prosa yang diakui menjadi karya pertama yang memenuhi unsur-unsur struktur sebuah novel modern baru benar-benar muncul di awal abad ke-20. Novel yang dimaksud adalah novel karya Mas Marco Kartodikromo dan Merari Siregar.

Tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Nasional dengan ditandai lahirnya novel Azab dan Sengsara. Pada masa awal abad ke-20, begitu banyak novel yang memiliki unsur wama lokal. Novel-novel tersebut, antara lain Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Kalau Tak Untung, Harimau! Harimau!, Pergolakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, novel Belenggu karya Armjn Pane, hingga saat ini lazim dikatakan sebagai tonggak munculnya novel modern di Indonesia.

Tahun 1945 tercatat nama Idrus sebagai prosais cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.


Tahun 1949 lahirlah novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hampir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.

Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.

Tahun 1975 muncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah hutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meninggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.

Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.

Bersambung...



Makhluk Bernama Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 24 Desember 2009 | Desember 24, 2009

Binhard Nurrohmat pernah menulis ”Jika diadakan sensus maka rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk yang satu ini begitu populer, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus."

Penyair selalu dianggap representasi yang paling lazim dari kesusastraan atau mungkin juru bicara kebudayaan. Sebenarnya makhluk macam apakah penyair itu? Menurut Saini KM, "Penyair itu adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia merupakan kayu dalam pembakaran, Ia pergi pada inti kehidupan”.

Wayan Sunarta menganggap penyair sebagai penyusun kata-kata yang sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan pembaca. Puisi menurutnya adalah ular kundalini yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya. Sutardji Calsum Bachri bahkan mengutip ayat Al-Quran untuk menjelaskan betapa mulianya kedudukan Penyair. Katanya, QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, "Mereka terus mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya."

Jagad kepenyairan Indonesia saat ini sangat menarik untuk dicermati. Ratusan bahkan ribuan nama baru terus bermunculan. Ribuan teks terus ditulis dan berhamburan ke berbagai kolom sastra di koran, majalah, dan buku-buku antologi puisi. Pilihan lainnya adalah radio dan internet.


Setiap hari di Indonesia puisi-puisi berhamburan dengan nama penyair yang berjumlah ratusan. Di antaranya ada yang mengejutkan dan ada yang mampu menghentak perhatian. Tak terhitung dari mereka dimuat di media massa cetak. Sebahagian kecil di internet. Jumlah paling banyak tersebar dari kalangan remaja. Namun lebih banyak yang memilih bersembunyi di sela-sela buku harian ketimbang memproklamirkan diri sebagai penyair. Jenis makhluk yang terakhir bisa ditebak adalah mereka yang pemalu tapi siapa tahu sebenarnya potensial lebih layak disebut sebagai penyair?

Lalu yang manakah sebagai mainstream puisi mutakhir Indonesia? Mungkin hal yang lazim meski pongah bila seseorang merasa sudah berhasil setelah puisinya dimuat satu media atau telah mendapat legitimasi dari komunitas-komunitas tertentu dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya. Di satu sisi, koran dan kemunitas tertentu juga telah mematahkan idealisme kerja kreatif yang difference. Mungkin saja akibatnya tak lama lagi peta perjalanan sejarah perpuisian tanah air kembali ke titik nadir. Namun ribuan penyair itu pasti tak akan tinggal diam. Sebenarnya mereka adalah makhluk pilihan yang menyusun tatanan dunia melalui kata. Meski ada yang menyebut dirinya sebagai sekedar penyair rombeng, penyair kampung, penyair teri dan sebagainya. Rumah kreatifitas para penyair yang alamiah akan tetap tersusun dari batu bata kata-kata.

Di Bawah Gerimis

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 23 Desember 2009 | Desember 23, 2009

beberapa hari ini aku merasa agak lebih baik jika hanya menuliskan beberapa potong sajak. aku harap bisa mendahului sebelum wajahmu benar-benar diguyur gerimis. lalu kita terjemahkan saja aksara yang ada. 

mungkin benar salah satu lirik lagu yang aku kenal dari yang kau hapal, "...yang menangis tinggalkan diriku, yang menangis lupakanlah aku."

di bawah gerimis. aku merasa telah mencuri sekuntum nyanyian dari sekeranjang waktumu. aku masih saja lelaki yang tidak mampu menjadi sekumpulan airmata atau telaga.

sebuah keberangkatan telah dimulai lagi dari sini. ia tak terbaca. setitik hujan menandainya pada sebaris huruf tak tereja.  

Bulukumba, 23 Desember 2009



 

Cintanya Sepanjang Jalan

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 22 Desember 2009 | Desember 22, 2009



ia adalah purnama ketika kami anak-anaknya berpendaran di bawah bulan
bermain dan terus bertumbuhan.

ia adalah makhluk terkuat di dunia. bahunya mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya. di lain hari bahu itu menjadi tempat nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. 

matanya lebih sempurna memberi energi dibanding matahari. ia tak tergantikan. cintanya sepanjang jalan. 

Bulukumba, 22 desember 2009



            SELAMAT HARI IBU 22 DESEMBER


Sajak Kecil Saja

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 21 Desember 2009 | Desember 21, 2009


apakah tema terbaru yang paling tepat tentangmu?
(semua tema tentang indonesia saja telah diborong oleh televisi, koran dan radio. sebuah revolusi mungkin belum akan cukup membuatnya sedikit berubah)

tapi aku berusaha menulis sajak kecil saja ketika sebuah keberadaan dilindas kekuasaan sunyi. tidak perlu biaya mahal. sajak ini bukan poster dan spanduk demo yang kalimat-kalimat protesnya tentu dicetak dengan biaya mahal. lalu sejumlah massa berkumpul dan berteriak tentang haknya.

aku sendiri saja. lalu apakah tema yang paling tepat untukmu?
jarum jam yang mengitari matamu mungkin akan menandakan kita akan segera selesai. jarum jam itu dulunya pernah berwarna pink. gerakan dan kecepatannya pernah sama persis dengan jarum jam di hatiku.

Bulukumba, sebuah tanggal tak tercatat di 2007 

Sedikit Tentang Desember

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 20 Desember 2009 | Desember 20, 2009




desember yang diletakkan di hari minggu itu ternyata masih pagi, katamu. desember yang terakhir itu ada di dalam kaca di rumah kita. tidak seperti kaleidoskop peristiwa di koran dan televisi. desember kita lebih lengkap. ada potret trotoar, karnaval, demonstrasi dan cinta yang mulai bekerja.

sebenarnya, mendadak aku hanya ingin membubuhkan sedikit tanda tangan pada  almanak di atas meja kerjamu. aku ingin membayangkan semuanya berisi tanggal merah pada tahun depan.

"hatiku tetap bekerja," bisikmu lagi.

Bulukumba, 20 Desember 2009



Festival Budaya dan Lovely Toraja 2009

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 19 Desember 2009 | Desember 19, 2009

Festival Budaya dan Lovely December 2009 di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan akan menampilkan pergelaran seni budaya, antara lain kesenian dari 21 kecamatan di wilayah Kabupaten Toraja Utara, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan serta provinsi lain. Juga digelar kegiatan pameran kerajinan daerah, pameran foto pariwisata, bazaar dan lomba masakan tradisional, pasar malam, hiburan rakyat, serta dialog dan seminar budaya daerah.

Puncak pelaksanaan even budaya ini akan berlangsung pada 26 Desember 2009 di Rantepao, Toraja Utara. Festival Budaya dan Lovely December 2009 telah masuk dalam agenda kegiatan pariwisata berskala internasional, dan mulai dicanangkan pada tahun 2008 lalu, dengan tujuan untuk mengembalikan citra pariwisata Toraja sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia.

Tanah Toraja diharapkan sebagai destinasi utama pariwisata Sulawesi Selatan akan terekspos kembali semua potensi dan daya tarik wisata yang dimiliki, antara lain berupa keindahan alam dan budaya kepada masyarakat Indonesia maupun dunia. Festival itu juga akan dijadikan sebagai titik starting point untuk menyedot kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) maupun wisatawan mancanegara (wisman) lebih banyak lagi ke Toraja pada tahun-tahun mendatang.

Festival Phinisi Bulukumba 2009

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 18 Desember 2009 | Desember 18, 2009


Setelah sempat tertunda, akhirnya Pemerintah Kabupaten Bulukumba menyatakan siap menggelar kegiatan budaya Festival Perahu Tradisional Phinisi pada 19 - 20 Desember 2009. Sekitar 3.000 personel dari pihak pemerintah dan masyarakat setempat disiapkan sebagai panitia. Panitia menjalin kerja sama dengan pengusaha travel dan biro perjalanan untuk membantu mempromosikan kegiatan itu. Festival perahu Phinisi rencananya dihadiri Gubernur Sulsel dan Dirjen Kebudayaan dan Pariwisata.


Kabupaten Bulukumba, Sulsel selama ini terkenal sebagai daerah pembuat perahu Phinisi yang produksinya sudah dikenal hingga ke mancanegara. Masyarakat di pesisir pantai Tanaberu, Kecamatan Bira, Kabupaten Bulukumba, setiap hari membuat aneka perahu seperti perahu Phinisi, Pajala dan Jolloro.

Warga Bulukumba khususnya yang mendiami Tanahberu sebahagian besar berprofesi nelayan. Sebahagian kecil memilih pekerjaan pembuatan perahu atau dalam bahasa Bugis dikenal sebagai "Panrita Lopi". Pemesanan perahu Phinisi, selain warga Sulsel, juga datang dari provinsi lainnya di Indonesia, bahkan pesanan dari Jepang dan negara-negara lainnya di Eropa.

sumber: RCA News

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday