Latest Post

Pameran Seni Rupa Mainan Anak

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 15 April 2010 | April 15, 2010


Anak-anak telah kehilangan banyak ruang. Salah satu ruang itu adalah humanisme. Contoh paling memiriskan adalah tayangan media mengenai anak-anak yang dihajar aparat satpol PP. Bahkan ada pula  di antara mereka ikut bahu membahu bersama orang dewasa mengamuk melawan petugas dalam peristiwa kerusuhan Tragedi Koja, Jakarta Utara kemarin. 

Ruang lainnya bagi anak-anak yang  lebih tergerus lagi yakni ranah seni budaya . Untuk itu seniman muda Musfiq Amarullah menggelar pameran tunggal bertajuk Chilhood Toys di Tembi Rumah Budaya di Jalan Gandaria I/47, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pameran seni rupa yang menampilkan karya-karya lukisan tentang permainan tradisional anak itu berlangsung sepanjang 8 – 27 April 2010.

Dalam karya-karyanyan, Musfiq menyuguhkan permainan tradisional anak, yang kini keberadaannya sudah mulai tenggelam. Dunia anak-anak digambarkan terdiri dari seperangkat permainan beserta beberapa simbol pendukung yang menggugah ingatan para pengunjung untuk kembali ke masa kecilnya dulu.

Menurut Musfiq, konsep karya-karyanya itu berawal dari ingatan pengalaman masa kecilnya dengan permainan yang dimainkannya, yang keberadaannya sekarang sudah hampir punah. “Saya ingin mengingat kembali permainan waktu kecil dulu,” katanya. “Permainan tradisional kini sudah jarang dimainkan lagi oleh anak-anak, karena mainan anak sekarang bentuknya lebih canggih dan modern.”

Dalam pameran tunggal perdananya itu, Musfiq menampilkan sekitar 13 karya lukisan, di antaranya berjudul Lempar Gasing, Bola Bekel, Kelereng, Hompimpa, Halo-haloan, Yoyo, dan Egrang.

Dalam salah satu karya lukisannya Musfiq bercerita bagaimana permainan tradisional sekarang ini tergantikan karena perkembangan jaman yang selalu berubah hingga memunculkan variasi permainan yang lebih modern.

“Kalau dulu mainan anak bisa kita buat dengan bahan-bahan seperti bambu, batang pohon, kaleng bekas dan sebagainya, tapi kalo sekarang semuanya serba instan,” ujarnya menjelaskan.

Hal itu ia gambarkan dalam lukisan bertajuk Tergantikan. Dalam lukisan itu digambarkan beberapa permainan tradisional dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat dan sebuah stick Playstation. ”Ini menggambarkan permainan tradisional yang kian tergerus jaman,” kata Musfiq.

sumber: www.tempointeraktif.com


Ratusan Naskah Kuno Aceh Tersimpan di Brunei Darussalam

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 14 April 2010 | April 14, 2010

Ratusan naskah kuno Aceh, yang tersimpan rapi di Brunei Darussalam sekitar lima tahun lalu, menunggu tindakan pemerintah Indonesia untuk mengambilnya agar menjadi koleksi bagi generasi muda dan masyarakat yang peduli terhadap peninggalan sejarah langka tersebut

Seorang kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A. Hamid SP, di Banda Aceh, mengatakan, semua naskah kuno bernilai sejarah tersebut milik masyarakat yang dibawa saat mengikuti pameran dunia Islam di Brunei Darussalam sekitar akhir tahun 2004.

"Naskah itu milik saya dan milik kita masyarakat. Ketika itu kita ikut pameran dunia Islam. Pameran itu sendiri diikuti dari berbagai negara, termasuk dari Provinsi Aceh," kata Tarmizi, yang kini sedang berupaya mengembalikan ratusan naskah kuno itu ke Aceh.

Menurut Tarmizi, upaya mengembalikan naskah tersebut dapat dilakukan karena ketika benda bernilai sejarah itu diserahkan bersifat sementara. Itu terkait dengan bencana alam gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan Aceh dan menghilangkan ratusan ribu nyawa masyarakat.

"Sangat dimungkinkah naskah itu kita kembalikan ke Aceh. Saya mengharapkan dukungan untuk mengembalikan naskah ini sesegera mungkin ke Aceh. Saya membantu melakukan hubungan dengan Pemerintah Kerajaan Brunei Darussalam karena memang saya yang bawa ke sana," Tarmizi menjelaskan.
Upaya mengembalikan sekitar 150 naskah kuno Aceh itu penting dilakukan mengingat ribuan naskah yang tersimpan rapi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) hancur dan hilang ditelan bencana tsunami yang melanda sebagian wilayah provinsi tersebut.

"Naskah kuno ini menjadi penting artinya bagi masyarakat Aceh karena tidak sedikit naskah yang tersimpan di PDIA kini sudah dibawa tsunami. Saya berharap semua naskah kuno Aceh yang sekarang tersimpan di Brunei Darussalam dapat segera kembali ke daerah ini," ujar Tarmizi.

Tarmizi mengatakan, berbagai naskah kuno Aceh di Brunei Darussalam itu bisa dijadikan koleksi berharga bagi generasi muda dan pemerhati sejarah, karena memiliki nilai Islami dan sangat relevan dan mendukung pemberlakuan syariat Islam di provinsi tersebut.

Mayoritas naskah kuno tersebut ditulis dalam bahasa Arab melayu dan sebagian lainnya berbahasa Arab. Pengetahuan dalam naskah kuno itu juga aneka ragam, termasuk masalah kajian perkembangan masa depan yang diprediksi penulis naskah tersebut.

Tarmizi menambahkan, tak sedikit kandidat doktor negeri jiran Malaysia yang melakukan kajian dan penelitian bagi penulisan disertasi untuk menyelesaikan program studi S3. Mereka rata-rata datang untuk mengkaji sekitar 200 naskah kuno yang kini tersimpan di rumahnya.

(berbagai sumber)

Sketsa Drama Surat-Surat Kartini di Goethe Malam Ini

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 13 April 2010 | April 13, 2010


Ratusan surat-surat Kartini dibaca ulang menjadi sebuah sketsa drama, Selasa malam ini (13/4)  pukul  20.00 WIB di Goethe Haus, Jakarta. Oleh Laksmi Notokusumo, sutradara sekaligus koreografer tari, garapan teater ini ia beri judul "Panggil Aku Kartini Saja"

Laksmi, dalam garapan ini akan menghidupkan potongan-potongan kutipan surat Kartini dalam adegan lakuan kegiatan Kartini dengan kedua adiknya, Kardinah dan Rukmini. Nampaknya Laksmi tak hanya menyoroti peran tunggal saja, namun ingin menghadirkan kehidupan Kartini secara kompleks.

Skesta lebih ditampilkan secara narasi dan minim adegan percakapan. Selain itu, sketsa juga diperindah dengan gerak tari dan tembang baik jawa maupun kontemporer.

Dibantu oleh Umi Lasmina sebagai kurator surat-surat Kartini, Laksmi mulai mengambil bagian-bagian yang menarik untuk dijadikan naskah. "Seluruh dialog yang ditampilkan oleh pemain tak lain adalah kata-kata Kartini dalam surat. Saya tidak mengubahnya sedikitpun," ujar Laksmi.



La Galigo dan Babad Diponegoro

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 12 April 2010 | April 12, 2010


Naskah  La Galigo dan Babad Diponegoro  telah resmi diajukan sebagai warisan dunia pada 9 Maret lalu ke PBB, UNESCO. Namun bangsa Indonesia masih harus menunggu lagi sebab sidang UNESCO di Paris baru akan memutuskan pada Oktober tahun ini.

Babad Diponegoro merupakan otobiografi Pangeran Diponegoro. Naskah asli berjudul Babad Dipå Nĕgårå sudah tak jelas keberadaannya. Tapi, Perpustakaan Nasional masih menyimpan salinan Babad yang kondisinya saat ini sudah memprihatinkan tersebut. Sedangkan La Galigo merupakan legenda rakyat Bugis, Sulawesi Selatan.

Jika keduanya diterima sebagai warisan dunia berarti Indonesia merupakan pemilik sah naskah tersebut. Negara lain tak bisa mengklaim naskah itu sebagai miliknya. Babad Diponegoro dan Ilagaligo akan menyusul Negarakertagama yang telah lebih dulu menjadi warisan dunia.

(berbagai sumber) 

Lukisan Indian Amerika

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 11 April 2010 | April 11, 2010


Suku Indian Amerika adalah salah satu bangsa yang dikenal memiliki kegemaran luar biasa terhadap seni musik dan lukisan.  Picturing America digelar untuk merekonstruksi dan mereproduksi kembali cita rasa seni bangsa Indian. Bertempat di Galeri Salihara, Jalan Salihara No.16 Pasar Minggu, Jakarta Selatan berlangsung pada tanggal 9 – 23 April 2010.

Pameran Picturing America menampilkan 40 lembar reproduksi, antara lain, lukisan yang dibuat pada abad 18 sampai 20. Kita bisa melihat karya-karya awal sejumlah pelukis Indian Amerika hingga karya-karya perupa modern Amerika, seperti Mary Cassatt, Joseph Stella, George Caleb Bingham, Winslow Homer, dan pelukis Amerika yang termasyhur Norman Rockwell.

Pameran ini juga menampilkan foto- foto keramik dan wadah yang dibuat sejak abad 12 - 20. Ada juga foto-foto arsitektur dari bangunan modern abad 20, seperti gedung Chrysler yang bergaya Art Deco di Manhattan karya William Van Alen. Dibangun pada dekade 1920-an, gedung ini melampaui tinggi Menara Eiffel. Pameran ini menyiratkan sejarah, budaya, dan aspirasi bangsa Amerika.




Sekuntum Nyanyian

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 10 April 2010 | April 10, 2010


seperti teatrikal hujan
tiba-tiba saja kau berkunjung diam-diam ke hatiku
mencuri sekuntum nyanyian namun tidak mengembalikannya
hari yang menggemaskan.
aku lupa reffrain pada notasi lagumu
kita hanya saling menuliskan aksara
tapi tak sempat terbaca.
ah, diam-diam ke hatiku,
tapi tidak usah mengembalikannya

makassar, 10 April 2007



"sebuah puisi lama di utara kota"



Sunyi Itu Batu

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 09 April 2010 | April 09, 2010

sewaktu-
waktu
sunyi itu
adalah
kelopak bunga
seperti
kata ibuku.
tapi
sudahlah
sunyi itu
lebih sering menjadi
batu
ketika
aku
dan kamu
melingkari
api unggun 
yang tenyata 
memang  
dinyalakan 
rindu. 

bulukumba, 09 April 2010



Seni Instalasi Efek Tiga Dimensi

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 08 April 2010 | April 08, 2010


Seni Instalasi belum mati di Indonesia. Terbukti dalam ruang pameran Kedai Kebun Forum di Jalan Tirtodipuran No. 3, Yogyakarta. Garis-garis dari pensil yang membentuk bidang bujur sangkar kecil-kecil memenuhi dinding putih. Lalu, bayangan yang membentuk sosok manusia seperti “membelok” antara lantai dan dinding. Juga bayangan satu set meja-kursi. Semuanya berwarna putih dipenuhi garis-garis pensil yang membentuk bidang kotak-kotak.

Di beberapa titik lantai ruang pamer diletakkan trap-trap kayu dengan jarak dan ketinggian tertentu. Di atas tangga kayu inilah pengunjung bisa menikmati karya Kokok P. Sancoko, 36 tahun, dalam pameran bertajuk Myth, sepanjang 7-30 April ini.

Dari atas tangga itu pula pengunjung memperoleh “keajaiban”, karena bayangan orang dan benda yang pada awalnya dua dimensi itu tiba-tiba berubah bentuk menjadi tiga dimensi. “Inilah yang disebut sebagai optical art,” kata Kokok.

Perupa, yang pernah menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 1992 ini, tak perlu repot-repot mencari model untuk karyanya. Sebab, bayangan orang pada karyanya itu tak lain adalah Agung Kurniawan, Neni, dan Imelda. Mereka adalah pemilik dan pengelola Kedai Kebun Forum. Agung dalam posisi jongkok, Neni dalam posisi berdiri sembari memegang rokok, dan Imelda dalam posisi melangkah.

Garis kotak-kotak pada tembok ruang pamer maupun pada bayangan orang dan benda, memiliki dua fungsi. Pertama, berfungsi ilusif serta matematis dan logis. Menurut Kokok, garis kotak-kotak di dinding ibarat layar atau memberi ilusi ada sebuah ruang di belakangnya. “Itu artinya, karya ini sebenarnya bisa diletakkan di mana saja, tidak harus di ruangan,” katanya. Pameran ini juga menghadirkan karya Dedi D. Hermawan, 32 tahun, mahasiswa IKP Bandung, Jawa Barat.


Tunrung Tumpaka Di Unhas Hari Ini

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 07 April 2010 | April 07, 2010


Sendratari Tunrung Tumpaka yang dimainkan kelompok seniman Komunitas Pakampong Tulen (Komplen) Kabupaten Bantaeng akan meramaikan pelantikan Rektor UNHAS hari ini, Rabu 7 April 2010. Tari dan musik yang bercerita tentang kebersamaan ini naskahnya ditulis Bahruddin S.Sos (Dion) dengan arransemen musik digarap Haedir, A.Md tersebut siap mengetuk ego manusia untuk menghilangkan perbedaan (perseteruan) yang tidak jelas dan tak bermuara.

Koordinator Komplen, Dion menyebutkan, kelompok seni binaan Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantaeng ini akan memaniskan perseteruan hingga berbuah perdamaian. Masih menurut Dion, melalui alat musik tradisional yang disertai gerak lincah pemain gandrang dan lagu Makassar khas Bantaeng akan membawa penonton hanyut menyatukan rasa dan mengajak kita semua untuk satu persepsi, satu tujuan bersama menuju The New Bantaeng.

Kelompok seni yang menampilkan 13 pemain pada pelantikan Rektor Unhas ini lahir disebuah kampung Bissampole. Pendeklarasiannya dilakukan di Benteng Somba Opu pada 25 Juli 2005 silam. Komplen hingga saat ini masih tetap melakukan apresiasi dan eksplorasi pada Pentas-pentas yang telah dihasilkan. Kelompok yang terdiri atas berbagai multitalen dan dari sebuah kealamian (Otodidak ) tetap konsisten mengangkat budaya dan tradisi lokal Bantaeng.



Makkunrai Project di Festival April di Jakarta

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 06 April 2010 | April 06, 2010

Seniman monolog asal Papua, Luna Vidya dari Makkunrai Project, akan tampil di hari ketiga perayaan Festival April 2010 di Jakarta, Rabu 15 April mendatang. Tak hanya membawakan monolog, Luna sekaligus mejadi penulis dan sutradara naskah dalam karya berdurasi 50 menit ini.

Makkunrai terpilih bersama Teater Sakata, Padang Panjang, Sumatera Barat, untuk mengisi hari ketiga perayaan ekspresi budaya dan seni perempuan Indonesia ini, pada Kamis 15 April 2010, di Goethe Haus. Monolog berjudul Makkunrai disadur dari cerita pendek karya Lily Yulianti Farid.

Festival April didedikasikan sebagai momentum kelahiran tokoh feminis Indonesia, RA Kartini. Hajatan  seni berlevel internasional ini kali pertama diselenggarakan Institut Ungu, tahun 2003 lalu. Pelaksanaan festival kedua di tahun 2010 mengusung tema Gemakan Suara Perempuan yang secara khusus menyoroti masalah pembebasan perempuan.

Pameran Seni Rupa Face to Face (book)

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 05 April 2010 | April 05, 2010


Dunia maya telah mengalami perkembangan sedemikian pesat. Dunia telah dapat digambarkan terdiri dari seperangkat komputer beserta situs-situs yang selalu menghipnotis manusia untuk menjelajahinya saban hari. Manusia mengembangkan pertemanannya secara virtual, yang juga bisa berguna mendukung pertemanan yang konvensional.

Fenomena itulah yang kemudian dituangkan tiga seniman perupa dari Semarang, Jawa Tengah – Koko Hari Subandi, Ham Ngien Beng, dan Atie Krisna – menggelar pameran bersama bertajuk Face to Face(book). Pameran yang menampilkan karya-karya lukisan dua dimensi (2D) itu digelar di Cemara 6 Art Gallery, Jalan Cokroaminto, Menteng, Jakarta Pusat, sejak 24 Maret hingga 8 April mendatang.

Karya Ham yang berjudul Update Profil # 1 Hingga # 4 secara konseptual lebih menonjolkan wajah-wajah dan teks-teks untuk menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat tentang dampak sosial yang dapat ditimbulkan oleh situs-situs dari Internet pada umumnya. “Seperti sebuah fenomena yang sering terjadi di dunia maya, bahwa apa dan siapa jati diri mereka kita tidak pernah benar-benar tahu,” Ham menerangkan.

Hari memberikan konsep karyanya Reuni Badut-badut, yang mengeksplorasi tubuhnya sebagai media ekspresi. Figur gemuk tubuhnya ditampilkan sedemikian rupa, dengan riasan coreng-moreng pada wajah seperti layaknya badut, sebagai sebuah identitas kelompok yang menebar tawa dengan mulut tertawa lebar.

Atie Krisna dengan judul karya "Akun Aku" menangkap fenomena dunia maya yang terjadi belakangan ini sebagai ritual dalam membangun pertemanan dengan cara virtual. Menurut Atie, begitu banyak cara praktis dalam menemukan kembali saudara atau teman semasa kecil, berbagi cerita serta ruang untuk menebar narcissism.


Beautiful Sunset Seniman Tua Yogyakarta

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 04 April 2010 | April 04, 2010


Puluhan seniman tua Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Wedhangan (FSW) menggelar pameran lukisan bertajuk "Beautiful Sunset" di Galeri Biasa, Jalan Suryodiningratan, Kota Yogyakarta, 3-10 April 2010.

Ketua panitia penyelenggara pameran Azf Tri Hadiyanto mengatakan pameran ini bukan tanpa makna, dan bukan pula menandakan berakhirnya karya pelukis tua.

"Sunset juga bukan simbol berakhirnya masa terang yang sekejap berubah, dan tinggallah gelap hari-hari kreatif seniman tua," katanya.

Menurut dia justru sebaliknya, pameran ini dipenuhi semangat hidup dengan rasa cinta bagaikan semangat bayi yang sedang dilahirkan.

"Bayi ini berjuang antara mati dan hidup, serta berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara, karena ingin hidup 1.000 tahun lagi," katanya.

Ia mengatakan para seniman tua yang rata-rata telah berusia setengah abad lebih itu, memang baru sekarang ini memamerkan karya mereka. Mereka  antara lain Agus Supartomo, Adiyanto Wijarnoko, Arminati, Artha Pararta Dharma, Azf Tri Hadiyanto, Bambang Sukono Wiyono, Sohartopo PR, Soegeng S, Naima Fari, Soepono PR, dan Sugiyanto.

Karya yang dipamerkan para seniman gaek ini berupa lukisan dengan cat minyak dalam berbagai ukuran, di antaranya berjudul Lahirnya Betara Kala, Ki Ageng Mangir Ksatria Sejati, Penantian Argosoka, Pemburu penjahat, Reunion 8, Cinta Tanah Air, Di balik celah retak beton, dan Tegal.


Setan-setan Berkepala Kelinci Karya Kyre

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 01 April 2010 | April 01, 2010


Tidak semua yang hitam kelam harus diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk buram. Perupa Oky Rey Montha Bukit alias Kyre, 24 tahun, mengungkap kisah getir masa lalunya justru dalam bentuk lukisan bergaya komikal dengan warna-warna cerah. Ekspresi kemarahannya dipersonifikasikan ke dalam figur kelinci yang lucu.

Setan-setan Berkepala Kelinci” karya Kyre ini bisa disaksikan dalam pameran tunggalnya bertajuk Evorah (Evil of Rabbit Head) di Tujuh Bintang Art Space, Yogyakarta, mulai hari ini  hingga 13 April mendatang. Tak hanya menampilkan belasan karya dua dimensi, Kyre juga menghadirkan karya tiga dimensi berupa kereta-kereta terbang bertanduk yang acap muncul dalam lukisan-lukisannya.

Mahasiswa semester VIII jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini memang punya masa lalu yang kelam pada masa kanak-kanak saat masih tinggal bersama orangtuanya di Sumatera Utara. Sebagai anak sulung, ia harus kehilangan masa kanak-kanaknya untuk mengurus dua adiknya. Waktunya hampir habis untuk mengurusi kelinci, hewan piaraan adik-adiknya.

Tak hanya kehilangan masa kanak-kanak, Kyre juga sering mengalami kekerasan fisik. “Susah diceritakan sejauh mana kisah getir masa lalu saya. Yang jelas, sudah dalam bentuk (kekerasan) fisik,” katanya.

Toh Kyre tak mau masa lalunya yang kelam itu muncul kembali ke atas kanvas. Pada karyanya yang berjudul Trip of Trap, misalnya, Kyre menghadirkan “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan kereta terbang bertanduk rusa dengan penumpang seorang gadis berkacamata. Kereta itu melintas di atas ombak menuju sebuah jebakan. Meski terasa getir, bentuk visualnya tetap terasa indah dengan pilihan warna-warna cerah.

Juga karya lain, Between Luck, Faith, and Dangerous yang mengisahkan tentang pertarungan hidup yang berbahaya, namun tetap indah dipandang. “Meski setan, kalau berkepala kelinci akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre bahwa dirinya tetap manis, lucu, menggemaskan bak kelinci meski menyimpan nafsu seram,” tulis kurator Soewarno Wisetrotomo dalam katalog pameran.

Ihwal lukisannya yang terkesan ceria dengan pilihan-pilihan warna cerah, Kyre punya pengakuan tersendiri. “Saya ingin menciptakan dunia baru. Boleh dikatakan pelarian saya dari kenyataan,” ujarnya.

Menurut kurator Soewarno Wisetrotomo, karya-karya dengan genre komik seperti yang dilakukan Kyre ini sebenarnya sudah banyak dilakukan perupa lain, baik di dalam negeri seperti Bambang Toko Wicaksono, Uji Hahan Handoko dan Terra Bajraghosa, maupun perupa luar negeri seperti Bae Yoo Hwan dari Korea serta Jinten Tukral dan Sumir Tagra dari India. Namun, apa kata Kyre tentang pilihan gaya komikalnya? “Sejak kecil saya menikmati komik, menikmati kisah-kisah yang tidak nyata,” katanya.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday