Latest Post

Rekor MURI untuk Karnaval Busana Hitam-Hitam Bulukumba dan Suatu Hari Nanti

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 14 November 2019 | November 14, 2019

Sekitar 27 ribu orang berpakaian hitam-hitam beberapa waktu lalu di Bulukumba. Mereka memecahkan rekor pada Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Pencapaian itu membuat Lembaga MURI mengganjar piagam penghargaan rekor dunia kepada Pemerintah Kabupaten Bulukumba atas pelaksanaan Karnaval Mengenakan Busana Hitam Peserta Terbanyak pada pertengahan September 2019. 

Pencapaian rekor ini bisa pula merupakan barometer pencapaian kesadaran terkait betapa pentingnya budaya. Pakaian adat bukan hanya identitas etnik. Dia adalah kombinasi antara harmoni rakyat dengan pemimpinnya dalam membalut tubuh humanisme dan eksistensi. 

Pakaian adat yang turun temurun diwariskan ke berbagai generasi tentu tidak akan pernah cukup dilestarikan melalui karnaval. Eksistensinya tidak cukup melalui ingatan. Tidak cukup jika hanya memenuhi jalan-jalan protokol di Kota Bulukumba, Sulsel, guna mengikuti Karnaval Busana Hitam yang menjadi rangkaian dari penyelenggaraan Festival Pinisi ke-10 tahun 2019 lalu.

Pencapaian ini bahkan tidak pernah cukup dilakoni oleh komunitas adat Ammatoa di Kajang yang memang sehari-hari berpakaian hitam-hitam. Pencapaian ini tidak cukup jika hanya berhenti pada gagasan dan kebijakan. Dia membutuhkan realitas yang bersandar pada teladan yang ditunjukkan oleh para pemimpin Bulukumba. 

Melihat Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto berpakaian hitam-hitam khas pakaian adat Kajang dalam berbagai acara formil di dalam dan luar negeri adalah contoh betapa teladan itu memang ada. Dan teladan tentu

saja tidak cukup. Masyarakat Bulukumba mungkin telah memulainya dalam karnaval dan diganjar rekor MURI. Namun yang harus menggenapinya adalah bottom up dan follow up. Masyarakat Bulukumba kini paham, siapa saja pemimpinnya yang paham budaya. 

Suatu hari nanti kita mungkin tidak berhenti pada rekor, karnaval, selebrasi, bahkan regulasi. Kita mungkin akan lebih lagi, terus berjalan dengan identitas-identitas khas dan eksistensi budaya lokal. Dengan catatan, masyarakat harus tetap bersama pemimpin yang mencintai dan memahami budaya di kampung halamannya.(*)

Roman Picisan!?


Menurut kamus bahasa Indonesia, roman picisan adalah cerita murahan atau puisi murahan yang intinya tidak berbobot. 

Pemaknaan lainya mungkin bisa mengarah kepada karya yang tidak peduli dengan upaya penyadaran global warming, misalnya. Atau karya yang sama sekali tidak mendukung pentingnya moralitas, kampanye anti narkoba dan sebagainya. Pada era 70-an roman picisan malah sempat menjadi judul film remaja. 

Lalu Ahmad Dhani dan Dewa 19 menjadikannya sebuah lagu fenomenal di akhir dekade 1990, tepatnya tahun 1999. Tentu siapapun yang merasa sebagai anak bangsa apalagi para penulis tidak akan pernah mau karyanya dicap sebagai roman picisan. Saya bahkan telah bersepakat dengan diri sendiri bahwa kamus bahasa Indonesia itu salah besar mengartikan roman picisan. Sebab semua karya, apapun itu harus dihargai sebab telah lahir dari sebuah proses kreativitas penulisnya. Yang paling berhak menghakimi adalah pembacanya.

Berpuluh-puluh puisi, esai, cerpen dan sebagainya yang pernah dibacakan di program sastra RCA 102, 5 FM mungkin saja sebahagian di antaranya telah dituding sebagai roman picisan. 

Entahlah. Hanya pendengar RCA yang bisa menilai sebab merekalah yang mendengarkan, menyimak bahkan menikmati. Pada hari minggu 31 Mei kemarin siang, di acara sastra Ekspresi RCA begitu terasa apresiasi pendengar saat mendengarkan WS Rendra baca puisi. Yang mengagumkan, puisi-puisi blogger dari Tuban Jawa Timur, Ahmad Flamboyant dan Musa Manurung dari Kabupaten Barru justru tak kalah menghipnotis. 

Sebagaimana minggu lalu, puisi blogger kata jiwa dari Jogyakarta berhasil mengundang puluhan SMS pendengar.
Jangan-jangan istilah roman picisan oleh kamus bahasa Indonesia justru turut memberi andil besar penghilangan jejak roman yang sesungguhnya di Indonesia? Setiap kali mendengar istilah roman di benak saya selalu terngiang beberapa judul roman yang pernah diajarkan ibu guru di bangku sekolah dasar. Siapa yang tidak kenal dengan kisah-kisah legendaris Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Anak Perawan Di Sarang Penyamun, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan masih banyak lagi yang lainnya? Setelah itu zaman bergerak dan berubah. Kini roman di ambang kepunahan dalam peta sastra Indonesia, padahal roman adalah salah satu bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Kampanye saya hari ini: hilangkan istilah roman picisan. Semoga tulisan ini adalah yang terakhir kali mengutip istilah roman picisan. Setelah itu tidak ada lagi.


Puisi yang Subversif

Banyak puisi ditulis oleh para penyair tanpa niat untuk melakukan pemberontakan. Puisi di bawah ini bisa jadi contoh sebuah puisi yang tergolong “subversif.” Penyairnya bisa ditangkap karena “nyinyir” terhadap penguasa. Penulisnya anonim.


Dilarang Berlebihan

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
jika kakek nenekmu di masa silam mengangkat senjata melawan penjajah 
maka hari ini kamu dilarang turun ke jalan memprotes apapun
sangat berlebihan jika kamu mengikuti jejak kakek nenekmu merebut kemerdekaan
meskipun yang kamu perjuangkan adalah kemerdekaan dari  penjajahan oleh bangsa sendiri

jika bibimu tukang sayur
pamanmu penjual ikan
ibumu penjual cendol
ayahmu pegawai negeri 
maka kepalamu boleh dipukul dengan popor senapan 
tubuhmu boleh ditembus peluru tajam
senapan dan peluru yang dibeli dari hasil pajak
yang salah satu sumbernya adalah retribusi yang dipungut dari hasil jualan sayur bibimu,
ikan pamanmu, cendol ibumu, dan pajak penghasian dari gaji ayahmu
kalau para maling berkongkalikong mengubah aturan-aturan agar mereka bisa semakin leluasa merampok negerimu
maka kamu tidak boleh memprotes
cukup di rumah saja main game online
karena game online katanya termasuk olahraga, kata paman dari seorang kawan yang tempo hari menang pilkades.
tidak usah turun ke jalan dan nyinyir di medsos
cukup beritikaf di masjid
namun semoga dalam itikaf kamu memperoleh ilmu baru
bahwa jika agamamu hanya berisi ibadah melulu
maka rasulmu tidak pernah turun ke medan tempur membela agamanya.
tidak usah nyinyir
kamu akan diincar
sebagaimana nabi musa yang menyampaikan risalah kebenaran di hadapan fir’aun
lalu diburu sampai ke tepi laut merah

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
sangat berlebihan jika kamu suka nyinyir
cukuplah menikmati barang-barang impor
itu sudah cukup
yang punya hak untuk berlebihan adalah mereka 
yang mengeluarkan aturan-aturan
yang mengatur pengeluaran-pengeluaran
yang mengeluarkan pemasukan-pemasukan
yang memasukkan pengeluaran-pegeluaran.

Tanah Airmata, 2019



Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy konon pernah berkata, “Saya lebih takut kepada sebuah puisi dibandingkan satu batalion tentara musuh.”

Ketika satu puisi saja bisa dituding subversif maka siapakah lagi yang akan menjadi penyeimbang di luar lingkaran kekuasaan? Oposisi?

Hari ini ketika nyaris semua parpol dan elit politiknya bersekutu dengan kubu pemerintah maka siapakah lagi yang akan diharapkan menjadi oposisi sejati? Dalam hal ini yang dimaksud tentu saja adalah oposisi yang menjadi bagian dari sistem: oposisi di dalam parlemen. Jangan-jangan mereka memilih oposisi sesaat hanya karena kecewa tidak mendapatkan jatah menteri, misalnya?

Banyak pula yang masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa meskipun mahasiswa berada di luar lingkaran sistem yang ada. Dan sejarah mencatat, beberapa kali aksi turun ke jalan oleh mahasiswa yang dibantu pelajar STM toh harus selalu berakhir dengan sikap represif aparat. Sikap represif ini dipandang sebagai representasi sikap rezim.
Banyak pula yang masih mengandalkan pada kekuatan media sosial untuk mengkonsolidasikan opini dan aksi publik. Nyatanya banyak netizen yang harus diseret ke muka hukum akibat “perlawanannya” di media sosial.

Lantas siapa lagi yang akan bisa dianggap sebagai barisan oposisi yang sejati? Ulama? Ulama yang paling pemberani saja dikriminalisasi sampai harus hijrah keluar Indonesia. Ulama yang tidak sekubu mereka persekusi di mana-mana. Mahasiswa berdemo mereka halau dengan tembakan peluru dan gas airmata. Para sastrawan dan penulis? Mereka tidak bisa diharapkan terlalu jauh. Karya mereka sewaktu-waktu bisa dituding subversif. 

Pada dasarnya rakyat sudah tidak sepenuhnya lagi percaya terhadap partai-partai oposisi. Hari ini mereka mungkin adalah oposisi, besok mereka bisa berubah begitu saja. 
Di hari-hari ini kita harus hati-hati menulis puisi meskipun sedang jatuh cinta.

Pustaka RumPut, 29 Oktober 2019

Dari Indunesian sampai Badduluha

Adalah kelaziman di wilayah ilmiah ketika seorang ahli mengajukan nama bagi sebuah kawasan di muka bumi yang sebelumnya belum memiliki nama. Seperti yang dilakukan George Windsor Earl, seorang navigator Inggris dan penulis karya buku tentang Kepulauan Melayu. Dialah yang mencetuskan nama "Indunesian." Kata 'indus' berasal dari kata 'Hindia' dan 'nesos' dari Bahasa Yunani yang berarti 'pulau.' Dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) Earl mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia (Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau Malayunesia.

Masih di tahun yang sama, seorang editor majalah dari Skotlandia bernama James Richardson Logan mengganti huruf 'u' menjadi 'o'.  Wacananya pertama kali tertuang dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia, tahun 1850. Akhirnya Indunesian atau Indunesia menjadi Indonesia. Tampaknya perubahan itu dianggap permanen. Sejak itulah orang-orang terpelajar mengenal nama "Indonesia" untuk merujuk sebuah tanah eksotis yang membentuk etinitas dari banyak pulau, suku, budaya, agama, dan ras yang dilintasi sebuah garis imajiner bernama khatulistiwa.

Kemudian seorang ilmuwan Jerman, Adolf Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin, berhasil mempopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana Belanda. Dalam bukunya berjudul Indonesien; Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel terbitan 1884 sebanyak lima jilid memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun 1864-1880. Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Penduduk negeri ini menamakan wilayah luas mereka sebagai Nusantara. Bangsa China menyebutnya dengan nama Nan-hai. Bangsa Arab menamainya Jaza'ir Al Jawi atau Kepulauan Jawa. Orang-orang dari India mengenalnya dengan sebutan Dwipantara atau Tanah Seberang. Namun tetap saja Belanda yang menjajah negeri itu menamakannya "Hindia Belanda."

Sebutan bisa berbeda-beda pada suatu entitas, obyek, bahkan individu. Saya saja disebut dengan jumlah nama yang lebih dari tiga sampai lima oleh orang-orang. Semasa bayi hingga bisa merangkak dan berlari saya dipanggil dengan nama "Baco" atau "Aco." Di kemudian hari Si Baco itulah yang menciptakan nama #LaCulleq sebagai tokoh fiksi. Dampaknya, orang-orang lalu mengidentikkannya sebagai La Culleq sehingga nama itu dianggap sebagai namanya sendiri. Padahal dia pernah memiliki empat nama keren: Daeng Janggo, Igo, dan Ivan Kavalera. Setelah diusut, di KTP-nya tertulis Alfian Nawawi. 😁

Lain lagi dengan teman saya yang bernama Burhanuddin. Dia lebih suka memakai nama samaran "Boy." Namun orang-orang di sekitarnya lebih suka memanggilnya "Badduluha." Entah apa arti nama itu. Begitulah, nama dan sebutan apapun itu merupakan proyeksi dari perspektif terhadap segala sesuatu. Yang jelas, orang-orang selalu jujur dalam perspektifnya terkait nama kita.

Monolog Seorang Prajurit

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Mei 2019 | Mei 19, 2019

Prabowo muda (Sumber foto: IDN Times)
Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba monolog ini terdampar di "Catatan Gorong-Gorong" milik seorang rakyat biasa, Alfian Nawawi. Kumpulan catatan ini saya singkat saja: Catro. Supaya berbau milenial. Bolehlah dianggap antonim dari istilah "katro". Jika tersenyum atau nyengir maka jangan kaget, sebab saya punya "sense of humor" yang lumayan tinggi.

Yang saya tahu, 'monolog kecil' ini pasti akan dipandang dari berbagai jurusan, secara negatif maupun positif, dianggap fiksi maupun fakta. Satu hal yang pasti, monolog ini adalah salah satu edisi Catro, sekumpulan tulisan dengan realitasnya yang "pecah-pecah." Maksudnya sejenis catatan yang tidak tuntas. Hanya selalu menyelesaikan pertanyaan, dan menyerahkan kepada pembacanya pada dua pilihan. Pertama, memilih untuk mengabaikan. Kedua, memilih mengembara sendiri mencari jawaban yang sudah dirintis penulisnya.

Sebagai seorang prajurit sejati saya senantiasa patuh kepada setiap perintah atasan. Perintah menculik aktivis pun akan saya laksanakan sepanjang penculikan itu memang bertujuan untuk membela Pancasila dan UUD 1945.

Kalau perintah itu berbunyi, "hilangkan" maka saya akan "menghilangkan" para aktivis itu namun dengan cara saya, sesuai jiwa Pancasila dan Saptamarga, namun tidak berdasarkan kezaliman. Melainkan dengan cara seorang patriot. Bukan cara rezim tiran, bukan cara pengkhianat Pancasila. Bukan membunuh anak-anak muda itu semena-mena.

Alhamdulillah, mereka masih hidup sampai hari ini. Bahkan mereka sebagian besar bergabung dengan saya dalam sebuah gerakan untuk membangun kembali Indonesia Raya. Sebab saya tahu mereka adalah aset bangsa.

Cara saya "menghilangkan" para aktivis tersebut jelas menyalahi perintah atasan. Ketika perintah itu berbunyi "habisi mereka" justru saya "mengamankan" mereka. Akibatnya mereka masih hidup sampai hari ini.

Selaku prajurit saya siap menerima segala konsekuensinya. Apapun itu. Namun sebagai patriot saya siap membela pasukan saya dan menyelamatkan anak-anak muda yang diculik tersebut. Biarkan saya sendiri yang menanggung akibatnya. Apapun itu. Sejarah boleh dibolak-balik namun kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Jika ada yang masih mempermasalahkan peristiwa tersebut, silakan bertanya kepada mantan atasan saya. Dia masih hidup, masih segar bugar. Dia pasti mengetahui pasukan siapa yang membunuh sebagian aktivis. Tanyakan juga kepadanya apa yang sebenarnya terjadi di belakang Kerusuhan Mei 1998 di Ibukota. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana perlakuan pasukan saya kepada para aktivis yang "diamankan" itu silakan bertanya langsung kepada para aktivis tersebut. Mereka masih hidup.

Saya tidak menginginkan monolog ini ada di sini. Bahkan tanpa persetujuan saya. Bahkan saya tidak tahu menahu monolog ini ada di sini. Ini hanya keinginan sepihak dari si empunya Catro. Dia mungkin tidak banyak tahu meskipun juga bukannya sok tahu tapi bisa jadi dia hanya menawarkan sebuah wilayah obyektif yang bisa dieksplorasi dengan metodologi dan investigasi terhadap fakta-fakta secara komprehensif. Mumpung para saksi hidupnya masih ada. Mungkin tujuan lainnya juga adalah untuk memandang sebuah peristiwa dari sudut yang berbeda.

Salam dari saya, Seorang Prajurit. Saya mewakafkan diri saya untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka dari imperialisme politik, ekonomi, dan budaya yang bisa merongrong kedaulatan kita, Pancasila kita, kekayaan kita, dan jati diri bangsa kita. Saya tidak akan mengkhianati amanat rakyat. Saya akan timbul maupun tenggelam bersama rakyat. (*)

Kedaulatan adalah Pergantian


Ilustrasi (sumber foto: trans89.com)
Satu-satunya padanan tepat dari kata "daulat" ke dalam Bahasa Inggris adalah "sovereignty." Dari kata yang dianggap sepadan itu maka sepakatlah berbagai generasi di republik ini mengadopsi istilah "kekuasaan rakyat" untuk memaknai "kedaulatan rakyat". 

Lebih jauh lagi bahkan secara ekstrim ada pemaknaan yang digali dari konsep dan praktik demokrasi liberal yang berbunyi: "suara rakyat adalah suara Tuhan." Konsekuensinya adalah kita tidak boleh tercengang ketika suatu "kebenaran" bisa ditentukan oleh suara terbanyak. Sebagai contoh, seorang begal bisa terpilih sebagai pemimpin karena dipilih oleh satu juta begal lainnya.

Kata "dawlah" atau "dulah" dalam Bahasa Arab memiliki makna "giliran" atau "putaran" atau "pergantian". Kita akan mudah menemuinya dalam sejarah "pergantian klan" atau "putaran kekuasaan" dalam dinamika Dawlah Islam.

Makna tersebut secara tegas mengisyaratkan bahwa kekuasaan yang dimiliki penguasa hanya karena mendapat "putaran" atau "giliran". Pergiliran ini terus terjadi sepanjang masa dan mengisi sejarah. Kedaulatan adalah pergantian dan niscaya tidak ada yang abadi di dunia fana.

Hari ini banyak kekuasaan di bumi yang enggan untuk diganti. Mereka mengatasnamakan demokrasi dan berbagai instrumen aneh -termasuk kecurangan- dengan tujuan agar tidak bisa diganti. Apakah mereka merasa sebagai Highlander?(*)

Jejak Blogger

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 09 November 2016 | November 09, 2016



Blog adalah salah satu tempat untuk meninggalkan jejak. Jejak-jejak intelektual itu berupa tulisan, foto, video, audio dan masih banyak lagi macamnya.
Setiap hari, setiap jam bahkan dalam setiap menit ribuan artikel ditulis dan diposting oleh para blogger dari seluruh penjuru dunia. Sadar atau tidak, mereka telah meninggalkan jejaknya masing-masing. Belasan, puluhan bahkan ratusan tahun ke depan mungkin jejak mereka masih bisa ditelusuri oleh anak cucunya kelak.
Di masa depan, pada zaman yang belum terbayangkan bentuknya, anak cucu dari para blogger mungkin masih akan dapat menikmati postingan dari kakek ataupun neneknya. Lalu, mereka tersenyum-senyum sendiri. Dan mereka berkata,”Aku bangga kakekku seorang blogger!”
Berikut ini ada video putra saya yang saat ini sudah berumur 1 tahun 10 bulan sedang membaca puisi. Namanya Ahmad Dihyah Alfian. Ini merupakan salah satu jejak dari saya untuknya, dan  juga untuk cucu-cucu saya kelak. Insya Allah. Sahabat Blogger, jangan pernah menghapus jejak! Oh ya, artikel saya kali ini adalah juga sekuntum rindu buat sahabat-sahabat blogger. Lama tak saling sapa. Namun kalian tetap di sini, di palung hati.

Rahman Arge, Ingatan Panjang

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 10 Agustus 2015 | Agustus 10, 2015

Sejak kecil saya selalu menyimpan beberapa puisinya dalam ingatan panjang, terutama puisi-puisinya tentang Bosnia. Pada akhirnya, ingatan kepada penulis puisi itu kian memanjang berlama-lama, apalagi setelah kepergiannya. 
Setelah kehilangan budayawan dan kritikus sastra yang langka, Dr. Ahyar Anwar pada 2013 lalu, Sulsel kembali kehilangan seniman nasional, Rahman Arge. Memiliki nama lengkap Abdul Rahman Gega, wartawan senior, aktor film, esais dan cerpenis ini lebih dikenal sebagai budayawan dan penulis puisi. Sosoknya nyaris mendekati sempurna dengan menyandang berbagai predikat, mulai dari seniman, wartawan dan politisi, lewat akting dan tulisan. Arge dikenal pemicu seni teater modern di Makassar, ia mengilhami lahirnya seniman-seniman penerusnya, 
Pasca beredarnya informasi meninggalnya Rahman Arge, sejumlah postingan puisi miliknya bermunculan di Twitter. Rahman Arge meninggal sekitar pukul 10.05 Wita, Senin (10/8/2015), dalam usia 80 tahun.
Rahman Arge yang aktif dalam dunia teater sejak tahun 1955 ini meninggal dunia akibat komplikasi penyakit yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebelum meninggal, Arge pernah dirawat di Rumah Sakit Siloam pada bulan April sampai Mei 2015 lalu. 

Budayawan Sulsel penggemar warna hitam ini pernah menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sulsel empat periode sejak tahun 1970, aktif menulis di Majalah Tempo dan Harian Fajar, serta pernah menjadi anggota DPR RI dari Golkar pada tahun 1987-1992. Selain itu pria yang meninggalkan 1 istri, 5 anak dan 10 cucu ini juga pernah meraih Piala Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1978 dari film Jumpa di Persimpangan dan Piala Citra FFI tahun 1990 dari film 'Jangan Renggut Cintaku'.  

Penuturan salah seorang sahabat almarhum, aktor dan budayawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi, dirinya mengenal Arge sejak tahun 1957 , sewaktu mereka pentas teater di Gedung Kesenian Makassar. Arge bersama Aspar dan 9 tokoh seniman Sulsel lainnya ikut mendirikan Dewan Kesenian Makassar. 
Berikut di bawah ini beberapa karya dan penghargaan serta sepenggal perjalanan karier pria kelahiran Makassar 17 Juli 1935 ini:
• Bidang Pers:
- Menjadi jurnalis pertama kali di Pedoman Rakyat - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan (1973-1992) - Bersama Mahbub Djunaidi mendirikan koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan - Menebitkan majalah Suara, Esensi, Timtim, Harian Reformasi, dan Pos Makassar - Anggota Dewan Kehormatan PWI pusat - Penerima penghargaan kesetiaan mengabdi selama 50 tahun di dunia pers 
• Bidang Politik:
- Anggota DPRD Sulawesi Selatan 4 periode
- Anggota DPR / MPR periode1992-1997
- Penasehat DPD Golkar Sulawesi Selatan
• Bidang Seni, Sastra dan Kebudayaan
- Mendirikan Front Sinema Makassar (1957)
- mendiri Teater Makassar (1969)
- Menerima penghargaan Piala Citra sebagai aktor pemeran pembantu terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1990
- Meraih medali emas pemeran pembantu terbaik pada FFI 1988
- Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Cabang Sulawesi Selatan (1989-1993)
- Ikuti menandatangani Menifest Kebudayaan di Jakarta (1964)
- Mendirikan Dewan Kesenian Makassar
- Ketua Dewan Kesenian Makassar (1970-1979)
- Kepala Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Cabang Sulsel (1978-1992)
- Telah bermain di tujuh film dan di dua festival film nasional - Menerima Penghargaan Seni pada 1977
- Wakil Ketua Umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Pusat (1993-1997)
- Penasehat panitia Konggres Kebudayaan Nasional V (2003)
- Menerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003
- Menulis banyak cerpen, puisi, dan esai
- Belasan naskah teater telah ditulis sekaligus menyutradarai dan menjadi aktornya. Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang
- Menerima penghagaan dari Japan Foundation sekaligus hadiah keliling Jepang (1980)
- Beberapa kali mengikuti festival teater di Taman Ismail Marzuki (TIM)
- Menulis buku berjudul "Permainan Kekuasaan" yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. 

Rahman Arge, selalu ada memori panjang berlama-lama kepadanya. Bahkan jauh setelah kepergiannya. (*)

* Diolah dari berbagai sumber

Namaku Ahmad Dihyah Alfian

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 11 Februari 2015 | Februari 11, 2015

Aku dilahirkan pada “zaman batu”, maksudnya pada saat trend cincin batu. Bulan kelahiranku juga bersamaan dengan peristiwa lumpuhnya KPK akibat dikriminalisasi. Bundaku, Israwaty Samad adalah seorang ibu yang hebat. Ketika melahirkan aku, bunda merasakan bagaimana rasanya melahirkan secara normal sekaligus operasi caesar. Hal itu terjadi karena bunda telah mengalami air ketubannya pecah pada pembukaan delapan sebelum dioperasi caesar juga pada akhirnya. 

Rasa sakit luar biasa yang dialami bunda membuat ayah, kakek dan nenek memutuskan untuk segera membawanya ke Puskesmas Tanete. Hari itu tanggal 27 Januari 2015. Bunda merintih kesakitan selama satu jam lebih di puskesmas. “Baru pembukaan tiga,” kata seorang bidan. Beberapa orang temanku di dalam rahim bunda terus memberiku semangat agar tetap lincah bergerak. Mereka adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT mendampingi aku semenjak aku masih berbentuk nutfah dalam rahim bunda. Selama sembilan bulan lebih mereka menjadi sahabat-sahabatku yang setia. Merekalah yang menemani aku berenang dalam akuarium ketuban bunda, mengawasi aku yang menghisap nutrisi melalui ari-ari dari makanan-makanan yang dikonsumsi bunda, dan menjadi informan tentang segala hal yang terjadi di sekitarku di luar alam rahim. Mereka adalah sahabat sekaligus guru yang baik. Banyak ilmu pengetahuan yang aku peroleh dari mereka selama berada dalam rahim bunda. 

Aku sering mendengar para malaikat itu berdiskusi tentang aku. Kata mereka aku terdiri dari jasad dan batin. Aku diciptakan dari Nur Muhammad lalu ditempa dari anasir Adam: api, angin, air, dan bumi. Api terbit dari batinku berhuruf Alif bernama Zat, rahasia darahku. Angin terbit dari batinku berhuruf Lam awwal bernama Sifat, menjadi nyawa, rahasia nafasku. Air terbit dari batinku berhuruf Lam akhir bernama Asma, menjadi hati, rahasia maniku. Tanah terbit dari batinku berhuruf Ha, bernama Af-al, menjadi kelakuan, rahasia tubuhku. Api, angin, air, dan tanahku membentuk kalimah: La Ilaha Illallah. La, syariat itu perbuatanku. Ilaha, thariqat itu ucapanku. Illa, haqiqat itu nyawaku. Allah, ma’rifat itu rahasiaku. Haqiqatku: aku Muhammad: tubuh, hati, nyawa dan rahasia. Aku api yang tegak berdiri, angin yang ruku’, air yang bersujud, bumi yang duduk bersimpuh. Aku fana, lebur lenyap kepada batinku. Dari tiada menjadi ada, dari ada kembali menjadi tiada. Tubuhku syariat di alam insan. Hatiku thariqat di alam jisin. Nyawaku haqiqat di alam misal. Sirku ma’rifat di alam ruh. Segala perbuatanku adalah Perbuatan-Nya, segala ucapanku adalah Asma-Nya, Nur Muhammad dari Nur-Nya, segala sifat adalah Sifat-Nya, padaku adalah wujud-Nya. Alif Lam Lam Ha, La Ilaha Illallah. 

Hasil pemeriksaan bidan menyimpulkan bahwa kandungan bunda memiliki kelainan. Tulang panggul bunda tempat di mana aku akan meluncur ke dunia agak sempit. Pantas saja aku kesulitan bergerak. Konon, kondisi langka ini dialami oleh sebagian kecil ibu-ibu hamil. Proses perputaran tubuhku sebelum lahir seharusnya beberapa kali lagi. Namun karena tempatku meluncur tidak kondusif jika melalui persalinan normal maka tubuhku yang mungil mengalami kesulitan untuk segera nongol. Bidan senior, Hj. Ila yang juga tante dari bunda menyarankan agar bunda dirujuk ke RSUD Andi Sulthan Daeng Radja di Kota Bulukumba. Di sana peralatan jauh lebih lengkap. Akhirnya bunda dirujuk ke sana. Di atas ambulans yang melaju kencang ayah, nenekku Puang Asia dan seorang bidan pendamping menemani bunda yang terus mengerang kesakitan. Sementara itu aku juga terus berjuang untuk lahir.

 “Sudah pembukaan lima,” kata suster di rumah sakit itu. Aku terus menguping pembicaran mereka. Para malaikat juga memberitahu aku bahwa ada banyak orang di luar sana yang terus berdo’a dan berdzikir agar bunda segera melewati masa-masa paling mencemaskan ini. Termasuk ayah, nenek, kakek, Tante Ulfa, Tante Nila dan Tante Fatimah. Aku belum juga lahir. Baru pembukaan enam. Berjam-jam kemudian, baru pembukaan delapan. Malam mulai tiba. Secara bergantian nenek, Tante Nila dan ayahku menemani bunda. Sudah pukul 11 malam tapi aku belum juga lahir. Padahal ketuban tempat aku berenang di rahim bunda sudah pecah. Itupun mungkin karena khasiat dari air pakarommo’ yang diberikan oleh ettanya Kak Awang, Om Andi Sinrang. 

Semua harap-harap cemas. Ayah gelisah hilir mudik tidak karuan. Ayah jarang sekali muncul suaranya. Mungkin lagi berdoa entah di mana. Sampai akhirnya dr. Rizal memanggil ayah. Dokter itu menyarankan agar bunda dioperasi caesar. Alasannya adalah aku “anak mahal”, artinya anak yang sudah lama ditunggu kehadirannya. Selama tiga tahun lebih ayah dan bunda menunggu kehadiranku. Sedangkan alasan medis dari dr. Rizal adalah karena ubun-ubun dan wajahku mendongak di dekat pintu keluar. Seharusnya kepalaku bagian atas yang menempati posisi itu. 
“Dalam posisi seperti itu sangat berbahaya jika kamu lahir normal,” kata salah seorang malaikat temanku. “Wajah dan leher kamu bisa cacat kalau ditarik. Seharusnya kepalamu bagian atas yang mestinya lebih dulu muncul,” ujar malaikat lainnya. 
Aku hanya terdiam, sedih. Aku sangat iba kepada bunda karena harus berjuang melahirkan aku selama 12 jam lebih. Dengan meneguhkan hati, ayah menandatangani surat pernyataan setuju bunda dioperasi. Tepat pukul 00.30 Wita, aku pun lahir melalui operasi caesar. Bunda meneteskan airmata bahagia campur haru saat melihat tubuhku diangkat oleh dokter. I Love You, Bunda.

Tangisanku yang pertama memecah keheningan. Tangisan pertama itu adalah karena beban berat menanggung “rahasia Allah”. Tangisanku yang kedua adalah karena aku bersyukur telah dilahirkan sebagai makhluk termulia, manusia. Kepalan tanganku tertutup, itu artinya aku bernama Ahmad. Manakala tanganku mulai terbuka maka namaku adalah Muhammad sampai akil baligh nanti. Itulah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia. Pengetahuan ini kuperoleh dari teman-temanku para malaikat. Mata ayah berkaca-kaca ketika mengumandangkan adzan di telinga kananku dan iqamah di telinga kiriku. Aku sangat hapal suara ayah. Ketika aku masih dalam kandungan ayah sering membacakan iqamah di perut bunda setiap akan sholat di rumah. Ayah dan bunda pun selalu membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an di dekatku. 

Allah Maha Besar, aku lahir dengan selamat. Kelaminku lelaki. Wajahku sangat tampan, hidungku mancung dan kulitku putih bersih, itu kata orang-orang yang melihatku. Para malaikat temanku pernah bilang bahwa selama bunda hamil ayah sering berdo’a jika aku laki-laki semoga aku dianugerahi wajah mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani dan jika aku perempuan semoga diberi wajah mirip Fatimah Azzahra puteri Rasulullah SAW. Kalau benar wajahku mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani maka alangkah beruntungnya aku. Wallahualam. Oh ya, saat lahir aku juga memiliki sebuah tanda fisik yang sangat unik, telinga kiriku berbentuk tulisan “Allahu.” Muhammad Ali adalah salah seorang ustad kenalan ayah. Sehabis shalat Isya dalam sebuah bincang-bincang di pelataran mushalla rumah sakit beliau menyarankan agar ayah memberiku nama “Ahmad Dihyah Alfian”. Ahmad adalah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia dan nama langit dari Rasulullah SAW. Dihyah diambil dari nama salah seorang sahabat Rasulullah SAW yaitu “Dihyah Al Kalbi” yang dalam sejarah Islam dikenal cakap, ganteng, mahir bertempur dan kerap menjadi salah satu pemimpin pasukan Islam. Dalam bahasa Arab kata “dihyah” juga memiliki arti “pemimpin pasukan, pejuang, suku, atau umat”. Sedangkan nama Alfian untuk menyandang nama ayahku Alfian Nawawi, di mana aku diciptakan Allah bermula dari setetes nutfahnya. 

Teman-temanku para malaikat mengucapkan selamat kepadaku. Sudah waktunya mereka harus pamit karena tugas mereka telah selesai. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat kehilangan. Aku hanya bisa menangis. Namun mereka berjanji bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari nanti. Mereka terbang ke angkasa sambil tersenyum dan melambai-lambaikan tangan. Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi melihat jenis makhluk seperti mereka. Sebagai ganti dari para malaikat, seorang jin qorin ditugaskan oleh Allah untuk mendampingi aku sampai akhir hayat. (*) 

Terimakasih khusus buat: Nenekku Puang Rosmani; Puang Haji Basse (terimakasih banyak atas kanjilo alias ikan gabus gratisnya untuk bundaku); Kakekku Papi Asmar (aku minta salah satu cincin batu milik kakek ya); Etta dan Bundanya kak Awang; Om Imran; Yaya; Tante Harma; Etta dan Mamanya Kak Yayat; para ustad yang telah mendo’akan aku dan bundaku semasa hamil: Ustad M. Yusuf Shandy, Ustad Ichwan Bahar, KM Murni Lehong, Ustad Andy Satria, dan Ustad Toto; para bidan Puskesmas Tanete; para dokter, perawat, security, cleaning service, dan petugas dapur di RSUD Andi Sulthan Daeng Radja; dan semua orang yang telah menjenguk bunda dan aku di rumah sakit dan Rumah Putih. 

Rumah Putih, 9 Februari 2015

Blog, Hibernasi, Buku dan Sahabat-Sahabat Lama

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 20 Januari 2015 | Januari 20, 2015


             Bertahun-tahun, banyak teman sering bertanya “Kemana blog sastra radio?” atau ”Kenapa menghilang dari dunia blogging?” atau “Kuburan blog sastra radio di mana ya, mas? Saya mau berziarah,”(Busyet! Hahaha). Dan sederetan pertanyaan lainnya.

Flashback sejenak (sambil menyeruput kopi). Sejak Maret 2009 sahabat-sahabat lama di dunia blogging mengenal situs ini dengan nama “Sastra Radio” dengan domain asli ekspresiradiocempaka.blogspot.com. Lalu iseng-iseng saya memasang free domain kavalera.co.cc  pada 2010 (rada mirip domain berbayar ya? Hehehe). Kemudian beralih ke domain ivankavalera.com (2011-2014). Tahun 2013 iklan Google Adsense di situs ini dibanned (gara-gara ada klik iklan dari backlink dan sosial media, hiks..hik...hiks!) Domain TLD yang disebut terakhir inilah yang mengalami expired tanpa saya sadari, saking sibuk! Akhirnya sekarang saya edit nama domain blogspot menggunakan nama asli saya: alfian-nawawi.blogspot.com tanpa embel-embel “sastra radio” lagi sebab saya sudah berhenti bekerja di radio RCA FM terhitung sejak Januari 2014. Jangan kuatir, saya membuka menu baru: “Klinik Radio” bagi pencinta radio. Menu dan navigasi situs inipun mengalami perubahan di sana-sini, bukan hanya melulu membahas sastra dan budaya seperti dulu. Jadi, sekarang benar-benar sebuah “personal weblog” yang membahas berbagai perihal yang saya minati saja, secara pribadi.
            Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar jeda dari dunia blogging. Sembari tetap merindukan teman-teman blogger, selama masa hibernasi  (2012-2014) meskipun sesekali tetap update beberapa postingan, saya menekuni “blogging” di dunia nyata. Saya sibuk menulis buku di samping beberapa “pekerjaan serabutan” lainnya. Alhamdulillah, buku saya yang telah terbit: Inspiring Bulukumba; Rekam Jejak 31 Tokoh Inspiratif dari Bumi Panritalopi  (Penerbit:  Mafazamedia, 2014). Stok buku ini masih ada dan bisa dipesan secara online di mafazamedia.com.
            Selain itu, Alhamdulillah Allah mengizinkan saya telah merampungkan 11 buku lainnya dan sedang menunggu giliran terbit. Insya Allah rencananya 1-2 buku terbit setiap tahun:
1.                  Sesobek Catatan Kaki Revolusi (buku sejarah Bulukumba)
2.                  Big Bang; merekonstruksi perjalanan alam semesta (buku sains/antropologi/sejarah)
3.                  Radio dan Local Wisdom (buku broadcasting/ pemrograman siaran budaya di radio)
4.                  Lori (novel sejarah),
5.                  Lensapedia Bulukumba (buku kumpulan karya fotografi),
6.                  Andi Sultan Daeng Radja; Spirit Rakyat Merdeka (biografi seorang pahlawan nasional dari Bulukumba),
7.                  Samindara (Antologi Cerita Rakyat Bulukumba) merupakan hasil riset saya terhadap  puluhan cerita rakyat lisan asli Bulukumba selama rentang 2010-2013. 
8.                  Chuduriah Sahabuddin, Teratai Kecil di Tanah Mandar (biografi seorang tokoh perempuan dan pendidikan di Sulawesi Barat),
9.                  Mahrus Andhis, Sastra yang menggugat dari ruang birokrat (biografi seorang sastrawan dan budayawan Bulukumba)
10.              50 Cara Mudah Menghasilkan Uang dari Internet  (buku tutorial bisnis online,) dan
11.              Mengirim Surat ke Masa Depan (buku inspirasi dan motivasi).
            Sebelum buku Inspiring Bulukumba terbit, puisi-puisi saya lebih dulu diterbitkan dalam buku Rumah Putih, Antologi Puisi Serumah (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2013) bersama puisi-puisi karya istri, ayah mertua, keponakan dan adik-adik ipar saya. Beberapa pengamat sastra mengatakan bahwa buku ini merupakan antologi puisi terunik di jagad sastra sebab ditulis oleh tujuh penulis sekeluarga. 
            Dalam tahun yang sama, bersama 87 penulis lainnya se-Nusantara, saya diminta menulis memoar dalam bentuk esai dan dimuat dalam buku Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta; Sebuah Obituari (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2013). Ini sebuah buku untuk mengenang DR. Ahyar Anwar, SS., M.Si., seorang sastrawan, budayawan, akademisi dan kritikus sastra ternama di Kawasan Indonesia Timur.
            Bersama 100 penyair lainnya se-Nusantara, puisi saya terpilih dimuat dalam antologi puisi Goresan-Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda (Penerbit Oksana, 2014).         
            Buku antologi cerpen Love Never Fails (Penerbit NulisBukuCom, 2014) memuat cerpen saya “Perempuan Bertanduk Api” bersama 109 karya cerpenis lainnya se-Nusantara, hasil sayembara menulis Love Never Fails oleh Penerbit NulisBukuCom.
            Ibarat bisul, pada akhirnya rindu saya meletus juga (Awas jangan dekat-dekat nanti kecipratan! Jorok ya? Hahaha!) Rasa kangen saya begitu membara kepada sahabat-sahabat lama, seperti Mbak Latifah Hizboel, Itik Bali, Mbak “Cerpenis Bercerita”, Kang Boed, Mas Bachtiar Fakih, Mas Willyo Alsyah, Mbak Ani Rostiani, Mbak Anazkia, Pak Setiawan Dirgantara, Mbak Irawati, Mas Bahauddin Amyasi, Bunda Ely, Pak Ishak Madeamin, Harly Umboh, Pak Asnawin Aminuddin, Pak Munir Ardi, Mas Attayaya, Mbak Reni Purnama, dan masih banyak lagi. Saya tidak bisa sebutkan satu-persatu sebab jumlahnya sekitar 300-an blogger (mereka inilah yang telah mewarnai jagad blogsphere Nusantara pada 2005-2010). Saya pun masih ingat, saya pernah mengajak beberapa orang dari mereka menulis bersama di blog “kedai kopi” (penulisbiasa.blogspot.com) yang sekarang terbengkalai dan dipenuhi pula sarang laba-laba. Lantaran saya sebagai pendirinya kabur entah kemana tanpa tanggung jawab! (^_*).
             Kepada sahabat-sahabat lama saya juga ingin mengatakan sesuatu, “Apa kabar semua? Sekarang saya benar-benar kembali turun gunung di jagad blogsphere.” Saya juga sangat bangga, sebab sekarang banyak blogger baru bermunculan dan hebat-hebat pula, salam kenal. Ayo, kita “ratakan” bumi dengan blogging!(*)  
           

Festival Dato Tiro 2015

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 17 Januari 2015 | Januari 17, 2015


Salah satu dari tiga penyebar agama Islam di Bulukumba, Dato Ri Tiro serasa hidup kembali dalam nafas dan jiwa anak-anak muda dan masyarakat Bulukumba melalui Festival Dato Tiro 2015.  


Festival Dato Tiro 2015 di Pantai Samboang Kecamatan Bontotiro Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan digelar selama dua hari, 1-2 Februari 2015. Beberapa ajang yang akan diusung dalam hajatan seni budaya ini antara lain Fashion Show Islami, Lomba Dayung Sampan, Lomba Kuda Paddereq, Lomba Sastra Islami dan lain-lainnya. 

Informasi dari pihak panitia, rencananya hajatan seni budaya ini juga akan diwarnai dengan deklarasi Kampung Sehat Bebas Narkoba oleh Biro Napsa Propinsi Sulsel oleh Gubernur Sulawesi Selatan. 

Festival Dato Tiro terselenggara atas kerjasama Sekolah Sastra Bulukumba, DPD KNPI Bulukumba dan Pemuda Pancasila. Menurut Andhika DM, salah seorang panitia menjelaskan bahwa pada 1 Februari tepatnya ba'da Isya, akan ada pagelaran sastra dari seniman sastra, dari dalam dan luar Bulukumba membacakan puisi di tepi Pantai Samboang Bulukumba.
."Festival Dato Tiro terbuka untuk umum. Jadi, jangan ketinggalan. Siapkan tenda bagi anda yang senang berkemah, dan mari kita bicarakan cita-cita, gagasan dan kebaikan," kata Andhika.(*)

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday