Latest Post

Burasa Virtual Terbungkus Papparampa

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Manusia Bugis-Makassar meletakkan burasa di meja makan bukan hanya di hari lebaran. Burasa terbiasa eksis melengkapi hari lain. Melengkapi coto, konro, bahkan nyoknyang. Berabad-abad dia dibungkus daun pisang dan “papparampa.”

Ketika menemui hari lebaran tanpa burasa secara fisik lantaran halal bihalal pun hanya virtual akibat pandemi, maka manusia Bugis Makassar hanya bisa mencium lekat aroma ketulusan burasa. Dia terpancar dari cahaya cinta orang-orang yang memasaknya.

Keluarga dan tetangga bisa jauh dan dekat. Namun burasa menyatukan segala selera. Sebagaimana ketupat, legese, kampalo, dan lainnya. Di sana kita menikmati gurih dan lezatnya berkumpul dalam ekstase tertentu. Alam menyediakan semua bahannya. Mulai beras pilihan, santan kelapa terbaik, hingga daun pisang yang membungkusnya.

Tidak ada sinonim yang pas dengan kata “papparampa” di dalam kamus mana pun. Selaku perspektif komunikasi kultural-religius, “papparampa” sekilas bahasa basa basi. Namun memancarkan rasa ikhlas dari keramahan perilaku Bugis-Makassar. Idiom lainnya yaitu “pappisabbi”.

Mengutip budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, “Papparampa adalah moral budaya leluhur yang layak dilestarikan untuk memupuk rasa ‘asselessurengeng’ atau ukhuwah atau persaudaraan.”

Sembari bersilaturahim melalui layar android atau pun laptop, kita saling ber-papparampa. “Makanki burasa. Janganki malu-malu.”

Namun papparampa selalu lebih dibanding basa-basi. Sejak dulu tetangga-tetangga kita membawakan berbagai makanan dan buah-buahan sesuai musimnya. Lagi-lagi dibaluri papparampa, “Laoki di bolae manre burasa.”

Pustaka RumPut, 23 Mei 2020


Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat di kolom KopiPanas JalurDua.Com


Lebaran Pernah Tak Berdaun Pandan

Jika lebaran adalah kepulangan yang meriah maka ia memang dirayakan penuh oleh segala partikel semesta. Banyak hati yang mewangi -karena libur lagi- dan sudah tentu musim makanan. Para penjahat pun boleh berlebaran. Hanya pada lebaran semua profesi dan tabiat harus terlibat. Saling bermaafan dan makan-makan.

Orang-orang jauh yang sebelumnya tidak pernah kelihatan akan datang dengan terencana. Bertangkupan dengan pekuburan adalah destinasi spiritual. Maka berziarah adalah perjalanan menenteng do’a-do’a. Lalu irisan-irisan kecil daun pandan bersama bebungaan pilihan menandai setiap makam. Itulah sebabnya sebagian besar manusia nusantara sangat menantikan lebaran. Tidak sekadar untuk jabat tangan.

Barangkali hanya pada lebaran kita memahami makna kangen yang kolektif. Padahal nominalnya cuma sekali sampai dua kali setahun. Pertemuan tahunan antara orang-orang yang masih hidup dan yang sudah berpulang itulah yang dihiasi daun pandan. Di meja makan ia membungkus ketupat. Di atas kuburan dianggap setara do’a.

Tumbuhan monokotil dari keluarga pandanaceae itu aromanya wangi. Ia komponen penting dalam tradisi masakan Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara.

Akarnya besar. Memiliki akar tunggang yang menopang tumbuhan ini bila telah cukup besar. Daunnya memanjang seperti daun palem dan tersusun apik.

Salah satu tradisi tertua itu adalah menebar bunga dan irisan daun pandan di atas kuburan. Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, dijelaskan oleh Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini bahwa disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau atau masih basah di atas kuburan. Begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah. Tidak boleh siapapun mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnya.

Daun pandan di Asia Tenggara rupanya memenuhi syarat sebagai pengganti pelepah kurma. Kitab Mughni Al-Muhtaj menerangkan haditsnya. Tentang sekali waktu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang basah dan membelahnya menjadi dua bagian. Lalu menancapkan masing-masing satu belahan pada dua kuburan. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau lakukan itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Supaya dengan perantara pelepah kurma tersebut, kedua mayit itu diringankan dari siksa selama kedua belahan pelepah kurma itu belum kering.”

Pelepah kurma yang masih basah -sebagaimana tetumbuhan basah lainnya- sesungguhnya bertasbih kepada Allah. Inilah alasan Rasulullah memilih pelepah kurma yang masih basah, bukan yang kering.

Para ulama mengqiyaskan atau menganalogikan pelepah kurma dalam hadits tersebut dengan segala macam tumbuh-tumbuhan yang masih basah. Lalu kita pun tak asing pula dengan kebiasaan orang-orang tua dahulu menanam pohon kamboja di samping kuburan.

Aroma daun pandan akan menyerap bau tak sedap. Zat flavonoid dan saponin dalam daun pandan adalah benteng terkuat menahan gempuran bakteri penyebab pembusukan. Orang-orang jauh yang datang dengan rencana nyekar tidak akan merugi. Monokotil itu lestari di kampung. Meskipun tumbuh dekat selokan. Tinggal dipetik, dibersihkan, dan diiris kecil-kecil. Bagian daun yang agak kaku dibentuk menyerupai semacam cungkup. Lengkap dengan tiga corong kecil yang dilubangi.

Daun pandan selalu banyak bertumbuhan. Namun lebaran kali ini bagi banyak orang jauh adalah lebaran tanpa daun pandan. Mereka tidak akan datang sesuai rencana. Padahal PSBB sudah dilonggarkan. Atau jangan-jangan mereka belum juga menerima THR?

Pustaka RumPut, 24 Mei 2020


Tulisan ini pernah pula dimuat oleh kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Anyelir Masih Melacur

Namanya, sebut saja Anyelir. Bukan Mawar. Perempuan cantik seperti dia sangat berlimpah di negeri ini. Hanya nasib mereka yang beragam. Apakah para perempuan seks komersil juga terdampak pandemi covid-19? “Ya, kami salah satu kaum pekerja yang terdampak dan terpukul!” Kata Anyelir.

“Bukankah kalian adalah kaum yang memang sejak dulu menggantungkan nasib pada pekerjaan pukul memukul?” Kata saya.
“Ah mas bisa aja,” sahut Anyelir sambil tertawa.


Idiom pelacuran sangat membumi di negeri ini. Bahkan sampai merangsek penggunaaannya ke ranah lain. Pada akhir dasawarsa 1950’an dan awal 1960’an ramai diperbincangkan apa yang disebut ‘pengkhianatan intelektual’, yang dipertajam dengan istilah ‘pelacuran intelektual’. Kaum intelektual disarankan agar mengambil jarak dari kekuasaan dan penguasa, agar tidak mengkhianati kebenaran dan keadilan yang mereka perjuangkan. Walhasil banyak intelektual ambil jarak dari kekuasaan, sehingga terselamatkan dari pengkhianatan revolusi. Tetapi sekarang, ramai-ramai kaum terpelajar merapatkan diri ke barisan kekuasaan.

Suatu malam yang luang, saya sempatkan mengobrol dengan Anyelir secara virtual. Banyak kisah menarik yang dia bisa paparkan dan itu bisa berarti sia-sialah makanan sisa-sisa buka puasa yang saya siapkan. Lantaran banyak obrolannya yang sayang jika dilewatkan.

Anyelir seperti PSK lain pada umumnya, selalu beranjak dari alasan paling klasik, “Faktor ekonomi, mas.” Ketika wabah menyapa dan physically distancing digencarkan maka menurunlah penghasilan Anyelir.

Anyelir seperti perempuan perkasa lainnya tidak kehilangan akal. Dia kini memanfaatkan salah satu platform media sosial yang memungkinkan dirinya bisa menjajakan diri secara online. Mulai booking hingga sekadar video call sex di mana para peminatnya tinggal mentransfer pulsa bahkan uang ke rekening.

Namun media sosial bukan tempat aman. Di sana banyak bertebaran akun fake yang kerap melakukan penipuan. Mereka inilah yang juga sangat merugikan akun-akun PSK yang asli. Modusnya biasanya memajang foto profil cewek sexi dilengkapi video vulgar dengan deskripsi bisa bo (booking) ataupun video call sex. Peminat harus mentransfer DP dalam jumlah tertentu. Setelah transfer berhasil si penipu pun menghilang tanpa jejak. Besoknya muncul lagi dengan akun baru.

Apakah Anyelir tidak rindu kampung halaman? Tentu saja rindu berat dan Anyelir harus bisa menuntaskan impiannya mengumpulkan uang banyak agar bisa segera membuka usaha dan hijrah dari pekerjaannya yang sekarang.

Anyelir bisa saja pulang kampung.Namun pandemi membatasi keinginannya. Anyelir sesungguhnya beruntung. Dia memang melacur dan masih tetap melacur. Pendidikan yang tidak tinggi dan jauh dari kemapanan secara turunan justru menghindarkan Anyelir dari perbuatan melacurkan intelektualisme.(*)

Pustaka RumPut, 13 Mei 2020

Tulisan ini pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Oligoi dan Arkhein Kembali Berpaket di Pilkada

Kepada dunia di masa depan yang selalu berubah-ubah, Aristoteles di masa silam pernah mengirimkan sebuah pesan penting, “Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya.” Akhirnya hari ini kita melihatnya sebagai suguhan yang lazim mulai hulu sampai ke hilir.

Ilustrasi (Sumber: Katta.Id)
Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh “oligoi” yaitu segelintir orang, tetapi memiliki pengaruh dominan dalam “arkhein” yaitu pemerintahan. Si Oligoi dan Si Arkhein inilah tipe paling klasik dari suatu kekuasaan.

Oligarki tidak pernah menampik bahwa dia adalah cucu kandung tersayang dari kolonialisme. Oligarki juga identik dengan tangan khas bajak lautnya itu, kait tajam di ujung lengan besi. Kita menyebutnya kapitalisme.

Di belahan bumi manapun saat sempat dan betah menggurita maka oligarki selalu menguasai alat produksi, sumber daya, dan bahan baku. Untuk melestarikan monopoli dengan memakai tangan-tangan ajaib di jantung kekuasaan maka oligarki mendesain mentalitas kacung.

Mentalitas kacung bisa jadi bentuknya yang paling ril yaitu berupa ketergantungan sosial. Mentalitas ini dirawat sedemikian rupa. Dia dipupuk dalam bentuk bantuan berupa uang, sembako, dan semacamnya. Dia juga bisa berbentuk money politic. Untuk memelihara kroni-kroni maka bentuknya berupa bancakan.

Mentalitas ini dipelihara bagai microchip yang dibenamkan dalam-dalam di alam bawah sadar rakyat. Dia diprogram sesuai kebutuhan. Ketika musim kampanye tiba dia disetel agar rakyat melihat bahwa pilkada itu adalah pundi-pundi. Para calon bupati adalah nominal dalam kalkulus. Tim sukses adalah rupiah. Maka hari pencoblosan pun identik dengan semua itu, uang!

Ketika pemimpin telah duduk di kursi kekuasaan, microchip tetap disetel sesuai kebutuhan. Rakyat pun tetap memandang pemimpinnya dalam bingkai nominal, angka-angka fulus.(*)


Esai ini jauh sebelumnya pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com



Kota yang Bergerak Maju adalah Kota yang Diserbu Banjir

Kota yang bergerak maju adalah kota yang diserbu banjir. Tata kota hari ini adalah warisan terbaik dari beberapa pemerintah daerah sebelumnya.

Kota yang diimpikan harus menjadi hunian yang nyaman buat semua orang. Impian itulah satu-satunya alasan bagi setiap pemerintahan yang dapat giliran memegang wewenang. Kesempatan pun diberikan untuk para pengembang. Sebagian di antaranya tidak terkendali.

“Keanekaragaman hayati penting bagi pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ekonomi dalam pembangunan harus melestarikan sumber daya alam dan merawat keanekaragaman hayati,” kata Prof. Emil Salim, berkali-kali. Keanehan pada kita setiap mendengar kalimat beliau adalah karena kita enggan disebut tuli.

Rakyat, pemerintah, dan para pengembang adalah bukan para penemu. Kita tidak memiliki warga sekelas Al Farghani, misalnya. Dia seorang astronom dan insinyur muslim pada abad 9 Masehi. Al Farghani telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Banjir bisa diprediksi.

Itulah mengapa komedi banjir biasanya terdiri dari aksi menuding sungai dan curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir. Para penuding juga paham bahwa sungai bukan parit atau kanal atau got. Yang untuk mengalirkan air banjir atau genangan air secepatnya.

Ternyata banjir memang bukan hanya terdiri dari air. Ia pun mengajak serta meme, humor aneh, dan komedi tidak lucu. Bukankah banjir adalah juga makanan gurih bagi para pendengung?


Esai ini pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Corona, Altruisme, dan Varietas Penyakit Sosial

Salah satu nutrisi penting bagi peradaban adalah altruistik. Dia vitamin sosial. Memberi sedekah ataupun pelbagai bentuk bantuan kepada orang lain -khususnya kaum dhuafa-sering dianggap sebagai tindakan altruistik. Dan altruisme tidak pernah mengenal sistem balas budi.

Altruisme juga adalah prinsip dan praktik moral yang memperhatikan kebahagiaan manusia atau hewan lain, yang menghasilkan kualitas hidup baik materi maupun spiritual.

Altruisme dapat menjadi sinonim dari keegoisan. Altruisme pun diajarkan oleh nyaris semua agama di dunia.

Jika corona telah melahirkan berbagai tindakan altruisme di tengah masyarakat maka corona pun melahirkan varietas penyakit sosial. Penyakit sokta alias sok tahu mungkin sudah biasa. Mendadak banyak netizen berganti profesi menjadi pakar kesehatan, dokter, filsuf, sampai ustad. Sebagian di antara mereka mungkin saja berniat baik. Maksudnya ingin saling mengingatkan.

Wilayah hati tentunya adalah juga “wilayah Ilahi”. Kadar keikhlasan
Setiap orang tidak dapat ditakar melalui postingan di medsos atau tindak tanduk apapun.

 Yang sedang mewabah akhir-akhir ini juga penyakit “tidak seru tanpa dokumentasi.” Altruistiknya berupa adegan menyemprotkan disinfektan di kompleks perumahan. Namun tidak segera dimulai sebelum wartawan yang sudah dikonfirmasi sebelumnya telah datang ke lokasi. Bagi-bagi masker dan sembako tidak akan dimulai kalau belum ada kamera hp yang siap. Kalau hp lagi lowbet maka aksi sosial ditunda beberapa puluh menit, menunggu hp dicas dulu.

Penyakit sosial itu pun dibalas oleh munculnya penyakit sosial lainnya. Ada netizen yang memposting, misalnya berbunyi, “Menyumbang kok pamer, sih” padahal si netizen sendiri tidak pernah sama sekali menyumbang. Dia memang mungkin tidak punya tradisi altruisme.

Aksi-aksi sosial yang divisualisasikan kepada khalayak melalui berbagai media, di satu sisi bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal sama bahkan lebih. Dan itu sah-sah saja. Sepanjang tidak dibaluri tendensi tertentu. Semisal tendensi politis.

Satu-satunya jalan tengah bagi para aktivis sosial melakukan aksi amal adalah tetap bergerak dengan jalannya masing-masing. Dengan atau tanpa dokumentasi untuk publik. Sedangkan bagi penyinyir maka harus menempuh jalan: mencoba ikut beraksi dan mencoba sama sekali tanpa alat dokumentasi apapun. Sebab keikhlasan adalah wilayah hati dan tidak dapat ditakar kadarnya oleh orang lain.

Sebenarnya ada banyak kasus di mana para dermawan awalnya tidak bermaksud mempublikasikan aksinya. Namun mereka tiba-tiba terendus oleh wartawan. Ada pula yang awalnya tidak mau foto bersama namun si penerima sumbangan yang justru ngotot foto bersama.

Kadang yang kita anggap sebagai penyakit sosial seperti pamer dan semacamnya mungkin sangat mengusik pikiran. Namun adalah juga penyakit sosial yang parah jika kita tidak bertabayyun dan berpikir positif pada hal-hal yang nampak.

Semisal postingan makanan ataupun minuman. Mungkin saja pemilik postingan tidak bermaksud pamer atau sengaja bikin ngiler orang lain. Siapa tahu dia hanya bermaksud untuk memberitahu kita bahwa ada sejenis cemilan yang paling mudah dibuat sendiri selama tinggal di rumah saja.

Oh ya, Anda sendiri mengidap penyakit yang mana? Kalau saya, jujur saat ini sedang mengidap penyakit “menulis apa saja.” Lebih banyak di rumah saja sebab di luar badai corona belum usai. (*)

Pelajaran moral: penyakit terparah dari kebanyakan politisi adalah gelisah luar biasa ketika nomor kontak wartawan hilang di hp-nya.


 Dimuat jauh sebelumnya di kolom Catatan Tumit LaCulleq BeritaBulukumba.Com


Bunga dan Kacamata

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Gadis Yang Menulis

aku jatuh cinta
kepada
kisah seorang gadis
yang sedang menulis
rambutnya hutan
wajahnya bulan
sebatang pena bergegas meloncat
keluar dari bola matanya
pagi dan malam pada riwayatnya
dibaca oleh hujan
gadis yang sedang menulis,
dia tak tahu dirinya punya kekasih
tapi dia mencium aroma kopi liberika
selalu menyergap malam-malam
dan bibirnya yang ranum
kekasihnya pun tak tahu
dirinya punya gadis yang sedang menulis,
lelaki itu menyeruput bau kertas
rambutnya hutan
wajahnya bulan
aku jatuh cinta pada kisah mereka
aku ikut menulis ceritanya
dan aku tidak terbaca.

18 Juni 2020



Perempuan yang Lupa Kacamatanya

perempuan yang lupa kacamatanya
adalah perempuan yang meletakkan
sekujur ruang dan waktunya
yang kaca
pada seorang lelaki
yang membuka mata.
perempuan yang berkacamata
adalah mata pada kaca
kaca pada kata
kata pada kaca
mata pada kata.
perempuan
dan kacamata
meninggalkan kaca kata
pada sebuah tempat tidur
tanpa kaca.
                                                                
20 Juni 2020




Segerombolan Puisi "Saya Oposisi" 2019

Letupan-letupan peristiwa pada tahun 2019 rupanya sempat saya rekam dalam bentuk puisi. Sebagian besar diposting di Facebook. Berikut sebagian kecil puisi yang masih sempat saya telusuri dari tagar #sekilasmirippuisi dan #berlagakpenyair di wilayah Facebook.


Sepucuk Sajak Petani Kepada Anaknya
karena kita petani maka bersyukurlah karena kabarnya kita akan digaji.
janji-janji manis bukan hama wereng. janji-janji manis hanya kebetulan semanis janda muda di ujung kampung. semanis buah manggis di kebun kita. semanis hamparan harapan di sawah kita.
janji-janji manis adalah sejenis benih sekaligus panen raya. dia akan tetap dituai apapun bentuk buahnya. dia semacam visi misi percintaan. sekecut apapun rasanya. dia serupa musim hujan yang kita sambut dengan pesta do'a sehabis kemarau.
sebentar lagi janda muda kita akan memiliki kartu janda indonesia sehat. akan kulamar dia untukmu sesegera mungkin. sebelum hari pelaminan, ingatkan bapak agar tidak lupa mengundang jaenuddin. jangan bertanya siapa itu jaenuddin. kamu tidak perlu tahu. cukup ayahmu saja yang tahu, janjinya manis-manis lima tahun lampau.

5 Januari 2019


Kopi Tubruk
tidak ada puisi hari ini tentang mushalla yang dirusak segerombolan teroris
tidak ada puisinya di kolom budaya koran manapun
tidak juga di media online
dan kau bilang negara baik-baik saja
sebab di media sosial kau posting status:
hujan turun rintih-rintih.
hmm, puitis sekali kau.
para penyair besar beronani dengan sajak-sajaknya
mungkin mereka kelak menjadi dewan pembina ideologi pancasila
yang digaji ratusan juta setiap bulan
kau pun mungkin begitu
maka sebelum kau jadi pejabat
kuajak kau minum kopi tubruk
sambil saling menubrukkan hape
dan tentunya hapemu menang
sebab bukan buatan china.
kau dengar ada seorang guru honorer memakai sepatu bolong
dan kau posting lagi status:
hujan rintih-rintih.
ah
negara tetap baik-baik saja
sebagaimana junjunganmu
yang kaget karena baru tahu
jenderal soedirman meninggal karena tuberkulosis
kuajak kau minum kopi tubruk
agar kau mau menulis puisi
dengan bahasa china.

31 Januari 2019


Siapa Kalian?
Hindu mengajarkan, non-Hindu adalah Maitrah.
Budha mengajarkan, non-Budhis adalah Abrahmacariyavasa.
Kristiani mengajarkan, non-Kristen adalah Domba Yang Tersesat.
Islam mengajarkan, non-muslim adalah *Kafir.
Semua istilah itu diajarkan di dalam lingkaran pemeluknya masing-masing.
Bukan di luar lingkaran pemeluknya.
Sebab di luar pemeluknya terdapat negara.
Sementara negara terlalu kecil bagi agama.
Agama memiliki teritorinya sendiri yang tidak dimiliki negara.
Begitulah nusantara sejak dulu.
Semuanya berlangsung baik-baik saja berabad-abad.
Tapi, siapa kalian?
Meminta istilah kafir diganti?
Apakah surat Al Kafirun dalam Al Quran harus diedit?
Haruskah diganti menjadi surat Al Non Muslimun?
Sementara Pancasila tidak perlu lagi direvisi.
Bhinneka Tunggal Ika tidak perlu lagi dimodifikasi.
Apakah iman harus diamandemen?
Apakah sudah berarti final bagi kalian jika anak-cucu kami tidak lagi memeluk islam?
Kalau begitu bikin saja Taman Dilan.
Loloskan saja Undang-Undang LGBT di parlemen.
Karena istilah rakyat berasal dari istilah ra'iyyah dan istilah masyarakat berasal dari istilah musyarakah, apakah harus direvisi juga?
Siapa kalian?
Semuanya berlangsung baik-baik saja
sebelum kalian banyak tingkah
sebelum kyaimu berjoged di panggung sampai terjungkal.
Siapa kalian?
Membuat mundur bangsa ini jauh ke belakang?
Warga negara harusnya kalian dewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam.
Toleransi pada perbedaan adalah syarat kewarganegaraan.
Agama tidak perlu diamandemen sebab dia didesain untuk mengelola perbedaan.
Merevisi iman itu sakit jiwa namanya.
Siapa kalian?
Kelucuan apalagi yang harus didustakan di zaman Jan Chuk Chen?

1 Maret 2019


Tidak Usah Baper
Beringsutlah sedikit saja dari gorong-gorong sejarah. Keluarlah sejenak dari habitat amfibi.
Tidak usah saling mendahului, berlompatan menginjak kepala kawan seiring. Jangan gaduh.
Ayo mari sini. Mari seruput kopi.
Kita saling menanyakan kabar.
Bagaimana kabar korban gempa Lombok?
Apakah bantuan rumah tahan gempa yang dijanjikan itu sudah bisa dihuni?
Bagaimana pula kabarnya uang sabun dua milyar?
Ambillah pulpen.Tekenlah segera sesuatu di atas kertas agar semua lahan konsesi besar diserahkan kepada negara. Bagikan segera kepada rakyat kecil. Tidak usah banyak retorika. Siapkan dasar hukumnya. Siapkan dana kompensasinya.
Beritahu anak buahmu. Tidak usah mereka mengatur volume adzan, ukuran hijab, dan cadar. Lain kali aturlah jangan sampai ratusan masjid harus dirobohkan karena pembangunan jalan tol. Aturlah taktik militer yang terbaik untuk menumpas teroris OPM di tanah Papua.
Tidak usah bertanya berapa jumlah masjid, gereja, pura, dan vihara.
Tidak usah menghapus perda syariah dan pelajaran agama di sekolah.
Tumpas saja narkoba, miras, LGBT, predator anak, dan koruptor.
Urus saja jutaan imigran bermata sipit yang setiap hari mendarat bergelombang-gelombang.
Jangan bikin malu. Mundurlah dari jabatanmu ketika mencalonkan diri. Serahkan pada wakilmu. Ada undang-undangnya.
Lain kali jangan bikin malu dengan menjadi penebar hoaks di televisi dan ditonton oleh ratusan juta rakyat.
Tidak usah baper. Ini hanya dialog ringan di sebuah warung kopi. Jangan digoreng. Nanti minyak panasnya terpercik ke muka kalian sendiri. Jangan gaduh. Ada bos di ujung sana yang bayar kopi.
Oh ya, aku hampir lupa. Kemarin di rumahku ada kiriman satu paket berisi mie instant dan amplop yang isinya cukuplah buat beli bakso dua mangkuk. Dari mana ya?

25 Februari 2019


Tulislah Puisi
Lalu di mana puisi kalian ketika data-data palsu dipresentasikan pemimpinmu di televisi
tanpa wajah malu?
Kalian lupa menulis puisi tentang itu.
Atau tulislah puisi tentang orang yang seolah memegang kunci surga
orang yang mengira junjungannya mirip Umar Bin Khattab
dan orang yang berkeras bahwa selain orang-orang dari organisasinya mengurus masjid maka salah semua.
Ketika kalian tidak menulis puisi tentang itu semua
maka tolong ajari aku alifbata dari nol.
Agar aku bisa mengeja
di haraqat mana saja
kalian harus berhenti
menulis puisi.
Lain kali sewalah tukang bakso banyak-banyak. Jangan lupa beri sewa tambahan penutup mulut
agar tidak ketahuan bakso itu sebenarnya tidak gratis.
Mintalah junjunganmu membuat dokumentasi video lagi mengaji.
Tinggal video mengaji yang belum dibuatnya. Yang lainnya sudah semua, cukur rambut, imam sholat, dan semuanya.
Tinggal satu yang belum, video mengaji. Jangan lupa, kalau junjunganmu belum bikin video mengaji
maka tulislah puisi tentang itu.
Tulislah puisi.
Aku berjanji akan membacanya
sambil memasang earphone di telinga.
Tulislah puisi tentang impor jagung yang katanya menurun,
kebakaran hutan yang katanya sudah tidak terjadi,
konflik agraria yang katanya sudah tidak terjadi, 191 ribu kilometer jalan desa katanya,
kereta api cepat yang butuh 200 tahun baru bisa lunas itupun butuh laba satu milyar perhari,
tentang tenaga kerja asing bermata sipit yang jumlahnya tidak bisa lagi kalian deteksi sudah berapa puluh juta masuk ke negerimu tercinta, tentang 31 juta data siluman,
tentang apalagi, kalian yang lebih tahu.
Tulislah puisi dan jangan meralatnya sebagaimana kebiasaan junjunganmu.
Bukankah kalian suka menulis puisi?

24 Februari 2019




Retornous A La Nature!

“Retornous a la nature!”, Marilah kita kembali ke alam! Begitu Jean Jacques Rousseau pernah bersuara lantang Kepada peradaban Barat di abad 18. Entah sejak kapan bermula sebagian kita mengakrabi rasa berbahagia turun-temurun dalam menginvasi kota-kota. Lebih separuh pada setiap generasi lahir di rumah sakit. Separuh lagi lainnya justru mati di rumah sakit. 

Ternyata Rousseau tidak mengajak manusia Barat tinggal di hutan dan memakai baju dedaunan atau kulit hewan. Bahkan ia tidak mengajak kita untuk menjadi kaum nudis. Ia merayu kita untuk “Retornous a la nature!”. 

Jauh setelah jaman romantik berlalu. Benarkah ada gejala sebagian umat manusia mulai akrab dengan kalimat “back to nature” atau cuma sekadar jejak vandalisme di tembok kota? Benarkah mereka serius  kembali ke alam? Tanpa bertemu dengan zat kimia apa pun!

Kedengarannya serupa dongeng. Namun teori sekaligus praktik cara bertahan di alam liar kerap diajarkan di televisi dalam dua dekade terakhir.

Robinson Crusoe versi modern. Robinson Crusoe adalah satu-satunya penumpang yang selamat dari sebuah kapal yang ditenggelamkan badai. Crusoe terlempar dan terdampar di pulau tak bertuan. Crusoe pun kembali ke alam. Dia berhasil bertahan hidup bertahun-tahun. Suatu hari sebuah kapal lewat dan menyelamatkannya. Acara-acara survivor selalu berupaya mengulang kisah itu. Satu-satunya alasan kita mencintai teknologi yaitu kemudahan yang ditimbulkannya. Hingga hal-hal sekecil-kecilnya. Mana ada barang di rumah kita yang tidak disentuh teknologi. 


Peradaban kita menyepakati bahan-bahan penyembuh dari alam wajib diproses melalui teknologi. Toh kapsul dan tablet sangat kecil dan ringan. Benda-benda berbahan pengawet itu datang ke rumah kita setelah melewati tiga fase: rasio, empiri, dan teknologi. Jaman romantik pernah berlangsung sebagai reaksi terhadap semua penggunaan rasio  dan empiri. Akal dan indera pengamatan yang digunakan berlebihan memang menumpulkan naluri kemanusiaan. Sejarah punya banyak catatan buruk terhadap peradaban Barat.

Maka jaman romantik adalah juga altar kelahiran seni dan sastra. Dari sana muncul Rousseau, Victor Hugo, Walter Scott, Keats, Shelley, dan Herder. Musik melahirkan Beethoven, Mozart, Schubert, Chopin, dan Bahms. Jaman itu pun menyentuh wilayah teologi dan filsafat. Kemunculan jaman romantik mengisi ruang-ruang kosong manusia Barat yang dahaga mencari kedamaian. Mereka begitu lama ditinggal perasaan, feeling dan intuisinya sendiri. Terlalu lama mereka hidup dalam kalkulasi otak dan pencapaian tujuan hidup yang hanya diisi oleh kebendaan. Dunia akal sungguh membuat tumpul. 

Upaya kembali ke alam justru dilakukan lebih dulu di Timur. Tidak dibutuhkan jaman romantik untuk melahirkan kaum herbalis. Di Timur yang tropik bertumbuhan obat-obat alami. Ia bisa menopang daya hidup manusia.  Dari Timur sampai ke Barat. Di saat dunia gelisah terhadap pandemi covid-19 misalnya, memantik daya inovasi Irawan Paturusi di Makassar. Bahan-bahan alami diraciknya menjadi Jus C-19. Sama sekali tanpa campuran zat kimia. Puluhan pasien positif covid-19 membuktikan dirinya bisa sembuh. Jus herbal itu rupanya membangun imunitas sambil bertempur melawan virus, terutama corona. Soal penguasa mau atau pun enggan meliriknya maka itu bukan hal esensial.

Bagi seorang Irawan, mencoba menyelamatkan sesama memang bukan wilayah bisnis. Tapi menyelamatkan orang banyak dalam jangka panjang juga membutuhkan nafas finansial. Begitulah, obat-obat alami akhirnya harus mendapatkan konsumennya. Para penderita harus membayar untuk kesembuhan. Dan itu sah pula bagi jaman romantik di Barat. Penonton membeli tiket untuk kepuasan batin menonton orkestra dan teater. *** 

Seorang sahabat di Bulukumba memperkenalkan kepada saya minuman kesehatan yang difermentasi dari sari bambu. Beberapa orang yang layak dipercaya mengakui khasiatnya. Sri Puswandi,  pemuda dari Desa Salassae itu bukan penemunya. Dia salah seorang yang meyakini pelestarian resep leluhur di kampungnya akan membuat sehat lebih banyak orang. 

Semasa kecil sampai sekarang, orang-orang di kampung saya mencari buah kunrulu ketika ada seseorang terduga kena gejala tyfus. Dan memang akhirnya sangat jarang mereka mendatangi rumah sakit. Sakit perut dan mencret bisa sembuh dengan air remasan pucuk daun jambu. Sama sekali tidak berbentuk kapsul. Hanya dicampur secuil garam dapur. 

Orang-orang tua dahulu biasanya segera mencari pohon  “tanging-tanging” ketika mendengar anaknya mengerang akibat sakit gigi. Sakitnya benar-benar hilang setelah gigi kita diolesi getah pohon itu. Kita saja yang begitu kejam tidak merawat pohon itu. Giliran orang tua kita sakit gigi, anak-anaknya langsung melompat ke apotek membeli tablet pereda nyeri. Barangkali anak-anaknya tidak mengenal Jean Rousseau.(*)

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di kolom 
Ecofenomena situs KlikHijau.Com

Kantong Celana Anda Memiliki Alat Penghantar Virus Paling Efektif


Dunia tidak mengenal George Floyd sebelumnya. Namun dunia segera menyimak Amerika Serikat yang rusuh berhari-hari di puluhan kota dan negara bagian. Bukan media besar yang pertama kali menghembuskannya, melainkan media sosial. Rupanya informasi adalah juga penghantar virus paling efektif. Ia menjejali android Anda yang bahkan belum Anda keluarkan dari kantong celana.
Varietas virus melalui informasi memadat dalam berbagai platform media sosial. Platform media sosial pencari perempuan prostitusi di sekitar lingkungan kita masing-masing dapat didownload gratis. Begitulah sehingga media sosial adalah juga penyumbang terbesar meningkatnya jumlah pengidap penyakit yang terkait penyalahgunaan kelamin. Belum lagi korban penipuan online, hoaks berantai, akun palsu, provokasi sistematis, dan seterusnya.
WHO memperkirakan jumlah pengidap penyakit kencing nanah akibat seks bebas setiap tahunnya melebihi 250 juta orang. Sementara jumlah pengidap spilis setiap tahunnya mencapai 50 juta orang. Ternyata angka korban covid-19 jauh lebih kecil.
Majalah The Times tanggal 4 Juli 1983 menyebutkan, 20 juta warga Amerika Serikat mengidap penyakit penurunan kekebalan herpes, dan mengumumkan bahwa di Afrika saja 30 juta orang mati setiap tahun dengan sebab penyakit AIDS yang muncul akibat hubungan seks bebas. Apakah Anda sudah punya sedikit bayangan grafiknya pada tahun 2020?
Sedikit yang menyadari bahwa solidaritas juga disebarkan oleh informasi. Solidaritas toh juga membawa serta anarkisme. Puncak kejayaan kaum anarkis adalah instabilitas, kalau perlu secara global. Ribuan hingga jutaan orang langsung terkoneksi di media sosial untuk melakukan aksi. Minimal sebentuk opini.
George Floyd adalah seorang Afro-Amerika. Dan itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan meniup api kekisruhan di dunia maya. Rasisme memang tidak pernah hilang. Siapa saja boleh mengutuknya. Para demonstran dan kaum anarko tidak mengenal George Floyd secara personal. Tapi bumbu penyedap itu segera tersaji di jalanan, rasisme!
Koneksi kita di dunia nyata memang sejak lama sudah jauh berkurang. Jauh sebelum pandemi covid-19 menyerang. Sebelum sebagian kita memahami bahwa rumah sendiri adalah surga yang terlupakan.
Bertemu dan bercengkerama dengan sahabat atau keluarga, atau melakukan hobi-hobi mungkin telah lama kita tinggalkan. Bukan pandemi pelaku utamanya. Sejak kita terlalu sibuk dengan era digital dan teknologi informasi maka sekali saja disulut kita bisa mendadak berkumpul merayakan pertemuan beraroma anarki.
Titik awal gerakan bergelombang anti rasisme di AS itu mengusung bendera solidaritas. Namun media-media tidak hanya menayangkan tulisan-tulisan anti rasisme pada spanduk demonstran. Di sana-sini juga berlangsung penjarahan. Rupanya itu juga bahan empuk untuk pemberitaan. Informasi disebarluaskan, orang-orang afro-Amerika dan imigran pun semakin tidak terkendali. Lalu, benarkah aksi-aksi penjarahan hanya merupakan sekadar simbol perlawanan warga kulit hitam dan imigran yang merasa senasib dianggap warganegara kelas dua?
Media-media senada seirama menyebutnya bemula dari cara bekuk yang “tidak biasa” ala seorang polisi di Minneapolis. Sebuah cara “melumpuhkan” yang tidak konvensional mengakibatkan George Floyd meregang nyawa. Dan itulah narasi paling sexi di media.
Jaman digital memudahkan penyebarluasan emosi dengan tingkat frekuensi yang sama. Rasisme, kini kata itu kembali berdengung-dengung. Tidak butuh waktu lama untuk memancing para anti rasial keluar dari sarangnya di Australia, Inggris, Brazil, dan negara-negara lainnya.
Setiap informasi adalah juga bubuk mesiu. Valid atau tidak, fakta atau hoaks, maka kegunaannya sama saja ketika dihamburkan tanpa perhitungan. Ia serupa kanon. Revolusi Prancis yang sangat berpengaruh itu dimulai dari bisik-bisik serius di kedai kopi. Rencana melengserkan Soeharto pada tahun 1990-an didiskusikan sambil makan bakso di kantin-kantin kampus. Banyak kejadian besar dimulai dari hal-hal yang tidak diperhitungkan.
Namun tidak ada yang bisa menyalahkan media online. Sedangkan media sosial punya permakluman tersendiri. Ia punya otoritasnya sendiri sebagai alat berjejaring yang sah bagi keberlangsungan peradaban. Walaupun setiap saat mungkin bisa saling menyesatkan antar pengguna.
Pemicu emosi secara individu biasanya dialami kondisi tubuh yang sedang kurang fit. Begitu pun secara kolektif, kondisi dunia sedang tidak fit.
Stress menjadi pemicu utama dari emosi. Kapitalisme yang menguasai mesin-mesin produksi mengakibatkan kaum pekerja kurang tidur. Kelelahan bisa menyulut emosi. Ketidaknyamanan fisik memicu orang mudah marah. Konsumsi terhadap berbagai macam obat yang mengandung kimiawi itu sekaligus memicu ketersinggungan lebih cepat bereaksi. Dan obat-obat farmasi itu kebanyakan diproduksi oleh mesin milk kapitalis. Sembari mereka pun menyumbangkan industrinya yang besar, media-media mainstream!
Masa pagebluk bisa membuat kita saling baku gebuk. Anehnya, yang paling diwaspadai oleh setiap pemerintahan di dunia biasanya bukan konflik horisontal, melainkan vertikal. Bukankah kebanyakan mereka memang sangat mencintai kekuasaan? Mereka pun senantiasa membutuhkan alat penyampai, media-media mainstream!
Media sosial menjadi semacam katalis bagi perilaku destruktif seperti membanding-bandingkan, cyberbullying, dan pencarian pengakuan. Video perlakuan polisi terhadap George Floyd jelas virus berbahaya. Ia berinkubasi sekaligus menyebar cepat melalui media sosial. Ia membawa serta emosional dan rasa sakit.
Sebuah studi di Inggris yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health menguji dampak psikologis dari media sosial terhadap 1.500 generasi muda. Mereka menyimpulkan bahwa hampir semua media sosial memiliki dampak buruk bagi kesehatan mental. Mulai dari gangguan seperti anxiety (kegelisahan) hingga rasa rendah diri.
Hasil riset tersebut cukup jelas; kasus-kasus depresi semakin meningkat seiiring semakin lekatnya manusia dengan media sosial, dan semakin seringnya kita menggunakan media sosial semakin meningkatnya kemungkinan mendapatkan mood disorder. Hanya saja yang tidak terlihat dari riset tersebut adalah apakah penggunaan media sosial berlebih menjadi penyebab depresi, ataukah orang yang dilanda depresi akan cenderung menggunakan media sosial dengan berlebihan.
Sekali-sekali memang kita perlu berjalan melintasi waktu. Pada jaman “kitab kuning”, informasi berupa kajian literatur terhadap kitab-kitab dilembagakan secara rutin hanya oleh pondok pesantren. Kajian informasinya boleh diikuti warga setempat. Bukan hanya sebatas santri yang bisa mengakses. Informasi yang dirapikan semacam itu tentu sulit diterapkan dalam jaman tik tok.
Untuk kepentingan yang salah, ekses teknologi informasi berupa penipuan, pencurian data, penculikan, penjualan manusia, perdagangan organ tubuh, dan lain-lainnya mungkin sudah tiba sejak lama di rumah kita. Mengintai sambil menunggu waktu yang tepat.
Apakah tidak sebaiknya kita dorong saja agar kaum kapitalis tidak perlu memiliki media? Pertanyaan itu bisa juga direvisi: apakah tidak sebaiknya para pemilik media besar tidak ikut-ikutan menjadi kapitalis tulen? Mark Zuckerberg juga dulunya konon adalah mahasiswa idealis di Harvard. Dan masih pakai kata konon, sekarang ia seorang kapitalis tulen. Mark bahkan membolehkan penggunaan Facebook tanpa kuota internet. Hanya dengan mode gratis di Messenger Facebook, seseorang yang tidak Anda kenal dari belahan bumi lainnya mungkin saat ini sedang menunggu Anda membaca pesannya. Entah pesan dan interest apa gerangan yang dia kirimkan. Dan Anda tidak bisa memintai tanggung jawab Mark jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.(*)

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Opini situs Mengeja.Id

Platoisme adalah Aristokrasi Gaya Baru

Kaum skeptis mengatakan, “Kalau kamu penggemar mimpi maka berkawanlah dengan gagasan Plato terkait konsep negara ideal”. Filsuf Yunani kuno itu memang punya banyak rumusan terkait “kekuasaan rakyat”.
Plato meyakini bahwa negara ideal menganut prinsip kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Pengetahuan hanya dimiliki seorang filsuf, bukan lainnya. 
Pemikiran plato itulah melahirkan istilah platoisme. Istilah itu merujuk pada absurditas negara yang ideal. Pikiran yang menafikan realitas politik yang bekerja dari berbagai kepentingan kelompok.
Barangkali dengan menganut platoisme maka plato-plato kecil bisa dilahirkan. Benarkah platoisme menjadikan idiom “negara” kian absurd? Di sisi lain absurditas juga sesekali mampu menjadi realitas dalam tahapan tertentu, sebuah zaman yang tepat, dan perubahan yang disepakati oleh mayoritas. Meskipun temporer.
Plato menggagas aristokrasi. Peradaban modern justru mengadaptasinya dengan lihai. Sistem pemerintahan modern yang paling banyak dianut negara saat ini adalah demokrasi. Setiap orang memiliki hak setara terlibat dalam pengambilan keputusan tentang hidup mati mereka.
Demokrasi berhasil karena ideologi liberalisme. Setiap orang memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pengetahuan yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin filsuf, seperti harapan Plato, justru lebih banyak melahirkan para pemuja materialisme.
Pemuja modernisme, sebenarnya, menerjemahkan absurditas plato dalam bentuk demokrasi liberalisme. Hasilnya melahirkan kesenjagan ekonomi. Demokrasi adalah wadah borjuis yang mengekang kekuasaan rakyat dalam bentuk hura-hura politik. Mereka sedang menerjemahkan negara ideal bentuk oligarki yang dibungkus dalam kemasan demokrasi.
Plato hanyalah seorang filsuf yang membayangkan dirinya menjadi seorang pemimpin. Ia lahir bukan sebagai pemimpin tapi hanya pemikir. Andaikan Plato pernah memimpin kelompok, masyarakat, lalu membentuk suatu pemerintahan negara, tentu ia akan melahirkan konsep negara ideal yang implementatif.
Mari sejenak membayangkan Plato hidup sezaman dalam lokasi yang sama dengan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam. Bukan saja kita akan melihat Plato mengenakan kafiyeh. Niscaya Plato juga mengurungkan niat menulis buku berjudul “Republic” yang termasyhur itu. Konsep negara madani di Kota Madinah terlalu detail dan unggul. Penerapan Madaniyah terlalu sempurna dibanding utopia di atas kertas hasil gagasan Plato, aristokrasi.
Satu-satunya kemasygulan Plato yang sangat mungkin, yakni kekhawatirannya pada pengkhianatan terhadap sistem madani atau madaniyah. Kota Madinah menghimpun pluralisme, kebhinnekaan. Di sana pun terdapat hitam-putih. Perjanjian madani disepakati oleh berbagai bangsa dan agama dalam satu kota besar. Perjanjian yang diawali dari konsep keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ketiga konsep itu adalah dimiliki setiap manusia sebagai konsep primordial. Konsep primordial itu telah termanifestaikan dalam kepemimpinan seseorang. Dialah Muhammad bin Abdullah, seorang manusia biasa yang terpilih menjadi model kepemimpinan paripurna, baik kepemimpinan pribadi, keluarga, kelompok, negara, dan agama. Kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat sosial, negara, dan tradisional.
Kepemimpinan Muhammad SAW mampu mewadahi harapan semua orang sehingga terbentuk suatu ikatan perjanjian bersama, Perjanjian Madinah. Piagama Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur hubungan masyarakat berbagai suku, ras, agama berdasarkan asas keadilan.
Perjanjian yang lahir bukan karena adanya ikatan darah ataupun ikatan agama melainkan perjanjian karena adanya kebutuhan bersama, rasa keadilan. Salah satunya, mereka berjanji untuk saling melindungi satu sama lain manakala ancaman datang dari luar. Perjanjian atas kesepakatan dan kesepahaman itu adalah bentuk lain konstitusi dalam dunia modern.
Plato benar jika menyimpulkan bahwa Madinah tidak mengenal mitologi. Tidak ada kompetisi sebagaimana yang diperbuat Dewi Athena dan Dewa Poseidon dalam memberikan nama yang akan menjadi pelindung bagi Kota Athena. Dewi Athena menghadiahkan pohon buah zaitun kepada penduduk. Sedangkan Dewa Poseidon memberikan mata air asin. Pemberian Dewi Athena dipandang lebih berharga. Namanya diabadikan pada kota kuno itu sebagai imbalan para pemujanya.
Athena memang luar biasa. Toh aristokrasi yang disukai Plato itu tumbang juga. Kota itu melahirkan demokrasi. Athena bersama Sparta telah menyingkirkan para raja dan tiran. Para bangsawan mereka gulingkan. Pemerintahan demoktratis pertama di dunia terbentuk menjelang 500 SM, ketika Perang Persia (499-479 SM) berakhir. Sejarah Yunani berpusat di kota Athena setengah abad lamanya.
Herodotus, Bapak Sejarah, menyebut rakyat Athena sebagai penyelamat Yunani. “Didampingi para dewa, mereka mengusir penyerbu,” ungkapnya. Itu juga yang membuat Plato membenci demokrasi karena telah menghancurkan Athena, kota kesayangannya.
Athena terbentuk dengan model kekaisaran, namun mereka melakukannya dengan demokratis. Rakyat Athena paham bagaimana ketidakadilan dijadikan ‘norma’ bagi raja, tiran, ataupun aristokrasi dalam bungkusan yang memiliki hak-hak istimewa. Karena itu, Athena mengusahakan setiap penduduk bebas, baik kaya maupun miskin, bangsawan maupun orang biasa, agar berkesempatan memiliki jabatan di pengadilan serta berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang.
Setelah pengembaraan yang sangat jauh bagi demokrasi, ternyata tak satu pun sistem demokrasi yang setangguh konsep madaniyah di Kota Madinah. Sebagian orang pernah memaksakan pendapat bahwa madani lebih dekat dengan konsep Pancasila. Mereka lupa bahwa Pancasila hanyalah asas bernegara atau falsafah bangsa.
Para penguasa mampu melahirkan berbagai produk hukum yang ditafsirkan berbeda dengan Pancasila. Pancasila bisa bergaya nasionalis ketika penguasanya nasionalis. Pancasila bisa agamais ketika kita dipimpin orang agamais. Bahkan Pancasila bisa bergaya komunis ketika kelompok penguasa beraliran komunis. Demokrasi memang luwes. Ia dicangkokkan langsung ke urat-urat nadi kekuasaan dan negara-negara.
Dalam perbenturan ide-ide tentang kekuasaan rakyat dan konsep negara ideal, yang kebanyakan menang justru revolusi. Hanya dengan kesepakatan kuat bersama persenjataan kuat yang bisa membuat Kota Madinah aman.
Masalahnya, platoisme mungkin bisa serupa nehruisme, revolusi tanpa kekerasan. Padahal kemerdekaan dan proses tatanan baru selalu dilengkapi dengan perjuangan bersenjata.
Hari-hari ini “platoisme telah menjadi aristokrasi gaya baru” dengan versi mencengangkan bersama “hak-hak istimewanya” itu justru lebih dulu memperkuat persenjataan. Bukankah Platoisme terlalu kuno di era digital?

Tulisan ini jauh sebelumnya juga dimuat di kolom Kritik situs Aksiografi.Com

Inai Tutu Iya Upa’, Inai Pacapa’ Iya Cilaka

Sejarah dunia menunjukkan hanya homo sapiens yang selalu bermasalah terhadap keseimbangan alam. Bahkan bermasalah terhadap keseimbangan jiwa. Homo sapiens bertanggung jawab penuh pada berbagai tindakan pemusnahan flora dan fauna, perang, serta pencemaran.

Lantas apakah apakah bumi hanya sekadar mengalami demam ketika diinvasi wabah? Sapiens mengeluarkan antibodi ketika diinvasi organisme luar. Namun tidak selamanya mereka bisa bertahan.

Peristiwa pemurnian-pemurnian dalam sejarah dikategorikan penghakiman. Itulah sebabnya banyak yang menyimpulkan pandemi merupakan penghakiman paling tepat bagi spesies kita.

Kalau benar bumi sedang dimurnikan maka idiom “normal baru” tidak sepenuhnya keliru. Bisa jadi ia hanyalah fase yang berulang. Agama-agama dan berbagai budaya punya hubungan intim terhadap persoalan pemurnian.

Sekali waktu pemurnian merupakan antonim dari kata “kecerobohan”. Ia selalu komplit. Prosesnya pasti disublimasi secara matang.

Sebuah puisi kuno Makassar yang penulisnya anonim, berbunyi: “Inai tutu iya upa’/Inai pacapa’ iya cilaka.” Mengutip pemaparan budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, puisi minimalis itu dinukilkan oleh seorang seniman teater yang meraih doktor di bidang kajian kesusastraan daerah, Dr. A. Nojeng. Puisi ini sebentuk pesan leluhur yang terjemahannya kira-kira berbunyi: “Siapa yang berhati-hati maka dia selamat/Siapa yang ceroboh, maka celakalah dia.”

Dalam hari-hari yang tidak menentu manusia memang harus membentuk “katutu” atau “berhati-hati” terhadap apa pun yang berbau ancaman. Tidak “pacapa’ atau “ceroboh” dalam bersikap. Kemunculan kebijakan “new normal” untuk mengkondisikan posisi manusia terhadap pandemi wajib menghindari “capa”

Banjir besar di jaman Nabi Nuh adalah salah satu fakta pemurnian yang pernah ada. Nuh diharuskan menyelamatkan hanya puluhan orang beriman dan berbagai spesies hewan dan tumbuhan. Dalam bahtera super canggih sepasang hewan berdarah panas bisa sekapal dengan pasangan hewan lainnya yang berdarah dingin. Teknologi apa gerangan yang digunakan Nabi Nuh? Berbulan-bulan bahtera itu terombang-ambing di atas banjir bah raksasa.

Sebuah peradaban baru harus diselamatkan. Dengan tingkat “katutu” yang maksimal kapal Nuh diperlengkapi bahan pangan dan obat-obatan terlengkap sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Kapal itu merupakan miniatur ekosistem darat. Karnivora, herbivora, dan omnivora tercukupi kebutuhannya dalam satu kapal. Miniatur masing-masing habitatnya pun didesain sedemikian rupa sehingga hewan dan tumbuhan yang berpasang-pasangan itu tetap lestari di atas kapal selama misi penyelamatan besar itu berlangsung.

Konsekuensi dari mengabaikan atau melawan hukum alam adalah penyakit, wabah, dan bencana alam.Apakah pemurnian juga dialami oleh peradaban Atlantis dan Sumeria? Kedua peradaban yang sangat tinggi itu justru menghilang.

Tidak ada jejak arkeologis yang cukup meyakinkan bahwa Atlantis adalah peradaban yang pernah dimurnikan. Atlantis lebih tepatnya “dibinasakan.” Teknologi antariksa Atlantis yang konon sudah mencapai penemuan portal teleportasi tidak mampu menjadi penyelamat.

Peradaban Sumeria merupakan jenis prestasi pertama di dunia. Bangsa Sumeria memiliki obat dan farmakope pertama di dunia. Operasi otak pertama di dunia. Pertanian dan almanak petani pertama di dunia. Kosmologi dan astronomi pertama di dunia. Kode hukum pertama di dunia. Dan mereka menggunakan teknologi yang mencapai metalurgi canggih, peleburan, pemurnian dan paduan serta pemurnian bahan bakar minyak bumi. Yang paling penting, bangsa Sumeria bertanggung jawab atas rekayasa genetika pertama di dunia. Toh Sumeria senasib Atlantis, “dibinasakan.”

Jangan pernah “pacapa”. Tetaplah “makkatutu.” Pemurnian beda tipis dengan penghancuran.(*)

Pustaka RumPut, 28 Mei 2020

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Kopi Panas situs JalurDua.Com


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday