Latest Post

Lumpur Lapindo: Memori Di Bawah Tanah

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 05 Januari 2011 | Januari 05, 2011


Sejak  2008 tercatat sebanyak 10.106 kepala keluarga terpaksa meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Kampung halaman tercinta meninggalkan banyak kenangan. Jepretan dalam foto tak cukup untuk menerjemahkan kesedihan itu.

Lumpur Lapindo nyaris dilupakan orang bahkan oleh presiden SBY terlebih lagi Aburizal Bakrie. Tapi Lafadl Initiatives, sebuah lembaga nirlaba, menggelar pameran foto bertajuk “Memori Bawah Tanah: Mengingat dan Memotret Hak-Hak Dasar Korban Lumpur Lapindo”. Pameran yang bekerja sama dengan lembaga Hivos ini digelar di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 5-7 Januari 2011.

Pameran foto ini adalah hasil dari workshop fotografi yang dilakukan sejumlah warga dari desa-desa yang terkena dampak lumpur Lapindo. Mereka menggambarkan kondisi hak-hak asasi manusia di Porong, Sidoarjo. Foto-foto yang dipamerkan lahir dari mata mereka yang terkena langsung dampak lumpur Lapindo.

Bencana lumpur Lapindo yang terjadi sejak akhir Mei 2006 setiap hari mengeluarkan sekitar 100.000 meter kubik material lumpur dari dalam perut bumi. Material semburan itu ditampung dalam tanggul seluas sekitar 800 hektare dan secara perlahan disalurkan ke sungai Porong. Bencana ini telah menyebabkan sebayak 4 desa di Sidoarjo, Jawa Timur – Kedungbendo, Siring, Jatirejo, dan Renokenongo – tenggelam oleh lumpur.

(pelbagai sumber)

Puisi Awal Tahun

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 03 Januari 2011 | Januari 03, 2011



tanpa tanda kutip
tanpa garis hubung
prakkk!!
desa dan kota:
meledak.
rasa dan kita:
pecah.
tanpa tanda kutip
dan garis hubung:
cinta dalam kurung

Bulukumba, Januari 2011

Kahlil Gibran di Makassar 6 Januari 2011

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 26 Desember 2010 | Desember 26, 2010


Seperti apakah penyair dalam pikiran Kahlil Gibran? Kahlil berkata dalam puisinya:

Suara Penyair
Berkah amal soleh tumbuh subur dalam ladang hatiku.
Aku akan menuai gandum dan membahagikannya pada mereka yang lapar.
Jiwaku menyuburkan ladang anggur yang kuperas buahnya dan kuberikan sarinya pada mereka yang kehausan.
Syurga telah mengisi pelitaku dengan minyaknya dan akan kuletakkan di jendela.
Agar musafir berkelana di gelap malam menemui jalannya.
Kulakukan semua itu kerana mereka adalah diriku.
Andaikan nasib membelenggu tanganku dan aku tak bisa lagi menuruti hati nuraniku, maka yang tertinggal dalam hasratku hanyalah : Mati! 
Aku seorang penyair, apabila aku tak bisa memberi, akupun tak mau menerima apa-apa.


Lalu seperti apakah Kahlil Gibran di benak para penyair dan para pesastra lainnya? 

Untuk menghargai hari besar, pesastra besar dunia Kahlil Gibran, maka tanggal 6 Januari 2011 pukul 19.30 Wita, bertempat di sebuah gedung di Makasssar, akan diadakan pagelaran pembacaan karya sastra yang dilaksanakan oleh Komunitas Bulan Sabit Jingga Sastra 09 UNM. Dirangkaikan dengan pameran karya Pesastra Makassar di antaranya karya pesastra Akhyar Anwar dan Andhika Mappasomba. Untuk reservasi tiket dan informasi bisa menghubungi Budiman Sukma 085242102600. Tempat terbatas hanya untuk 500 orang.


Ketika Puisi Disetubuhi Mantra

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 23 Desember 2010 | Desember 23, 2010

Bukan hanya sebagai negerinya pantun, Indonesia juga negerinya mantra. Penyair mantra, Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu nama yang paling akrab dengan wilayah itu. Bahkan dalam salah satu kalimat dalam "Kredo Puisi" nya yang terkenal Sutardji mengatakan, "Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera."

Dalam Bahasa Sansekerta mantra atau mantera berarti pesona. Di pesisir timur Sumatra Utara yang didiami orang kampong dikenal beratus-ratus mantra yang dipergunakan untuk pengobatan atau kegiatan harian lainnya. 

Dari beratus mantra inipun seluruhnya berbentuk puisi yang mempunyai kekuatan. Puisi mantra ini diciptakan langsung oleh "mambang", "jembalang". Misalnya penggalan mantra yang digunakan mambang laut agar nelayan tetap sehat dan tangkapan ikannya melimpah:

Assalamualaikum/ Aku kirim salam kepada jin tanah/ Aku tahu asalmu/ Kau keluar dari air ketuban/ Bukan aku melepas bala mustaka/ Sang Kaka Sang kipat/ Melepas bala mustaka

Atau mantra untuk penawar bila orang yang tersengat racun hewan:

Aku tahu asal mulamu/ Bisa darah haid siti hawa/ Surga akan tempatmu/ Cabut bisamu/ Naikkan bisa tawarku 


Oleh Sapardi Djoko Damono, dalam bukunya "Mantra Orang Jawa" mantra-mantra orang Jawa ini dituliskan kembali menjadi puisi-puisi. Ini adalah wilayah eksplorasi kreativitas Sapardi di mana semua mantra-mantra ini dihadirkan kembali dalam bentuk kemasan puisi. 

Beberapa puisi yang  dikemas Djoko Damono, seperti berikut ini:


BISMILLAH

Bis: kulit
Mil: daging
Lah: tulang

Alrahman
Alrahim:
sepasang mata
kiri dan kanan

DEFINISI

Ashadu: rasa pun turun
Ilaha: hakikat rasa
Illalah: rasa pun menyawa

Mohammad sebagai ujud
Allah hakikat hidup

Di masyarakat Batak, mantra disebut Tabas, yang bermakna luas sebagai permohonan. Tabas-pun berbentuk bait-bait puisi (umpasa).

Di dalam masyarakat Jawa. mantra dipercaya mengandung kekuatan dan semangat supranatural. Ronggowarsito, misalnya, dalam kesusastraan Jawa di abad 19 cukup banyak menulis mantra dari tradisi lisan (tutur) yang ada di masyarakat Jawa. Bahkan mantra juga digunakan sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam karena orang Jawa pada waktu itu tidak lazim membaca teks kitab agama, sehingga agama diajarkan menggunakan tembang, kidung, atau kesenian rakyat seperti wayang kulit, ludruk, ketoprak, dan lain sebagainya, dalam hal ini mantra juga disisipi ajaran agama.



Dewan Ketahanan Budaya Sulsel 2011

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 18 Desember 2010 | Desember 18, 2010


Rencananya pada 2011 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan membentuk dewan ketahanan budaya guna melestarikan budaya khas Sulsel. Pembentukan dewan ketahanan budaya ini juga merupakan bentuk apresiasi terhadap kebudayaan di Sulsel yang menunjukkan identitas diri dan memiliki nilai yang sangat tinggi, seperti dikutip dari lama RCA FM.
Keberadaan dewan ketahanan budaya ini nantinya dapat menjadi sarana sekaligus media untuk memelihara dan menjadi pusat kebudayaan di Sulsel. Selama ini tidak adanya wadah yang menjadi induk kebudayaan membuat kecenderungan semakin terancamnya budaya Sulsel, tidak hanya di mata masyarakat dunia, melainkan juga masyarakat Sulsel sendiri.

Di belahan bumi manapun berada, masyarakat tidak mungkin mengisolasi diri dari kemungkinan interaksi kebudayaan maupun pengaruh ideologi atau informasi dari luar. Untuk dapat tetap bertahan dalam pergaulan global diperlukan ketahanan yang diharapkan akan menjadi fondasi untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual, memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, serta untuk identitas daerah itu sendiri. 

Kearifan-kearifan lokal dapat menjadi landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional yang sering kali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Misalnya, dalam bahasa, seni dan bahkan teknologi yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Tersisa satu pertanyaan yang akan sering mengusik di masa-masa yang akan datang, mampukah dewan ketahanan budaya lebih sigap dibanding dewan kesenian?

La Galigo Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 15 Desember 2010 | Desember 15, 2010


Karya sastra terpanjang di dunia dan terbentang sepanjang zaman, I La Galigo yang merupakan warisan budaya Bugis-Makasssar, diusulkan untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia. 


Proses pengusulan I La Galigo ini sudah mulai dilakukan sejak dua tahun lalu, dan diajukan melalui dialog ilmiah dengan Memory of the Word (MOW) Unesco. 

Hasil dialog ilmiah tersebut diajukan ke tingkat nasional dan kemudian diajukan lagi hingga ke tingkat internasional. I La Galigo sendiri merupakan salah satu warisan budaya yang diusukan bersama dengan dua warisan budaya Babad Diponegoro dari Pulau Jawa dan juga Mak Yong dari Kepulauan Riau.

Budayawan Sulawesi Selatan, Dr Mukhlis Paeni mengatakan, sastra I La Galigo layak untuk mendapatkan penghargaan secara internasional. Penghargaan sebagai warisan budaya dunia ini, kata dia, menunjukkan bahwa I La Galigo tidak hanya menjadi milik masyarakat Sulsel, melainkan juga masyarakat internasional.  Tidak ada yang bisa membantah bahwa I La Galigo merupakan warisan sejarah yang sangat besar, baik dalam konteks budaya, sejarah, sastra, dan nilai-nilai kemanusiaan. I La Galigo sebagai produk budaya bisa menjadi sarana pengembangan nilai serta karakter bangsa. 

Menurut dia, pengusulan I La Galigo untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia menjadi sangat penting di era ekonomi kreatif dan juga industri budaya yang semakin berkembang.  Budaya harus juga bisa dikelola sebagai mata tambang yang bisa menambah khasanah kehidupan masyarakat.
 
Dr Mukhlis Paeni juga mewanti-wanti,  perlu pengawalan serius untuk bisa mewujudkan I La Galigo menjadi salah satu warisan budaya dunia, mengingat sangat banyak warisan budaya dari negara lain yang juga diusulkan. 



Sastra Makassar

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 09 Desember 2010 | Desember 09, 2010

Masyarakat Etnik Makassar sejak berabad-abad lalu mengenal berbagai sastra lisan baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Sastra lisan yang  dalam bentuk prosa maupun puisi dituturkan dengan jalan dinyanyikan atau disenandungkan dengan diiringi oleh berbagai macam instrumen/ bunyi-bunyian dan alat musik.

Beberapa sastra prosa dinamakan sinriliq dan kacaping, karena sastra ini dituturkan dengan cara dinyanyikan karena diiringi oleh alat rebab (sinriliq/kesoq-kesoq) dan kecapi. Sastra puisi diberi nama kelong yang secara harfiah diterjemahkan sebagai nyanyian. Namun pada dasarnya kelong adalah karya sastra yang berbentuk larik-larik kelompok kata yang berpola dan dibawakan secara bernyanyi atau bersenandung. Salah satu karya sastra yang berbentuk puisi (kelong) adalah Royong.

Royong adalah adalah sastra lisan dalam ritus upacara adat Makassar. Tradisi lisan ini biasanya dipentaskan pada upacara adat perkawinan, sunatan, khitanan, upacara akil balik dengan memakaikan baju adat/ baju bodo kepada anak gadis (nipasori baju), dan juga pada upacara ritual kelahiran (aqtompoloq) dan upacara penyembuhan penyakit cacar (tukkusiang).

Sastra lisan Royong dewasa ini mengalami masa menghampiri kepunahan. Selain ia kehilangan tradisinya lantaran para bangsawan kerajaan Gowa tidak lagi melaksanakan upacara-upara daur hidup secara tradisional akan tetapi melaksanakannya dengan sederhana, dan mengikuti ajaran syariat Islam yang tidak lagi membutuhkan kehadiran royong sebagai media permohonan doa, sehingga secara perlahan-lahan sastra Royong sangat jarang dituturkan lagi. Juga pendukung/pelaku royong sudah lanjut usia. Rata-rata usia paroyong sekarang ini di atas 70 tahun dan hanya mewariskan kepada beberapa orang generasi muda. Hal inilah menggugah perhatian kami untuk melakukan penelitian/perekaman agar sastra lisan ini dapat dipertahankan keberlanjutannya dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakatnya dewasa ini

Selain sastra Royong, manusia Makassar sejak zaman dahulu mengenal bahasa berirama semacam pantun, bukan hanya suku lain saja seperti Padang. Seorang penulis, HM. Siradjuddin Bantang  dalam buku "Sastra Makassar" mengungkapkan orang Makassar menggunakan sastra tersebut sebagai bahasa sehari-hari, misalnya ketika ada seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis, biasanya keluarga pemuda tersebut mencari orang yang mampu bersilat lidah atau ahli pantun/sastra dan melantunkan bahasa kiasan atau tutur kata agar pinangannya diterima contoh beberapa sastra/pantun dalam bahasa Makassar dinamakan kelong yang dilantunkan seperti :

Niaka Anne Mammempo
Angerang kasi’ asikku’
Saba’ nia’na
Hajjakku lakkupabattu

(Saya datang menghadap
Membawa pengharapanku/rendah hatiku
Dikarenakan Adanya
Maksud ingin kusampaikan)

Kamase-mase kuerang
Toddongko rimangko kebo
Naki’ minasa
Nipaempoi kalabbirang

(Rendah hati kubawa
Kutaruh di mangkuk putih
Kami berharap
Didudukkan pada adat)


Orang Makassar di zaman dahulu khususnya orang tua rutin mendendangkan kelong atau pantun yang penuh pesan, pendidikan, petuah-petuah, tapi sekarang sudah tergerus oleh zaman.

Metafora Dalam Puisi Bugis

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 04 Desember 2010 | Desember 04, 2010

Metafora mengidentifikasikan hubungan antara benda atau perasaan dimana hubungan tersebut lebih bersifat abstrak daripada nyata serta mengidentifikasikan pola hubungan sejajar. Makna-makna tersembunyi dalam beragam puisi Bugis purba juga menjelaskan bahwa metafora telah digunakan manusia Bugis pada ribuan tahun lalu.

Sastra Bugis yang paling banyak dikenal mungkin hanya I La Galigo sebagai karya sastra terpanjang di dunia, Pappaseng dan lain-lain. Padahal masih banyak ragam sastra Bugis yang belum banyak dikenal. Salah satunya puisi Bugis yang terdiri atas beragam jenis. Salah satunya adalah elong maliung bettuanna, atau sajak-sajak yang menyimpan makna tersembunyi. Seorang sastrawan muda Makassar,  M Aan Mansyur telah melakukan riset atas sejumlah jenis puisi ini, dan mengajak kita menelusuri makna-makna tersembunyi di balik sejumlah elong.  

Selain La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia, mungkin tak banyak lagi karya sastra Bugis yang kita ketahui. Padahal, menurut Roger Tol dalam sebuah artikelnya, selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya sastra Bugis sangat menarik untuk terus diperbincangkan.

Meskipun secara harfiah,
satu jenis karya sastra Bugis adalah elong yang berarti ‘lagu’, tetapi dalam pembahasan sastra elong dimaksudkan sebagai satu jenis puisi.,Menurut Salim (1990:3-5) sedikitnya ada 14 jenis elong, yang bisa dibedakan menurut isi (keluarga, agama, nasehat dan hiburan), peristiwa (lulabi, perang, pernikahan, melamar, dll) dan kepelikan atau keanehannya (bentuk dan permainan bahasa). Contoh-contoh elong bisa ditemukan dalam beberapa buku yang ditulis oleh Muhammad Salim, Muhammad Sikki, Rahman Daeng Palallo, dan paling komprehensif ditulis oleh B.F Matthes.

Ada sebuah jenis elong yang belum banyak dibahas namun justru sangat menarik yaitu elong maliung bettuanna. Maliung sebenarnya berarti ‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’. Frase maliung bettuanna dalam jenis puisi ini berarti ‘susah ditemukan maknanya’. Dengan kata lain, puisi dengan makna tersembunyi (Palallo, 1968, 11:7).

Bukankah semua puisi memang menyembunyikan maknanya? Betul. Tetapi, ternyata ada yang berbeda dalam jenis puisi Bugis ini. Selain menggunakan simbol atau majas tertentu, jenis puisi ini menggunakan satu (permainan) bahasa yang disebut Basa to Bakke’ (yang tidak akan ditemukan dalam jenis puisi lain) untuk menyembunyikan makna. 

Secara harfiah Basa to Bakke’elong maliung bettuanna, Basa to Bakke juga ditemukan dalam puisi sejarah abad ke-20 Tolo’na Arung Labuaja (Tol, 1992, 148:85). berarti bahasa orang-orang Bakke’. Tetapi dalam pengertian puisi ini frase itu berarti permainan bahasa orang-orang Bakke’. Bakke’ di sini merujuk kepada Datu Bakke’ atau Pangeran (dari) Bakke’. Daerah Bakke terletak di Soppeng. Sang pangeran konon dikenal sebagai tokoh yang intelek dan sangat pandai berbahasa. Selain dalam  
 
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas ketimbang bahasa sehari-hari. 

Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis, atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih.

Tuntutan-tuntutan seperti itu relatif longgar pada genre sastra lainnya, semisal prosa (cerita pendek, novel) dan drama.
Perhatikan stanza berikut ini:

Kegaena na mumaberrekkeng,
buaja bulu’ede,
lompu’ walennae?
 
[Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?]

Sepintas lalu bentuk puisi ini mirip haiku, puisi tradisional Jepang. Namun ternyata ada beberapa hal yang membedakannya. Puisi (teka-teki) ini sesungguhnya ingin menyampaikan sebuah makna, yakni: ‘yang mana lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’ Bagaimana bisa sampai begitu?

Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara Bugis memiliki keunikan. Beberapa keunikan aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca ‘pa’, ‘ppa’, ‘pang’, ‘ppang’, ‘pa’’, atau ‘ppa’’. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam elong maliung bettuanna .

Dalam satu elong yang disebutkan tadi, langkah pertama untuk menyingkap maknanya telah dilakukan. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan. Ada dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’ede dan lompu’ walennae. Buaja bulu’ede berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennae berarti ‘lumpur sungai’.

Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah menemukan apa rujukan dari pernyataan (frase) yang telah ditemukan. Buaja bulu’ede (buaya gunung) dalam puisi itu merujuk kepada macang (macan) dan lompu’ walannae (lumpur sungai) merujuk kepada kessi’
Jika hanya sampai di sini, puisi itu berarti ‘yang mana yang lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tetapi bukanlah itu yang sesungguhnya ingin disampaikan puisi tersebut. Lalu bagaimana caranya agar tiba pada makna sesungguhnya? Kita masih membutuhkan satu langkah lagi. (pasir).

Dalam tulisan aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis ‘ma-ca’ dan ‘ke-si’.
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’ Luar biasa, kan? (pasir) sama dengan Perhatikan beberapa contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjekko,
Anre-anrena to Menre’e,
atena unnyie.
[Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.]

Puisi ini sesungguhnya berarti ‘aku mencintaimu’. Bagaimana bisa demikian? Gellang riwata’ majjekko merujuk kepada meng (kail), anre-anrena to Menre’e merujuk kepada loka (pisang) — konon Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan atena unnyie merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca melo’ ka ridi (aku mencintaimu).

Tiga lapis menyingkap makna itu bisa diuraikan lebih rinci seperti berikut; lapis pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan (bunyi). Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu frase untuk mengenali kiasan itu; gellang riwata majjekko, anre-anrena to Menre’e, dan atena unnyie. Kiasan dari frase itu, secara berurutan masing-masing; meng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). 

Lapis kedua adalah bunyi meng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis selanjutnya, untuk menemukan makna, bunyi meng dalam aksara Bugis ditulis ‘me’, bunyi loka ditulis ‘lo-ka’, dan bunyi ridi ditulis ‘ri-di’. Untuk menemukan makna elong semua bunyi itu dirangkai menjadi ‘me-lo-ka-ri-di’. Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi melo’ka ridi yang maknanya ‘aku mencintaimu’.

Jika disederhanakan rumus tiga lapis menyingkap makna sebuah elong maliung bettuanna
(1) frase ->(2) bunyi -> (3) makna. adalah:

Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’ede,
bali ulu bale.
 
[Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.]

Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti ’saya membencimu’, makna itu ditemukan dari rangkaian kata teng, awa, dan ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi ‘te-a-wa-(r)i-ko’, aku tidak mau (benci) padamu. Frase elong itu adalah inungeng mapekke-pekke, balinna ase’ede, dan bali ulu bale. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah teng (teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara Bugis akan menjadi ‘te-a-wa-(r)i-ko’. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga terbaca teawa (r)iko (aku benci padamu).

Nah, berikut ini satu contoh lagi. Mari kita sama-sama mencoba menemukan makna dari elong tersebut.

Duami uwala sappo,
Wunganna panasae,
Na belo-belona kanukue.
 
[Dua saja pagarku,
bunga nangka,
dan cat kuku.] 

Wunganna panasae merujuk kepada lempu (bunga nangka) jika dituliskan memakai aksara Bugis, kata lempu (bunga nangka) tak berbeda dengan lempu’ (jujur) yaitu ‘le-pu’. Sementara belo-belona kanukuepacci (daun pewarna kuku) yang jika ditulis sama dengan paccing (bersih) yaitu ‘pa-ci’. Jadi sesungguhnya maksud bait pendek yang mirip haiku itu adalah: hanya dua yang aku jadikan benteng; kejujuran dan kejernihan. 

Selain puitis, elong maliung bettuanna juga kelihatan rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak serumit yang kita duga. Jenis puisi ini betul-betul unik. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dahulu) menyembunyikan maksudnya. Dan tentu saja, alangkah kreatifnya mereka.


Permainan Bahasa  
Sesungguhnya ada pola-pola umum yang paling sering digunakan dalam permainan bahasa orang Bakke. Basa to Bakke biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan dengan nama daerah atau tempat (geografical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical), dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
1. Frase berhubungan dengan nama daerah Satu contoh frase untuk topik geografis adalah sebagai berikut:

Toddanna Tangka nataro,
toddanna Palangiseng,
nalao purai.
 
[Di sebelah utara Tangka dia letakkan,
di sebelah utara Palangiseng,
dia akan menyelesaikannya.]

Frase Toddanna Tangka merujuk kepada Lebureng yang juga bisa berarti ‘perawan’ dan frase toddanna Palangiseng merujuk kepada Baringeng yang jika disebut nyaris terdengar ringeng
(ringan, murahan). Elong itu kira-kira bermakna, ‘dia mengabaikan seorang perawan lalu menikahi pelacur’. Tangka, Lebureng, Palingeseng, dan Baringeng adalah nama-nama daerah.

Apakah manusia Bugis sejak zaman dahulu pandai menyembuyikan maksud? Metafora dalam puisi-puisi Bugis purba memang menjelaskan bahwa itu benar adanya.

Demokrasi Dalam Sastra Bugis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 29 November 2010 | November 29, 2010


Jauh sebelum Herodotus  memikirkan konsep Demokrasi pada lebih 2000 tahun silam di Athena, Yunani, sastra Bugis telah lebih dulu mengajarkan konsep demokrasi melalui Lontarak. Dalam sastra Bugis purba dikenal kata "amaradekangeng" yang berasal dari kata "maradeka" yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam sastra Bugis Lontarak sebagai berikut.

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.

(Yang disebut merdeka  hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan.)

Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat  atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut.

Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau sama dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat.

Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. "Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas."

Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja.

Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
1. Mannganro ri ade', memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.

2. Mapputane', menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.

3. Mallimpo-ade', protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane' gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.

4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

5. Mallekke' dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: "Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya." (Prof. Dr. A. Mattulada, 1985)

Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur "demokrasi".

 (diramu dari berbagai sumber)

Sastra Lisan Moronene Terancam Punah

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 26 November 2010 | November 26, 2010


Sastra lisan adalah produk budaya lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui mulut, seperti ungkapan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat. Usaha menggali nilai sastra lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah yang perlu dilaksanakan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan keutuhan budaya nasional kita.

Namun kini beberapa sastra lisan di berbagai daerah di tanah air terancam punah. Salah satunya adalah sastra lisan bahasa Moronene Kabaena, Kabupaten Bombana, Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), kini terancam punah akibat tidak adanya generasi penerus yang berminat mempelajari sastra tersebut. Sastra lisan yang sudah terancam punah itu antara lain, Kada (syair kepahlawanan), Ohoohi (syair penyambutan tamu), Tumburi`ow (dongeng) dan ka`oliwi (amanah leluhur).

Azramal, seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) yang sedang meneliti Sastra Lisan Etnis Moronene mengatakan, "Akibat pergeseran zaman, menyebabkan generasi muda tidak tertarik lagi mempelajari sastra lisan Moronene Kabaena."

"Nilai dan fungsi yang terkandung dalam sastra lisan tersebut seperti cerita tentang asal-usul suku Moronene, membangkitkan semangat kepahlawanan dan gairah kegotongroyongan," katanya.

Sastra Kada, menurut Azramal, sampai saat ini belum ada yang menulisnya dalam bentuk karya ilmiah secara tuntas. Itu sebabnya kata dia, dirinya tertarik meneliti Sastra Lisan tersebut, dan akan menjelaskan tentang kedudukan sastra lisan tersebut ditinjau dari teks, formulasi dan fungsi.

Pameran Instalasi Tiga Perupa

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 23 November 2010 | November 23, 2010

Seni instalasi (installation = pemasangan) adalah seni yang memasang, menyatukan, dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Biasanya makna dalam persoalan-persoalan sosial-politik dan hal lain yang bersifat kontemporer diangkat dalam konsep seni instalasi ini. Kali ini Seni Instalasi kembali digelar di Jogjakarta. 

Pameran seni instalasi dari tiga perupa  bertajuk “Hot Wave” menghadirkan karya perupa Lotte Geeven asal Belanda, Restu Ratnaningtyas (Indonesia) dan Tim Woodward (Australia) berlangsung di dua tempat yakni di Rumah Seni Cemeti, 24 November hingga 1 Desember 2010 dan di Jogja National Museum, 24-26 November 2010.

Tim, 25 tahun, perupa asal Brisbane, memilih hewan luwak menjadi inspirasi karyanya. Tim tertegun menyaksikan awetan luwak saat mengunjungi Museum Biologi Yogyakarta. Sebelumnya, Tim membayangkan satwa luwak ini begitu istimewa karena ia mampu menghasilkan kopi luwak yang harganya sangat mahal dan sangat tershohor di seluruh dunia.

Tim kemudian berjuang meminjam luwak awetan koleksi Museum Biologi Yogyakarta. Dia kemudian membuat lemari kaca untuk menempatkan luwak awetan tersebut. Luwak yang ditempatkan di dalam kotak kaca inilah yang kemudian dipamerkan Tim.

Restu, 29 tahun, membuat sebuah kubus besar dari kain putih. Pada masing-masing sisinya ia membuat lubang seperti jendela. Melalui jendela inilah pengunjung pameran bisa melongok ke dalam kubus. Nantinya, pengunjung akan menikmati animasi tentang suasana rumah tangga. Animasi itu terbuat dari gambar-gambar karya Restu dengan cat air yang kemudian digunting dan dibuat animasinya.

Sedangkan Lotte, 30 tahun, mengusung aneka daun dan tanaman sebagai elemen karya isntalasinya. Uniknya, sebagian daun dan tanaman itu terbuat dari stereofoam. Namun, Lotte juga memadukan dengan daun dan tanaman segar.

Ketiga perupa ini sepertinya tidak mau lepas dari defenisi awal Seni Instalasi yang dalam konteks visual merupakan perupaan yang menyajikan visual tiga dimensional yang memperhitungkan elemen-elemen ruang, waktu, suara, cahaya, gerak dan interaksi spektator (pengunjung pameran) sebagai konsepsi akhir dari olah rupa.

Pentas Seni "Spirit of Life" Pengungsi Merapi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 20 November 2010 | November 20, 2010


Ketika seni dihadapkan kepada masyarakat yang rata-rata cenderung bersikap sangat diskriminatif maka kegamanganlah yang kemudian melanda para pelaku kebudayaan. Namun dengan momentum luar biasa seni kadang begitu berarti dan tidak terkotak-kotak oleh ideologi, genre dan kepentingan komoditi. Semisal Pentas seni yang digelar di panggung utara posko pengungsian Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Jumat (19/11). "Spirit of Life" digagas para relawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah koordinasi Disaster Response Unit (Deru).


Karya seni apapun bentuknya harus muncul masing-masing ke permukaan dalam kehidupan dunia modern, era informasi, dan globalisasi pada hari ini. Sebahagian hasil karya seni tiba-tiba mempunyai jarak yang jauh dengan masyarakat penikmatnya walau untuk menyiasati tantangan dunia modern, masing-masing telah berupaya sekuat tenaga membungkus dirinya ke dalam formula yang dapat dikemas sebagai komoditi yang saling menguntungkan.

Disaster Response Unit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bekerjasama dengan Seniman Tanggap Bencana menggelar pentas seni bertajuk "Spirit of Life" yang melibatkan para pengungsi korban erupsi Gunung Merapi. Pentas seni "Spirit of Life" para pengungsi mempersembahkan beberapa atraksi seni, di antaranya ketoprak, karawitan, pembacaan puisi, dan menyanyi.

Pentas seni itu untuk membangkitkan kembali semangat dan kreativitas pengungsi bencana Merapi. Gagasan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap pengungsi yang selama ini ditempatkan sebagai objek. Mereka selalu menjadi pihak yang diberi bantuan dan hiburan. Dengan melibatkan para pengungsi dalam kegiatan tersebut, diharapkan mampu memulihkan semangat korban bencana Merapi untuk bangkit kembali menyusun masa depan.

Dengan cara itu, paling tidak para pengungsi akan memiliki kegiatan yang berguna untuk mengaktualisasikan diri.  Sekitar 3.000 pengungsi yang berada di Stadion Maguwoharjo itu dapat
kembali berdaya dan berkreativitas. Jika selama ini hiburan selalu didatangkan untuk mereka, kali ini pengungsi justru menghibur sesama pengungsi. "Spirit of Life" adalah bentuk-bentuk yang sudah jarang kita temukan di panggung seni manapun.



Angklung Resmi Sebagai Warisan Dunia

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 17 November 2010 | November 17, 2010

Alat musik angklung akhirnya resmi ditetapkan sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia, pada sidang ke-5 Inter-Governmental Committe Unesco di Nairobi, Kenya, 16 November pukul 16.20 waktu setempat, ditetapkan sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tjetjep Suparman, yang juga Pimpinan Delegasi Republik Indonesia pada sidang tersebut mengatakan, ditetapkannya alat musik angklung ini sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, merupakan kebanggaan bagi Indonesia, dikutip dari Antara.

Bagi orang Indonesia ada kecenderungan melihat angklung dari fungsi kebendaannya saja. Padahal, dalam angklung ada banyak nilai-nilai yang bisa diambil. Lebih luar biasa lagi, angklung bisa digunakan dalam industri kesehatan, seperti untuk terapi kesehatan dan banyak nilai-nilai lain yang bisa dikembangkan.

Angklung merupakan rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu yang berasal dari Jawa Barat. Jenis bambu yang dipakai biasanya menggunakan awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu ber warna putih). Setiap nada yang dihasilkan dari bunyi tabung bambu yang berbentuk wilahan dari ukuran kecil, sedang, hingga besar, akan membentuk irama lagu yang mengasyikkan.

Asal muasal terciptanya musik angklung tak bisa dilepaskan dari pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi sebagai makanan pokok, yang melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi, pemberi kehidupan. Kendati muncul pertamakali di daerah Jawa Barat, angklung dalam perkembangannya, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera.

Angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

 (disarikan dari berbagai sumber)
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday