Latest Post

Segerombolan Puisi "Saya Oposisi" 2019

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Letupan-letupan peristiwa pada tahun 2019 rupanya sempat saya rekam dalam bentuk puisi. Sebagian besar diposting di Facebook. Berikut sebagian kecil puisi yang masih sempat saya telusuri dari tagar #sekilasmirippuisi dan #berlagakpenyair di wilayah Facebook.


Sepucuk Sajak Petani Kepada Anaknya
karena kita petani maka bersyukurlah karena kabarnya kita akan digaji.
janji-janji manis bukan hama wereng. janji-janji manis hanya kebetulan semanis janda muda di ujung kampung. semanis buah manggis di kebun kita. semanis hamparan harapan di sawah kita.
janji-janji manis adalah sejenis benih sekaligus panen raya. dia akan tetap dituai apapun bentuk buahnya. dia semacam visi misi percintaan. sekecut apapun rasanya. dia serupa musim hujan yang kita sambut dengan pesta do'a sehabis kemarau.
sebentar lagi janda muda kita akan memiliki kartu janda indonesia sehat. akan kulamar dia untukmu sesegera mungkin. sebelum hari pelaminan, ingatkan bapak agar tidak lupa mengundang jaenuddin. jangan bertanya siapa itu jaenuddin. kamu tidak perlu tahu. cukup ayahmu saja yang tahu, janjinya manis-manis lima tahun lampau.

5 Januari 2019


Kopi Tubruk
tidak ada puisi hari ini tentang mushalla yang dirusak segerombolan teroris
tidak ada puisinya di kolom budaya koran manapun
tidak juga di media online
dan kau bilang negara baik-baik saja
sebab di media sosial kau posting status:
hujan turun rintih-rintih.
hmm, puitis sekali kau.
para penyair besar beronani dengan sajak-sajaknya
mungkin mereka kelak menjadi dewan pembina ideologi pancasila
yang digaji ratusan juta setiap bulan
kau pun mungkin begitu
maka sebelum kau jadi pejabat
kuajak kau minum kopi tubruk
sambil saling menubrukkan hape
dan tentunya hapemu menang
sebab bukan buatan china.
kau dengar ada seorang guru honorer memakai sepatu bolong
dan kau posting lagi status:
hujan rintih-rintih.
ah
negara tetap baik-baik saja
sebagaimana junjunganmu
yang kaget karena baru tahu
jenderal soedirman meninggal karena tuberkulosis
kuajak kau minum kopi tubruk
agar kau mau menulis puisi
dengan bahasa china.

31 Januari 2019


Siapa Kalian?
Hindu mengajarkan, non-Hindu adalah Maitrah.
Budha mengajarkan, non-Budhis adalah Abrahmacariyavasa.
Kristiani mengajarkan, non-Kristen adalah Domba Yang Tersesat.
Islam mengajarkan, non-muslim adalah *Kafir.
Semua istilah itu diajarkan di dalam lingkaran pemeluknya masing-masing.
Bukan di luar lingkaran pemeluknya.
Sebab di luar pemeluknya terdapat negara.
Sementara negara terlalu kecil bagi agama.
Agama memiliki teritorinya sendiri yang tidak dimiliki negara.
Begitulah nusantara sejak dulu.
Semuanya berlangsung baik-baik saja berabad-abad.
Tapi, siapa kalian?
Meminta istilah kafir diganti?
Apakah surat Al Kafirun dalam Al Quran harus diedit?
Haruskah diganti menjadi surat Al Non Muslimun?
Sementara Pancasila tidak perlu lagi direvisi.
Bhinneka Tunggal Ika tidak perlu lagi dimodifikasi.
Apakah iman harus diamandemen?
Apakah sudah berarti final bagi kalian jika anak-cucu kami tidak lagi memeluk islam?
Kalau begitu bikin saja Taman Dilan.
Loloskan saja Undang-Undang LGBT di parlemen.
Karena istilah rakyat berasal dari istilah ra'iyyah dan istilah masyarakat berasal dari istilah musyarakah, apakah harus direvisi juga?
Siapa kalian?
Semuanya berlangsung baik-baik saja
sebelum kalian banyak tingkah
sebelum kyaimu berjoged di panggung sampai terjungkal.
Siapa kalian?
Membuat mundur bangsa ini jauh ke belakang?
Warga negara harusnya kalian dewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam.
Toleransi pada perbedaan adalah syarat kewarganegaraan.
Agama tidak perlu diamandemen sebab dia didesain untuk mengelola perbedaan.
Merevisi iman itu sakit jiwa namanya.
Siapa kalian?
Kelucuan apalagi yang harus didustakan di zaman Jan Chuk Chen?

1 Maret 2019


Tidak Usah Baper
Beringsutlah sedikit saja dari gorong-gorong sejarah. Keluarlah sejenak dari habitat amfibi.
Tidak usah saling mendahului, berlompatan menginjak kepala kawan seiring. Jangan gaduh.
Ayo mari sini. Mari seruput kopi.
Kita saling menanyakan kabar.
Bagaimana kabar korban gempa Lombok?
Apakah bantuan rumah tahan gempa yang dijanjikan itu sudah bisa dihuni?
Bagaimana pula kabarnya uang sabun dua milyar?
Ambillah pulpen.Tekenlah segera sesuatu di atas kertas agar semua lahan konsesi besar diserahkan kepada negara. Bagikan segera kepada rakyat kecil. Tidak usah banyak retorika. Siapkan dasar hukumnya. Siapkan dana kompensasinya.
Beritahu anak buahmu. Tidak usah mereka mengatur volume adzan, ukuran hijab, dan cadar. Lain kali aturlah jangan sampai ratusan masjid harus dirobohkan karena pembangunan jalan tol. Aturlah taktik militer yang terbaik untuk menumpas teroris OPM di tanah Papua.
Tidak usah bertanya berapa jumlah masjid, gereja, pura, dan vihara.
Tidak usah menghapus perda syariah dan pelajaran agama di sekolah.
Tumpas saja narkoba, miras, LGBT, predator anak, dan koruptor.
Urus saja jutaan imigran bermata sipit yang setiap hari mendarat bergelombang-gelombang.
Jangan bikin malu. Mundurlah dari jabatanmu ketika mencalonkan diri. Serahkan pada wakilmu. Ada undang-undangnya.
Lain kali jangan bikin malu dengan menjadi penebar hoaks di televisi dan ditonton oleh ratusan juta rakyat.
Tidak usah baper. Ini hanya dialog ringan di sebuah warung kopi. Jangan digoreng. Nanti minyak panasnya terpercik ke muka kalian sendiri. Jangan gaduh. Ada bos di ujung sana yang bayar kopi.
Oh ya, aku hampir lupa. Kemarin di rumahku ada kiriman satu paket berisi mie instant dan amplop yang isinya cukuplah buat beli bakso dua mangkuk. Dari mana ya?

25 Februari 2019


Tulislah Puisi
Lalu di mana puisi kalian ketika data-data palsu dipresentasikan pemimpinmu di televisi
tanpa wajah malu?
Kalian lupa menulis puisi tentang itu.
Atau tulislah puisi tentang orang yang seolah memegang kunci surga
orang yang mengira junjungannya mirip Umar Bin Khattab
dan orang yang berkeras bahwa selain orang-orang dari organisasinya mengurus masjid maka salah semua.
Ketika kalian tidak menulis puisi tentang itu semua
maka tolong ajari aku alifbata dari nol.
Agar aku bisa mengeja
di haraqat mana saja
kalian harus berhenti
menulis puisi.
Lain kali sewalah tukang bakso banyak-banyak. Jangan lupa beri sewa tambahan penutup mulut
agar tidak ketahuan bakso itu sebenarnya tidak gratis.
Mintalah junjunganmu membuat dokumentasi video lagi mengaji.
Tinggal video mengaji yang belum dibuatnya. Yang lainnya sudah semua, cukur rambut, imam sholat, dan semuanya.
Tinggal satu yang belum, video mengaji. Jangan lupa, kalau junjunganmu belum bikin video mengaji
maka tulislah puisi tentang itu.
Tulislah puisi.
Aku berjanji akan membacanya
sambil memasang earphone di telinga.
Tulislah puisi tentang impor jagung yang katanya menurun,
kebakaran hutan yang katanya sudah tidak terjadi,
konflik agraria yang katanya sudah tidak terjadi, 191 ribu kilometer jalan desa katanya,
kereta api cepat yang butuh 200 tahun baru bisa lunas itupun butuh laba satu milyar perhari,
tentang tenaga kerja asing bermata sipit yang jumlahnya tidak bisa lagi kalian deteksi sudah berapa puluh juta masuk ke negerimu tercinta, tentang 31 juta data siluman,
tentang apalagi, kalian yang lebih tahu.
Tulislah puisi dan jangan meralatnya sebagaimana kebiasaan junjunganmu.
Bukankah kalian suka menulis puisi?

24 Februari 2019




Retornous A La Nature!

“Retornous a la nature!”, Marilah kita kembali ke alam! Begitu Jean Jacques Rousseau pernah bersuara lantang Kepada peradaban Barat di abad 18. Entah sejak kapan bermula sebagian kita mengakrabi rasa berbahagia turun-temurun dalam menginvasi kota-kota. Lebih separuh pada setiap generasi lahir di rumah sakit. Separuh lagi lainnya justru mati di rumah sakit. 

Ternyata Rousseau tidak mengajak manusia Barat tinggal di hutan dan memakai baju dedaunan atau kulit hewan. Bahkan ia tidak mengajak kita untuk menjadi kaum nudis. Ia merayu kita untuk “Retornous a la nature!”. 

Jauh setelah jaman romantik berlalu. Benarkah ada gejala sebagian umat manusia mulai akrab dengan kalimat “back to nature” atau cuma sekadar jejak vandalisme di tembok kota? Benarkah mereka serius  kembali ke alam? Tanpa bertemu dengan zat kimia apa pun!

Kedengarannya serupa dongeng. Namun teori sekaligus praktik cara bertahan di alam liar kerap diajarkan di televisi dalam dua dekade terakhir.

Robinson Crusoe versi modern. Robinson Crusoe adalah satu-satunya penumpang yang selamat dari sebuah kapal yang ditenggelamkan badai. Crusoe terlempar dan terdampar di pulau tak bertuan. Crusoe pun kembali ke alam. Dia berhasil bertahan hidup bertahun-tahun. Suatu hari sebuah kapal lewat dan menyelamatkannya. Acara-acara survivor selalu berupaya mengulang kisah itu. Satu-satunya alasan kita mencintai teknologi yaitu kemudahan yang ditimbulkannya. Hingga hal-hal sekecil-kecilnya. Mana ada barang di rumah kita yang tidak disentuh teknologi. 


Peradaban kita menyepakati bahan-bahan penyembuh dari alam wajib diproses melalui teknologi. Toh kapsul dan tablet sangat kecil dan ringan. Benda-benda berbahan pengawet itu datang ke rumah kita setelah melewati tiga fase: rasio, empiri, dan teknologi. Jaman romantik pernah berlangsung sebagai reaksi terhadap semua penggunaan rasio  dan empiri. Akal dan indera pengamatan yang digunakan berlebihan memang menumpulkan naluri kemanusiaan. Sejarah punya banyak catatan buruk terhadap peradaban Barat.

Maka jaman romantik adalah juga altar kelahiran seni dan sastra. Dari sana muncul Rousseau, Victor Hugo, Walter Scott, Keats, Shelley, dan Herder. Musik melahirkan Beethoven, Mozart, Schubert, Chopin, dan Bahms. Jaman itu pun menyentuh wilayah teologi dan filsafat. Kemunculan jaman romantik mengisi ruang-ruang kosong manusia Barat yang dahaga mencari kedamaian. Mereka begitu lama ditinggal perasaan, feeling dan intuisinya sendiri. Terlalu lama mereka hidup dalam kalkulasi otak dan pencapaian tujuan hidup yang hanya diisi oleh kebendaan. Dunia akal sungguh membuat tumpul. 

Upaya kembali ke alam justru dilakukan lebih dulu di Timur. Tidak dibutuhkan jaman romantik untuk melahirkan kaum herbalis. Di Timur yang tropik bertumbuhan obat-obat alami. Ia bisa menopang daya hidup manusia.  Dari Timur sampai ke Barat. Di saat dunia gelisah terhadap pandemi covid-19 misalnya, memantik daya inovasi Irawan Paturusi di Makassar. Bahan-bahan alami diraciknya menjadi Jus C-19. Sama sekali tanpa campuran zat kimia. Puluhan pasien positif covid-19 membuktikan dirinya bisa sembuh. Jus herbal itu rupanya membangun imunitas sambil bertempur melawan virus, terutama corona. Soal penguasa mau atau pun enggan meliriknya maka itu bukan hal esensial.

Bagi seorang Irawan, mencoba menyelamatkan sesama memang bukan wilayah bisnis. Tapi menyelamatkan orang banyak dalam jangka panjang juga membutuhkan nafas finansial. Begitulah, obat-obat alami akhirnya harus mendapatkan konsumennya. Para penderita harus membayar untuk kesembuhan. Dan itu sah pula bagi jaman romantik di Barat. Penonton membeli tiket untuk kepuasan batin menonton orkestra dan teater. *** 

Seorang sahabat di Bulukumba memperkenalkan kepada saya minuman kesehatan yang difermentasi dari sari bambu. Beberapa orang yang layak dipercaya mengakui khasiatnya. Sri Puswandi,  pemuda dari Desa Salassae itu bukan penemunya. Dia salah seorang yang meyakini pelestarian resep leluhur di kampungnya akan membuat sehat lebih banyak orang. 

Semasa kecil sampai sekarang, orang-orang di kampung saya mencari buah kunrulu ketika ada seseorang terduga kena gejala tyfus. Dan memang akhirnya sangat jarang mereka mendatangi rumah sakit. Sakit perut dan mencret bisa sembuh dengan air remasan pucuk daun jambu. Sama sekali tidak berbentuk kapsul. Hanya dicampur secuil garam dapur. 

Orang-orang tua dahulu biasanya segera mencari pohon  “tanging-tanging” ketika mendengar anaknya mengerang akibat sakit gigi. Sakitnya benar-benar hilang setelah gigi kita diolesi getah pohon itu. Kita saja yang begitu kejam tidak merawat pohon itu. Giliran orang tua kita sakit gigi, anak-anaknya langsung melompat ke apotek membeli tablet pereda nyeri. Barangkali anak-anaknya tidak mengenal Jean Rousseau.(*)

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di kolom 
Ecofenomena situs KlikHijau.Com

Kantong Celana Anda Memiliki Alat Penghantar Virus Paling Efektif


Dunia tidak mengenal George Floyd sebelumnya. Namun dunia segera menyimak Amerika Serikat yang rusuh berhari-hari di puluhan kota dan negara bagian. Bukan media besar yang pertama kali menghembuskannya, melainkan media sosial. Rupanya informasi adalah juga penghantar virus paling efektif. Ia menjejali android Anda yang bahkan belum Anda keluarkan dari kantong celana.
Varietas virus melalui informasi memadat dalam berbagai platform media sosial. Platform media sosial pencari perempuan prostitusi di sekitar lingkungan kita masing-masing dapat didownload gratis. Begitulah sehingga media sosial adalah juga penyumbang terbesar meningkatnya jumlah pengidap penyakit yang terkait penyalahgunaan kelamin. Belum lagi korban penipuan online, hoaks berantai, akun palsu, provokasi sistematis, dan seterusnya.
WHO memperkirakan jumlah pengidap penyakit kencing nanah akibat seks bebas setiap tahunnya melebihi 250 juta orang. Sementara jumlah pengidap spilis setiap tahunnya mencapai 50 juta orang. Ternyata angka korban covid-19 jauh lebih kecil.
Majalah The Times tanggal 4 Juli 1983 menyebutkan, 20 juta warga Amerika Serikat mengidap penyakit penurunan kekebalan herpes, dan mengumumkan bahwa di Afrika saja 30 juta orang mati setiap tahun dengan sebab penyakit AIDS yang muncul akibat hubungan seks bebas. Apakah Anda sudah punya sedikit bayangan grafiknya pada tahun 2020?
Sedikit yang menyadari bahwa solidaritas juga disebarkan oleh informasi. Solidaritas toh juga membawa serta anarkisme. Puncak kejayaan kaum anarkis adalah instabilitas, kalau perlu secara global. Ribuan hingga jutaan orang langsung terkoneksi di media sosial untuk melakukan aksi. Minimal sebentuk opini.
George Floyd adalah seorang Afro-Amerika. Dan itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan meniup api kekisruhan di dunia maya. Rasisme memang tidak pernah hilang. Siapa saja boleh mengutuknya. Para demonstran dan kaum anarko tidak mengenal George Floyd secara personal. Tapi bumbu penyedap itu segera tersaji di jalanan, rasisme!
Koneksi kita di dunia nyata memang sejak lama sudah jauh berkurang. Jauh sebelum pandemi covid-19 menyerang. Sebelum sebagian kita memahami bahwa rumah sendiri adalah surga yang terlupakan.
Bertemu dan bercengkerama dengan sahabat atau keluarga, atau melakukan hobi-hobi mungkin telah lama kita tinggalkan. Bukan pandemi pelaku utamanya. Sejak kita terlalu sibuk dengan era digital dan teknologi informasi maka sekali saja disulut kita bisa mendadak berkumpul merayakan pertemuan beraroma anarki.
Titik awal gerakan bergelombang anti rasisme di AS itu mengusung bendera solidaritas. Namun media-media tidak hanya menayangkan tulisan-tulisan anti rasisme pada spanduk demonstran. Di sana-sini juga berlangsung penjarahan. Rupanya itu juga bahan empuk untuk pemberitaan. Informasi disebarluaskan, orang-orang afro-Amerika dan imigran pun semakin tidak terkendali. Lalu, benarkah aksi-aksi penjarahan hanya merupakan sekadar simbol perlawanan warga kulit hitam dan imigran yang merasa senasib dianggap warganegara kelas dua?
Media-media senada seirama menyebutnya bemula dari cara bekuk yang “tidak biasa” ala seorang polisi di Minneapolis. Sebuah cara “melumpuhkan” yang tidak konvensional mengakibatkan George Floyd meregang nyawa. Dan itulah narasi paling sexi di media.
Jaman digital memudahkan penyebarluasan emosi dengan tingkat frekuensi yang sama. Rasisme, kini kata itu kembali berdengung-dengung. Tidak butuh waktu lama untuk memancing para anti rasial keluar dari sarangnya di Australia, Inggris, Brazil, dan negara-negara lainnya.
Setiap informasi adalah juga bubuk mesiu. Valid atau tidak, fakta atau hoaks, maka kegunaannya sama saja ketika dihamburkan tanpa perhitungan. Ia serupa kanon. Revolusi Prancis yang sangat berpengaruh itu dimulai dari bisik-bisik serius di kedai kopi. Rencana melengserkan Soeharto pada tahun 1990-an didiskusikan sambil makan bakso di kantin-kantin kampus. Banyak kejadian besar dimulai dari hal-hal yang tidak diperhitungkan.
Namun tidak ada yang bisa menyalahkan media online. Sedangkan media sosial punya permakluman tersendiri. Ia punya otoritasnya sendiri sebagai alat berjejaring yang sah bagi keberlangsungan peradaban. Walaupun setiap saat mungkin bisa saling menyesatkan antar pengguna.
Pemicu emosi secara individu biasanya dialami kondisi tubuh yang sedang kurang fit. Begitu pun secara kolektif, kondisi dunia sedang tidak fit.
Stress menjadi pemicu utama dari emosi. Kapitalisme yang menguasai mesin-mesin produksi mengakibatkan kaum pekerja kurang tidur. Kelelahan bisa menyulut emosi. Ketidaknyamanan fisik memicu orang mudah marah. Konsumsi terhadap berbagai macam obat yang mengandung kimiawi itu sekaligus memicu ketersinggungan lebih cepat bereaksi. Dan obat-obat farmasi itu kebanyakan diproduksi oleh mesin milk kapitalis. Sembari mereka pun menyumbangkan industrinya yang besar, media-media mainstream!
Masa pagebluk bisa membuat kita saling baku gebuk. Anehnya, yang paling diwaspadai oleh setiap pemerintahan di dunia biasanya bukan konflik horisontal, melainkan vertikal. Bukankah kebanyakan mereka memang sangat mencintai kekuasaan? Mereka pun senantiasa membutuhkan alat penyampai, media-media mainstream!
Media sosial menjadi semacam katalis bagi perilaku destruktif seperti membanding-bandingkan, cyberbullying, dan pencarian pengakuan. Video perlakuan polisi terhadap George Floyd jelas virus berbahaya. Ia berinkubasi sekaligus menyebar cepat melalui media sosial. Ia membawa serta emosional dan rasa sakit.
Sebuah studi di Inggris yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health menguji dampak psikologis dari media sosial terhadap 1.500 generasi muda. Mereka menyimpulkan bahwa hampir semua media sosial memiliki dampak buruk bagi kesehatan mental. Mulai dari gangguan seperti anxiety (kegelisahan) hingga rasa rendah diri.
Hasil riset tersebut cukup jelas; kasus-kasus depresi semakin meningkat seiiring semakin lekatnya manusia dengan media sosial, dan semakin seringnya kita menggunakan media sosial semakin meningkatnya kemungkinan mendapatkan mood disorder. Hanya saja yang tidak terlihat dari riset tersebut adalah apakah penggunaan media sosial berlebih menjadi penyebab depresi, ataukah orang yang dilanda depresi akan cenderung menggunakan media sosial dengan berlebihan.
Sekali-sekali memang kita perlu berjalan melintasi waktu. Pada jaman “kitab kuning”, informasi berupa kajian literatur terhadap kitab-kitab dilembagakan secara rutin hanya oleh pondok pesantren. Kajian informasinya boleh diikuti warga setempat. Bukan hanya sebatas santri yang bisa mengakses. Informasi yang dirapikan semacam itu tentu sulit diterapkan dalam jaman tik tok.
Untuk kepentingan yang salah, ekses teknologi informasi berupa penipuan, pencurian data, penculikan, penjualan manusia, perdagangan organ tubuh, dan lain-lainnya mungkin sudah tiba sejak lama di rumah kita. Mengintai sambil menunggu waktu yang tepat.
Apakah tidak sebaiknya kita dorong saja agar kaum kapitalis tidak perlu memiliki media? Pertanyaan itu bisa juga direvisi: apakah tidak sebaiknya para pemilik media besar tidak ikut-ikutan menjadi kapitalis tulen? Mark Zuckerberg juga dulunya konon adalah mahasiswa idealis di Harvard. Dan masih pakai kata konon, sekarang ia seorang kapitalis tulen. Mark bahkan membolehkan penggunaan Facebook tanpa kuota internet. Hanya dengan mode gratis di Messenger Facebook, seseorang yang tidak Anda kenal dari belahan bumi lainnya mungkin saat ini sedang menunggu Anda membaca pesannya. Entah pesan dan interest apa gerangan yang dia kirimkan. Dan Anda tidak bisa memintai tanggung jawab Mark jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.(*)

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Opini situs Mengeja.Id

Platoisme adalah Aristokrasi Gaya Baru

Kaum skeptis mengatakan, “Kalau kamu penggemar mimpi maka berkawanlah dengan gagasan Plato terkait konsep negara ideal”. Filsuf Yunani kuno itu memang punya banyak rumusan terkait “kekuasaan rakyat”.
Plato meyakini bahwa negara ideal menganut prinsip kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Pengetahuan hanya dimiliki seorang filsuf, bukan lainnya. 
Pemikiran plato itulah melahirkan istilah platoisme. Istilah itu merujuk pada absurditas negara yang ideal. Pikiran yang menafikan realitas politik yang bekerja dari berbagai kepentingan kelompok.
Barangkali dengan menganut platoisme maka plato-plato kecil bisa dilahirkan. Benarkah platoisme menjadikan idiom “negara” kian absurd? Di sisi lain absurditas juga sesekali mampu menjadi realitas dalam tahapan tertentu, sebuah zaman yang tepat, dan perubahan yang disepakati oleh mayoritas. Meskipun temporer.
Plato menggagas aristokrasi. Peradaban modern justru mengadaptasinya dengan lihai. Sistem pemerintahan modern yang paling banyak dianut negara saat ini adalah demokrasi. Setiap orang memiliki hak setara terlibat dalam pengambilan keputusan tentang hidup mati mereka.
Demokrasi berhasil karena ideologi liberalisme. Setiap orang memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pengetahuan yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin filsuf, seperti harapan Plato, justru lebih banyak melahirkan para pemuja materialisme.
Pemuja modernisme, sebenarnya, menerjemahkan absurditas plato dalam bentuk demokrasi liberalisme. Hasilnya melahirkan kesenjagan ekonomi. Demokrasi adalah wadah borjuis yang mengekang kekuasaan rakyat dalam bentuk hura-hura politik. Mereka sedang menerjemahkan negara ideal bentuk oligarki yang dibungkus dalam kemasan demokrasi.
Plato hanyalah seorang filsuf yang membayangkan dirinya menjadi seorang pemimpin. Ia lahir bukan sebagai pemimpin tapi hanya pemikir. Andaikan Plato pernah memimpin kelompok, masyarakat, lalu membentuk suatu pemerintahan negara, tentu ia akan melahirkan konsep negara ideal yang implementatif.
Mari sejenak membayangkan Plato hidup sezaman dalam lokasi yang sama dengan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam. Bukan saja kita akan melihat Plato mengenakan kafiyeh. Niscaya Plato juga mengurungkan niat menulis buku berjudul “Republic” yang termasyhur itu. Konsep negara madani di Kota Madinah terlalu detail dan unggul. Penerapan Madaniyah terlalu sempurna dibanding utopia di atas kertas hasil gagasan Plato, aristokrasi.
Satu-satunya kemasygulan Plato yang sangat mungkin, yakni kekhawatirannya pada pengkhianatan terhadap sistem madani atau madaniyah. Kota Madinah menghimpun pluralisme, kebhinnekaan. Di sana pun terdapat hitam-putih. Perjanjian madani disepakati oleh berbagai bangsa dan agama dalam satu kota besar. Perjanjian yang diawali dari konsep keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ketiga konsep itu adalah dimiliki setiap manusia sebagai konsep primordial. Konsep primordial itu telah termanifestaikan dalam kepemimpinan seseorang. Dialah Muhammad bin Abdullah, seorang manusia biasa yang terpilih menjadi model kepemimpinan paripurna, baik kepemimpinan pribadi, keluarga, kelompok, negara, dan agama. Kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat sosial, negara, dan tradisional.
Kepemimpinan Muhammad SAW mampu mewadahi harapan semua orang sehingga terbentuk suatu ikatan perjanjian bersama, Perjanjian Madinah. Piagama Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur hubungan masyarakat berbagai suku, ras, agama berdasarkan asas keadilan.
Perjanjian yang lahir bukan karena adanya ikatan darah ataupun ikatan agama melainkan perjanjian karena adanya kebutuhan bersama, rasa keadilan. Salah satunya, mereka berjanji untuk saling melindungi satu sama lain manakala ancaman datang dari luar. Perjanjian atas kesepakatan dan kesepahaman itu adalah bentuk lain konstitusi dalam dunia modern.
Plato benar jika menyimpulkan bahwa Madinah tidak mengenal mitologi. Tidak ada kompetisi sebagaimana yang diperbuat Dewi Athena dan Dewa Poseidon dalam memberikan nama yang akan menjadi pelindung bagi Kota Athena. Dewi Athena menghadiahkan pohon buah zaitun kepada penduduk. Sedangkan Dewa Poseidon memberikan mata air asin. Pemberian Dewi Athena dipandang lebih berharga. Namanya diabadikan pada kota kuno itu sebagai imbalan para pemujanya.
Athena memang luar biasa. Toh aristokrasi yang disukai Plato itu tumbang juga. Kota itu melahirkan demokrasi. Athena bersama Sparta telah menyingkirkan para raja dan tiran. Para bangsawan mereka gulingkan. Pemerintahan demoktratis pertama di dunia terbentuk menjelang 500 SM, ketika Perang Persia (499-479 SM) berakhir. Sejarah Yunani berpusat di kota Athena setengah abad lamanya.
Herodotus, Bapak Sejarah, menyebut rakyat Athena sebagai penyelamat Yunani. “Didampingi para dewa, mereka mengusir penyerbu,” ungkapnya. Itu juga yang membuat Plato membenci demokrasi karena telah menghancurkan Athena, kota kesayangannya.
Athena terbentuk dengan model kekaisaran, namun mereka melakukannya dengan demokratis. Rakyat Athena paham bagaimana ketidakadilan dijadikan ‘norma’ bagi raja, tiran, ataupun aristokrasi dalam bungkusan yang memiliki hak-hak istimewa. Karena itu, Athena mengusahakan setiap penduduk bebas, baik kaya maupun miskin, bangsawan maupun orang biasa, agar berkesempatan memiliki jabatan di pengadilan serta berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang.
Setelah pengembaraan yang sangat jauh bagi demokrasi, ternyata tak satu pun sistem demokrasi yang setangguh konsep madaniyah di Kota Madinah. Sebagian orang pernah memaksakan pendapat bahwa madani lebih dekat dengan konsep Pancasila. Mereka lupa bahwa Pancasila hanyalah asas bernegara atau falsafah bangsa.
Para penguasa mampu melahirkan berbagai produk hukum yang ditafsirkan berbeda dengan Pancasila. Pancasila bisa bergaya nasionalis ketika penguasanya nasionalis. Pancasila bisa agamais ketika kita dipimpin orang agamais. Bahkan Pancasila bisa bergaya komunis ketika kelompok penguasa beraliran komunis. Demokrasi memang luwes. Ia dicangkokkan langsung ke urat-urat nadi kekuasaan dan negara-negara.
Dalam perbenturan ide-ide tentang kekuasaan rakyat dan konsep negara ideal, yang kebanyakan menang justru revolusi. Hanya dengan kesepakatan kuat bersama persenjataan kuat yang bisa membuat Kota Madinah aman.
Masalahnya, platoisme mungkin bisa serupa nehruisme, revolusi tanpa kekerasan. Padahal kemerdekaan dan proses tatanan baru selalu dilengkapi dengan perjuangan bersenjata.
Hari-hari ini “platoisme telah menjadi aristokrasi gaya baru” dengan versi mencengangkan bersama “hak-hak istimewanya” itu justru lebih dulu memperkuat persenjataan. Bukankah Platoisme terlalu kuno di era digital?

Tulisan ini jauh sebelumnya juga dimuat di kolom Kritik situs Aksiografi.Com

Inai Tutu Iya Upa’, Inai Pacapa’ Iya Cilaka

Sejarah dunia menunjukkan hanya homo sapiens yang selalu bermasalah terhadap keseimbangan alam. Bahkan bermasalah terhadap keseimbangan jiwa. Homo sapiens bertanggung jawab penuh pada berbagai tindakan pemusnahan flora dan fauna, perang, serta pencemaran.

Lantas apakah apakah bumi hanya sekadar mengalami demam ketika diinvasi wabah? Sapiens mengeluarkan antibodi ketika diinvasi organisme luar. Namun tidak selamanya mereka bisa bertahan.

Peristiwa pemurnian-pemurnian dalam sejarah dikategorikan penghakiman. Itulah sebabnya banyak yang menyimpulkan pandemi merupakan penghakiman paling tepat bagi spesies kita.

Kalau benar bumi sedang dimurnikan maka idiom “normal baru” tidak sepenuhnya keliru. Bisa jadi ia hanyalah fase yang berulang. Agama-agama dan berbagai budaya punya hubungan intim terhadap persoalan pemurnian.

Sekali waktu pemurnian merupakan antonim dari kata “kecerobohan”. Ia selalu komplit. Prosesnya pasti disublimasi secara matang.

Sebuah puisi kuno Makassar yang penulisnya anonim, berbunyi: “Inai tutu iya upa’/Inai pacapa’ iya cilaka.” Mengutip pemaparan budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, puisi minimalis itu dinukilkan oleh seorang seniman teater yang meraih doktor di bidang kajian kesusastraan daerah, Dr. A. Nojeng. Puisi ini sebentuk pesan leluhur yang terjemahannya kira-kira berbunyi: “Siapa yang berhati-hati maka dia selamat/Siapa yang ceroboh, maka celakalah dia.”

Dalam hari-hari yang tidak menentu manusia memang harus membentuk “katutu” atau “berhati-hati” terhadap apa pun yang berbau ancaman. Tidak “pacapa’ atau “ceroboh” dalam bersikap. Kemunculan kebijakan “new normal” untuk mengkondisikan posisi manusia terhadap pandemi wajib menghindari “capa”

Banjir besar di jaman Nabi Nuh adalah salah satu fakta pemurnian yang pernah ada. Nuh diharuskan menyelamatkan hanya puluhan orang beriman dan berbagai spesies hewan dan tumbuhan. Dalam bahtera super canggih sepasang hewan berdarah panas bisa sekapal dengan pasangan hewan lainnya yang berdarah dingin. Teknologi apa gerangan yang digunakan Nabi Nuh? Berbulan-bulan bahtera itu terombang-ambing di atas banjir bah raksasa.

Sebuah peradaban baru harus diselamatkan. Dengan tingkat “katutu” yang maksimal kapal Nuh diperlengkapi bahan pangan dan obat-obatan terlengkap sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Kapal itu merupakan miniatur ekosistem darat. Karnivora, herbivora, dan omnivora tercukupi kebutuhannya dalam satu kapal. Miniatur masing-masing habitatnya pun didesain sedemikian rupa sehingga hewan dan tumbuhan yang berpasang-pasangan itu tetap lestari di atas kapal selama misi penyelamatan besar itu berlangsung.

Konsekuensi dari mengabaikan atau melawan hukum alam adalah penyakit, wabah, dan bencana alam.Apakah pemurnian juga dialami oleh peradaban Atlantis dan Sumeria? Kedua peradaban yang sangat tinggi itu justru menghilang.

Tidak ada jejak arkeologis yang cukup meyakinkan bahwa Atlantis adalah peradaban yang pernah dimurnikan. Atlantis lebih tepatnya “dibinasakan.” Teknologi antariksa Atlantis yang konon sudah mencapai penemuan portal teleportasi tidak mampu menjadi penyelamat.

Peradaban Sumeria merupakan jenis prestasi pertama di dunia. Bangsa Sumeria memiliki obat dan farmakope pertama di dunia. Operasi otak pertama di dunia. Pertanian dan almanak petani pertama di dunia. Kosmologi dan astronomi pertama di dunia. Kode hukum pertama di dunia. Dan mereka menggunakan teknologi yang mencapai metalurgi canggih, peleburan, pemurnian dan paduan serta pemurnian bahan bakar minyak bumi. Yang paling penting, bangsa Sumeria bertanggung jawab atas rekayasa genetika pertama di dunia. Toh Sumeria senasib Atlantis, “dibinasakan.”

Jangan pernah “pacapa”. Tetaplah “makkatutu.” Pemurnian beda tipis dengan penghancuran.(*)

Pustaka RumPut, 28 Mei 2020

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Kopi Panas situs JalurDua.Com


Gayana ji

“Gayana ji!” Jika Anda orang Sulawesi saya pastikan Anda akrab dengan istilah itu. Ia merupakan salah satu istilah orang-orang Bugis-Makassar yang sangat umum. Bahkan digunakan setiap hari sampai saat ini.
“Gayana ji” artinya: “hanya sekadar gaya”, “gaya belaka”, atau “gaya-gayaan tok.” Ia kerap digunakan sebagai bahan guyonan, pemanis, sampai ejekan serius.
Sosial media yang kerap melahirkan karakter “social climbing” juga setiap hari menampilkan netizen yang bisa dikategorikan dalam ungkapan “gayana ji.”
Sebenarnya belum pernah ada penggambaran secara tepat untuk mendeskripsikan istilah “gayana ji” ke bentuk defenisi baku. Ia memang hanya digunakan sesuai interprestasi pengguna maupun pendengarnya. Dan di situ letak keanehannya.
Untuk sekadar membayangkan wilayah interpretasi “gayana ji” kita bolehlah sesekali ikut jadi penggemar serial kartun dari India, Shiva.
Karakter yang paling unik adalah Inspektur Laddu Singh. Sosok yang digambarkan sebagai polisi ber-IQ di bawah standar, kerap salah perhitungan, sering apes, asli penakut namun ditutupi oleh penampilannya yang sangar berkumis tebal dan berbadan besar. Namun hebatnya, segoblok dan seapes apapun seorang Laddu Singh, dia tetap istiqomah berada di jalan kebenaran sebagai pembasmi kejahatan. Meskipun prestasi kepolisian tidak pernah lepas dari andil besar Shiva, sang jagoan cilik itu.
Laddu Singh tidak cerdas tapi dia sadar betul bahwa dirinya adalah alat hukum, bukan alat kekuasaan. Secara halus salah satu episode pernah menggambarkan betapa Laddu Singh dan walikota bahkan lupa saling nomer HP.

Sepertinya penulis atau pencipta karakter Laddu Singh menyembunyikan sebuah pesan mendalam di balik karakter Laddu Singh ini. Apakah dia sedang mengkritik dunia kepolisian di India atau mungkin juga di Asia? Entahlah. Saya menduga kuat, penulis cerita kartun ini sedang merindukan sosok Laddu Singh di dunia nyata. Tidak perlu pintar yang penting tetap istiqomah di pihak pembasmi kejahatan. Kira-kira begitu pesannya.
Untung saja Inspektur Laddu Singh tidak pernah gegabah melompat datang ke dunia nyata dan bertugas di Sulawesi Selatan. Kalau itu terjadi maka setiap hari si kumis tebal itu akan diteriaki dengan ungkapan “gayana ji!”(*)
Pustaka RumPut, 31 Mei 2020.
Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com

Berapa Jumlah Batu Yang Dibutuhkan Sisifus?

Idiom yang absurd itu bernama “negara.” Kekuasaan telanjur berbeda dengan negara. Ia selalu membutuhkan bentuknya yang ril, faktual, dan fisik. Sebab itulah tidak pernah ada kekuasaan yang benar-benar stabil. Pun tidak ada kekuasaan yang tidak selalu menumpang pada inangnya, negara.



Akibatnya, sebagian besar kita tidak akan mampu memahami apa yang dilakukan Habib Bahar Smith, Said Didu, Farid Gaban, Rustam Buton dan lain-lainnya itu. Bahkan Din Syamsuddin dan Habib Riziek pun tidak sedang melawan negara. Sebaliknya, juga tidak sedang bermaksud melawan kekuasaan.

Sejarah saja yang selalu memiliki porsi setimpal untuk catatan-catatan yang tidak menyenangkan. Rezim yang mendapat giliran mengendalikan sistem maka sangat memungkinkan memproduksi penindasan. Toh persekusi dan kriminalisasi lebih banyak diorganisir oleh kekuasaan. Bukan oleh negara.

Penembakan misterius alias petrus diberlakukan oleh Soeharto pada era 1980-an. Itu satu-satunya terapi untuk mengurangi kriminalitas di masa Orde Baru. Soeharto memang mengakuinya dalam buku biografi “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.Sebagai sebuah cara unik dari kekuasaan, petrus memang agak berguna. Namun pada tindakan tangan besi, mungkinkah kekuasaan berguna bagi negara?

Dalam mitologi Yunani, barangkali rakyat bisa menemukan alegori nasibnya serupa Sisifus. Kisahnya ditulis oleh Homer yang berjudul Odyssey.

Sisifus terlalu banyak ulah dan menantang Zeus. Para dewa menjatuhinya hukuman mendorong batu dari kaki sebuah bukit hingga tiba di puncaknya. Sesampai di puncak, para dewa akan menendang batu itu hingga menggelinding kembali ke kaki bukit. Saban batu itu tiba di bawah, Sisifus harus kembali mendorongnya ke atas hanya untuk dijatuhkan lagi oleh para dewa. Begitu seterusnya.

Tentu saja tidak persis mirip. Suara-suara kritis yang dibungkam justru tidak melambangkan Sisifus. Rezim yang makin represif juga ternyata tidak serupa dewa. Kesamaannya hanya terletak pada saat menggelindingkan batu ke kaki bukit.

Ancaman ketidakstabilan terhadap kekuasaan sebenarnya hanya selalu berkutat di seputar kebijakan-kebijakan ganjil dan janggal. Seperti rezim Jokowi yang dipandang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan Cina dengan cara mengorbankan rakyat Indonesia.

Barisan oposisi punya list panjang. Sebut saja RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memanjakan investor dengan menindas hak-hak buruh. Lalu, RUU Minerba yang memungkinkan investor mengeksploitasi lingkungan. Hamparan karpet merah bagi buruh kasar Cina. Dan tidak memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Ketika rezim sedang ganjil memang sebaiknya kekuasaan harus berani menjadi “negara”. Meskipun tidak serta merta harus menanggalkan kekuasaan. Ketika “negara” sesungguhnya berpihak kepada barisan oposisi -sebagian bergerak sporadis- yang tidak membutuhkan kekuasaan, maka kekuasaan memang sedang terancam sangat serius.

Bukankah pernah ada versi lain pada kisah Odyssey? Sisifus berhasil mengambil alih kekuatan para dewa di puncak bukit. Sekali waktu para dewa rupanya lelah menggelindingkan batu.

Dengan sekuat tenaga Sisifus mengangkat batu besar itu. Lalu dilemparkannya penuh suka cita ke puncak bukit. Hanya saja tidak ada bagian yang menerangkan berapa jumlah batu besar yang dibutuhkan Sisifus?(*)

Pelajaran moral: mitologi paling aneh adalah ketika ternyata Zeus hanya boneka.

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Catatan Tumit LaCulleq  situs BeritaBulukumba.Com



Virus Ini Jauh Lebih Ganas Dibanding Corona!

Corona boleh menjadi virus yang paling ditakuti warga dunia saat ini. Namun ada wabah yang lebih ganas dibanding corona, yaitu korongna dalam Bahasa Konjo di Bulukumba, Sulawesi Selatan, berarti: periuk. Kata korong diberi imbuhan “na” yang berarti: “nya” menunjukkan kata kepunyaan orang ketiga tunggal maupun jamak. Korongna berarti: periuknya atau juga “periuk mereka.”

Korong (periuk). (Sumber Foto: JalurDua.Com)


Bagi orang Suku Konjo, kata korongna lebih dari sekadar kata benda. Di wilayah filosofi ia juga bisa menjadi kata kerja. Bahkan kata sifat. Ia mempersonifikasikan dapur yang masih mengepul. Ia perlambang kemampuan ekonomi sebuah rumah tangga. Korongna adalah keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sanalah perut keroncongan bisa menemukan jawaban.

Pemaknaan lebih liar dari kata korongna adalah ketika ia dimasukkan ke dalam wilayah sebangsa virus. Lebih jauh lagi, pandemi. Dan faktanya memang demikian. Ekonomi yang lumpuh bisa menyebabkan korongna tidak terisi. Dapur tidak ngebul.

Dalam situasi korongna yang kosong melompong maka kriminalitas adalah salah satu alternatif bagi mereka yang merasa tidak punya lagi pilihan lain. Sebagian mungkin masih bisa bersabar dan menahan diri. Namun bisa juga melahirkan varietas virus baru. Namanya “koro-koroang.”

Koro-koroang dalam Bahasa Bugis berarti: uring-uringan. Suka marah dan berkata kasar tanpa tahu apa penyebabnya. Rasa lapar karena korongna tidak terisi bisa jadi memunculkan koro-koroang.

Pandemi covid-19 melahirkan begitu banyak peristiwa dan cerita di berbagai belahan dunia. Lalu, apa cerita dari kampungmu?(*)

Kedai Kopi Litera, 28 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Inilah Satu-Satunya Kota di Dunia yang Paling Aman dari Corona

Kota ini berada di dasar laut. Sejak dulu kota canggih ini selalu disibukkan berbagai kejadian konyol dan aneh. Namun inilah satu-satunya kota teraman di dunia dari serangan virus corona, bencana alam, perang, dan kelaparan.

Kota Bikini Bottom (Dok: JalurDua.Com)

 Anda ingin berkunjung ke kota ini maka Anda harus memesan tiket khusus. Anda akan menuju ke sana tentu saja dengan menumpang kapal laut. ketika mendengar suara nahkoda kapal mengumumkan sesuatu melalui speaker. Bunyinya begini: “Disampaikan kepada seluruh
penumpang, agar segera bersiap-siap. Kapal akan turun menuju ke dasar laut. Kita akan segera berada di kota Bikini Bottom.”

Lebih menyenangkan bila Anda berada di Bikini Bottom bertepatan dengan acara pesta milad Krusty Krabb milik Tuan Krabs. Di tengah pesta Anda pun bisa berkenalan dengan putri semata wayang Tuan Krabs. Tentu asyik bukan, paus remaja yang cantik itu pewaris tunggal kerajaan bisnis Krusty Krabb.

Anda tidak perlu memakai masker. Tidak ada pandemi corona. Tidak ada bau disinfektan. Anda boleh leluasa menikmati tarian ubur-ubur yang diiringi langsung oleh permainan musik klarinet Squidward Tentacle.

Bikini Bottom adalah sebuah kota yang cukup ramah. Meskipun di sana kerap terjadi insiden konyol setiap hari. Jangan merasa aneh kalau sempat berkenalan dengan Plankton, seekor makhluk renik jenius. Plankton adalah ahli komputer. Uniknya, sebagian besar hidupnya digunakan berjuang hanya untuk mendapatkan formula rahasia Krabby Patty. Namun keunikan terbesar dari Plankton adalah karena dia menikahi komputernya sendiri yang bernama Karen. Sesungguhnya Plankton tidak begitu berbahaya. Ukuran tubuhnya tidak akan mampu menyamai ukuran sebutir upil terkecil di liang hidung Anda

Secerdas-cerdasnya Plankton maka Shandy lebih mengesankan. Dia cewek jenius dan juga sang penemu. Sebenarnya Shandy makhluk darat namun entah kenapa dia lebih suka menjadi penduduk Bikini Bottom. Dia bisa menjadi sahabat paling eksentrik. Apalagi Shandy memang akrab dengan Spongebob dan Patrick, dua warga kota terpopuler.

Jika Anda punya izin lebih lama untuk tinggal di sana, maka satu-satunya warga kota yang harus Anda hindari adalah kepiting laut bernama Tuan Krabs. Beliau owner Krusty Krabb. Tuan Krabs memandang segala sesuatu dengan nilai uang. Konon dulu Tuan Krabs pernah berselingkuh dengan paus cantik bernama Eugene. Asmara lintas spesis itu menghasilkan seekor putri paus cantik yang diberi nama Pearl.

Bersenang-senanglah di Bikini Bottom. Yang patut Anda kenal juga adalah Squidward. Dia seekor cumi-cumi yang sedang terobsesi ingin menjadi maestro seni. Sayangnya Squidward kerap gagal dalam banyak hal. Jadi dia tidak cukup berbahaya. Berbeda dengan Tuan Krab yang walaupun dia bosnya Spongebob tapi dia bisa menukar keselamatan warga Bikini Bottom dengan uang!

Tidak usah khawatir, Pattrick akan lebih dari cukup memberi hiburan tersendiri ketika Anda lagi suntuk. Kita harus memaklumi kapasitas otaknya. Namun yang pasti, dia menghibur dan itu tidak disadarinya. Barangkali karena Patrick adalah bintang yang sesungguhnya di Bikini Bottom. Lebih tepatnya bintang laut yang paling lugu, lucu, dan kadang menyebalkan.

Warga Bikini Bottom tidak mengenal Pilpres maupun pilkada. Satu-satunya kesulitan terberat jika Anda ingin menetap yaitu ketika harus mencari tempat hunian. Anda harus menunggu dulu ada barang bekas atau buah-buahan busuk yang dibuang dari kapal laut.

Siapa tahu Anda beruntung memperoleh nenas seperti rumah Spongebob. Tidak usah berpikir untuk memiliki rumah seperti milik Squidward. Memang antik dan sangat langka. Namun Anda harus paham sejarah rumah Squidward. Itu potongan kepala perunggu yang jatuh ke dasar laut. Sudah sekian lama kepala perunggu itu dicari-cari oleh sekelompok bajak laut.

Apakah Anda tertarik ke Bikini Bottom? Kota ini adalah pilihan keren bagi siapa saja yang ingin menjalani “new normal” secara tidak normal.(*)

Pustaka RumPut, 3 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com



Mau Punya Kampung yang Keren? Cari Lima Orang Warga dengan Karakter Ini

Sebenarnya bukan hal prinsipil jika kampung Anda berbentuk kelurahan, desa, atau dusun. Yang penting kampung merupakan hunian nyaman dan aman. Tidak gaduh. Namun jauh lebih keren kalau kampung Anda juga memiliki lima orang warga seperti yang dimiliki Kampung Durian Runtuh. Karakter mereka kurang lebih seperti berikut ini.


Tok Dalang

Orang tua yang paling sering muncul dalam keseharian Upin dan Ipin, yaitu Tok Dalang. Melihat raut wajahnya, Tok Dalang tergolong awet muda. Padahal usianya mungkin sudah menginjak kepala enam atau tujuh. Dia tetangga terdekat Upin Ipin. Saya pernah menduga Tok Dalang bersaudara kandung atau mungkin sepupu Opah, neneknya Upin dan Ipin. Tok Dalang tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di kota.

Tok Dalang bisa dibilang duda keren. Beliau punya banyak kelebihan. Mampu mengerjakan dan menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Setiap kelebihannya terungkap pada setiap episode. Kalau ceritanya tentang durian maka Kakek Dalang dikisahkan memiliki kebun durian dan jenis durian paling enak. Bahkan pernah jadi juara kontes buah durian. Kalau ceritanya tentang gendang, Kakek Dalang pun jadi ahli gendang. Pokoknya, apapun ceritanya maka keahlian Kakek Dalang akan berhubungan dengan isi cerita. Benar-benar seorang kakek jomblo yang luar biasa. Nyaris super!


Uncle Muthu

Makhluk yang satu ini juga selalu muncul dalam setiap episode. Barangkali Uncle Muthu punya imunitas tubuh di atas rata-rata manusia normal. Tidak peduli cuaca panas atau pun hujan, pemiliknya warung misbar alias gerimis bubar ini hanya suka memakai baju dalam dan sarung. Beliau keturunan India. Wajar kalau suka menyanyi dan menari. Sayangnya, kalau menyanyi suaranya agak kurang enak didengar. Lebih enak kalau memesan ayam goreng atau nasi gorengnya.


Paman Ah Tong

Paman Ah Tong adalah keturunan Tionghoa peranakan. Dia tipe pekerja keras. Segala macam benda tidak berguna bagi orang lain bisa dia jadikan uang. Selalu identik dengan sepeda tua keliling kampung. Kalau Ah Tong muncul maka pasti berkaitan dengan barang bekas. Mulai koran, kaleng, sampai mainan bekas. Kalau saja ada sepuluh orang seperti Ah Tong maka Kampung Durian Runtuh bisa super bersih hanya dalam sepekan.

Saya pernah berpikir Ah Tong ini masih keturunan pasukan Kubilai Khan dari Mongolia. Kemungkinan besar banyak prajurit Mongolia yang terdampar di Malaysia setelah kalah dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit. Sisa-sisa pasukan ini banyak terdampar di negeri Malaya. Barangkali Ah Tong adalah salah satu keturunan dari pasukan tersebut. Semangat Ah Tong dalam mencari uang persis semangat prajurit tempur. Itulah alasan yang memperkuat teori saya tentang asal usul Ah Tong.


Kak Ros

Gadis paling cantik sekaligus paling judes di Kampung Durian Runtuh tentu saja adalah Kak Ros.

Kak Ros pintar memasak. Menyukai kebersihan dan kembang. Sayang sekali, belum pernah ada seorang pun cowok yang datang menyatakan cinta. Dugaan saya, anak-anak muda di Kampung Durian Runtuh mungkin sangat segan kepada Opah, neneknya Kak Ros, Upin dan Ipin.

Kak Ros pintar menggambar dan hobi membaca. Wajar kalau dia akhrnya mampu menjadi pelukis komik. Karya komiknya pernah dimuat secara bersambung di sebuah koran. Bahkan pernah diterbitkan menjadi sebuah buku.


Abang Saleh

Dulu saya pernah berpikir Abang Saleh mungkin satu-satunya jejaka yang paling cocok berpasangan dengan Kak Ros.

Harapan saya buyar ketika memperhatikan gayanya berbicara. Abang Saleh ternyata kemayu! Sebenarnya Abang Saleh punya banyak keterampilan. Mulai menjahit, kerajinan tangan, bisnis online, sampai merangkai bunga.

Selain lima karakter di atas, sebenarnya masih banyak karakter unik lainnya dalam serial kartun Upin dan Ipin. Namun kalau lima saja karakter tersebut ada di kampung Anda, yakinlah kampung Anda sangat keren.(*)


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Menulis Itu Mudah, Ini Rahasianya

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 11 Juli 2020 | Juli 11, 2020

















Menulis Itu Mudah. Ini rahasianya. Kuncinya hanya dua.Silakan simak video berikut ini. Saya comot dari salah satu konten di channel YouTube saya.


Buku Republik Temu-Lawak

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 08 Februari 2020 | Februari 08, 2020

Sejak dulu saya suka menulis esai. Namun kebanyakan lebih mirip gurau campur gerutu. Semacam obrolan singkat di pinggir jalan, ujung gang, lorong, ataupun kedai kopi. Maka saya menyebutnya “esai pinggir jalan”, sejenis tulisan reaksioner, spontan, dan kebanyakan iseng. 

Dalam rentang tahun 2017-2019 sebagian kecil pernah dimuat di media online dan media cetak. Sebagian besar lainnya saya pernah posting di media sosial.

Peristiwa-peristiwa kecil dan besar terutama yang meletup-letup di sepanjang tahun 2018-2019 menggoda saya memutuskan untuk memilih 70 esai di antara sekitar 300 tulisan untuk dimasukkan ke buku ini.


Sejarah dibangun oleh peristiwa-peristiwa namun sejarah hanya bisa dibangunkan oleh tulisan-tulisan. Jika benar buku ini bisa membangunkan, setidaknya dia bisa membangunkan diri saya sendiri bahwa masih ada naskah-naskah lainnya yang bersemedi dalam file-file tersembunyi. Dan buku ini tidak hanya terkait sejarah. Kumpulan ini juga membincang budaya, seni, literasi, bahasa, sosial politik, hukum, dan lainnya.


Anda bisa mendapatkan buku ini. Namun bukan dari saya. Anda bisa memesannya secara online, langsung ke pihak penerbit, J-Maestro. Mengapa buku harus dibeli? Karena buku dibuat dari kertas. Daun lontarak tidak dipakai lagi di zaman ini.
Karena kebanyakan ditulis pada saat lagi minum kopi, saya pikir buku ini agak cocok juga jika dibaca di saat menikmati kopi atau minuman kesukaan Anda lainnya. Begitulah salah satu ajaran dalam cofeeology dan kafeinisme.


 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday