Oleh:
Assyifa Barizza
Seperti
hari-hari sebelumnya, setiap senja, di antara gemuruh ombak dan angin sore, aku
selalu duduk di sini, di tepi pantai Tugulufa memandang langit yang berwarna
kuning keemasan. Burung-burung camar beterbangan dengan siulannya yang
menyejukkan hati, para muda-mudi, bercengkrama di sisi pantai dengan riang.
Di
gazebo, aku mengeluarkan laptop dan mendudukkannya di meja. Mulai merangkai
aksara demi aksara, hingga menjadi kalimat dan terangkum dalam cerita yang
indah. Aku bukan penulis yang pandai memainkan diksi, hanya seorang perempuan
yang hobi menulis dan mengirimnya pada koran dan majalah untuk dimuat. Beberapa
kali sering ditolak, tapi aku tak pernah menyerah. Hingga sekarang tulisanku
sudah mulai dilirik.
Sore
ini, otak beku. Tak ada ide yang muncul. Apakah aku harus menulis kisahku
sendiri? Tentang kisah percintaan yang dipisahkan oleh jarak yang selalu
menciptakan rindu!
Benar
saja, saat mengingat sang Kekasih yang tengah menimba ilmu di kota gudeg,
Yogyakarta, rindu pun tak terelakkan. Bayangannya datang mengusik jiwa yang
gundah. Ah, apa yang harus kulakukan? Memandangi fotonya saja, tidak pernah
cukup bagiku.
Dua
tahun yang lalu, di tempat ini. Dia mengajakku menikmati sunset, kemudian
mengabadikan diriku dalam kamera miliknya. Siapa sangka, dia akan pamit untuk
melanjutkan studi di kota WIB, propinsi yang berbeda waktu dua jam dari timur.
"Aku
akan ke Jogja, Veena," ucapnya kala itu yang menimbulkan kabut di mataku.
"Aku akan melanjutkan S2."
Aku
berusaha kuat, mencoba tersenyum tegar, walau ada sedikit ketidak relaaan.
Namun, apa hakku untuk menghalangi cita-citanya yang ingin menjadi seorang
dosen?
"Pergilah,
Kak Raka. Raih cita-citamu."
"Bagaimana
mungkin aku bisa berpisah denganmu, gadis manis-ku?" sahutnya sembari
menggemgam tanganku berjalan menyusuri tepi pantai sembari menatap langit yang
berwarna jingga.
"Bukankah
kita bisa saling video call?" Aku tersenyum padanya dan dia balas dengan
elusan lembut di pipiku.
"Berjanjilah
untuk menungguku, Veena."
Aku
mengangguk. Lalu saling menautkan tangan. Berjanji untuk saling setia. Di
saksikan sunset langit timur, kita saling berpandangan, tak ada kata yang
terucap, hanya mata yang berbicara.
"Veena?"
Terdengar
suara berat, membuat lamunanku terjeda dan memilih untuk menutupnya. Karena
cerita tentang Kak Raka, tak pernah ada habisnya. Selalu indah untuk dikenang.
Lelakiku, yang selalu menemaniku saat dia masih berada di sini.
"Kak
Dave?" Aku menjawab sapaan dari laki-laki yang langsung duduk di
hadapanku. Dia ini adalah sahabat dekat Kak Raka, jadi kami cukup akrab.
"Kau
sepertinya menyukai tempat ini."
"Iya.
Di sini, kadang aku menemukan ide untuk menulis."
"Bukan
karena alasan lain?"
Sejenak
aku menghela napas, memalingkan muka ke arah laut, memandang perahu nelayan
yang mulai berseliweran. Tak bisa kutampik ucapan Kak Dave, alasan lain ke
tempat ini, untuk mengenang kisah dengan Kak Raka. Kekasih yang sudah dua tahun
di rantau.
"Apa
kau yakin Raka masih setia padamu?" Apa yang baru saja terlontar dari
mulut Kak Dave, membuat keningku berkerut.
"Apa
maksudmu, Kak? Aku tidak pernah meragukan cintanya."
"Jangan
terlalu naif jadi perempuan, Veena."
"Stop,
Kak Dave. Jangan pernah menjelekan dia di hadapanku." Suaraku agak
kutekan, berusaha untuk tidak memperlihatkan emosi yang langsung hadir saat ini
juga.
"Aku
hanya mengingatkan. Karena … aku tidak ingin kau disakiti."
"Sudahlah,
Kak. Aku lebih tahu tentang Kak Raka daripada kamu." Segera kumatikan
laptop, lalu berkemas untuk pulang. Langit sudah mulai gelap, pertanda siang
akan segera berganti malam.
Perlahan
aku meninggalkan pantai, tidak peduli dengan Kak Dave yang sepertinya masih
ingin berbicara denganku. Namun? Apa maksud dia menjelekkan Kak Raka? Bukankah
mereka adalah sahabat sejak dari bangku putih abu-abu?
Lagipula,
mana mungkin Kak Raka tidak setia? Sejak dia di Yogyakarta, hubungan kami
baik-baik saja. Setiap ada waktu luang, dia selalu berbicara tentang makanan
khas Jogja, jalan Malioboro, pasar Beringharjo, candi Borobudur, candi
Prambanan, dan tempat-tempat wisata yang dia kunjungi.
"Suatu
saat, aku akan mengajakmu ke sini." Begitu selalu ucapnya setiap
mengakhiri perbincangan via telepon. Tentunya, ucapan itu selalu aku aminkan,
semoga suatu saat terkabul.
***
Malam
kian beranjak, mata masih enggan terpejam. Kembali aku membuka laptop,
menuangkan ide yang ada di pikiranku saat ini. Renjana, itu tema yang aku akan
tulis. Tentang kerinduan yang berlebih pada sang kekasih. Bukankah ini
menggambarkan suasana hatiku sekarang?
Sejenak,
aku membuka galeri foto di ponsel, menatap wajah tampan sang Pujaan yang
tersenyum. Hatiku menghangat, tatkala puas menatapnya. Lalu, ide mulai
bermunculan, tangan pun dengan lincah menari di atas keyboard laptop.
Saat
asyik merangkai kata, ponselku berdering. Ada notifikasi pesan yang masuk di
aplikasi WhatsApp. Senyumku mengembang, saat melihat nama yang tertera. Ah,
sepertinya dia tahu, kalau aku begitu merindukannya.
Senyuman
itu hilang saat membaca pesan. Tanpa seizinku, air mata sudah mulai membasahi
pipi. Aku menantikan kata rindu darinya, tapi kenapa dia menyebut perempuan
lain di pesannya?
[Vee.
Maafkan aku. Ada perempuan yang menyukaiku. Di sini, dia sering membantuku di
kala kesusahan. Sore tadi dia bilang, kalau dia menyukaiku dan ingin menjadi
kekasihku. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Vee.]
Aku
berharap, pesan itu hanyalah prank dari Kak Raka. Atau, hanya sebuah mimpi
buruk. Ternyata dugaanku salah, selang beberapa menit kemudian, dia kembali
mengirim pesan dan juga foto dirinya bersama seorang gadis cantik.
Air
mata mulai menganak sungai, dan kubiarkan begitu saja. Ingin rasanya, di antara
desau angin dan bunyi burung malam, berteriak menumpahkan rasa sakit yang dihadiahkan oleh laki-laki yang katanya
mencintaiku.
Aku
tidak bisa membaca pesannya lebih lanjut, itu akan semakin menyakitkan.
Kulemparkan ponsel ke pojok kamar, lalu menenggelamkan diri dalam tangisan.
Mengurai rasa sakit yang tak terbahasakan.
Jadi
yang dikatakan Kak Dave tadi di pantai itu benar adanya? Sepertinya, dia sudah
mengetahui sesuatu tentang Kak Raka dan aku malah mengabaikan perkataannya.
Aku
memang perempuan naif. Terlalu percaya dengan Kak Raka dan janji yang pernah
dia ikrarkan sebelum pergi. Nyatanya, dengan adanya jarak yang membentang, dia
melupakan segala janji yang pernah dia ucap. Menyedihkan.
***
Hari
demi hari telah terlewati. Aku lebih banyak menyibukkan diri dengan menulis,
dan juga menjadi seorang pendidik di sekolah menengah atas.
Kenangan
tentang Kak Raka tak bisa terhapus begitu saja dari benak. Dia tetap masih ada,
meski namaku di hatinya telah tergantikan perempuan lain. Rindu masih setia
menemani, meski itu bukan hakku lagi.
Kak
Raka, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, sementara banyak waktu yang telah
kita lewati bersama. Banyak kenangan yang telah kita rangkum dan menjadikannya
kisah yang indah. Dan kenapa kau mengoyaknya? Apakah kenangan yang telah kita
ciptakan itu, tidak ada artinya bagimu?
Bulir
air mata kembali membasahi pipiku.
Kenapa
diriku selemah ini? Seorang lelaki pengkhianat, tidak pantas untuk ditangisi.
Yah, harusnya aku belajar untuk melupakannya, tidak harus memelihara luka ini.
"Hapus
air matamu." Seseorang yang selama ini selalu hadir di saat aku menangis,
datang menyodorkan selembar sapu tangan. Kak Dave, dia selalu datang, berusaha
untuk menghiburku.
"Makasih,
Kak," sahutku sembari menghapus air mata.
"Sampai
kapan kau harus menangis?"
"Entahlah,
Kak. Setiap kali aku mengingat Kak Raka, aku tidak bisa tahan untuk tidak
menangis."
"Percayalah,
Raka juga mencintaimu. Dia hanya membalas budi perempuan itu."
"Maksud,
Kakak?" Aku kaget mendengar perkataan Kak Dave.
"Tadi
malam, Raka menelponku. Menjelaskan semuanya. Di sana dia pernah demam
seminggu, dan perempuan itu yang merawatnya, membantunya di setiap dia
kesulitan di sana. Makanya, dia tidak enak menolak perempuan yang bernama
Anandita itu. Oh, ya, Raka meminta maaf
padamu." Kak Dave mengakhiri bicaranya.
Sayangnya,
apapun yang dikatakan Kak Dave tentang Kak Raka, tidaklah menyembuhkan rasa
sakitku. Pembenaran apapun yang dilakukan olehnya, tetaplah tidak akan mengubah
keadaan. Dia sekarang milik orang lain.
Sejenak
aku tertawa. Mencoba menetralisir hati yang bergejolak di dalam sana.
Menurutku, seberapa banyak godaan yang datang, jika lelakimu setia, dia takkan
pernah meninggalkanmu. Jangan jadikan balas budi sebagai alibi untuk menutupi
kebusukan.
Apakah
dia tahu? Sejak dia menuntut ilmu di provinsi yang istimewa itu, beberapa orang
yang datang mencoba menggoyahkan kesetiaanku, tapi aku bertahan untuk tetap
menjaga hatiku untuknya.
"Apakah
hatimu tidak ada tempat orang lain, Veena?" Kak Dave memecahkan lamunanku.
"Maksud,
Kak Dave?"
"Biarkan
aku menyembuhkan lukamu." Kak Dave mencoba meraih tanganku dan
menggemgamnya.
Aku
menggeleng pelan. "Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka itu, Kak. Aku
tidak ingin menjadikan Kakak sebagai pelampiasan. Untuk sementara, aku ingin
sendiri dulu."
"Aku
memahami perasaanmu, Vee. Dan aku akan tetap menunggumu."
Sejenak,
kutatap laki-laki bermata elang itu. Kutemukan sebuah ketulusan di sana.
Laki-laki yang bekerja di kepolisian itu, mencoba meyakinkanku dengan mengecup
tanganku. Atau, jangan-jangan dia cuma kasian terhadapku?
"Kenapa
harus aku, Kak? Banyak perempuan di luar sana yang bisa Kakak pilih."
Dengan profesinya sebagai polisi, tentunya banyak perempuan yang ingin menjadi
kekasih dari Kak Dave. Apalagi dengan wajah tampan yang menambah daya tariknya.
"Karena
… aku menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu. Sayangnya, kau sudah milik
sahabatku, Raka."
"Maaf,
Kak. Untuk saat ini, kau tetap seorang sahabat bagiku."
"Aku
memahami itu." Kak Dave tersenyum lembut. "Aku akan menunggumu sampai
kau jatuh cinta padaku."
Senja
mulai lenyap di langit. Aku dan Kak Dave perlahan meninggalkan kafe yang
terletak di tepi pantai, tempat ternyaman yang sering kukunjungi.
***
Aku
baru saja menyelesaikan deadline tulisan yang akan kukirim pada sebuah majalah,
ponsel yang tergeletak di atas nakas berdering. Ada pesan yang masuk, dari
nomor yang tak kukenal.
[Kau
perempuan beruntung, hanya kau yang dicintai oleh Raka. Aku salah, aku pikir,
seiring dengan waktu, dia bisa mencintaiku. Nyatanya tidak.] Isi pesan itu.
[Maaf,
anda siapa?]
[Anandita.
Kekasih Raka di Jogja.]
[Tapi
setidaknya ada telah menang untuk saat ini, aku hanya masa lalu, dan anda masa
depan.]
[Aku
menyerah. Hatinya hanya milikmu.]
[Aku
yakin, suatu saat anda bisa memenangkan hatinya.]
[Pantas
saja Raka begitu mencintaimu. Kau gadis yang sangat baik. Oh, ya, Maaf, aku
mengambil nomormu dari ponsel Raka secara diam-diam.]
Tidak
kubalas lagi pesan dari perempuan yang bernama Anandita itu. Aku akui, masih
ada rasa yang tersimpan di dalam sana, tapi bukan berarti aku akan berjuang
untuk mendapatkan cinta Kak Raka kembali.
Yang
telah pergi, biarkan saja. Setelah dia mampir di hati perempuan lain, aku tidak
punya alasan untuk menahannya bersamaku. Aku akan mencoba belajar untuk
mengikhlaskannya. Semoga waktu, bisa menghilangkan segala rasa yang pernah
tumbuh untuk Kak Raka.
Aku
hampir terbunuh oleh rindu, tapi tidak dengan cintaku. Aku akan merawatnya,
meski belum tahu siapa yang akan memilikinya. Bisa saja dari luka itu, akan
tumbuh seribu rindu untuk seseorang yang pantas mendapatkannya.
Apakah
cintaku akan berlabuh pada Kak Dave? Atau pada laki-laki lain? Entahlah.
Biarlah waktu dan takdir yang menjawabnya.
Tidore,
21 September 2020