Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Platoisme adalah Aristokrasi Gaya Baru

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

Kaum skeptis mengatakan, “Kalau kamu penggemar mimpi maka berkawanlah dengan gagasan Plato terkait konsep negara ideal”. Filsuf Yunani kuno itu memang punya banyak rumusan terkait “kekuasaan rakyat”.
Plato meyakini bahwa negara ideal menganut prinsip kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Pengetahuan hanya dimiliki seorang filsuf, bukan lainnya. 
Pemikiran plato itulah melahirkan istilah platoisme. Istilah itu merujuk pada absurditas negara yang ideal. Pikiran yang menafikan realitas politik yang bekerja dari berbagai kepentingan kelompok.
Barangkali dengan menganut platoisme maka plato-plato kecil bisa dilahirkan. Benarkah platoisme menjadikan idiom “negara” kian absurd? Di sisi lain absurditas juga sesekali mampu menjadi realitas dalam tahapan tertentu, sebuah zaman yang tepat, dan perubahan yang disepakati oleh mayoritas. Meskipun temporer.
Plato menggagas aristokrasi. Peradaban modern justru mengadaptasinya dengan lihai. Sistem pemerintahan modern yang paling banyak dianut negara saat ini adalah demokrasi. Setiap orang memiliki hak setara terlibat dalam pengambilan keputusan tentang hidup mati mereka.
Demokrasi berhasil karena ideologi liberalisme. Setiap orang memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pengetahuan yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin filsuf, seperti harapan Plato, justru lebih banyak melahirkan para pemuja materialisme.
Pemuja modernisme, sebenarnya, menerjemahkan absurditas plato dalam bentuk demokrasi liberalisme. Hasilnya melahirkan kesenjagan ekonomi. Demokrasi adalah wadah borjuis yang mengekang kekuasaan rakyat dalam bentuk hura-hura politik. Mereka sedang menerjemahkan negara ideal bentuk oligarki yang dibungkus dalam kemasan demokrasi.
Plato hanyalah seorang filsuf yang membayangkan dirinya menjadi seorang pemimpin. Ia lahir bukan sebagai pemimpin tapi hanya pemikir. Andaikan Plato pernah memimpin kelompok, masyarakat, lalu membentuk suatu pemerintahan negara, tentu ia akan melahirkan konsep negara ideal yang implementatif.
Mari sejenak membayangkan Plato hidup sezaman dalam lokasi yang sama dengan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam. Bukan saja kita akan melihat Plato mengenakan kafiyeh. Niscaya Plato juga mengurungkan niat menulis buku berjudul “Republic” yang termasyhur itu. Konsep negara madani di Kota Madinah terlalu detail dan unggul. Penerapan Madaniyah terlalu sempurna dibanding utopia di atas kertas hasil gagasan Plato, aristokrasi.
Satu-satunya kemasygulan Plato yang sangat mungkin, yakni kekhawatirannya pada pengkhianatan terhadap sistem madani atau madaniyah. Kota Madinah menghimpun pluralisme, kebhinnekaan. Di sana pun terdapat hitam-putih. Perjanjian madani disepakati oleh berbagai bangsa dan agama dalam satu kota besar. Perjanjian yang diawali dari konsep keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Ketiga konsep itu adalah dimiliki setiap manusia sebagai konsep primordial. Konsep primordial itu telah termanifestaikan dalam kepemimpinan seseorang. Dialah Muhammad bin Abdullah, seorang manusia biasa yang terpilih menjadi model kepemimpinan paripurna, baik kepemimpinan pribadi, keluarga, kelompok, negara, dan agama. Kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat sosial, negara, dan tradisional.
Kepemimpinan Muhammad SAW mampu mewadahi harapan semua orang sehingga terbentuk suatu ikatan perjanjian bersama, Perjanjian Madinah. Piagama Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur hubungan masyarakat berbagai suku, ras, agama berdasarkan asas keadilan.
Perjanjian yang lahir bukan karena adanya ikatan darah ataupun ikatan agama melainkan perjanjian karena adanya kebutuhan bersama, rasa keadilan. Salah satunya, mereka berjanji untuk saling melindungi satu sama lain manakala ancaman datang dari luar. Perjanjian atas kesepakatan dan kesepahaman itu adalah bentuk lain konstitusi dalam dunia modern.
Plato benar jika menyimpulkan bahwa Madinah tidak mengenal mitologi. Tidak ada kompetisi sebagaimana yang diperbuat Dewi Athena dan Dewa Poseidon dalam memberikan nama yang akan menjadi pelindung bagi Kota Athena. Dewi Athena menghadiahkan pohon buah zaitun kepada penduduk. Sedangkan Dewa Poseidon memberikan mata air asin. Pemberian Dewi Athena dipandang lebih berharga. Namanya diabadikan pada kota kuno itu sebagai imbalan para pemujanya.
Athena memang luar biasa. Toh aristokrasi yang disukai Plato itu tumbang juga. Kota itu melahirkan demokrasi. Athena bersama Sparta telah menyingkirkan para raja dan tiran. Para bangsawan mereka gulingkan. Pemerintahan demoktratis pertama di dunia terbentuk menjelang 500 SM, ketika Perang Persia (499-479 SM) berakhir. Sejarah Yunani berpusat di kota Athena setengah abad lamanya.
Herodotus, Bapak Sejarah, menyebut rakyat Athena sebagai penyelamat Yunani. “Didampingi para dewa, mereka mengusir penyerbu,” ungkapnya. Itu juga yang membuat Plato membenci demokrasi karena telah menghancurkan Athena, kota kesayangannya.
Athena terbentuk dengan model kekaisaran, namun mereka melakukannya dengan demokratis. Rakyat Athena paham bagaimana ketidakadilan dijadikan ‘norma’ bagi raja, tiran, ataupun aristokrasi dalam bungkusan yang memiliki hak-hak istimewa. Karena itu, Athena mengusahakan setiap penduduk bebas, baik kaya maupun miskin, bangsawan maupun orang biasa, agar berkesempatan memiliki jabatan di pengadilan serta berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang.
Setelah pengembaraan yang sangat jauh bagi demokrasi, ternyata tak satu pun sistem demokrasi yang setangguh konsep madaniyah di Kota Madinah. Sebagian orang pernah memaksakan pendapat bahwa madani lebih dekat dengan konsep Pancasila. Mereka lupa bahwa Pancasila hanyalah asas bernegara atau falsafah bangsa.
Para penguasa mampu melahirkan berbagai produk hukum yang ditafsirkan berbeda dengan Pancasila. Pancasila bisa bergaya nasionalis ketika penguasanya nasionalis. Pancasila bisa agamais ketika kita dipimpin orang agamais. Bahkan Pancasila bisa bergaya komunis ketika kelompok penguasa beraliran komunis. Demokrasi memang luwes. Ia dicangkokkan langsung ke urat-urat nadi kekuasaan dan negara-negara.
Dalam perbenturan ide-ide tentang kekuasaan rakyat dan konsep negara ideal, yang kebanyakan menang justru revolusi. Hanya dengan kesepakatan kuat bersama persenjataan kuat yang bisa membuat Kota Madinah aman.
Masalahnya, platoisme mungkin bisa serupa nehruisme, revolusi tanpa kekerasan. Padahal kemerdekaan dan proses tatanan baru selalu dilengkapi dengan perjuangan bersenjata.
Hari-hari ini “platoisme telah menjadi aristokrasi gaya baru” dengan versi mencengangkan bersama “hak-hak istimewanya” itu justru lebih dulu memperkuat persenjataan. Bukankah Platoisme terlalu kuno di era digital?

Tulisan ini jauh sebelumnya juga dimuat di kolom Kritik situs Aksiografi.Com

Inai Tutu Iya Upa’, Inai Pacapa’ Iya Cilaka

Sejarah dunia menunjukkan hanya homo sapiens yang selalu bermasalah terhadap keseimbangan alam. Bahkan bermasalah terhadap keseimbangan jiwa. Homo sapiens bertanggung jawab penuh pada berbagai tindakan pemusnahan flora dan fauna, perang, serta pencemaran.

Lantas apakah apakah bumi hanya sekadar mengalami demam ketika diinvasi wabah? Sapiens mengeluarkan antibodi ketika diinvasi organisme luar. Namun tidak selamanya mereka bisa bertahan.

Peristiwa pemurnian-pemurnian dalam sejarah dikategorikan penghakiman. Itulah sebabnya banyak yang menyimpulkan pandemi merupakan penghakiman paling tepat bagi spesies kita.

Kalau benar bumi sedang dimurnikan maka idiom “normal baru” tidak sepenuhnya keliru. Bisa jadi ia hanyalah fase yang berulang. Agama-agama dan berbagai budaya punya hubungan intim terhadap persoalan pemurnian.

Sekali waktu pemurnian merupakan antonim dari kata “kecerobohan”. Ia selalu komplit. Prosesnya pasti disublimasi secara matang.

Sebuah puisi kuno Makassar yang penulisnya anonim, berbunyi: “Inai tutu iya upa’/Inai pacapa’ iya cilaka.” Mengutip pemaparan budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, puisi minimalis itu dinukilkan oleh seorang seniman teater yang meraih doktor di bidang kajian kesusastraan daerah, Dr. A. Nojeng. Puisi ini sebentuk pesan leluhur yang terjemahannya kira-kira berbunyi: “Siapa yang berhati-hati maka dia selamat/Siapa yang ceroboh, maka celakalah dia.”

Dalam hari-hari yang tidak menentu manusia memang harus membentuk “katutu” atau “berhati-hati” terhadap apa pun yang berbau ancaman. Tidak “pacapa’ atau “ceroboh” dalam bersikap. Kemunculan kebijakan “new normal” untuk mengkondisikan posisi manusia terhadap pandemi wajib menghindari “capa”

Banjir besar di jaman Nabi Nuh adalah salah satu fakta pemurnian yang pernah ada. Nuh diharuskan menyelamatkan hanya puluhan orang beriman dan berbagai spesies hewan dan tumbuhan. Dalam bahtera super canggih sepasang hewan berdarah panas bisa sekapal dengan pasangan hewan lainnya yang berdarah dingin. Teknologi apa gerangan yang digunakan Nabi Nuh? Berbulan-bulan bahtera itu terombang-ambing di atas banjir bah raksasa.

Sebuah peradaban baru harus diselamatkan. Dengan tingkat “katutu” yang maksimal kapal Nuh diperlengkapi bahan pangan dan obat-obatan terlengkap sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Kapal itu merupakan miniatur ekosistem darat. Karnivora, herbivora, dan omnivora tercukupi kebutuhannya dalam satu kapal. Miniatur masing-masing habitatnya pun didesain sedemikian rupa sehingga hewan dan tumbuhan yang berpasang-pasangan itu tetap lestari di atas kapal selama misi penyelamatan besar itu berlangsung.

Konsekuensi dari mengabaikan atau melawan hukum alam adalah penyakit, wabah, dan bencana alam.Apakah pemurnian juga dialami oleh peradaban Atlantis dan Sumeria? Kedua peradaban yang sangat tinggi itu justru menghilang.

Tidak ada jejak arkeologis yang cukup meyakinkan bahwa Atlantis adalah peradaban yang pernah dimurnikan. Atlantis lebih tepatnya “dibinasakan.” Teknologi antariksa Atlantis yang konon sudah mencapai penemuan portal teleportasi tidak mampu menjadi penyelamat.

Peradaban Sumeria merupakan jenis prestasi pertama di dunia. Bangsa Sumeria memiliki obat dan farmakope pertama di dunia. Operasi otak pertama di dunia. Pertanian dan almanak petani pertama di dunia. Kosmologi dan astronomi pertama di dunia. Kode hukum pertama di dunia. Dan mereka menggunakan teknologi yang mencapai metalurgi canggih, peleburan, pemurnian dan paduan serta pemurnian bahan bakar minyak bumi. Yang paling penting, bangsa Sumeria bertanggung jawab atas rekayasa genetika pertama di dunia. Toh Sumeria senasib Atlantis, “dibinasakan.”

Jangan pernah “pacapa”. Tetaplah “makkatutu.” Pemurnian beda tipis dengan penghancuran.(*)

Pustaka RumPut, 28 Mei 2020

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Kopi Panas situs JalurDua.Com


Gayana ji

“Gayana ji!” Jika Anda orang Sulawesi saya pastikan Anda akrab dengan istilah itu. Ia merupakan salah satu istilah orang-orang Bugis-Makassar yang sangat umum. Bahkan digunakan setiap hari sampai saat ini.
“Gayana ji” artinya: “hanya sekadar gaya”, “gaya belaka”, atau “gaya-gayaan tok.” Ia kerap digunakan sebagai bahan guyonan, pemanis, sampai ejekan serius.
Sosial media yang kerap melahirkan karakter “social climbing” juga setiap hari menampilkan netizen yang bisa dikategorikan dalam ungkapan “gayana ji.”
Sebenarnya belum pernah ada penggambaran secara tepat untuk mendeskripsikan istilah “gayana ji” ke bentuk defenisi baku. Ia memang hanya digunakan sesuai interprestasi pengguna maupun pendengarnya. Dan di situ letak keanehannya.
Untuk sekadar membayangkan wilayah interpretasi “gayana ji” kita bolehlah sesekali ikut jadi penggemar serial kartun dari India, Shiva.
Karakter yang paling unik adalah Inspektur Laddu Singh. Sosok yang digambarkan sebagai polisi ber-IQ di bawah standar, kerap salah perhitungan, sering apes, asli penakut namun ditutupi oleh penampilannya yang sangar berkumis tebal dan berbadan besar. Namun hebatnya, segoblok dan seapes apapun seorang Laddu Singh, dia tetap istiqomah berada di jalan kebenaran sebagai pembasmi kejahatan. Meskipun prestasi kepolisian tidak pernah lepas dari andil besar Shiva, sang jagoan cilik itu.
Laddu Singh tidak cerdas tapi dia sadar betul bahwa dirinya adalah alat hukum, bukan alat kekuasaan. Secara halus salah satu episode pernah menggambarkan betapa Laddu Singh dan walikota bahkan lupa saling nomer HP.

Sepertinya penulis atau pencipta karakter Laddu Singh menyembunyikan sebuah pesan mendalam di balik karakter Laddu Singh ini. Apakah dia sedang mengkritik dunia kepolisian di India atau mungkin juga di Asia? Entahlah. Saya menduga kuat, penulis cerita kartun ini sedang merindukan sosok Laddu Singh di dunia nyata. Tidak perlu pintar yang penting tetap istiqomah di pihak pembasmi kejahatan. Kira-kira begitu pesannya.
Untung saja Inspektur Laddu Singh tidak pernah gegabah melompat datang ke dunia nyata dan bertugas di Sulawesi Selatan. Kalau itu terjadi maka setiap hari si kumis tebal itu akan diteriaki dengan ungkapan “gayana ji!”(*)
Pustaka RumPut, 31 Mei 2020.
Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com

Berapa Jumlah Batu Yang Dibutuhkan Sisifus?

Idiom yang absurd itu bernama “negara.” Kekuasaan telanjur berbeda dengan negara. Ia selalu membutuhkan bentuknya yang ril, faktual, dan fisik. Sebab itulah tidak pernah ada kekuasaan yang benar-benar stabil. Pun tidak ada kekuasaan yang tidak selalu menumpang pada inangnya, negara.



Akibatnya, sebagian besar kita tidak akan mampu memahami apa yang dilakukan Habib Bahar Smith, Said Didu, Farid Gaban, Rustam Buton dan lain-lainnya itu. Bahkan Din Syamsuddin dan Habib Riziek pun tidak sedang melawan negara. Sebaliknya, juga tidak sedang bermaksud melawan kekuasaan.

Sejarah saja yang selalu memiliki porsi setimpal untuk catatan-catatan yang tidak menyenangkan. Rezim yang mendapat giliran mengendalikan sistem maka sangat memungkinkan memproduksi penindasan. Toh persekusi dan kriminalisasi lebih banyak diorganisir oleh kekuasaan. Bukan oleh negara.

Penembakan misterius alias petrus diberlakukan oleh Soeharto pada era 1980-an. Itu satu-satunya terapi untuk mengurangi kriminalitas di masa Orde Baru. Soeharto memang mengakuinya dalam buku biografi “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.Sebagai sebuah cara unik dari kekuasaan, petrus memang agak berguna. Namun pada tindakan tangan besi, mungkinkah kekuasaan berguna bagi negara?

Dalam mitologi Yunani, barangkali rakyat bisa menemukan alegori nasibnya serupa Sisifus. Kisahnya ditulis oleh Homer yang berjudul Odyssey.

Sisifus terlalu banyak ulah dan menantang Zeus. Para dewa menjatuhinya hukuman mendorong batu dari kaki sebuah bukit hingga tiba di puncaknya. Sesampai di puncak, para dewa akan menendang batu itu hingga menggelinding kembali ke kaki bukit. Saban batu itu tiba di bawah, Sisifus harus kembali mendorongnya ke atas hanya untuk dijatuhkan lagi oleh para dewa. Begitu seterusnya.

Tentu saja tidak persis mirip. Suara-suara kritis yang dibungkam justru tidak melambangkan Sisifus. Rezim yang makin represif juga ternyata tidak serupa dewa. Kesamaannya hanya terletak pada saat menggelindingkan batu ke kaki bukit.

Ancaman ketidakstabilan terhadap kekuasaan sebenarnya hanya selalu berkutat di seputar kebijakan-kebijakan ganjil dan janggal. Seperti rezim Jokowi yang dipandang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan Cina dengan cara mengorbankan rakyat Indonesia.

Barisan oposisi punya list panjang. Sebut saja RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memanjakan investor dengan menindas hak-hak buruh. Lalu, RUU Minerba yang memungkinkan investor mengeksploitasi lingkungan. Hamparan karpet merah bagi buruh kasar Cina. Dan tidak memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Ketika rezim sedang ganjil memang sebaiknya kekuasaan harus berani menjadi “negara”. Meskipun tidak serta merta harus menanggalkan kekuasaan. Ketika “negara” sesungguhnya berpihak kepada barisan oposisi -sebagian bergerak sporadis- yang tidak membutuhkan kekuasaan, maka kekuasaan memang sedang terancam sangat serius.

Bukankah pernah ada versi lain pada kisah Odyssey? Sisifus berhasil mengambil alih kekuatan para dewa di puncak bukit. Sekali waktu para dewa rupanya lelah menggelindingkan batu.

Dengan sekuat tenaga Sisifus mengangkat batu besar itu. Lalu dilemparkannya penuh suka cita ke puncak bukit. Hanya saja tidak ada bagian yang menerangkan berapa jumlah batu besar yang dibutuhkan Sisifus?(*)

Pelajaran moral: mitologi paling aneh adalah ketika ternyata Zeus hanya boneka.

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Catatan Tumit LaCulleq  situs BeritaBulukumba.Com



Virus Ini Jauh Lebih Ganas Dibanding Corona!

Corona boleh menjadi virus yang paling ditakuti warga dunia saat ini. Namun ada wabah yang lebih ganas dibanding corona, yaitu korongna dalam Bahasa Konjo di Bulukumba, Sulawesi Selatan, berarti: periuk. Kata korong diberi imbuhan “na” yang berarti: “nya” menunjukkan kata kepunyaan orang ketiga tunggal maupun jamak. Korongna berarti: periuknya atau juga “periuk mereka.”

Korong (periuk). (Sumber Foto: JalurDua.Com)


Bagi orang Suku Konjo, kata korongna lebih dari sekadar kata benda. Di wilayah filosofi ia juga bisa menjadi kata kerja. Bahkan kata sifat. Ia mempersonifikasikan dapur yang masih mengepul. Ia perlambang kemampuan ekonomi sebuah rumah tangga. Korongna adalah keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sanalah perut keroncongan bisa menemukan jawaban.

Pemaknaan lebih liar dari kata korongna adalah ketika ia dimasukkan ke dalam wilayah sebangsa virus. Lebih jauh lagi, pandemi. Dan faktanya memang demikian. Ekonomi yang lumpuh bisa menyebabkan korongna tidak terisi. Dapur tidak ngebul.

Dalam situasi korongna yang kosong melompong maka kriminalitas adalah salah satu alternatif bagi mereka yang merasa tidak punya lagi pilihan lain. Sebagian mungkin masih bisa bersabar dan menahan diri. Namun bisa juga melahirkan varietas virus baru. Namanya “koro-koroang.”

Koro-koroang dalam Bahasa Bugis berarti: uring-uringan. Suka marah dan berkata kasar tanpa tahu apa penyebabnya. Rasa lapar karena korongna tidak terisi bisa jadi memunculkan koro-koroang.

Pandemi covid-19 melahirkan begitu banyak peristiwa dan cerita di berbagai belahan dunia. Lalu, apa cerita dari kampungmu?(*)

Kedai Kopi Litera, 28 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Inilah Satu-Satunya Kota di Dunia yang Paling Aman dari Corona

Kota ini berada di dasar laut. Sejak dulu kota canggih ini selalu disibukkan berbagai kejadian konyol dan aneh. Namun inilah satu-satunya kota teraman di dunia dari serangan virus corona, bencana alam, perang, dan kelaparan.

Kota Bikini Bottom (Dok: JalurDua.Com)

 Anda ingin berkunjung ke kota ini maka Anda harus memesan tiket khusus. Anda akan menuju ke sana tentu saja dengan menumpang kapal laut. ketika mendengar suara nahkoda kapal mengumumkan sesuatu melalui speaker. Bunyinya begini: “Disampaikan kepada seluruh
penumpang, agar segera bersiap-siap. Kapal akan turun menuju ke dasar laut. Kita akan segera berada di kota Bikini Bottom.”

Lebih menyenangkan bila Anda berada di Bikini Bottom bertepatan dengan acara pesta milad Krusty Krabb milik Tuan Krabs. Di tengah pesta Anda pun bisa berkenalan dengan putri semata wayang Tuan Krabs. Tentu asyik bukan, paus remaja yang cantik itu pewaris tunggal kerajaan bisnis Krusty Krabb.

Anda tidak perlu memakai masker. Tidak ada pandemi corona. Tidak ada bau disinfektan. Anda boleh leluasa menikmati tarian ubur-ubur yang diiringi langsung oleh permainan musik klarinet Squidward Tentacle.

Bikini Bottom adalah sebuah kota yang cukup ramah. Meskipun di sana kerap terjadi insiden konyol setiap hari. Jangan merasa aneh kalau sempat berkenalan dengan Plankton, seekor makhluk renik jenius. Plankton adalah ahli komputer. Uniknya, sebagian besar hidupnya digunakan berjuang hanya untuk mendapatkan formula rahasia Krabby Patty. Namun keunikan terbesar dari Plankton adalah karena dia menikahi komputernya sendiri yang bernama Karen. Sesungguhnya Plankton tidak begitu berbahaya. Ukuran tubuhnya tidak akan mampu menyamai ukuran sebutir upil terkecil di liang hidung Anda

Secerdas-cerdasnya Plankton maka Shandy lebih mengesankan. Dia cewek jenius dan juga sang penemu. Sebenarnya Shandy makhluk darat namun entah kenapa dia lebih suka menjadi penduduk Bikini Bottom. Dia bisa menjadi sahabat paling eksentrik. Apalagi Shandy memang akrab dengan Spongebob dan Patrick, dua warga kota terpopuler.

Jika Anda punya izin lebih lama untuk tinggal di sana, maka satu-satunya warga kota yang harus Anda hindari adalah kepiting laut bernama Tuan Krabs. Beliau owner Krusty Krabb. Tuan Krabs memandang segala sesuatu dengan nilai uang. Konon dulu Tuan Krabs pernah berselingkuh dengan paus cantik bernama Eugene. Asmara lintas spesis itu menghasilkan seekor putri paus cantik yang diberi nama Pearl.

Bersenang-senanglah di Bikini Bottom. Yang patut Anda kenal juga adalah Squidward. Dia seekor cumi-cumi yang sedang terobsesi ingin menjadi maestro seni. Sayangnya Squidward kerap gagal dalam banyak hal. Jadi dia tidak cukup berbahaya. Berbeda dengan Tuan Krab yang walaupun dia bosnya Spongebob tapi dia bisa menukar keselamatan warga Bikini Bottom dengan uang!

Tidak usah khawatir, Pattrick akan lebih dari cukup memberi hiburan tersendiri ketika Anda lagi suntuk. Kita harus memaklumi kapasitas otaknya. Namun yang pasti, dia menghibur dan itu tidak disadarinya. Barangkali karena Patrick adalah bintang yang sesungguhnya di Bikini Bottom. Lebih tepatnya bintang laut yang paling lugu, lucu, dan kadang menyebalkan.

Warga Bikini Bottom tidak mengenal Pilpres maupun pilkada. Satu-satunya kesulitan terberat jika Anda ingin menetap yaitu ketika harus mencari tempat hunian. Anda harus menunggu dulu ada barang bekas atau buah-buahan busuk yang dibuang dari kapal laut.

Siapa tahu Anda beruntung memperoleh nenas seperti rumah Spongebob. Tidak usah berpikir untuk memiliki rumah seperti milik Squidward. Memang antik dan sangat langka. Namun Anda harus paham sejarah rumah Squidward. Itu potongan kepala perunggu yang jatuh ke dasar laut. Sudah sekian lama kepala perunggu itu dicari-cari oleh sekelompok bajak laut.

Apakah Anda tertarik ke Bikini Bottom? Kota ini adalah pilihan keren bagi siapa saja yang ingin menjalani “new normal” secara tidak normal.(*)

Pustaka RumPut, 3 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com



Mau Punya Kampung yang Keren? Cari Lima Orang Warga dengan Karakter Ini

Sebenarnya bukan hal prinsipil jika kampung Anda berbentuk kelurahan, desa, atau dusun. Yang penting kampung merupakan hunian nyaman dan aman. Tidak gaduh. Namun jauh lebih keren kalau kampung Anda juga memiliki lima orang warga seperti yang dimiliki Kampung Durian Runtuh. Karakter mereka kurang lebih seperti berikut ini.


Tok Dalang

Orang tua yang paling sering muncul dalam keseharian Upin dan Ipin, yaitu Tok Dalang. Melihat raut wajahnya, Tok Dalang tergolong awet muda. Padahal usianya mungkin sudah menginjak kepala enam atau tujuh. Dia tetangga terdekat Upin Ipin. Saya pernah menduga Tok Dalang bersaudara kandung atau mungkin sepupu Opah, neneknya Upin dan Ipin. Tok Dalang tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di kota.

Tok Dalang bisa dibilang duda keren. Beliau punya banyak kelebihan. Mampu mengerjakan dan menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Setiap kelebihannya terungkap pada setiap episode. Kalau ceritanya tentang durian maka Kakek Dalang dikisahkan memiliki kebun durian dan jenis durian paling enak. Bahkan pernah jadi juara kontes buah durian. Kalau ceritanya tentang gendang, Kakek Dalang pun jadi ahli gendang. Pokoknya, apapun ceritanya maka keahlian Kakek Dalang akan berhubungan dengan isi cerita. Benar-benar seorang kakek jomblo yang luar biasa. Nyaris super!


Uncle Muthu

Makhluk yang satu ini juga selalu muncul dalam setiap episode. Barangkali Uncle Muthu punya imunitas tubuh di atas rata-rata manusia normal. Tidak peduli cuaca panas atau pun hujan, pemiliknya warung misbar alias gerimis bubar ini hanya suka memakai baju dalam dan sarung. Beliau keturunan India. Wajar kalau suka menyanyi dan menari. Sayangnya, kalau menyanyi suaranya agak kurang enak didengar. Lebih enak kalau memesan ayam goreng atau nasi gorengnya.


Paman Ah Tong

Paman Ah Tong adalah keturunan Tionghoa peranakan. Dia tipe pekerja keras. Segala macam benda tidak berguna bagi orang lain bisa dia jadikan uang. Selalu identik dengan sepeda tua keliling kampung. Kalau Ah Tong muncul maka pasti berkaitan dengan barang bekas. Mulai koran, kaleng, sampai mainan bekas. Kalau saja ada sepuluh orang seperti Ah Tong maka Kampung Durian Runtuh bisa super bersih hanya dalam sepekan.

Saya pernah berpikir Ah Tong ini masih keturunan pasukan Kubilai Khan dari Mongolia. Kemungkinan besar banyak prajurit Mongolia yang terdampar di Malaysia setelah kalah dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit. Sisa-sisa pasukan ini banyak terdampar di negeri Malaya. Barangkali Ah Tong adalah salah satu keturunan dari pasukan tersebut. Semangat Ah Tong dalam mencari uang persis semangat prajurit tempur. Itulah alasan yang memperkuat teori saya tentang asal usul Ah Tong.


Kak Ros

Gadis paling cantik sekaligus paling judes di Kampung Durian Runtuh tentu saja adalah Kak Ros.

Kak Ros pintar memasak. Menyukai kebersihan dan kembang. Sayang sekali, belum pernah ada seorang pun cowok yang datang menyatakan cinta. Dugaan saya, anak-anak muda di Kampung Durian Runtuh mungkin sangat segan kepada Opah, neneknya Kak Ros, Upin dan Ipin.

Kak Ros pintar menggambar dan hobi membaca. Wajar kalau dia akhrnya mampu menjadi pelukis komik. Karya komiknya pernah dimuat secara bersambung di sebuah koran. Bahkan pernah diterbitkan menjadi sebuah buku.


Abang Saleh

Dulu saya pernah berpikir Abang Saleh mungkin satu-satunya jejaka yang paling cocok berpasangan dengan Kak Ros.

Harapan saya buyar ketika memperhatikan gayanya berbicara. Abang Saleh ternyata kemayu! Sebenarnya Abang Saleh punya banyak keterampilan. Mulai menjahit, kerajinan tangan, bisnis online, sampai merangkai bunga.

Selain lima karakter di atas, sebenarnya masih banyak karakter unik lainnya dalam serial kartun Upin dan Ipin. Namun kalau lima saja karakter tersebut ada di kampung Anda, yakinlah kampung Anda sangat keren.(*)


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Menulis Itu Mudah, Ini Rahasianya

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 11 Juli 2020 | Juli 11, 2020

















Menulis Itu Mudah. Ini rahasianya. Kuncinya hanya dua.Silakan simak video berikut ini. Saya comot dari salah satu konten di channel YouTube saya.


Rekor MURI untuk Karnaval Busana Hitam-Hitam Bulukumba dan Suatu Hari Nanti

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 14 November 2019 | November 14, 2019

Sekitar 27 ribu orang berpakaian hitam-hitam beberapa waktu lalu di Bulukumba. Mereka memecahkan rekor pada Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Pencapaian itu membuat Lembaga MURI mengganjar piagam penghargaan rekor dunia kepada Pemerintah Kabupaten Bulukumba atas pelaksanaan Karnaval Mengenakan Busana Hitam Peserta Terbanyak pada pertengahan September 2019. 

Pencapaian rekor ini bisa pula merupakan barometer pencapaian kesadaran terkait betapa pentingnya budaya. Pakaian adat bukan hanya identitas etnik. Dia adalah kombinasi antara harmoni rakyat dengan pemimpinnya dalam membalut tubuh humanisme dan eksistensi. 

Pakaian adat yang turun temurun diwariskan ke berbagai generasi tentu tidak akan pernah cukup dilestarikan melalui karnaval. Eksistensinya tidak cukup melalui ingatan. Tidak cukup jika hanya memenuhi jalan-jalan protokol di Kota Bulukumba, Sulsel, guna mengikuti Karnaval Busana Hitam yang menjadi rangkaian dari penyelenggaraan Festival Pinisi ke-10 tahun 2019 lalu.

Pencapaian ini bahkan tidak pernah cukup dilakoni oleh komunitas adat Ammatoa di Kajang yang memang sehari-hari berpakaian hitam-hitam. Pencapaian ini tidak cukup jika hanya berhenti pada gagasan dan kebijakan. Dia membutuhkan realitas yang bersandar pada teladan yang ditunjukkan oleh para pemimpin Bulukumba. 

Melihat Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto berpakaian hitam-hitam khas pakaian adat Kajang dalam berbagai acara formil di dalam dan luar negeri adalah contoh betapa teladan itu memang ada. Dan teladan tentu

saja tidak cukup. Masyarakat Bulukumba mungkin telah memulainya dalam karnaval dan diganjar rekor MURI. Namun yang harus menggenapinya adalah bottom up dan follow up. Masyarakat Bulukumba kini paham, siapa saja pemimpinnya yang paham budaya. 

Suatu hari nanti kita mungkin tidak berhenti pada rekor, karnaval, selebrasi, bahkan regulasi. Kita mungkin akan lebih lagi, terus berjalan dengan identitas-identitas khas dan eksistensi budaya lokal. Dengan catatan, masyarakat harus tetap bersama pemimpin yang mencintai dan memahami budaya di kampung halamannya.(*)

Roman Picisan!?


Menurut kamus bahasa Indonesia, roman picisan adalah cerita murahan atau puisi murahan yang intinya tidak berbobot. 

Pemaknaan lainya mungkin bisa mengarah kepada karya yang tidak peduli dengan upaya penyadaran global warming, misalnya. Atau karya yang sama sekali tidak mendukung pentingnya moralitas, kampanye anti narkoba dan sebagainya. Pada era 70-an roman picisan malah sempat menjadi judul film remaja. 

Lalu Ahmad Dhani dan Dewa 19 menjadikannya sebuah lagu fenomenal di akhir dekade 1990, tepatnya tahun 1999. Tentu siapapun yang merasa sebagai anak bangsa apalagi para penulis tidak akan pernah mau karyanya dicap sebagai roman picisan. Saya bahkan telah bersepakat dengan diri sendiri bahwa kamus bahasa Indonesia itu salah besar mengartikan roman picisan. Sebab semua karya, apapun itu harus dihargai sebab telah lahir dari sebuah proses kreativitas penulisnya. Yang paling berhak menghakimi adalah pembacanya.

Berpuluh-puluh puisi, esai, cerpen dan sebagainya yang pernah dibacakan di program sastra RCA 102, 5 FM mungkin saja sebahagian di antaranya telah dituding sebagai roman picisan. 

Entahlah. Hanya pendengar RCA yang bisa menilai sebab merekalah yang mendengarkan, menyimak bahkan menikmati. Pada hari minggu 31 Mei kemarin siang, di acara sastra Ekspresi RCA begitu terasa apresiasi pendengar saat mendengarkan WS Rendra baca puisi. Yang mengagumkan, puisi-puisi blogger dari Tuban Jawa Timur, Ahmad Flamboyant dan Musa Manurung dari Kabupaten Barru justru tak kalah menghipnotis. 

Sebagaimana minggu lalu, puisi blogger kata jiwa dari Jogyakarta berhasil mengundang puluhan SMS pendengar.
Jangan-jangan istilah roman picisan oleh kamus bahasa Indonesia justru turut memberi andil besar penghilangan jejak roman yang sesungguhnya di Indonesia? Setiap kali mendengar istilah roman di benak saya selalu terngiang beberapa judul roman yang pernah diajarkan ibu guru di bangku sekolah dasar. Siapa yang tidak kenal dengan kisah-kisah legendaris Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Anak Perawan Di Sarang Penyamun, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan masih banyak lagi yang lainnya? Setelah itu zaman bergerak dan berubah. Kini roman di ambang kepunahan dalam peta sastra Indonesia, padahal roman adalah salah satu bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Kampanye saya hari ini: hilangkan istilah roman picisan. Semoga tulisan ini adalah yang terakhir kali mengutip istilah roman picisan. Setelah itu tidak ada lagi.


Dari Indunesian sampai Badduluha

Adalah kelaziman di wilayah ilmiah ketika seorang ahli mengajukan nama bagi sebuah kawasan di muka bumi yang sebelumnya belum memiliki nama. Seperti yang dilakukan George Windsor Earl, seorang navigator Inggris dan penulis karya buku tentang Kepulauan Melayu. Dialah yang mencetuskan nama "Indunesian." Kata 'indus' berasal dari kata 'Hindia' dan 'nesos' dari Bahasa Yunani yang berarti 'pulau.' Dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) Earl mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia (Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau Malayunesia.

Masih di tahun yang sama, seorang editor majalah dari Skotlandia bernama James Richardson Logan mengganti huruf 'u' menjadi 'o'.  Wacananya pertama kali tertuang dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia, tahun 1850. Akhirnya Indunesian atau Indunesia menjadi Indonesia. Tampaknya perubahan itu dianggap permanen. Sejak itulah orang-orang terpelajar mengenal nama "Indonesia" untuk merujuk sebuah tanah eksotis yang membentuk etinitas dari banyak pulau, suku, budaya, agama, dan ras yang dilintasi sebuah garis imajiner bernama khatulistiwa.

Kemudian seorang ilmuwan Jerman, Adolf Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin, berhasil mempopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana Belanda. Dalam bukunya berjudul Indonesien; Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel terbitan 1884 sebanyak lima jilid memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun 1864-1880. Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Penduduk negeri ini menamakan wilayah luas mereka sebagai Nusantara. Bangsa China menyebutnya dengan nama Nan-hai. Bangsa Arab menamainya Jaza'ir Al Jawi atau Kepulauan Jawa. Orang-orang dari India mengenalnya dengan sebutan Dwipantara atau Tanah Seberang. Namun tetap saja Belanda yang menjajah negeri itu menamakannya "Hindia Belanda."

Sebutan bisa berbeda-beda pada suatu entitas, obyek, bahkan individu. Saya saja disebut dengan jumlah nama yang lebih dari tiga sampai lima oleh orang-orang. Semasa bayi hingga bisa merangkak dan berlari saya dipanggil dengan nama "Baco" atau "Aco." Di kemudian hari Si Baco itulah yang menciptakan nama #LaCulleq sebagai tokoh fiksi. Dampaknya, orang-orang lalu mengidentikkannya sebagai La Culleq sehingga nama itu dianggap sebagai namanya sendiri. Padahal dia pernah memiliki empat nama keren: Daeng Janggo, Igo, dan Ivan Kavalera. Setelah diusut, di KTP-nya tertulis Alfian Nawawi. 😁

Lain lagi dengan teman saya yang bernama Burhanuddin. Dia lebih suka memakai nama samaran "Boy." Namun orang-orang di sekitarnya lebih suka memanggilnya "Badduluha." Entah apa arti nama itu. Begitulah, nama dan sebutan apapun itu merupakan proyeksi dari perspektif terhadap segala sesuatu. Yang jelas, orang-orang selalu jujur dalam perspektifnya terkait nama kita.

Monolog Seorang Prajurit

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Mei 2019 | Mei 19, 2019

Prabowo muda (Sumber foto: IDN Times)
Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba monolog ini terdampar di "Catatan Gorong-Gorong" milik seorang rakyat biasa, Alfian Nawawi. Kumpulan catatan ini saya singkat saja: Catro. Supaya berbau milenial. Bolehlah dianggap antonim dari istilah "katro". Jika tersenyum atau nyengir maka jangan kaget, sebab saya punya "sense of humor" yang lumayan tinggi.

Yang saya tahu, 'monolog kecil' ini pasti akan dipandang dari berbagai jurusan, secara negatif maupun positif, dianggap fiksi maupun fakta. Satu hal yang pasti, monolog ini adalah salah satu edisi Catro, sekumpulan tulisan dengan realitasnya yang "pecah-pecah." Maksudnya sejenis catatan yang tidak tuntas. Hanya selalu menyelesaikan pertanyaan, dan menyerahkan kepada pembacanya pada dua pilihan. Pertama, memilih untuk mengabaikan. Kedua, memilih mengembara sendiri mencari jawaban yang sudah dirintis penulisnya.

Sebagai seorang prajurit sejati saya senantiasa patuh kepada setiap perintah atasan. Perintah menculik aktivis pun akan saya laksanakan sepanjang penculikan itu memang bertujuan untuk membela Pancasila dan UUD 1945.

Kalau perintah itu berbunyi, "hilangkan" maka saya akan "menghilangkan" para aktivis itu namun dengan cara saya, sesuai jiwa Pancasila dan Saptamarga, namun tidak berdasarkan kezaliman. Melainkan dengan cara seorang patriot. Bukan cara rezim tiran, bukan cara pengkhianat Pancasila. Bukan membunuh anak-anak muda itu semena-mena.

Alhamdulillah, mereka masih hidup sampai hari ini. Bahkan mereka sebagian besar bergabung dengan saya dalam sebuah gerakan untuk membangun kembali Indonesia Raya. Sebab saya tahu mereka adalah aset bangsa.

Cara saya "menghilangkan" para aktivis tersebut jelas menyalahi perintah atasan. Ketika perintah itu berbunyi "habisi mereka" justru saya "mengamankan" mereka. Akibatnya mereka masih hidup sampai hari ini.

Selaku prajurit saya siap menerima segala konsekuensinya. Apapun itu. Namun sebagai patriot saya siap membela pasukan saya dan menyelamatkan anak-anak muda yang diculik tersebut. Biarkan saya sendiri yang menanggung akibatnya. Apapun itu. Sejarah boleh dibolak-balik namun kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Jika ada yang masih mempermasalahkan peristiwa tersebut, silakan bertanya kepada mantan atasan saya. Dia masih hidup, masih segar bugar. Dia pasti mengetahui pasukan siapa yang membunuh sebagian aktivis. Tanyakan juga kepadanya apa yang sebenarnya terjadi di belakang Kerusuhan Mei 1998 di Ibukota. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana perlakuan pasukan saya kepada para aktivis yang "diamankan" itu silakan bertanya langsung kepada para aktivis tersebut. Mereka masih hidup.

Saya tidak menginginkan monolog ini ada di sini. Bahkan tanpa persetujuan saya. Bahkan saya tidak tahu menahu monolog ini ada di sini. Ini hanya keinginan sepihak dari si empunya Catro. Dia mungkin tidak banyak tahu meskipun juga bukannya sok tahu tapi bisa jadi dia hanya menawarkan sebuah wilayah obyektif yang bisa dieksplorasi dengan metodologi dan investigasi terhadap fakta-fakta secara komprehensif. Mumpung para saksi hidupnya masih ada. Mungkin tujuan lainnya juga adalah untuk memandang sebuah peristiwa dari sudut yang berbeda.

Salam dari saya, Seorang Prajurit. Saya mewakafkan diri saya untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka dari imperialisme politik, ekonomi, dan budaya yang bisa merongrong kedaulatan kita, Pancasila kita, kekayaan kita, dan jati diri bangsa kita. Saya tidak akan mengkhianati amanat rakyat. Saya akan timbul maupun tenggelam bersama rakyat. (*)

Kedaulatan adalah Pergantian


Ilustrasi (sumber foto: trans89.com)
Satu-satunya padanan tepat dari kata "daulat" ke dalam Bahasa Inggris adalah "sovereignty." Dari kata yang dianggap sepadan itu maka sepakatlah berbagai generasi di republik ini mengadopsi istilah "kekuasaan rakyat" untuk memaknai "kedaulatan rakyat". 

Lebih jauh lagi bahkan secara ekstrim ada pemaknaan yang digali dari konsep dan praktik demokrasi liberal yang berbunyi: "suara rakyat adalah suara Tuhan." Konsekuensinya adalah kita tidak boleh tercengang ketika suatu "kebenaran" bisa ditentukan oleh suara terbanyak. Sebagai contoh, seorang begal bisa terpilih sebagai pemimpin karena dipilih oleh satu juta begal lainnya.

Kata "dawlah" atau "dulah" dalam Bahasa Arab memiliki makna "giliran" atau "putaran" atau "pergantian". Kita akan mudah menemuinya dalam sejarah "pergantian klan" atau "putaran kekuasaan" dalam dinamika Dawlah Islam.

Makna tersebut secara tegas mengisyaratkan bahwa kekuasaan yang dimiliki penguasa hanya karena mendapat "putaran" atau "giliran". Pergiliran ini terus terjadi sepanjang masa dan mengisi sejarah. Kedaulatan adalah pergantian dan niscaya tidak ada yang abadi di dunia fana.

Hari ini banyak kekuasaan di bumi yang enggan untuk diganti. Mereka mengatasnamakan demokrasi dan berbagai instrumen aneh -termasuk kecurangan- dengan tujuan agar tidak bisa diganti. Apakah mereka merasa sebagai Highlander?(*)

Jejak Blogger

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 09 November 2016 | November 09, 2016



Blog adalah salah satu tempat untuk meninggalkan jejak. Jejak-jejak intelektual itu berupa tulisan, foto, video, audio dan masih banyak lagi macamnya.
Setiap hari, setiap jam bahkan dalam setiap menit ribuan artikel ditulis dan diposting oleh para blogger dari seluruh penjuru dunia. Sadar atau tidak, mereka telah meninggalkan jejaknya masing-masing. Belasan, puluhan bahkan ratusan tahun ke depan mungkin jejak mereka masih bisa ditelusuri oleh anak cucunya kelak.
Di masa depan, pada zaman yang belum terbayangkan bentuknya, anak cucu dari para blogger mungkin masih akan dapat menikmati postingan dari kakek ataupun neneknya. Lalu, mereka tersenyum-senyum sendiri. Dan mereka berkata,”Aku bangga kakekku seorang blogger!”
Berikut ini ada video putra saya yang saat ini sudah berumur 1 tahun 10 bulan sedang membaca puisi. Namanya Ahmad Dihyah Alfian. Ini merupakan salah satu jejak dari saya untuknya, dan  juga untuk cucu-cucu saya kelak. Insya Allah. Sahabat Blogger, jangan pernah menghapus jejak! Oh ya, artikel saya kali ini adalah juga sekuntum rindu buat sahabat-sahabat blogger. Lama tak saling sapa. Namun kalian tetap di sini, di palung hati.

Namaku Ahmad Dihyah Alfian

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 11 Februari 2015 | Februari 11, 2015

Aku dilahirkan pada “zaman batu”, maksudnya pada saat trend cincin batu. Bulan kelahiranku juga bersamaan dengan peristiwa lumpuhnya KPK akibat dikriminalisasi. Bundaku, Israwaty Samad adalah seorang ibu yang hebat. Ketika melahirkan aku, bunda merasakan bagaimana rasanya melahirkan secara normal sekaligus operasi caesar. Hal itu terjadi karena bunda telah mengalami air ketubannya pecah pada pembukaan delapan sebelum dioperasi caesar juga pada akhirnya. 

Rasa sakit luar biasa yang dialami bunda membuat ayah, kakek dan nenek memutuskan untuk segera membawanya ke Puskesmas Tanete. Hari itu tanggal 27 Januari 2015. Bunda merintih kesakitan selama satu jam lebih di puskesmas. “Baru pembukaan tiga,” kata seorang bidan. Beberapa orang temanku di dalam rahim bunda terus memberiku semangat agar tetap lincah bergerak. Mereka adalah para malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT mendampingi aku semenjak aku masih berbentuk nutfah dalam rahim bunda. Selama sembilan bulan lebih mereka menjadi sahabat-sahabatku yang setia. Merekalah yang menemani aku berenang dalam akuarium ketuban bunda, mengawasi aku yang menghisap nutrisi melalui ari-ari dari makanan-makanan yang dikonsumsi bunda, dan menjadi informan tentang segala hal yang terjadi di sekitarku di luar alam rahim. Mereka adalah sahabat sekaligus guru yang baik. Banyak ilmu pengetahuan yang aku peroleh dari mereka selama berada dalam rahim bunda. 

Aku sering mendengar para malaikat itu berdiskusi tentang aku. Kata mereka aku terdiri dari jasad dan batin. Aku diciptakan dari Nur Muhammad lalu ditempa dari anasir Adam: api, angin, air, dan bumi. Api terbit dari batinku berhuruf Alif bernama Zat, rahasia darahku. Angin terbit dari batinku berhuruf Lam awwal bernama Sifat, menjadi nyawa, rahasia nafasku. Air terbit dari batinku berhuruf Lam akhir bernama Asma, menjadi hati, rahasia maniku. Tanah terbit dari batinku berhuruf Ha, bernama Af-al, menjadi kelakuan, rahasia tubuhku. Api, angin, air, dan tanahku membentuk kalimah: La Ilaha Illallah. La, syariat itu perbuatanku. Ilaha, thariqat itu ucapanku. Illa, haqiqat itu nyawaku. Allah, ma’rifat itu rahasiaku. Haqiqatku: aku Muhammad: tubuh, hati, nyawa dan rahasia. Aku api yang tegak berdiri, angin yang ruku’, air yang bersujud, bumi yang duduk bersimpuh. Aku fana, lebur lenyap kepada batinku. Dari tiada menjadi ada, dari ada kembali menjadi tiada. Tubuhku syariat di alam insan. Hatiku thariqat di alam jisin. Nyawaku haqiqat di alam misal. Sirku ma’rifat di alam ruh. Segala perbuatanku adalah Perbuatan-Nya, segala ucapanku adalah Asma-Nya, Nur Muhammad dari Nur-Nya, segala sifat adalah Sifat-Nya, padaku adalah wujud-Nya. Alif Lam Lam Ha, La Ilaha Illallah. 

Hasil pemeriksaan bidan menyimpulkan bahwa kandungan bunda memiliki kelainan. Tulang panggul bunda tempat di mana aku akan meluncur ke dunia agak sempit. Pantas saja aku kesulitan bergerak. Konon, kondisi langka ini dialami oleh sebagian kecil ibu-ibu hamil. Proses perputaran tubuhku sebelum lahir seharusnya beberapa kali lagi. Namun karena tempatku meluncur tidak kondusif jika melalui persalinan normal maka tubuhku yang mungil mengalami kesulitan untuk segera nongol. Bidan senior, Hj. Ila yang juga tante dari bunda menyarankan agar bunda dirujuk ke RSUD Andi Sulthan Daeng Radja di Kota Bulukumba. Di sana peralatan jauh lebih lengkap. Akhirnya bunda dirujuk ke sana. Di atas ambulans yang melaju kencang ayah, nenekku Puang Asia dan seorang bidan pendamping menemani bunda yang terus mengerang kesakitan. Sementara itu aku juga terus berjuang untuk lahir.

 “Sudah pembukaan lima,” kata suster di rumah sakit itu. Aku terus menguping pembicaran mereka. Para malaikat juga memberitahu aku bahwa ada banyak orang di luar sana yang terus berdo’a dan berdzikir agar bunda segera melewati masa-masa paling mencemaskan ini. Termasuk ayah, nenek, kakek, Tante Ulfa, Tante Nila dan Tante Fatimah. Aku belum juga lahir. Baru pembukaan enam. Berjam-jam kemudian, baru pembukaan delapan. Malam mulai tiba. Secara bergantian nenek, Tante Nila dan ayahku menemani bunda. Sudah pukul 11 malam tapi aku belum juga lahir. Padahal ketuban tempat aku berenang di rahim bunda sudah pecah. Itupun mungkin karena khasiat dari air pakarommo’ yang diberikan oleh ettanya Kak Awang, Om Andi Sinrang. 

Semua harap-harap cemas. Ayah gelisah hilir mudik tidak karuan. Ayah jarang sekali muncul suaranya. Mungkin lagi berdoa entah di mana. Sampai akhirnya dr. Rizal memanggil ayah. Dokter itu menyarankan agar bunda dioperasi caesar. Alasannya adalah aku “anak mahal”, artinya anak yang sudah lama ditunggu kehadirannya. Selama tiga tahun lebih ayah dan bunda menunggu kehadiranku. Sedangkan alasan medis dari dr. Rizal adalah karena ubun-ubun dan wajahku mendongak di dekat pintu keluar. Seharusnya kepalaku bagian atas yang menempati posisi itu. 
“Dalam posisi seperti itu sangat berbahaya jika kamu lahir normal,” kata salah seorang malaikat temanku. “Wajah dan leher kamu bisa cacat kalau ditarik. Seharusnya kepalamu bagian atas yang mestinya lebih dulu muncul,” ujar malaikat lainnya. 
Aku hanya terdiam, sedih. Aku sangat iba kepada bunda karena harus berjuang melahirkan aku selama 12 jam lebih. Dengan meneguhkan hati, ayah menandatangani surat pernyataan setuju bunda dioperasi. Tepat pukul 00.30 Wita, aku pun lahir melalui operasi caesar. Bunda meneteskan airmata bahagia campur haru saat melihat tubuhku diangkat oleh dokter. I Love You, Bunda.

Tangisanku yang pertama memecah keheningan. Tangisan pertama itu adalah karena beban berat menanggung “rahasia Allah”. Tangisanku yang kedua adalah karena aku bersyukur telah dilahirkan sebagai makhluk termulia, manusia. Kepalan tanganku tertutup, itu artinya aku bernama Ahmad. Manakala tanganku mulai terbuka maka namaku adalah Muhammad sampai akil baligh nanti. Itulah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia. Pengetahuan ini kuperoleh dari teman-temanku para malaikat. Mata ayah berkaca-kaca ketika mengumandangkan adzan di telinga kananku dan iqamah di telinga kiriku. Aku sangat hapal suara ayah. Ketika aku masih dalam kandungan ayah sering membacakan iqamah di perut bunda setiap akan sholat di rumah. Ayah dan bunda pun selalu membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an di dekatku. 

Allah Maha Besar, aku lahir dengan selamat. Kelaminku lelaki. Wajahku sangat tampan, hidungku mancung dan kulitku putih bersih, itu kata orang-orang yang melihatku. Para malaikat temanku pernah bilang bahwa selama bunda hamil ayah sering berdo’a jika aku laki-laki semoga aku dianugerahi wajah mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani dan jika aku perempuan semoga diberi wajah mirip Fatimah Azzahra puteri Rasulullah SAW. Kalau benar wajahku mirip dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani maka alangkah beruntungnya aku. Wallahualam. Oh ya, saat lahir aku juga memiliki sebuah tanda fisik yang sangat unik, telinga kiriku berbentuk tulisan “Allahu.” Muhammad Ali adalah salah seorang ustad kenalan ayah. Sehabis shalat Isya dalam sebuah bincang-bincang di pelataran mushalla rumah sakit beliau menyarankan agar ayah memberiku nama “Ahmad Dihyah Alfian”. Ahmad adalah nama yang sebenarnya dari setiap bayi manusia dan nama langit dari Rasulullah SAW. Dihyah diambil dari nama salah seorang sahabat Rasulullah SAW yaitu “Dihyah Al Kalbi” yang dalam sejarah Islam dikenal cakap, ganteng, mahir bertempur dan kerap menjadi salah satu pemimpin pasukan Islam. Dalam bahasa Arab kata “dihyah” juga memiliki arti “pemimpin pasukan, pejuang, suku, atau umat”. Sedangkan nama Alfian untuk menyandang nama ayahku Alfian Nawawi, di mana aku diciptakan Allah bermula dari setetes nutfahnya. 

Teman-temanku para malaikat mengucapkan selamat kepadaku. Sudah waktunya mereka harus pamit karena tugas mereka telah selesai. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat kehilangan. Aku hanya bisa menangis. Namun mereka berjanji bahwa kami akan bertemu lagi suatu hari nanti. Mereka terbang ke angkasa sambil tersenyum dan melambai-lambaikan tangan. Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi melihat jenis makhluk seperti mereka. Sebagai ganti dari para malaikat, seorang jin qorin ditugaskan oleh Allah untuk mendampingi aku sampai akhir hayat. (*) 

Terimakasih khusus buat: Nenekku Puang Rosmani; Puang Haji Basse (terimakasih banyak atas kanjilo alias ikan gabus gratisnya untuk bundaku); Kakekku Papi Asmar (aku minta salah satu cincin batu milik kakek ya); Etta dan Bundanya kak Awang; Om Imran; Yaya; Tante Harma; Etta dan Mamanya Kak Yayat; para ustad yang telah mendo’akan aku dan bundaku semasa hamil: Ustad M. Yusuf Shandy, Ustad Ichwan Bahar, KM Murni Lehong, Ustad Andy Satria, dan Ustad Toto; para bidan Puskesmas Tanete; para dokter, perawat, security, cleaning service, dan petugas dapur di RSUD Andi Sulthan Daeng Radja; dan semua orang yang telah menjenguk bunda dan aku di rumah sakit dan Rumah Putih. 

Rumah Putih, 9 Februari 2015

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday