Latest Post

Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

Ada Siswa Nampak Bosan dan Bertingkah Aneh Dalam Kelas? Simak Jurus Gadis Bulukumba Ini

Posted By Redaksi on Selasa, 21 Juli 2020 | Juli 21, 2020

SastraKecil.Space, Bulukumba - Kadang ada siswa terlihat boring dan bertingkah aneh di dalam ruang kelas. Salah satu penyebab paling lazim yakni disebabkan metode belajar yang mereka terima selama ini sangat monoton. 


Kasmayani, relawan kelas belajar gratis "Pendidikan Nol Rupiah" Gema Pandemi Desa Balong di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sejauh ini berhasil mengaplikasikan beberapa metode belajar kepada anak-anak.

"Setiap hari ada saja yang berbeda, belajar secara indoor maupun outdoor." Terang Kasma, sapaan akrabnya, salah seorang relawan Gerakan Mengajar Pemuda Daerah Mengabdi (Gema Pandemi) Sektor Kecamatan Ujungloe, .

Hari ini penuh ceria di di kelas itu, Selasa 21 Juli 2020, Kasma mengajak anak-anak untuk belajar di luar ruangan. Bermain sambil belajar. Senyuman indah bermekaran di bibir kecil mereka. Wajah-wajah polos itu sumringah. Ekspresi mereka memberitahu bahwa mereka sedang bersemangat dan itu menggebu-gebu.

"Alhamdulillah.Itulah yang membuat hati menjadi bahagia ketika melihat mereka bisa tertawa lepas." Kata Kasma sembari tersenyum.

Kasma yang memiliki nama lengkap Kasmayani Anwar, S.Pd, M.Pd., ini menuturkan, bagi anak-anak itu mungkin hanya sebuah permainan namun dari semua permainan itu terdapat ilmu yang bisa mereka dapatkan. Semisal mereka dilatih untuk mampu bekerjasama dengan teman dalam kelompoknya. 

"Tertawa lepaslah nak karena inilah masamu untuk bermain.  Kelak jika dewasa itulah yang akan kalian ceritakan kepada teman-teman kalian bahwa hidup kalian indah sewaktu kecil. Karena dihabiskan dengan bermain dan bercanda dengan teman-teman masa kecil kalian. Begitu ucapan saya kepada mereka." Cerita Kasma. 

Kasma menuturkan, setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak akan dilalui tanpa ada yang terlewatkan. Sehingga kelak jika dewasa mereka akan terbentuk menjadi anak yang mandiri dan bijaksana.

"Insya Allah, itu harapan yang saya panjatkan untuk mereka setiap kali menatap mereka belajar dan bermain, dan berdoa semoga setiap hal yang kita lakukan berbuah ibadah dan bermanfaat baik bagi hidup mereka nanti. Sebahagian orang berkata, mengajar anak-anak kecil itu tak mudah dan butuh kesabaran yang luar biasa. Tapi bagiku, itu akan terasa susah kalau kita menganggapnya susah. Mereka tidak nakal. Mereka tidak cerewet. Itulah masanya mereka. Jangan dihentikan ataupun digertak. Masanya dia, kecuali anak sudah berumur 17 tahun ke atas dan masih saja bermain dan berlari-lari maka itu yang perlu ditegur." Urai gadis alumnus S2 dari UNM Makassar ini.

"Kataku setiap hari kepada mereka, semoga bisa menjadi generasi penerus yang jauh lebih hebat lagi, nak..Jika kemauan ada maka apapun yang diinginkan akan terwujud. Teruslah belajar nak.Hari ini mungkin hanya dua kata yang mampu kalian katakan.  Besok menjadi empat kata.  Hari selanjutnya akan menjadi satu kalimat dan bulan depan akan menjadi satu paragraf. Begitupun selanjutnya. Akan bertambah,  lagi, dan lagi.  Meski kita terlahir dari suatu desa yang jauh dari perkotaan tapi punya nyali dan kemauan yang tinggi sehingga punya daya saing untuk berlomba di luar sana." Kasma bercerita, tetap dengan wajah cerah.

"Kami anak Kampung Kalicompeng, siap menjadi yang terbaik dan mendapatkan juara.  Bismillah. Itu yg harus diajarkan kepada mereka. Kelak jika dewasa harus menjadi kebanggaan kampung halamannya sendiri." Tandasnya.(*).

Editor: Alfian Nawawi


What do I Want To Be?

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Juli 2020 | Juli 19, 2020

Every child has his own dream, if asked, "what is your dream, boy?" Simultaneously the answer is different. But it must be explained to them that there are many professions or occupations. Most children only aspire to become police officers, soldiers and teachers. Although there are still many other professions out there that they don't know about. Because what they see in their daily lives is what they want.

Today I give them a little understanding by asking what their hobbies or talents are like. One of them answered. His name is Raihan Al Zahra. "I love to draw and at home there are many of my drawings." She said.

Since long ago, indeed I often saw the results of this child's drawing, he not only drew houses but every place or object he saw and the results were good.

I asked again, "So do you like to draw, son?" He replied, "Yes, I really like it, if I draw I'm very happy."

I said, "It needs to be improved later. Sharpen your talents and interests. Hopefully someday you can become a successful person. And there is a profession called an architect. People who are good at drawing and can get a lot of money from drawingDia terlihat bingung dan pasti bertanya-tanya,  apa itu arsitek karena baru dia dengarkan.

He looked confused and must have wondered what an architect was because he had only just heard this type of profession.

That is why we must introduce to them that there are many professions or jobs out there. Must work according to our talents and interests too.

That is Kasma's experience today. He is a mentor of Free Learning Classes in Balong Village, Ujungloe Sector, Regional Youth Teaching Services Movement or Gerakan Mengajar Pemuda Daerah Mengabdi (Gema Pandemi).(*)



This Girl Has a Cool Way to Teach

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 16 Juli 2020 | Juli 16, 2020

The call resounded and reverberated but without sound. Can only be heard by the owner of the heart room where the sound of the call was thumping. People often refer to this type of calling as "devotion." Like a call to Kasma. She is a girl who teaches children in Balong Village, Ujungloe District, Bulukumba Regency, South Sulawesi.

The Teaching Regional Youth Teaching Service (Gerakan Mengajar Pemuda Daerah Mengabdi) or Gema Pandemi is a project of service for the youth of Bulukumba in the midst of the Covid-19 pandemic. Born from a sense of concern and unrest so that Kasma was convinced that he was one of the people who were called to sweat to work together to educate Bumi Panritalopi.

Pandema's echoes moved to touch the education sector which was also affected by the disaster effect of covid-19, in addition to the health and economic sectors. His presence is expected to be able to ease the burden of thoughts, regulations and policies of the Government of the Regency of Bulukumba. For Kasma, this condition is a shared responsibility.

"All elements of society can take steps to involve themselves with their abilities and abilities." Kasma said.

Kasma as a mentor always innovates in teaching. In dealing with these children, he always tries to find their talents and interests first.

"What children need in the future is no longer just smart but children who have skills. I also accustom them to time discipline. So that they have good time management from an early age. Can place when study time and when play time. I change the learning method every day so that younger siblings don't get bored studying. The most difficult thing in teaching a child is to grow his will or mood. If they are happy at the beginning of the lesson, which of course to the end he is excited. " Kasma parsed the explanation.

One interesting material is Kasma every day I ask the children in her class to take turns appearing in front of her friends. Initially maybe just introduce yourself. After that, he told his experience when he woke up to go back to sleep at night.

"The concept is simple, ask children to do it many times not to train him to be able to talk in front of his friends but to train them to appear in public and not be shy anymore. Because if they get used to it eventually they will. " He said. (*)


Jaka Timbal

Posted By Alfian Nawawi on Rabu, 15 Juli 2020 | Juli 15, 2020

Jaka Timbal tidak lahir di Pulau Jawa, melainkan di Bulukumba. Entah pada abad ke berapa Jaka Timbal mulai muncul di jazirah selatan Pulau “Sule’bessi” atau Sulawesi atau Celebes kata orang bule.

Entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah “Jaka Timbal”.Sependek pengetahuan saya, ia bukan idiom yang lazim. Namun ia sekali-sekali muncul sebagai penyegar obrolan dan candaan kaum muda terkait pembahasan seputar kawin-mawin.

Jaka Timbal adalah akronim dari “Janji Kawin Timo’-Bare’ Labe’si.” Perpaduan kata yang cukup unik antara Bahasa Indonesia dan Bugis.

Kata “Timo’-Bare” adalah dua frasa yang disatukan, artinya: “Kemarau-Hujan.” Menunjukkan dua musim. Sedangkan “Labe’si” artinya: “tenggelam” yang bersinonim dengan “hilang, musnah, raib.” Dengan demikian terjemahan bebasnya adalah: janji kawin yang tinggal janji seiring pergantian musim kemarau dan hujan.

Agaknya Jaka Timbal lebih sering digunakan sebagai bahan candaan oleh seseorang terhadap teman akrabnya. Dengan syarat khusus, temannya adalah seseorang yang masuk kategori playboy dan menebar janji manis kepada banyak gadis di mana-mana.

Ada pula yang kerap menggunakan istilah Jaka Timbal kepada temannya yang bukan playboy. Melainkan memang belum berniat menikah meskipun sudah mapan.

Pada era 90’an istilah Jaka Timbal sangat populer di radio, khususnya di Bulukumba. Ada kesan lucu bagi para pendengar radio setiap mendengarkan istilah itu diucapkan penyiar.

Jaka Timbal bisa jadi lahir dalam atmosfer ketidakberdayaan kaum muda yang sedang bergairah dalam cinta namun belum punya modal untuk berumahtangga. Jaka Timbal hanya bisa muncul di antara orang-orang yang sudah sangat akrab. Ia tidak bisa muncul begitu saja dalam situasi panas atau konflik. Sebab bisa memancing dunia persilatan. Bisa terjadi “baku tobok.”

Begitulah, Jaka Timbal adalah idiom yang menghibur dalam canda. Di lain sisi ia mencerminkan betapa kerasnya kehidupan, khususnya dunia asmara muda-mudi.

Kalau sudah mampu berumahtangga jangan kelamaan jadi Jaka Timbal. Itu saja.(*)

Pustaka RumPut, 29 Mei 2020 

Tulisan saya ini sebelumnya dimuat di kolom LaCapila situs JalurDua.Com


Samanna Mabbau Bembe

Tidak ada ungkapan dalam Bahasa Bugis yang lebih menyebalkan dibandingkan: “Samanna mabbau bembe.” Artinya: “Seperti bau kambing.” Biasanya ungkapan ini kerap dilontarkan oleh orang tua kepada anaknya yang malas mandi.

Di luar rumah, dalam ruang sosial Bugis-Makassar, ungkapan menyebalkan itu menjadi bahan guyonan ketika ada seseorang malas menjaga kebersihan. Badannya “sakkulu” alias bau. Bukan hanya sebatas tubuh dan pakaian. Ungkapan itu juga merambah kondisi tempat tinggal.

Pada sisi verba, lagi-lagi kambing menjadi korban. Selain diidentikkan dengan bau tidak sedap, kambing pun dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan untuk menciptakan ungkapan “kambing hitam.”

Bayangkan saja seandainya kambing berdemo menuntut pengembalian nama baik spesis mereka. Untung saja sejauh ini kambing tidak punya hasrat untuk berdemo. Bahkan tidak seekor pun yang berbakat jadi korlap aksi unjuk rasa. Bukan karena kambing tidak doyan nasi bungkus. Mereka selama ini asyik-asyik saja. Tidak peduli ungkapan-ungkapan merugikan yang diciptakan manusia.

Barangkali kambing sudah sejak dulu memaklumi ulah manusia dalam “kekerasan verbal.” Jika kepalanya pening sehabis makan daging kambing, manusia juga kerap menyalahkan kambing.

Persoalan kebersihan yang diabaikan dan kotoran nyatanya bukan cuma dimonopoli kambing. Peradaban manusia justru lebih parah. Tahukah Anda? Kebersihan yang diabaikan juga pernah menjadi ciri khas kehidupan Eropa.

Dalam buku “Sumbangan Peradaban Pada Dunia”, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani melukiskan betapa manusia Eropa terbiasa tidak mandi dalam satu tahun kecuali satu atau dua kali saja. Mereka sampai mempunyai keyakinan bahwa kotoran-kotoran yang melekat di tubuh dan pakaian mereka adalah berkah dan memberikan kekuatan pada tubuh.

Dalam suasana itu, Islam datang dengan memerintahkan kaum muslimin bersuci, mewajibkan mandi. Islam menganggap tubuh mereka tidak bersih kecuali dengan mandi dan tidak boleh shalat kecuali dengan wudhu yang dilakukan 5 kali dalam sehari.

Orientalis Jerman Sigrid Hunke (1913-1999) melakukan studi banding antara peradaban Islam pada saat itu dan kondisi bangsa Eropa. Ia mengatakan bahwa ahli fikih Andalusia, Syaikh Ath-Tharthusyi saat berkeliling di negara-negara Eropa dikejutkan dengan fakta mencengangkan.

Syaikh Ath-Tharthusyi berkata, “Selama-lamanya kamu akan melihat mereka itu kotor. Sesungguhnya mereka tidak membersihkan diri mereka dan tidak mandi kecuali satu atau dua kali dalam setahun dengan air dingin. Adapun pakaian mereka tidak mereka cuci setelah mereka pakai hingga pakaian tersebut menjadi kain yang kumuh dan rusak.”

“Samanna mabbau bembe” tetap lestari sampai hari ini. Lantaran masih banyak manusia yang tidak mengindahkan standar kebersihan. Barangkali itu pula penyebab sehingga manusia rentan terkena pandemi. Sampai-sampai harus kembali diajarkan cara cuci tangan yang benar.(*)

Pustaka RumPut, 31 Mei 2020 


Tulisan saya ini sebelumnya juga dimuat oleh situs JalurDua.Com dalam kolom LaCapila


Sudah Terlambat Ganyang Neo-PKI Melalui Cara Konstitusional

Posted By Alfian Nawawi on Selasa, 14 Juli 2020 | Juli 14, 2020

Di bumi, komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi. Sejarah kegagalannya hanya terletak pada sistem ekonomi: sosialisme. Sebab itulah RRC digdaya, Korea Utara tetap ada. Bahkan komunisme yang paling klasik pun masih mengepul-ngepul dari cerutu negeri Kuba. Fidel Castro dan Che Guevarra masih “hidup” dalam kenangan kolektif kaum komunis Amerika Latin terkait heroisme.

Sebagai ideologi, rupanya komunisme hanya berani bertarung pada tataran “agama sebagai candu” dan “utopia proletariat.” Selebihnya, terutama sistem ekonomi global, komunisme mengibarkan bendera putih pada kapitalisme. Satu-satunya kelebihan komunis yang bisa dibanggakan hanya nasionalisasi aset.

Setiap ideologi memiliki “nabi-nabi”, tak terkecuali komunisme. Begitulah, kenapa Mao Zedong atau Stalin dan lainnya itu masih dipuja. Komunisme di Indonesia juga punya “nabi-nabi.” Musso yang gagal atau DN Aidit yang gegabah itu, jelas menyodorkan referensi pengalaman berharga kepada para pelanjutnya.

Mengambilalih kekuasaan negara dengan cara militeristik sangat mustahil. Menjelang gestapu 1965, kiriman ribuan senapan dari Tiongkok tidak lebih dari sekadar eksperimen Peking. Komunisme punya kelebihan pada strategi pembacaan gejala dan percobaan. Komunisme di Indonesia hanya bisa bangkit manakala mampu masuk ke dalam sistem kekuasaan.

Joseph Stalin pun tidak menyetujui memindahkan revolusi China ke Indonesia. Dalam artikelnya, “Stalin and the Revival of the Communist Party of Indonesia”, yang dimuat di jurnal Cold War History (Vol. 5, No. 1, February 2005: 107-120), sejarawan Larissa M. Efimova mmengungkapkan hasil penelitiannya terhadap berbagai dokumen yang ditemukan dalam arsip milik Joseph Stalin (1878-1953), pemimpin besar Soviet.

Berdasarkan penelusuran Efimova, dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya menolak pendapat sarjana terdahulu, yang menyatakan bahwa Moskow tidak menaruh perhatian terhadap PKI.

Stalin punya peran langsung dalam proses pematangan program baru bagi PKI, yang tengah dirumuskan tokoh-tokoh PKI sendiri maupun bekerjasama dengan para tokoh Partai Komunis Cina (PKC).

Reaksi Stalin, dengan jelas bisa dilihat sikapnya terhadap PKI dan atas proposal para pemimpin komunis Indonesia dan Cina. Catatan pertama Stalin berkaitan dengan tugas pokok PKI, yang berfokus pada perlunya menelanjangi kepalsuan kemerdekaan Indonesia. “Dan bagaimana dengan persoalan agraria?” Kata Stalin.

Stalin menandai kata-kata dalam proposal bersejarah itu tentang perlunya “revolusi bersenjata melawan kontrarevolusi bersenjata” dan “penciptaan tentara pembebasan-nasional yang kuat dan setia.” Pada bagian yang memaparkan perlunya “mengusir semua kekuatan imperialis Belanda, Amerika, dan Inggris dari Indonesia”, Stalin menambahkan: “Nasionalisasikan perusahaan-perusahaan mereka!”

Mengenai proposal tentang “penggulingan dominasi kaum reaksioner dalam negeri yang menjadi antek-antek imperialis dan digantikannya mereka oleh pemerintahan koalisi demokratis”, Stalin berseru: “Salah!” Stalin mengajak mereka untuk “bergabung dengan Uni Soviet, Cina, dan negara-negara demokrasi rakyat.”

Bagi Stalin, tujuan PKI tetaplah kabur. Di bagian kata-kata “memimpin revolusi sampai tujuan tercapai”, dia menulis sebuah pernyataan: “Maksudnya apa?” Ia menekankan pentingnya menguasai cara-cara kerja ilegal dan setuju pada ajakan untuk secara legal “melakukan aktivitas parlementer di semua bidang”, seraya berkomentar: “Benar!”

Rupanya “amanat Stalin” barulah diiimplementasikan dengan rapi oleh generasi pelanjut PKI dan berhasil mereka terapkan sejak orde baru runtuh. Penetrasi dan pressure atas nama reformasi-demokrasi dan HAM akhirnya berbuah manis. Para tapol eks PKI langsung menghirup udara kebebasan.

Tidak hanya sampai di situ. Melalui desakan ke MK, anak cucu keturunan eks PKI akhirnya dibolehkan ikut memilih dan dipilih sebagai legislator. Sebagian lainnya berhasil menduduki jabatan strategis seperti kepala desa, lurah, camat, dan bupati. Bahkan pos-pos strategis di pusaran elit pemerintahan.

Agak aneh memang ketika rakyat terutama umat Islam baru tersentak. Mereka baru move on ketika berhadapan dengan fakta kemunculan “produk-produk” berbau khas komunis yang datang dari lingkaran elit kekuasaan dan parlemen.

Jika RUU HIP yang bermasalah itu digugat oleh umat Islam, maka itu baru merupakan awal perbenturan nostalgia. Di sana terdapat trauma sejarah yang selalu ikut bicara. Umat islam dipastikan tidak mau kecolongan tiga kali.

Komunisme memang selalu banyak belajar dari sejarah. Anak cucu keturunan PKI yang tetap mengusung ideologi komunisme ternyata tidak berangkat dari gerakan sporadis. Mereka terorganisir dengan baik. Mereka jauh lebih cerdas dibanding para pendahulunya. RUU HIP adalah salah satu buktinya.

Komunisme tidak pernah gagal sebagai ideologi, termasuk di Indonesia. Mereka luar biasa sabar mencari celah di berbagai rezim dan sistem. Kepercayaan diri mereka semakin kuat ketika berhasil menjadi “Mak Comblang” yang efektif antara pemerintah RI dan RRC. Dan memang hanya RRC yang setia menjadi “kekasih abadi” bagi PKI dan neo-PKI. Dan dari titik itu bisa dilihat, umat islam dan umat bergama lainnya di Indonesia sudah sangat terlambat jika harus melawan neo-PKI melalui cara-cara konstitusional.

Ketika neo-PKI mulai bersiap untuk “panen” maka umat islam di dalam perseteruan abadi itu mau tak mau harus meminjam siasat gaya Che Guevarra. Ia sukses mengorganisir kekuatan militer dari kegelapan hutan Bolivia. Namun ini baru permulaan.(*)


Esai ini dimuat pula jauh sebelumnya di Kopi Panas Jalurdua.Com


Bundu-Bundu

Siapakah pemilik atau pewaris kebangkitan nasional? Rasanya, jawabannya untuk skala lingkungan tempat saya bermukim saat ini adalah bundu-bundu. Ia memenuhi syarat yang cukup sebagai jawaban temporer.

Banyak jenis usaha yang masih tegar bertahan di tengah pandemi covid-19. Namun tidak ada yang sedahsyat pola pertahanan bundu-bundu. Mulai pelosok pedalaman sampai gang sempit di kota besar, bundu-bundu masih saja perkasa di tengah badai.

Warung kecil adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia. Para pakar ekonomi memasukkannya dalam kategori UMKM. 

Bundu-bundu bertahan di tengah pandemi lantaran menjadi penyuplai kebutuhan konsumen di lingkungan sekitarnya. Ia identik dengan “garoppo” alias makanan ringan untuk anak kecil. Selain itu juga dilengkapi ragam kudapan, permen, rokok, dan berbagai macam barang-barang keperluan sehari-hari. Bundu-bundu adalah simbol kehebatan ekonomi rakyat. Dia simbol ketangguhan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi.

Dalam pertemuan Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, September 1961, Bung Karno berbagi pendapat mengenai pengertian kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan berarti mengakhiri penghisapan bangsa atas bangsa, yang langsung maupun tidak langsung. Hanya dengan kemerdekaan itu, kita punya kebebasan untuk menjalankan urusan-urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya sesuai konsepsi nasional kita.

Penjelasan Bung Karno secara gamblang membabat argumentasi segelintir orang termasuk di kalangan elite Indonesia bahwa kemerdekaan hanya dimaknai dengan menghilangnya kolonialisme secara fisik. Bagi mereka, perjuangan kemerdekaan sudah selesai dengan adanya pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.

Dalam benak Bung Karno, sekalipun sebuah bangsa sudah memproklamirkan kemerdekaan, bentuk-bentuk kolonialisme lama masih bercokol. Kolonialisme lama, dengan menggunakan jubahnya yang baru, yakni neo-kolonialisme, akan terus menjaga kepentingan-kepentingannya di bekas negara jajahan.

Memasuki dekade 1950-an, faktanya sebagian besar ekonomi Indonesia masih dicengkeram perusahaan-perusahaan asing. Bahkan sebagian besar berada di tangan perusahaan-perusahaan Belanda. Di zaman itu dikenal The Big Five, lima perusahaan Belanda yang sangat dominan, yakni Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry. Sejak saat itulah Bung Karno memulai jargon “Revolusi Belum Selesai”.

Bagi Bung Karno, dekolonialisasi adalah pembongkaran terhadap semua struktur ekonomi, politik, dan sosial budaya yang merintangi kemerdekaan. Dekolonialisasi bukan hanya bergerak di tataran praktis kebijakan, tapi juga mencakup cara berpikir dan mentalitas. Ini termasuk pembongkaran terhadap semua struktur, narasi, dan hirarki yang dipakai kolonialisme untuk memaksakan kepatuhan.

Dalam ekonomi, dekolonialisasi itu mencakup perombakan terhadap struktur dasar perekonomian, yakni dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional-merdeka. Di sini, bukan cuma soal pengambilalihan kapital dan perusahaan asing tetapi merombak struktur perekonomiannya: struktur kepemilikan, orientasi produksi, dan kekuatan produktif.

Sampai hari ini revolusi belum selesai. Orang-orang sibuk berbelanja di etalase ritel milik kapitalis sambil memposting di akun medsosnya tentang Hari Kebangkitan Nasional. Sementara itu bundu-bundu milik tetangga kita tetap menganga lebar.

Pustaka RumPut, 20 Mei 2020.


Esai ini sebelumnya dimuat di kolom Kopi Panas JalurDua.Com


Tidak Usah Jaga Jarak

Pada sebuah lorong sempit dan kumuh di sebuah kota. Warganya yang tidak cukup 30 KK membutuhkan grup WhatsApp untuk saling berinteraksi. Jagad virtual memungkinkan seluruh penghuni lorong bisa berbagi informasi apa saja dalam hitungan detik. Di sanalah ruang tempat link-link berhamburan entah dari mana saja. Di sana mudah ditemukan cerita-cerita konyol, meme yang tidak lucu, hingga sejuta keluhan khas kaum urban.

Sedikitnya dalam dua puluh tahun terakhir interaksi sosial kita sudah berjarak begitu jauh. Jagad virtual memungkinkan semua perihal di sekitar kita hingga belahan dunia lainnya cukup diletakkan dalam android. Benda itu masuk dalam list primer di rumah kita. Ada banyak kasus orang bisa lupa makan ketika asyik dengan gadget. Benda ini sudah setara atau bahkan lebih penting dibanding beras.

Benda ajaib kecil tipis itu cukup dibawa dalam saku celana. Bahkan bisa dibawa ke dalam kakus. Manusia milenial mampu mengkritik seorang calon bupati bahkan ketika dia sendiri belum sempat cebok. Seorang remaja jaman now bisa menghujat Bill Gates dan Rockefeller sementara pipisnya belum selesai.

Kita sudah terbiasa berjarak dengan teman semeja, sekantor, sejalan, bahkan serumah. Gadget telah mengambil alih sebagian besar waktu kita termasuk saat bekerja. Namun untungnya, kita bisa langsung menolong tetangga yang lagi terkunci di kamar mandi karena kita menyaksikan dia meminta pertolongan dalam siaran langsung di akun Facebooknya. Seseorang bisa mengabarkan kepada dunia melalui video tentang sebuah kasus perundungan. Seseorang di negara lain bisa mengajari kita secara gratis bagaimana cara mengganti resluiting rusak dalam tempo lima menit.

Kita sudah begitu lama menikmati physical distancing. Bertemu teman-teman lama dalam lima jam di kafe kita habiskan empat jam memelototi gadget. Cukup satu jam untuk hahahihi.

Barangkali ada enaknya juga pandemi covid-19. Terlepas apakah wabah itu hasil rancangan Rockefeller atau murni kecelakaan dari sebuah laboratorium atau bagian dari perang asimetris atau perang hibrida, yang jelas sebagian kita akhir-akhir ini benar-benar mulai memahami fungsi rumah yang sebenarnya.

Kita mulai berpikir tentang kebiasaan kakek nenek kita dahulu. Betapa pentingnya bagi mereka memajang gentong berisi air di depan rumah. Mereka suka menjaga wudhu. Mereka menyuruh kita diam ketika adzan terdengar. Mereka marah melihat kita masih bermain di luar rumah saat maghrib tiba. Biasanya mereka langsung menyuruh kita membuang kembali uang logam di tangan kita padahal baru saja kita pungut dari selokan.

Sejauh ini teknologi manusia belum menemukan “time machine”. Namun untuk mengembalikan waktu silam sesungguhnya mudah saja. Cukup kita kembali merapatkan jarak dengan rumah masa lampau. Di sana tempat kearifan lokal pertama kali dipraktekkan, kitab suci diajarkan, dan penghuninya memiliki kekebalan terhadap virus apapun tanpa vaksinasi.

Pustaka RumPut, 19 Mei 2020

Esai ini sebelumnya pernah dimuat di kolomKopi Panas situs Jalurdua.Com 


Kedaulatan Ustadz

Setiap predikat di tengah sosial membutuhkan legitimasi. Salah satunya adalah ustadz. Setiap ustadz kerap kita elu-elukan keilmuannya lantaran dianggap bisa menjadi kamus berjalan. Kamus hidup bagi persoalan-persoalan agama. Pintu ilmu untuk mengorek seputar fiqih, syariat, dan konversi-konversi yang menyertai ‘keustadzan’ seseorang di tengah kita.

Lalu kita pun terbiasa mengelu-elukan simbol-simbol. Kadang teramat aneh memang jika seseorang yang kita sepakati sebagai ustadz mengecewakan dalam hal penampilan. Standar fisik seorang ustadz tidak pernah jauh-jauh dari peci, kopiah, baju koko, gamis, dan sarung. Kalau perlu dlengkapi jenggot.

Sebagian kita mungkin toleran terhadap penampilan ustadz. Kita lebih merujuk kepada rutinitas ibadah seseorang yang kita sepakati sebagai ustadz dibandingkan penampilan kesehariannya.

Ketika seorang ustadz melanggar pakem-pakem sosial yang tidak tertulis itu maka keustadzannya akan mengalami resistensi publik. Setidaknya kekecewaan. Sebab begitulah kita sejak jaman baheula. Mentradisikan kulit luar sebagai acuan utama. Kita lebih sering menyenangi cover dibandingkan isi.

Di masa kini siapapun bisa jadi ustadz. Meskipun dia hanya alumni S1 perguruan tinggi. Meskipun ilmunya tentang Islam masih sangat hijau sebab hanya diperoleh dari buku-buku dan pesantren. Itupun yang dikuasainya hanya dasar-dasar Ilmu Fiqih dan sedikit ilmu hadits.

Merujuk kamus Bahasa Arab, ustadz adalah orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, seseorang disebut Ustadz apabila dia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu atau bidang studi. Dalam sastra Arab seperti ilmu nahwu, shorof, bayan, badi’, ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fiqih, tafsir, hadits. Istilah ustadz merujuk pada dosen atau ahli atau akademisi yang memiliki kepakaran di bidang tertentu. Ustadz setara dengan professor kalau di negeri kita.

Banyaknya ustadz di lingkungan sosial kita tentunya sangat menyenangkan. Dan kitalah yang mendaulat mereka menjadi ustadz. Mendaulat tanpa melalui uji 12 bidang studi. Namun itu ternyata memang jauh lebih baik dibandingkan ketika di sekitar kita banyak preman atau begal. Masalah seriusnya adalah ketika ada seorang begal suka berpenampilan ustadz. Dia bisa lolos dengan mudah sebagai ustadz. Akibat itu tadi, kita punya hobi mendaulat.

Di dunia maya pun setiap netizen bisa jadi ustadz. Sekali dua kali memposting ayat ataupun hadits maka netizen lainnya akan segera mendaulatnya sebagai ustadz. Di depan rumah kami sering lewat seorang anak muda lulusan pesantren. Dia rajin ke masjid. Biasanya kami menyapa atau berseru penuh keramahan selaku tetangga, “Singgahmaki’ ustadz!” Dia pun menjawab, “Iye puang, ke masjidka dulu ye.”

Begitulah, betapa menyenangkannya jika ada atau banyak ustadz di tengah-tengah kita. Para ustadz akan selalu aman dan berdaulat di tengah lingkungan sosial yang juga berdaulat.(*)

Pustaka RumPut, 16 Mei 2020. 


Jauh sebelumnya tulisan ini pernah dimuat oleh kolom Kopi Panas d situs Jalurdua.Com



Burasa Virtual Terbungkus Papparampa

Manusia Bugis-Makassar meletakkan burasa di meja makan bukan hanya di hari lebaran. Burasa terbiasa eksis melengkapi hari lain. Melengkapi coto, konro, bahkan nyoknyang. Berabad-abad dia dibungkus daun pisang dan “papparampa.”

Ketika menemui hari lebaran tanpa burasa secara fisik lantaran halal bihalal pun hanya virtual akibat pandemi, maka manusia Bugis Makassar hanya bisa mencium lekat aroma ketulusan burasa. Dia terpancar dari cahaya cinta orang-orang yang memasaknya.

Keluarga dan tetangga bisa jauh dan dekat. Namun burasa menyatukan segala selera. Sebagaimana ketupat, legese, kampalo, dan lainnya. Di sana kita menikmati gurih dan lezatnya berkumpul dalam ekstase tertentu. Alam menyediakan semua bahannya. Mulai beras pilihan, santan kelapa terbaik, hingga daun pisang yang membungkusnya.

Tidak ada sinonim yang pas dengan kata “papparampa” di dalam kamus mana pun. Selaku perspektif komunikasi kultural-religius, “papparampa” sekilas bahasa basa basi. Namun memancarkan rasa ikhlas dari keramahan perilaku Bugis-Makassar. Idiom lainnya yaitu “pappisabbi”.

Mengutip budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, “Papparampa adalah moral budaya leluhur yang layak dilestarikan untuk memupuk rasa ‘asselessurengeng’ atau ukhuwah atau persaudaraan.”

Sembari bersilaturahim melalui layar android atau pun laptop, kita saling ber-papparampa. “Makanki burasa. Janganki malu-malu.”

Namun papparampa selalu lebih dibanding basa-basi. Sejak dulu tetangga-tetangga kita membawakan berbagai makanan dan buah-buahan sesuai musimnya. Lagi-lagi dibaluri papparampa, “Laoki di bolae manre burasa.”

Pustaka RumPut, 23 Mei 2020


Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat di kolom KopiPanas JalurDua.Com


Lebaran Pernah Tak Berdaun Pandan

Jika lebaran adalah kepulangan yang meriah maka ia memang dirayakan penuh oleh segala partikel semesta. Banyak hati yang mewangi -karena libur lagi- dan sudah tentu musim makanan. Para penjahat pun boleh berlebaran. Hanya pada lebaran semua profesi dan tabiat harus terlibat. Saling bermaafan dan makan-makan.

Orang-orang jauh yang sebelumnya tidak pernah kelihatan akan datang dengan terencana. Bertangkupan dengan pekuburan adalah destinasi spiritual. Maka berziarah adalah perjalanan menenteng do’a-do’a. Lalu irisan-irisan kecil daun pandan bersama bebungaan pilihan menandai setiap makam. Itulah sebabnya sebagian besar manusia nusantara sangat menantikan lebaran. Tidak sekadar untuk jabat tangan.

Barangkali hanya pada lebaran kita memahami makna kangen yang kolektif. Padahal nominalnya cuma sekali sampai dua kali setahun. Pertemuan tahunan antara orang-orang yang masih hidup dan yang sudah berpulang itulah yang dihiasi daun pandan. Di meja makan ia membungkus ketupat. Di atas kuburan dianggap setara do’a.

Tumbuhan monokotil dari keluarga pandanaceae itu aromanya wangi. Ia komponen penting dalam tradisi masakan Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara.

Akarnya besar. Memiliki akar tunggang yang menopang tumbuhan ini bila telah cukup besar. Daunnya memanjang seperti daun palem dan tersusun apik.

Salah satu tradisi tertua itu adalah menebar bunga dan irisan daun pandan di atas kuburan. Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj, dijelaskan oleh Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini bahwa disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau atau masih basah di atas kuburan. Begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah. Tidak boleh siapapun mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnya.

Daun pandan di Asia Tenggara rupanya memenuhi syarat sebagai pengganti pelepah kurma. Kitab Mughni Al-Muhtaj menerangkan haditsnya. Tentang sekali waktu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang basah dan membelahnya menjadi dua bagian. Lalu menancapkan masing-masing satu belahan pada dua kuburan. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau lakukan itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Supaya dengan perantara pelepah kurma tersebut, kedua mayit itu diringankan dari siksa selama kedua belahan pelepah kurma itu belum kering.”

Pelepah kurma yang masih basah -sebagaimana tetumbuhan basah lainnya- sesungguhnya bertasbih kepada Allah. Inilah alasan Rasulullah memilih pelepah kurma yang masih basah, bukan yang kering.

Para ulama mengqiyaskan atau menganalogikan pelepah kurma dalam hadits tersebut dengan segala macam tumbuh-tumbuhan yang masih basah. Lalu kita pun tak asing pula dengan kebiasaan orang-orang tua dahulu menanam pohon kamboja di samping kuburan.

Aroma daun pandan akan menyerap bau tak sedap. Zat flavonoid dan saponin dalam daun pandan adalah benteng terkuat menahan gempuran bakteri penyebab pembusukan. Orang-orang jauh yang datang dengan rencana nyekar tidak akan merugi. Monokotil itu lestari di kampung. Meskipun tumbuh dekat selokan. Tinggal dipetik, dibersihkan, dan diiris kecil-kecil. Bagian daun yang agak kaku dibentuk menyerupai semacam cungkup. Lengkap dengan tiga corong kecil yang dilubangi.

Daun pandan selalu banyak bertumbuhan. Namun lebaran kali ini bagi banyak orang jauh adalah lebaran tanpa daun pandan. Mereka tidak akan datang sesuai rencana. Padahal PSBB sudah dilonggarkan. Atau jangan-jangan mereka belum juga menerima THR?

Pustaka RumPut, 24 Mei 2020


Tulisan ini pernah pula dimuat oleh kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Anyelir Masih Melacur

Namanya, sebut saja Anyelir. Bukan Mawar. Perempuan cantik seperti dia sangat berlimpah di negeri ini. Hanya nasib mereka yang beragam. Apakah para perempuan seks komersil juga terdampak pandemi covid-19? “Ya, kami salah satu kaum pekerja yang terdampak dan terpukul!” Kata Anyelir.

“Bukankah kalian adalah kaum yang memang sejak dulu menggantungkan nasib pada pekerjaan pukul memukul?” Kata saya.
“Ah mas bisa aja,” sahut Anyelir sambil tertawa.


Idiom pelacuran sangat membumi di negeri ini. Bahkan sampai merangsek penggunaaannya ke ranah lain. Pada akhir dasawarsa 1950’an dan awal 1960’an ramai diperbincangkan apa yang disebut ‘pengkhianatan intelektual’, yang dipertajam dengan istilah ‘pelacuran intelektual’. Kaum intelektual disarankan agar mengambil jarak dari kekuasaan dan penguasa, agar tidak mengkhianati kebenaran dan keadilan yang mereka perjuangkan. Walhasil banyak intelektual ambil jarak dari kekuasaan, sehingga terselamatkan dari pengkhianatan revolusi. Tetapi sekarang, ramai-ramai kaum terpelajar merapatkan diri ke barisan kekuasaan.

Suatu malam yang luang, saya sempatkan mengobrol dengan Anyelir secara virtual. Banyak kisah menarik yang dia bisa paparkan dan itu bisa berarti sia-sialah makanan sisa-sisa buka puasa yang saya siapkan. Lantaran banyak obrolannya yang sayang jika dilewatkan.

Anyelir seperti PSK lain pada umumnya, selalu beranjak dari alasan paling klasik, “Faktor ekonomi, mas.” Ketika wabah menyapa dan physically distancing digencarkan maka menurunlah penghasilan Anyelir.

Anyelir seperti perempuan perkasa lainnya tidak kehilangan akal. Dia kini memanfaatkan salah satu platform media sosial yang memungkinkan dirinya bisa menjajakan diri secara online. Mulai booking hingga sekadar video call sex di mana para peminatnya tinggal mentransfer pulsa bahkan uang ke rekening.

Namun media sosial bukan tempat aman. Di sana banyak bertebaran akun fake yang kerap melakukan penipuan. Mereka inilah yang juga sangat merugikan akun-akun PSK yang asli. Modusnya biasanya memajang foto profil cewek sexi dilengkapi video vulgar dengan deskripsi bisa bo (booking) ataupun video call sex. Peminat harus mentransfer DP dalam jumlah tertentu. Setelah transfer berhasil si penipu pun menghilang tanpa jejak. Besoknya muncul lagi dengan akun baru.

Apakah Anyelir tidak rindu kampung halaman? Tentu saja rindu berat dan Anyelir harus bisa menuntaskan impiannya mengumpulkan uang banyak agar bisa segera membuka usaha dan hijrah dari pekerjaannya yang sekarang.

Anyelir bisa saja pulang kampung.Namun pandemi membatasi keinginannya. Anyelir sesungguhnya beruntung. Dia memang melacur dan masih tetap melacur. Pendidikan yang tidak tinggi dan jauh dari kemapanan secara turunan justru menghindarkan Anyelir dari perbuatan melacurkan intelektualisme.(*)

Pustaka RumPut, 13 Mei 2020

Tulisan ini pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Oligoi dan Arkhein Kembali Berpaket di Pilkada

Kepada dunia di masa depan yang selalu berubah-ubah, Aristoteles di masa silam pernah mengirimkan sebuah pesan penting, “Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya.” Akhirnya hari ini kita melihatnya sebagai suguhan yang lazim mulai hulu sampai ke hilir.

Ilustrasi (Sumber: Katta.Id)
Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh “oligoi” yaitu segelintir orang, tetapi memiliki pengaruh dominan dalam “arkhein” yaitu pemerintahan. Si Oligoi dan Si Arkhein inilah tipe paling klasik dari suatu kekuasaan.

Oligarki tidak pernah menampik bahwa dia adalah cucu kandung tersayang dari kolonialisme. Oligarki juga identik dengan tangan khas bajak lautnya itu, kait tajam di ujung lengan besi. Kita menyebutnya kapitalisme.

Di belahan bumi manapun saat sempat dan betah menggurita maka oligarki selalu menguasai alat produksi, sumber daya, dan bahan baku. Untuk melestarikan monopoli dengan memakai tangan-tangan ajaib di jantung kekuasaan maka oligarki mendesain mentalitas kacung.

Mentalitas kacung bisa jadi bentuknya yang paling ril yaitu berupa ketergantungan sosial. Mentalitas ini dirawat sedemikian rupa. Dia dipupuk dalam bentuk bantuan berupa uang, sembako, dan semacamnya. Dia juga bisa berbentuk money politic. Untuk memelihara kroni-kroni maka bentuknya berupa bancakan.

Mentalitas ini dipelihara bagai microchip yang dibenamkan dalam-dalam di alam bawah sadar rakyat. Dia diprogram sesuai kebutuhan. Ketika musim kampanye tiba dia disetel agar rakyat melihat bahwa pilkada itu adalah pundi-pundi. Para calon bupati adalah nominal dalam kalkulus. Tim sukses adalah rupiah. Maka hari pencoblosan pun identik dengan semua itu, uang!

Ketika pemimpin telah duduk di kursi kekuasaan, microchip tetap disetel sesuai kebutuhan. Rakyat pun tetap memandang pemimpinnya dalam bingkai nominal, angka-angka fulus.(*)


Esai ini jauh sebelumnya pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com



Kota yang Bergerak Maju adalah Kota yang Diserbu Banjir

Kota yang bergerak maju adalah kota yang diserbu banjir. Tata kota hari ini adalah warisan terbaik dari beberapa pemerintah daerah sebelumnya.

Kota yang diimpikan harus menjadi hunian yang nyaman buat semua orang. Impian itulah satu-satunya alasan bagi setiap pemerintahan yang dapat giliran memegang wewenang. Kesempatan pun diberikan untuk para pengembang. Sebagian di antaranya tidak terkendali.

“Keanekaragaman hayati penting bagi pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ekonomi dalam pembangunan harus melestarikan sumber daya alam dan merawat keanekaragaman hayati,” kata Prof. Emil Salim, berkali-kali. Keanehan pada kita setiap mendengar kalimat beliau adalah karena kita enggan disebut tuli.

Rakyat, pemerintah, dan para pengembang adalah bukan para penemu. Kita tidak memiliki warga sekelas Al Farghani, misalnya. Dia seorang astronom dan insinyur muslim pada abad 9 Masehi. Al Farghani telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Banjir bisa diprediksi.

Itulah mengapa komedi banjir biasanya terdiri dari aksi menuding sungai dan curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir. Para penuding juga paham bahwa sungai bukan parit atau kanal atau got. Yang untuk mengalirkan air banjir atau genangan air secepatnya.

Ternyata banjir memang bukan hanya terdiri dari air. Ia pun mengajak serta meme, humor aneh, dan komedi tidak lucu. Bukankah banjir adalah juga makanan gurih bagi para pendengung?


Esai ini pernah dimuat di kolom Kopi Panas Jalurdua.Com


Corona, Altruisme, dan Varietas Penyakit Sosial

Salah satu nutrisi penting bagi peradaban adalah altruistik. Dia vitamin sosial. Memberi sedekah ataupun pelbagai bentuk bantuan kepada orang lain -khususnya kaum dhuafa-sering dianggap sebagai tindakan altruistik. Dan altruisme tidak pernah mengenal sistem balas budi.

Altruisme juga adalah prinsip dan praktik moral yang memperhatikan kebahagiaan manusia atau hewan lain, yang menghasilkan kualitas hidup baik materi maupun spiritual.

Altruisme dapat menjadi sinonim dari keegoisan. Altruisme pun diajarkan oleh nyaris semua agama di dunia.

Jika corona telah melahirkan berbagai tindakan altruisme di tengah masyarakat maka corona pun melahirkan varietas penyakit sosial. Penyakit sokta alias sok tahu mungkin sudah biasa. Mendadak banyak netizen berganti profesi menjadi pakar kesehatan, dokter, filsuf, sampai ustad. Sebagian di antara mereka mungkin saja berniat baik. Maksudnya ingin saling mengingatkan.

Wilayah hati tentunya adalah juga “wilayah Ilahi”. Kadar keikhlasan
Setiap orang tidak dapat ditakar melalui postingan di medsos atau tindak tanduk apapun.

 Yang sedang mewabah akhir-akhir ini juga penyakit “tidak seru tanpa dokumentasi.” Altruistiknya berupa adegan menyemprotkan disinfektan di kompleks perumahan. Namun tidak segera dimulai sebelum wartawan yang sudah dikonfirmasi sebelumnya telah datang ke lokasi. Bagi-bagi masker dan sembako tidak akan dimulai kalau belum ada kamera hp yang siap. Kalau hp lagi lowbet maka aksi sosial ditunda beberapa puluh menit, menunggu hp dicas dulu.

Penyakit sosial itu pun dibalas oleh munculnya penyakit sosial lainnya. Ada netizen yang memposting, misalnya berbunyi, “Menyumbang kok pamer, sih” padahal si netizen sendiri tidak pernah sama sekali menyumbang. Dia memang mungkin tidak punya tradisi altruisme.

Aksi-aksi sosial yang divisualisasikan kepada khalayak melalui berbagai media, di satu sisi bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal sama bahkan lebih. Dan itu sah-sah saja. Sepanjang tidak dibaluri tendensi tertentu. Semisal tendensi politis.

Satu-satunya jalan tengah bagi para aktivis sosial melakukan aksi amal adalah tetap bergerak dengan jalannya masing-masing. Dengan atau tanpa dokumentasi untuk publik. Sedangkan bagi penyinyir maka harus menempuh jalan: mencoba ikut beraksi dan mencoba sama sekali tanpa alat dokumentasi apapun. Sebab keikhlasan adalah wilayah hati dan tidak dapat ditakar kadarnya oleh orang lain.

Sebenarnya ada banyak kasus di mana para dermawan awalnya tidak bermaksud mempublikasikan aksinya. Namun mereka tiba-tiba terendus oleh wartawan. Ada pula yang awalnya tidak mau foto bersama namun si penerima sumbangan yang justru ngotot foto bersama.

Kadang yang kita anggap sebagai penyakit sosial seperti pamer dan semacamnya mungkin sangat mengusik pikiran. Namun adalah juga penyakit sosial yang parah jika kita tidak bertabayyun dan berpikir positif pada hal-hal yang nampak.

Semisal postingan makanan ataupun minuman. Mungkin saja pemilik postingan tidak bermaksud pamer atau sengaja bikin ngiler orang lain. Siapa tahu dia hanya bermaksud untuk memberitahu kita bahwa ada sejenis cemilan yang paling mudah dibuat sendiri selama tinggal di rumah saja.

Oh ya, Anda sendiri mengidap penyakit yang mana? Kalau saya, jujur saat ini sedang mengidap penyakit “menulis apa saja.” Lebih banyak di rumah saja sebab di luar badai corona belum usai. (*)

Pelajaran moral: penyakit terparah dari kebanyakan politisi adalah gelisah luar biasa ketika nomor kontak wartawan hilang di hp-nya.


 Dimuat jauh sebelumnya di kolom Catatan Tumit LaCulleq BeritaBulukumba.Com


Retornous A La Nature!

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

“Retornous a la nature!”, Marilah kita kembali ke alam! Begitu Jean Jacques Rousseau pernah bersuara lantang Kepada peradaban Barat di abad 18. Entah sejak kapan bermula sebagian kita mengakrabi rasa berbahagia turun-temurun dalam menginvasi kota-kota. Lebih separuh pada setiap generasi lahir di rumah sakit. Separuh lagi lainnya justru mati di rumah sakit. 

Ternyata Rousseau tidak mengajak manusia Barat tinggal di hutan dan memakai baju dedaunan atau kulit hewan. Bahkan ia tidak mengajak kita untuk menjadi kaum nudis. Ia merayu kita untuk “Retornous a la nature!”. 

Jauh setelah jaman romantik berlalu. Benarkah ada gejala sebagian umat manusia mulai akrab dengan kalimat “back to nature” atau cuma sekadar jejak vandalisme di tembok kota? Benarkah mereka serius  kembali ke alam? Tanpa bertemu dengan zat kimia apa pun!

Kedengarannya serupa dongeng. Namun teori sekaligus praktik cara bertahan di alam liar kerap diajarkan di televisi dalam dua dekade terakhir.

Robinson Crusoe versi modern. Robinson Crusoe adalah satu-satunya penumpang yang selamat dari sebuah kapal yang ditenggelamkan badai. Crusoe terlempar dan terdampar di pulau tak bertuan. Crusoe pun kembali ke alam. Dia berhasil bertahan hidup bertahun-tahun. Suatu hari sebuah kapal lewat dan menyelamatkannya. Acara-acara survivor selalu berupaya mengulang kisah itu. Satu-satunya alasan kita mencintai teknologi yaitu kemudahan yang ditimbulkannya. Hingga hal-hal sekecil-kecilnya. Mana ada barang di rumah kita yang tidak disentuh teknologi. 


Peradaban kita menyepakati bahan-bahan penyembuh dari alam wajib diproses melalui teknologi. Toh kapsul dan tablet sangat kecil dan ringan. Benda-benda berbahan pengawet itu datang ke rumah kita setelah melewati tiga fase: rasio, empiri, dan teknologi. Jaman romantik pernah berlangsung sebagai reaksi terhadap semua penggunaan rasio  dan empiri. Akal dan indera pengamatan yang digunakan berlebihan memang menumpulkan naluri kemanusiaan. Sejarah punya banyak catatan buruk terhadap peradaban Barat.

Maka jaman romantik adalah juga altar kelahiran seni dan sastra. Dari sana muncul Rousseau, Victor Hugo, Walter Scott, Keats, Shelley, dan Herder. Musik melahirkan Beethoven, Mozart, Schubert, Chopin, dan Bahms. Jaman itu pun menyentuh wilayah teologi dan filsafat. Kemunculan jaman romantik mengisi ruang-ruang kosong manusia Barat yang dahaga mencari kedamaian. Mereka begitu lama ditinggal perasaan, feeling dan intuisinya sendiri. Terlalu lama mereka hidup dalam kalkulasi otak dan pencapaian tujuan hidup yang hanya diisi oleh kebendaan. Dunia akal sungguh membuat tumpul. 

Upaya kembali ke alam justru dilakukan lebih dulu di Timur. Tidak dibutuhkan jaman romantik untuk melahirkan kaum herbalis. Di Timur yang tropik bertumbuhan obat-obat alami. Ia bisa menopang daya hidup manusia.  Dari Timur sampai ke Barat. Di saat dunia gelisah terhadap pandemi covid-19 misalnya, memantik daya inovasi Irawan Paturusi di Makassar. Bahan-bahan alami diraciknya menjadi Jus C-19. Sama sekali tanpa campuran zat kimia. Puluhan pasien positif covid-19 membuktikan dirinya bisa sembuh. Jus herbal itu rupanya membangun imunitas sambil bertempur melawan virus, terutama corona. Soal penguasa mau atau pun enggan meliriknya maka itu bukan hal esensial.

Bagi seorang Irawan, mencoba menyelamatkan sesama memang bukan wilayah bisnis. Tapi menyelamatkan orang banyak dalam jangka panjang juga membutuhkan nafas finansial. Begitulah, obat-obat alami akhirnya harus mendapatkan konsumennya. Para penderita harus membayar untuk kesembuhan. Dan itu sah pula bagi jaman romantik di Barat. Penonton membeli tiket untuk kepuasan batin menonton orkestra dan teater. *** 

Seorang sahabat di Bulukumba memperkenalkan kepada saya minuman kesehatan yang difermentasi dari sari bambu. Beberapa orang yang layak dipercaya mengakui khasiatnya. Sri Puswandi,  pemuda dari Desa Salassae itu bukan penemunya. Dia salah seorang yang meyakini pelestarian resep leluhur di kampungnya akan membuat sehat lebih banyak orang. 

Semasa kecil sampai sekarang, orang-orang di kampung saya mencari buah kunrulu ketika ada seseorang terduga kena gejala tyfus. Dan memang akhirnya sangat jarang mereka mendatangi rumah sakit. Sakit perut dan mencret bisa sembuh dengan air remasan pucuk daun jambu. Sama sekali tidak berbentuk kapsul. Hanya dicampur secuil garam dapur. 

Orang-orang tua dahulu biasanya segera mencari pohon  “tanging-tanging” ketika mendengar anaknya mengerang akibat sakit gigi. Sakitnya benar-benar hilang setelah gigi kita diolesi getah pohon itu. Kita saja yang begitu kejam tidak merawat pohon itu. Giliran orang tua kita sakit gigi, anak-anaknya langsung melompat ke apotek membeli tablet pereda nyeri. Barangkali anak-anaknya tidak mengenal Jean Rousseau.(*)

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di kolom 
Ecofenomena situs KlikHijau.Com

Kantong Celana Anda Memiliki Alat Penghantar Virus Paling Efektif


Dunia tidak mengenal George Floyd sebelumnya. Namun dunia segera menyimak Amerika Serikat yang rusuh berhari-hari di puluhan kota dan negara bagian. Bukan media besar yang pertama kali menghembuskannya, melainkan media sosial. Rupanya informasi adalah juga penghantar virus paling efektif. Ia menjejali android Anda yang bahkan belum Anda keluarkan dari kantong celana.
Varietas virus melalui informasi memadat dalam berbagai platform media sosial. Platform media sosial pencari perempuan prostitusi di sekitar lingkungan kita masing-masing dapat didownload gratis. Begitulah sehingga media sosial adalah juga penyumbang terbesar meningkatnya jumlah pengidap penyakit yang terkait penyalahgunaan kelamin. Belum lagi korban penipuan online, hoaks berantai, akun palsu, provokasi sistematis, dan seterusnya.
WHO memperkirakan jumlah pengidap penyakit kencing nanah akibat seks bebas setiap tahunnya melebihi 250 juta orang. Sementara jumlah pengidap spilis setiap tahunnya mencapai 50 juta orang. Ternyata angka korban covid-19 jauh lebih kecil.
Majalah The Times tanggal 4 Juli 1983 menyebutkan, 20 juta warga Amerika Serikat mengidap penyakit penurunan kekebalan herpes, dan mengumumkan bahwa di Afrika saja 30 juta orang mati setiap tahun dengan sebab penyakit AIDS yang muncul akibat hubungan seks bebas. Apakah Anda sudah punya sedikit bayangan grafiknya pada tahun 2020?
Sedikit yang menyadari bahwa solidaritas juga disebarkan oleh informasi. Solidaritas toh juga membawa serta anarkisme. Puncak kejayaan kaum anarkis adalah instabilitas, kalau perlu secara global. Ribuan hingga jutaan orang langsung terkoneksi di media sosial untuk melakukan aksi. Minimal sebentuk opini.
George Floyd adalah seorang Afro-Amerika. Dan itu sudah lebih dari cukup menjadi alasan meniup api kekisruhan di dunia maya. Rasisme memang tidak pernah hilang. Siapa saja boleh mengutuknya. Para demonstran dan kaum anarko tidak mengenal George Floyd secara personal. Tapi bumbu penyedap itu segera tersaji di jalanan, rasisme!
Koneksi kita di dunia nyata memang sejak lama sudah jauh berkurang. Jauh sebelum pandemi covid-19 menyerang. Sebelum sebagian kita memahami bahwa rumah sendiri adalah surga yang terlupakan.
Bertemu dan bercengkerama dengan sahabat atau keluarga, atau melakukan hobi-hobi mungkin telah lama kita tinggalkan. Bukan pandemi pelaku utamanya. Sejak kita terlalu sibuk dengan era digital dan teknologi informasi maka sekali saja disulut kita bisa mendadak berkumpul merayakan pertemuan beraroma anarki.
Titik awal gerakan bergelombang anti rasisme di AS itu mengusung bendera solidaritas. Namun media-media tidak hanya menayangkan tulisan-tulisan anti rasisme pada spanduk demonstran. Di sana-sini juga berlangsung penjarahan. Rupanya itu juga bahan empuk untuk pemberitaan. Informasi disebarluaskan, orang-orang afro-Amerika dan imigran pun semakin tidak terkendali. Lalu, benarkah aksi-aksi penjarahan hanya merupakan sekadar simbol perlawanan warga kulit hitam dan imigran yang merasa senasib dianggap warganegara kelas dua?
Media-media senada seirama menyebutnya bemula dari cara bekuk yang “tidak biasa” ala seorang polisi di Minneapolis. Sebuah cara “melumpuhkan” yang tidak konvensional mengakibatkan George Floyd meregang nyawa. Dan itulah narasi paling sexi di media.
Jaman digital memudahkan penyebarluasan emosi dengan tingkat frekuensi yang sama. Rasisme, kini kata itu kembali berdengung-dengung. Tidak butuh waktu lama untuk memancing para anti rasial keluar dari sarangnya di Australia, Inggris, Brazil, dan negara-negara lainnya.
Setiap informasi adalah juga bubuk mesiu. Valid atau tidak, fakta atau hoaks, maka kegunaannya sama saja ketika dihamburkan tanpa perhitungan. Ia serupa kanon. Revolusi Prancis yang sangat berpengaruh itu dimulai dari bisik-bisik serius di kedai kopi. Rencana melengserkan Soeharto pada tahun 1990-an didiskusikan sambil makan bakso di kantin-kantin kampus. Banyak kejadian besar dimulai dari hal-hal yang tidak diperhitungkan.
Namun tidak ada yang bisa menyalahkan media online. Sedangkan media sosial punya permakluman tersendiri. Ia punya otoritasnya sendiri sebagai alat berjejaring yang sah bagi keberlangsungan peradaban. Walaupun setiap saat mungkin bisa saling menyesatkan antar pengguna.
Pemicu emosi secara individu biasanya dialami kondisi tubuh yang sedang kurang fit. Begitu pun secara kolektif, kondisi dunia sedang tidak fit.
Stress menjadi pemicu utama dari emosi. Kapitalisme yang menguasai mesin-mesin produksi mengakibatkan kaum pekerja kurang tidur. Kelelahan bisa menyulut emosi. Ketidaknyamanan fisik memicu orang mudah marah. Konsumsi terhadap berbagai macam obat yang mengandung kimiawi itu sekaligus memicu ketersinggungan lebih cepat bereaksi. Dan obat-obat farmasi itu kebanyakan diproduksi oleh mesin milk kapitalis. Sembari mereka pun menyumbangkan industrinya yang besar, media-media mainstream!
Masa pagebluk bisa membuat kita saling baku gebuk. Anehnya, yang paling diwaspadai oleh setiap pemerintahan di dunia biasanya bukan konflik horisontal, melainkan vertikal. Bukankah kebanyakan mereka memang sangat mencintai kekuasaan? Mereka pun senantiasa membutuhkan alat penyampai, media-media mainstream!
Media sosial menjadi semacam katalis bagi perilaku destruktif seperti membanding-bandingkan, cyberbullying, dan pencarian pengakuan. Video perlakuan polisi terhadap George Floyd jelas virus berbahaya. Ia berinkubasi sekaligus menyebar cepat melalui media sosial. Ia membawa serta emosional dan rasa sakit.
Sebuah studi di Inggris yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health menguji dampak psikologis dari media sosial terhadap 1.500 generasi muda. Mereka menyimpulkan bahwa hampir semua media sosial memiliki dampak buruk bagi kesehatan mental. Mulai dari gangguan seperti anxiety (kegelisahan) hingga rasa rendah diri.
Hasil riset tersebut cukup jelas; kasus-kasus depresi semakin meningkat seiiring semakin lekatnya manusia dengan media sosial, dan semakin seringnya kita menggunakan media sosial semakin meningkatnya kemungkinan mendapatkan mood disorder. Hanya saja yang tidak terlihat dari riset tersebut adalah apakah penggunaan media sosial berlebih menjadi penyebab depresi, ataukah orang yang dilanda depresi akan cenderung menggunakan media sosial dengan berlebihan.
Sekali-sekali memang kita perlu berjalan melintasi waktu. Pada jaman “kitab kuning”, informasi berupa kajian literatur terhadap kitab-kitab dilembagakan secara rutin hanya oleh pondok pesantren. Kajian informasinya boleh diikuti warga setempat. Bukan hanya sebatas santri yang bisa mengakses. Informasi yang dirapikan semacam itu tentu sulit diterapkan dalam jaman tik tok.
Untuk kepentingan yang salah, ekses teknologi informasi berupa penipuan, pencurian data, penculikan, penjualan manusia, perdagangan organ tubuh, dan lain-lainnya mungkin sudah tiba sejak lama di rumah kita. Mengintai sambil menunggu waktu yang tepat.
Apakah tidak sebaiknya kita dorong saja agar kaum kapitalis tidak perlu memiliki media? Pertanyaan itu bisa juga direvisi: apakah tidak sebaiknya para pemilik media besar tidak ikut-ikutan menjadi kapitalis tulen? Mark Zuckerberg juga dulunya konon adalah mahasiswa idealis di Harvard. Dan masih pakai kata konon, sekarang ia seorang kapitalis tulen. Mark bahkan membolehkan penggunaan Facebook tanpa kuota internet. Hanya dengan mode gratis di Messenger Facebook, seseorang yang tidak Anda kenal dari belahan bumi lainnya mungkin saat ini sedang menunggu Anda membaca pesannya. Entah pesan dan interest apa gerangan yang dia kirimkan. Dan Anda tidak bisa memintai tanggung jawab Mark jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.(*)

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Opini situs Mengeja.Id

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday