Latest Post

Defenisi Yang Belum Selesai Itu Bernama Esai

Posted By Ivan Kavalera on Selasa, 05 Januari 2010 | Januari 05, 2010


Sebahagian besar orang menulis di buku harian, blog, maupun status di facebook dan twitter. Ajaib, ternyata mereka tidak menyadari bahwa selama ini mereka justru telah menulis begitu banyak esai. Meski mereka tidak meniatkan tulisan itu sebagai esai. Rujukan yang lazim, esai lebih sering diartikan sebagai sebuah tulisan bergaya prosa. Isinya singkat dan mengekspresikan opini subjektif penulisnya.


Tapi batasan  bagi esai justru belum pernah selesai. Misal kumpulan esai Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir, Emha Ainun Nadjib dalam Slilit Sang Kyai dan tak terhitung jumlah esai penulis lainnya ternyata kebanyakan tidak pernah diniatkan sebagai esai oleh penulisnya sendiri. Berdasarkan kebingungan  itulah di tahun 2009 saya mengelompokkan beberapa tulisan di WebBlog sastra-radio ke dalam dua kategori, 'esai' dan 'catatan kaki.' Esai lebih ke subjektifitas pemikiran dan catatan kaki saya anggap lebih mengarah ke resume dan rangkuman.

Pengaruh esai mungkin lebih bisa dijelaskan. Esai cenderung lebih mengamalkan penalaran lateral karena esai cenderung tidak analitis. Bentuknya  acak. Gaya penulisan yang kadang melompat-lompat dan provokatif. Sebab, esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih ingin merangsang pembaca untuk turut berpikir walau hanya sejenak. Setelah itu pembaca bebas untuk melupakan pengaruh sebuah esai atau sebaliknya  mengantonginya berlama-lama dalam benak.

Di Indonesia bentuk esai dipopulerkan oleh HB Jassin, Sang Paus Sastra Indonesia, melalui hasil analitisnya mengenai karya-karya sastra Indonesia yang kemudian dibukukan  empat jilid dengan judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (1985). Tapi alhasil seorang HB Jassin pun konon tak kunjung bisa menerangkan rumusan esai sampai beliau wafat.

referensi:  
Guide to Writing a Basic Essay, Index of Literary Terms
Esai sastra Indonesia, Teori & Penulisan, Antilan Purba, Penerbit Graha Ilmu

Bersambung (..sejarah dan panduan dasar menulis esai)

Menjebak Mereka dalam Budaya Menulis

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 04 Januari 2010 | Januari 04, 2010


Agak kaget juga setelah saya membaca sebuah hasil survei.  Ternyata kebiasaan menulis anak-anak Indonesia peringkatnya paling rendah (skor 51,7). Skor ini di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0) dan Hongkong (75,5). Bahkan kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30%. Hasil survey juga menunjukkan minat baca, diukur dari kemampuan membaca rata-rata, para siswa SD dan SMP di Indonesia menduduki urutan ke-38 dan ke-34 dari 39 negara.

Ada anggapan keliru yang terus menggerogoti masyarakat kita, yakni pandangan bahwa orang yang bisa menulis hanyalah mereka yang berbakat  saja untuk menulis. Dan orang yang tidak berbakat menulis maka tidak bisa menulis. Yang lebih parah, bahkan ada juga yang mengidentikkan penulis dengan pengarang karya sastra. Padahal pengarang di bidang sastra hanya seperempat dari keseluruhan jumlah penulis di dunia. Setiap orang punya kesempatan besar menjadi seorang penulis.  Bagi mereka yang tidak berbakat menulis, tidak ada kata tidak mungkin untuk menjadi penulis.



Dengan kenyataan ini, sebenarnya belum terlambat jika Depkominfo dan Dinas Pendidikan harus mengeluarkan kebijakan berupa program wajib membuat blog bagi semua pelajar dan remaja. Fenomena jagad blogsphere di tanah air dan dunia sangat mencengangkan. Sebuah blog yang paling sederhana sekalipun ternyata mampu mengasah kemampuan menulis seseorang meski pada dasarnya tidak berminat menulis. Hanya ini satu-satunya cara tercepat untuk menjebak mereka dalam budaya menulis agar mampu mengejar ketertinggalan dari anak-anak di belahan bumi lainnya.

Gerakan Sastra Digital

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 03 Januari 2010 | Januari 03, 2010


Beberapa gerakan dari para penggiat sastra tanah air mungkin telah menemukan gairahnya kembali. Salah satunya berupa sastra dalam bentuk digital. Meski sudah bukan hal baru sebab banyak penggiat sastra telah melakukannya sejak tahun 1970-an.

Di beberapa situs terkemuka seperti youtube, narsis.tv, facebook, blog dan lain-lainnya dengan mudah ditemukan publikasi puisi dalam format digital. Bisa berupa pembacaan karya puisi yang direkam dalam sebuah kaset atau CD maupun melalui video art dengan teknologi multimedia.

Almarhum WS Rendra adalah salah seorang yang telah melakukan gerakan ini. Sejak berusia muda Rendra telah merilis album puisinya dalam bentuk kaset/CD. Pemasarannya sudah mencapai beberapa beberapa negara di Asia dan Eropa. Tidak hanya dalam bentuk rekaman suara, ketika masih muda usia, ia pun telah melangkah lebih jauh dengan mempublikasikan puisinya dalam bentuk video klip di YouTube.

Saat ini puluhan anak muda di tanah air juga telah mengikuti jejak Rendra. Mereka juga telah berani mempublikasikan rekaman sastra digital di radio, blog,  4shared dan facebook  Media yang lebih beragam dan sistem jaringan yang lebih luas di era teknologi informasi memungkinkan gerakan ini menemukan formulasi yang tepat. Distribusi dan kampanye sudah dapat dilakukan secara online.

Sebutan sastra digital sebenarnya masih bisa mengundang perdebatan panjang. Mengingat belum adanya teori baku yang mengaturnya. Namun satu catatan penting untuk gerakan ini, menikmati sastra digital sungguh berbeda dengan cara menikmati teksnya secara langsung. Sebagai sekedar contoh, salah satu karya sastra digital dapat didownload di 4shared ini.  Atau anda mungkin ingin menikmati  karya sastra digital dari  seorang  sahabat blogger kita, mbak Latifah Hizboel.  Prosa liriknya juga dapat didownload di 4shared.


Tumbuhlah Lagi

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 02 Januari 2010 | Januari 02, 2010

-buat thantri. lagi 

hari ini jam tujuh lewat tujuh belas
sebuah pagi dilindas hujan.

jika sebuah kereta dihela bulan
dan kesunyianmua mendadak tumbuh
menjadi sebuah pohon akasia
ajaklah aku untuk ikut melingkarinya
dengan tujuh puluh batang pena
akan kutulis tujuh ratus hikayat
tentang kecipak rindumu
yang diasingkan oleh resah 
gedung-gedung kota

tumbuhlah lagi
menjadi tujuh ribu helai puisi
setiap hari
kitab-kitab dari kesunyianmu
akan dibaca oleh tujuh mata angin
satu diantaranya adalah janin
dari sebuah zaman 
yang belum lagi lahir

mata teduhmu masih terus diintai
oleh penyair-penyair yang lalu lalang
mereka resah dibalik tumpukan puisi.
belum satu pun judul yang kau berikan kepada mereka, bukan?
berangkatlah lagi
ceritakan, hidup ini belati.

bulukumba, 30 Juni 2007

‎Filologi, Kebudayaan dan Masa Depan

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 01 Januari 2010 | Januari 01, 2010


Para ahli filologi di Barat telah berhasil mempelajari naskah-naskah kuno dari zaman Plato. Dari manuskrip kuno itu mereka berhasil merekonstruksi sebuah sejarah penyebaran peradaban dan kebudayaan manusia. Salah satu contohnya yaitu sejarah peradaban Atlantis. Bahkan dengan jasa selembar manuskrip, dapat direkonstruksi  secara hipotesa ilmiah mengenai kejadian-kejadian besar jauh di masa depan.

Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos, "kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, biasanya dari zaman kuno. Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.

Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah menelititi naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini dan menyunting teks yang ada di dalamnya. Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.

Realitas simbolik dalam kehidupan masyarakat manusia terdiri dari peristiwa, kejadian-kejadian, benda-benda baik yang berupa artefak maupun naskah. Semua itu memuat formulasi pikiran, perasaan, dan kemauan individu-individu warga masyarakat yang ada dan hidup di dalam zaman di mana artefak dan naskah itu diciptakan

Dalam filologi, dipelajari artefak yang berwujud naskah-naskah klasik yang sering disebut dengan istilah: naskah, manuscript; atau handshrift baik yang tertulis di atas bahan rotan, kulit binatang, kulit kayu,  lontar, dluwang maupun kertas. Tujuan yang hendak dicapai oleh filologi terhadap naskah, antara lain menelusuri keaslian naskah tersebut. Sementara dalam ilmu kebudayaan, artefak  atau dokumen-dokumen tertulis tadi adalah bagian dari sumber kajian dan bukannya satu-satunya kajian. Dalam ilmu kebudayaan, minat kajiannya teramat luas, yakni kebudayaan-kebudayaan masyarakat manusia baik yang telah terbekukan sebagai dokumen, maupun yang hidup di dalam pola-pola tindakan masyarakat manusia itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, persamaan keduanya (ilmu filologi dan ilmu kebudayaan) adalah pada hasil akhirnya yaitu memahami hasil kebudayaan masyarakat manusia.

Isi dari rekaman kebudayaan yang berbentuk naskah dinamakan teks. Jadi teks adalah roh, nafas, makna dan corak yang hadir di dalam naskah. Isi dari naskah tersebut, bisa berupa mite, dongeng, adat-istiadat, upacara, dan segala hal yang dianggap penting pada waktu itu. Kalau ia dihasilkan oleh masyarakat Nusantara, maka isi naskah adalah segala yang bernilai oleh masyarakat Nusantara.

‎Perhatian kepada naskah klasik, kata klasik itu sering diposisikan sebagai sastra (segala dokumen tertulis) yang dihasilkan  oleh masyarakat  tradisional,  yakni masyarakat  yang belum memperlihatkan  pengaruh  Barat secara intensif.  Untuk Indonesia, pengaruh Barat artinya adalah pengaruh Belanda yakni zaman akhir abad ke-19 atau sebelum adanya  pendidikan (formal) di Indonesia. ‎Karena itu, pengertian Sastra  Indonesia Lama ialah segala dokumen sastra Melayu, baik yang  masih beredar  dari  mulut ke mulut maupun yang berbentuk  tulisan  yang dihasilkan sebelum orang mengenal pengetahuan cetak-mencetak. Tepatnya, semua hasil sastra sampai dengan  pertengahan abad XIX; atau lebih umum dibatasi sampai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.

Di Indonesia filologi diarahkan pada penelitian dan pengkajian  naskah-naskah  yang  menggunakan  bahasa-bahasa  di Indonesia, seperti  bahasa  Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau,  Sunda,  Jawa, Bali, Bugis,  dan  lain-lainnya.   Tulisan-tulisan  itu mengandung isi yang  tidak  terhingga macamnya.

‎Kegiatan  kajian filologi Indonesia penting  sekali  artinya bagi  pemahaman kebudayaan suatu bangsa yang sedang  dalam  proses pertumbuhan.  Bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan yang  berasal  dari  berbagai daerah dan berbeda pula latar belakang  kehidupannya. Dengan demikian kajian filologi Indonesia dapat  menambah  pengertian dan menumbuhkan kesadaran terhadap warisan  kebudayaan   bangsa  yang  berharga lagi  berguna  bagi  pembentukan kebudayaan nasional .

Filologi merupakan salah satu jalan tercepat menelaah kebudayaan dan jembatan meretas proyeksi masa depan peradaban.

referensi: 
-Djamaris, Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta : CV Manasco.
-Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta : RUL.
-Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo   Yogyakarta. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Sepucuk Surat Dari Desa

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 31 Desember 2009 | Desember 31, 2009


-prosa kecil buat thantri

terbangun pada pagi hari di negerimu adalah terbangun karena aroma khas sepiring nasi goreng yang diracik dari puisi yang belum habis dikunyah pada mimpi semalam. secangkir kopi susu yang kau hidangkan di depan hidungku adalah sisa beberapa lembar halaman dari sebuah novel yang pernah kita perbincangkan saat matahari tenggelam. thantri, pelajaran apa lagi yang telah kau siapkan untuk anak-anak muridmu hari ini?
“sekeranjang nyanyian dan judul-judul puisi yang belum selesai,” jawabmu sederhana dan segera berlalu.
“apakah sekeranjang soundtrack film yang kau anggap sama membiusnya dengan novel-novel di kamar kosmu itu?” tanyaku menggumam tidak jelas tapi memang tidak ingin aku perdengarkan sebab langkahmu telah sampai di koridor kampus. disana telah banyak bergerombol para penyair yang belum cuci muka dan kumur-kumur. kebetulan mereka hanya lusuh karena waktu.


thantri, hari ini entah kenapa aku sangat merindukan mulut dan hatimu mendongeng sambil berteka-teki saja. sebab itu adalah negeri-negeri kenyataan bagi gagasan. bukannya mencintai puisi, cerpen, atau pun film yang kadang menghancurkan para penulisnya sendiri sebelum karya mereka sampai kepada penikmatnya. aku tidak bermaksud mengguruimu di negerimu sendiri. sebab bahkan kita telah terlanjur mencintai gagasan-gagasan dari karya-karya besar itu. walau tak kunjung menjadi nyata, sekalipun pada benak para penciptanya. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk membuat sepiring lagi nasi goreng atau secangkir kopi susu dengan gagasan yang tidak pernah pura-pura. sebab telah kau tulis dengan puisi-puisi yang nyata. bukan puisi religius yang ditulis oleh penyairnya seusai meniduri salah seorang kekasih gelapnya. bukan puisi cinta yang ditulis oleh penyairnya sembari mengunyah-ngunyah paham hedonisme. bukan puisi pemberontakan terhadap segala ketimpangan termasuk kolusi. dimana justru puisi itu dimuat di koran tapi setelah melalui proses kolusi setidaknya hubungan pertemanan dengan redaktur koran. bukan puisi-puisi pengkhianatan!
aku tidak ingin kau menulis seperti mereka. 

pulanglah sewaktu-waktu untuk menemaniku menempelkan puisi-puisi pada batang-batang padi di sawah. setiap pagi dan sore hari dibaca oleh nurani anak-anak petani desa setiap menggiring ternak pulang ke kandang. aku ingin segera terbangun pada pagi hari di negerimu. selalu. tanpa pura-pura. sebab disini, beberapa lembar puisi dari kota tak lagi renyah saat kita baca dalam hati. 

bulukumba, 23 maret 2008.

Buku dan Cekal

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 30 Desember 2009 | Desember 30, 2009

Indonesia adalah sebuah negeri di mana setiap rezim terkesan 'mudah' mencekal buku-buku yang dianggapnya dapat meresahkan atau mengusik stabilitas. Ada kebiasaan yang janggal, penguasa justru 'malas' membuat tandingan dengan menerbitkan buku putih, misalnya. Penguasa di Indonesia lebih merasa nyaman ketika mereka cukup main cekal saja.

Paling tidak ada tiga macam acuan umum penyebab sebuah buku dapat dicekal:
-buku tersebut dianggap mengandung unsur-unsur pornografi yang  dapat    merusak moral masyarakat
-buku tersebut  mengandung unsur-unsur Ideologi/aliran/kepercayaan yang dapat dianggap meresahkan masyarakat.
-buku tersebut dapat dianggap merusak citra/nama baik seseorang/lembaga tertentu.



Ada dua jenis buku yang paling sering menjadi korban pencekalan penguasa. Pertama, buku karya sastra yang 'menohok' penguasa. Kedua, buku ilmiah yang dilengkapi fakta akurat yang menelanjangi kebobrokan penguasa.

Para penikmat sastra di Indonesia pasti tak akan pernah lupa dengan pencekalan buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer oleh rezim Orde Baru. Pementasan teater dan pembacaan puisi yang dinilai radikal juga tak luput dari pemberangusan. Pemerintah Orde Baru yang terkesan represif malah juga pernah membreidel beberapa media cetak yang dianggap "terlalu mencerdaskan" masyarakat melalui pemberitaan yang apa adanya. Setelah zaman reformasi, ternyata budaya 'mudah mencekal' terkesan masih dilanjutkan oleh rezim SBY.

Buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis George Junus Aditjondro, termasuk kategori jenis buku yang kedua di atas. Sangat aneh ketika pihak-pihak yang merasa disentil justru terlalu cepat kebakaran jenggot. Kepanikan mereka justru semakin meyakinkan masyarakat bahwa fakta dan data dalam buku itu memang benar adanya. Padahal jika mau ditelisik, seluruh data dalam buku tersebut sama sekali tidak ada yang baru. Malah jauh lebih lengkap yang diungkap oleh berbagai media selama ini. Juga jauh lebih 'seram' data-data yang disuarakan dalam berbagai orasi mahasiswa. Pencekalan buku adalah sesuatu yang sangat janggal di zaman intelektual yang mengedepankan informasi berimbang.



Sastra yang Absurd

Posted By Ivan Kavalera on Senin, 28 Desember 2009 | Desember 28, 2009

Awalnya karya sastra yang absurd, gelap dan  abstrak tidak dikenal di Indonesia. Sastra beraliran absurd di Indonesia mulai merajalela sejak 1970-an. Berbagai bentuk puisi-puisi gelap, novel anti hero dan anti plot, drama tak jelas terus berlanjut hingga kini. Semuanya itu masih bisa bertahan akibat ketidakjelasannya tapi justru menjadi kekuatannya. Sastra yang absurd ini lahir lewat proses panjang dan berdasar.

Ada beberapa penyair, cerpenis dan novelis yang barangkali memang sedang sadar telah membuat aliran absurd dalam karya-karyanya dengan tendensi berbeda-beda. Puisi-puisi abstrak dituding sebagai biang keladi sastra absurd di Indonesia. Puisi-puisi gelap ini lahir seiring dengan perkembangan teater di tanah air. Sejatinya puisi-puisi abstrak lahir di balik dapur teater kemudian terbawa keluar kedunia yang bukan dunia teater, karena tidak semua seniman Sastra Puisi orang teater, tetapi orang teater pasti seorang sastrawan.

Abstrak memiliki arti, tak berbentuk, tak berpola, yang sifatnya sebagai abstraksi para seniman terhadap persoalan, peristiwa atau apapun yang ditangkap dan dikunyah oleh para seniman itu. Dalam bentuk puisi, sesungguhnya yang benar-benar abstrak tidak ada! Puisi adalah bentuk berkesenian yang bermain pada kosa kata, pada kalimat. Setiap Kosa kata dan kalimat memiliki arti. Arti yang dapat kita mengerti dengan jelas, hanya mungkin cara para seniman memainkan kosa kata menjadi kalimat yang tidak umum itu yang membuat kita bingung untuk mengartikannya.

Puisi, novel, cerpen dan teater di Indonesia adalah karya-karya yang amat mudah dimengerti. Karya-karya itu dilahirkan di negeri yang polos. Tidak abstrak! Novel-novel Iwan Simatupang ataupun puisi-puisi Ikranegara yang bisa membuat kening kita  berkerut mengunyah maknanya, sesungguhnya adalah karya-karya yang polos. Sama halnya cerita tentang buaya yang dapat bercakap-cakap dengan kancil dalam sastra fabel.

Eksakta Kepenyairan Umar Khayyam

Posted By Ivan Kavalera on Minggu, 27 Desember 2009 | Desember 27, 2009



Di dunia Barat, Umar Khayyam telah melampaui batas geografis dan demografis dengan julukan The Rub iy t of Omar Khayyam. Bahkan nama besarnya diabadikan menjadi salah satu nama planet kecil di luar angkasa. Pada tahun 1980, seorang ahli astronomi dari Uni Soviet bernama Lyudmila Zhuravlyova menemukan sebuah planet kecil melalui teleskop. Zhuravlyova kemudian menamakan planet itu Umar Khayyam. Kontribusi dan dedikasi Khayyam di bidang astronomi juga diabadikan sebagai salah satu nama kawah di bulan. Pada tahun 1970, para astronom sepakat untuk menggunakan nama Khayyam di salah satu kawah bulan.

Ia seorang ilmuwan matematika, astronomi dan filsafat tapi lebih termasyhur sebagai penyair.  Beberapa sumber sejarah menyebutkan, syair dan puisinya banyak dipengaruhi karya-karya Abu Nawas. Khayyam telah menulis seribu bait syair dan puisi. Puisi-puisinya yang dikenal skeptik justru begitu berpengaruh di dunia Barat. Lahir di Persia (Iran) pada 18 Mei 1048 M dengan nama lengkap Ghiyath A-Din Abu'l-Fath Umar ibnu Brahim Al-Nisaburi A-Khayyami. Secara bahasa, Khayyam berarti 'pembuat tenda'. Nama itu digunakan, karena sang ayah bernama Ibrahim adalah seorang pembuat tenda.

Sebagai seorang ahli matematika ia  menulis buku tentang aljabar berjudul Treatise on Demonstration of Problems of Algebra. Salah satu kontribusinya yang lain dalam bidang matematika, dia menemukan metode memecahkan persamaan kubik dengan memotong sebuah parabola dengan sebuah lingkaran. Pada 1077 M, Khayyam menulis kitab Sharh ma ashkala min musadarat kitab Uqlidis (Penjelasan Kesulitan dari Postulat-postulat Euclid). Umar Khayyam juga berkontribusi dalam geometri, khususnya pada teori perbandingan.

Sebagai pakar astronomi, Khayyam sempat diundang penguasa Isfahan, Malik Syah pada tahun 1073 M. Ia diminta untuk membangun dan bekerja pada sebuah observatorium, bersama-sama dengan sejumlah ilmuwan terkemuka lainnya. Akhirnya, Khayyam dengan sangat akurat (mengoreksi hingga enam desimal di belakang koma) mengukur panjang satu tahun sebagai 365,24219858156 hari.

Ia terkenal di dunia Persia dan Islam karena observasi astronominya. Khayyam pernah membuat sebuah peta bintang (yang kini lenyap) di angkasa. Salah satu prestasinya dalam bidang astronomi dan matematika adalah keberhasilannya mengoreksi kalender Persia.

Pada 15 Maret 1079 M, Sultan Jalaluddin Maliksyah Saljuqi (1072 M - 1092 M) memberlakukan kalender yang telah diperbaiki Khayyam, seperti yang dilakukan oleh Julius Caesar di Eropa pada tahun 46 SM dengan koreksi terhadap Sosigenes, dan yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada Februari 1552 dengan kalender yang telah diperbaiki Aloysius Lilius.

Rubaiyat Umar Khayyam merupakan antologi puisi karya Umar Khayyam yang ditulis dalam bahasa Persia. Antologi puisi karya ahli matematika dan astronom itu berjumlah sekitar seribu. Setiap syair dan puisi Khayyam berjumlah empat baris. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Salah satu asset terbesar dari dunia Islam itu tetap dikagumi dunia Barat sampai hari ini. Ironisnya, justru kurang dikenal di Timur bahkan di kalangan masyarakat islam sendiri. Mungkin juga akibat kegersangan dunia Timur akan ilmu pengetahuan itulah yang telah disorot Umar Khayyam  dalam salah satu syairnya:


Mari, di bawah pohon dengan sepotong roti 
Sebotol anggur, buku puisi dan Engkau ini 
Di sampingku bernyanyi-nyanyi di padang gurun
Dan padang gurun pun menjadi tanah surgawi.


Kaleidoskop Novel Indonesia 1920-2009

Posted By Ivan Kavalera on Sabtu, 26 Desember 2009 | Desember 26, 2009

(Bagian Kedua)

Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.

Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambangan minyak nasional.

Dekade 1990-an lahir novel mutakhir berjudul Saman, terbit tahun 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap tabu. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah sesks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.



Era tahun 2000-an ditandai dengan lahirnya seorang penulis termuda yang menulis novel berjudul Area X, tahun 2003.  Area X, adalah sebuah novel futuristik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani. Novel itu ditulisnya ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMA Nusantara Magelang.

Novel terus mengalami perkembangan dan mewakili semangat dari setiap zaman di mana novel itu muncul. Di awal tahun 2000 muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chicklit, teenlit,dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulu mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Di antara karya-karya tersebut yang tergolong ke dalam jajaran best seller, antara lain Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I'm In Love karya Rahma Arunita, Jomblo karya Aditya Mulya, dan lain sebagainya. Yang cukup fenomenal adalah Supernova karya Dee, Dadaisme karya Dewi Sartika, Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan novel-novel mutakhir lainnya yang memiliki energi dan segmen pembaca masing-masing.

*disarikan dari berbagai sumber

Kaleidoskop Novel Indonesia 1920-2009

Posted By Ivan Kavalera on Jumat, 25 Desember 2009 | Desember 25, 2009

Sejarah mencatat pada pertengahan abad ke-19 di tanah air, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi telah meletakkan dasar-dasar penulisan prosa dengan teknik bercerita yang mengacu pada pengumpulan data historis dan penjelajahan biografis. Namun karya prosa yang diakui menjadi karya pertama yang memenuhi unsur-unsur struktur sebuah novel modern baru benar-benar muncul di awal abad ke-20. Novel yang dimaksud adalah novel karya Mas Marco Kartodikromo dan Merari Siregar.

Tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Nasional dengan ditandai lahirnya novel Azab dan Sengsara. Pada masa awal abad ke-20, begitu banyak novel yang memiliki unsur wama lokal. Novel-novel tersebut, antara lain Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Kalau Tak Untung, Harimau! Harimau!, Pergolakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, novel Belenggu karya Armjn Pane, hingga saat ini lazim dikatakan sebagai tonggak munculnya novel modern di Indonesia.

Tahun 1945 tercatat nama Idrus sebagai prosais cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.


Tahun 1949 lahirlah novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hampir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.

Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.

Tahun 1975 muncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah hutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meninggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.

Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.

Bersambung...



Makhluk Bernama Penyair

Posted By Ivan Kavalera on Kamis, 24 Desember 2009 | Desember 24, 2009

Binhard Nurrohmat pernah menulis ”Jika diadakan sensus maka rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk yang satu ini begitu populer, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus."

Penyair selalu dianggap representasi yang paling lazim dari kesusastraan atau mungkin juru bicara kebudayaan. Sebenarnya makhluk macam apakah penyair itu? Menurut Saini KM, "Penyair itu adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia merupakan kayu dalam pembakaran, Ia pergi pada inti kehidupan”.

Wayan Sunarta menganggap penyair sebagai penyusun kata-kata yang sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan pembaca. Puisi menurutnya adalah ular kundalini yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya. Sutardji Calsum Bachri bahkan mengutip ayat Al-Quran untuk menjelaskan betapa mulianya kedudukan Penyair. Katanya, QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, "Mereka terus mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya."

Jagad kepenyairan Indonesia saat ini sangat menarik untuk dicermati. Ratusan bahkan ribuan nama baru terus bermunculan. Ribuan teks terus ditulis dan berhamburan ke berbagai kolom sastra di koran, majalah, dan buku-buku antologi puisi. Pilihan lainnya adalah radio dan internet.


Setiap hari di Indonesia puisi-puisi berhamburan dengan nama penyair yang berjumlah ratusan. Di antaranya ada yang mengejutkan dan ada yang mampu menghentak perhatian. Tak terhitung dari mereka dimuat di media massa cetak. Sebahagian kecil di internet. Jumlah paling banyak tersebar dari kalangan remaja. Namun lebih banyak yang memilih bersembunyi di sela-sela buku harian ketimbang memproklamirkan diri sebagai penyair. Jenis makhluk yang terakhir bisa ditebak adalah mereka yang pemalu tapi siapa tahu sebenarnya potensial lebih layak disebut sebagai penyair?

Lalu yang manakah sebagai mainstream puisi mutakhir Indonesia? Mungkin hal yang lazim meski pongah bila seseorang merasa sudah berhasil setelah puisinya dimuat satu media atau telah mendapat legitimasi dari komunitas-komunitas tertentu dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya. Di satu sisi, koran dan kemunitas tertentu juga telah mematahkan idealisme kerja kreatif yang difference. Mungkin saja akibatnya tak lama lagi peta perjalanan sejarah perpuisian tanah air kembali ke titik nadir. Namun ribuan penyair itu pasti tak akan tinggal diam. Sebenarnya mereka adalah makhluk pilihan yang menyusun tatanan dunia melalui kata. Meski ada yang menyebut dirinya sebagai sekedar penyair rombeng, penyair kampung, penyair teri dan sebagainya. Rumah kreatifitas para penyair yang alamiah akan tetap tersusun dari batu bata kata-kata.

Di Bawah Gerimis

Posted By Ivan Kavalera on Rabu, 23 Desember 2009 | Desember 23, 2009

beberapa hari ini aku merasa agak lebih baik jika hanya menuliskan beberapa potong sajak. aku harap bisa mendahului sebelum wajahmu benar-benar diguyur gerimis. lalu kita terjemahkan saja aksara yang ada. 

mungkin benar salah satu lirik lagu yang aku kenal dari yang kau hapal, "...yang menangis tinggalkan diriku, yang menangis lupakanlah aku."

di bawah gerimis. aku merasa telah mencuri sekuntum nyanyian dari sekeranjang waktumu. aku masih saja lelaki yang tidak mampu menjadi sekumpulan airmata atau telaga.

sebuah keberangkatan telah dimulai lagi dari sini. ia tak terbaca. setitik hujan menandainya pada sebaris huruf tak tereja.  

Bulukumba, 23 Desember 2009



 

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday