Latest Post

Nasib Kampung Pak Tani

Posted By Redaksi on Rabu, 02 September 2020 | September 02, 2020


Oleh: Ali Wardi

Tanah hitam nan luas terbentang, 
diselimuti permadani hijau. 
Bulir-bulir embun bersama mentari membelai lembut sepanjang tahun. 

Tak terlalu lama menanti, semburat hamparan kuning tangkai-tangkai padi memahkotai setiap rumpun permadani.

Indah sekali negeri ini. 
Keping surga yang jatuh ke bumi. 
Apa sebenarnya yang kita cari, 
sedang semua yang diperlukan semuanya sudah ada disini, 
berlimpah bila hidup memang hanya untuk mengabdi.

Tapi anak-anak ayam itu kelaparan di lumbung padi, 
berserakan mencari hidup jadi TKI,
Atau jadi babu-babu berdasi,
di kantor-kantor dan kawasan industri  

Ada yang salah dengan negeri ini.
Sudah terlalu lama larut menipu diri. 
Para pemimpin, mengukur baju di badan orang lain. Sadarlah wahai Pribumi.

Bogor, 2 September 2020

Sebuah Cerita Dari Kampung

Posted By Redaksi on Selasa, 25 Agustus 2020 | Agustus 25, 2020


Oleh: Maya Akhmad         

Aku berjalan
Menyeberang hulu sungai
Dihembus angin 
Meliuk dedaunan

Tentang aku
Dan cintaku 
Kepada lelaki 
Di dusun
Ingin kutuntaskan perjalanan ini 
Bersamanya

Aku merasa sejuk 
Di pematang sawah
Yang tumbuh ilalang
Siang terik
Matahari tegak lurus

Aku bernaung
Di sebuah dangau 
Mencari hari hariku yang hilang
Gemericik air membawaku
Ke irama alam 
Rasa kantuk tak mampu kuhalau
Dan akupun tertidur
 
Siang itu aku bersamanya
Lelaki dari dusun
Segenap jiwa raga aku mencintainya
Pun dia sangat menyayangiku
Sebagai pembuktian dan pembaktian
Anak bini yang meminta selalu

Segala letih pun hilang terbasuh
Dan serumpun cintaku
Di naungan langit biru
Cinta kami sederhana.                         

Agustus 2020
Salassae tercintaku and Bulu Lonrong
Jiwakamisatu

* Maya Akhmad, seorang Ibu rumah tangga. Di sela-sela aktifitasnya sebagai seorang perempuan tani, ia banyak menulis puisi. Perempuan ini suka membaca. Tinggal di dusun Bolongnge Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba.

Hujan di Bulan Juli

Posted By Redaksi on Selasa, 18 Agustus 2020 | Agustus 18, 2020

Oleh: Assyifa Barizza


Kenapa kau suka hujan?

Masih ingatkah kau dengan pertanyaan itu? Beberapa tahun yang lalu, secara tidak sengaja kita bertemu di sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota, menumpang berteduh di teras rumah yang tak berpenghuni.

Suasana di situ sepi dan lengang. Hanya ada beberapa rumah penduduk, itupun berjauhan jaraknya. Namun hujan memaksaku untuk mampir. 

Kala itu, hujan sangat deras. Tidak ada siapa-siapa, hanya kita berdua. Rasa bosan menunggu hujan reda, akhirnya kita saling menyapa.

"Dari mana?" Kau yang memulai percakapan. Sebagaian bajuku telah basah. Aku memilih duduk di pojokan, tangan bersedekap untuk menghalau rasa dingin.

"Dari rumah teman." Singkat jawabanku.

Mungkin karena iba melihatku, kau membuka jaketmu dan meminjamkannya padaku. "Pakailah."

"Tapi, kau juga butuh jaket itu," tolakku halus. Aku enggan menerima pemberiannya. Karena kami baru pertama kali bertemu. Siapa dia, siapa namanya, apakah dia orang baik atau jahat. Itu yang ada di pikiranku saat itu.

"Bajuku tebal. Dan kau lebih membutuhkannya. Maaf, lekuk tubuhmu tercetak jelas dengan pakaian basah seperti itu. Tapi kalau kau menolak …."

"Baiklah. Aku menerimanya." Segera kuraih jaket di tangannya dan memakainya. Aroma parfum jaketnya maskulin, sepertinya parfum bermerk. aku menyukainya. Rasa hangat pun menjalari tubuhku.

"Terima kasih," ucapku sembari menatapnya sekilas. Malu. 

"Namamu siapa?" Kau bertanya tanpa mengulurkan tangan padaku.

"Lavina."

"Nama yang manis. Seperti orangnya."

Aku tersenyum mendengar ucapanmu. Entahlah, merasa senang saja. Sekali lagi aku mencuri pandang padamu. Tampan, kulit hitam manis dan menawan. Badan proporsional. Aku melihatmu, sepertinya sikapmu terkesan angkuh. Sudah 30 menit di sini, namun tak pernah sekalipun kau tersenyum. Aku yakin, kalau kau tersenyum, pasti akan tambah gagah.

"Kuliah?" tanyamu lagi. Kali ini, kau menyulut rokok dan sesekali mengembuskannya ke udara. Ah, kau semakin cool saat merokok.

Aku mengangguk. "Iya."

"Jurusan apa?"

"Keperawatan."

"Bagus."

Hujan yang enggan berhenti, membuat kita bercakap lama. Tentang hobi, makanan kesukaan dan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.

"Aku tidak pernah bosan berkunjung ke pantai. Aku suka diving, menikmati keindahan bawah laut. Sesekali mendaki gunung bersama teman, menikmati keindahan alam."

"Wah. Kakak keren sekali." Aku tidak bisa menyembunyikan kekaguman.

"Kau sendiri suka apa?" tanyamu.

"Aku suka hujan," lirihku sambil menatap butiran hujan yang jatuh ke tanah.

"Kenapa?"

"Tidak ada alasan, sih. Aku suka aroma tanah sehabis hujan."

"Kau lucu. Sekali waktu, aku ingin mengajakmu berhujan-hujanan."

Aku tersenyum. Sepertinya tawaranmu menarik. Aku memang menyukai hujan sedari kecil. Entahlah, bunyinya seperti musik alam yang akan membuatku tertidur lelap.

Baru pertama kali bertemu, tapi aku merasa nyaman berbincang denganmu. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Hujan pun seakan mengerti, dia masih saja betah berlama-lama di sini, tempat kita berteduh.

"Kau sepertinya kedinginan. Kemarilah."

Saat itu, aku tidak kuasa menolak saat kau tarik tubuhku untuk bersandar di dadamu. Pelukanmu memberikan kehangatan pada tubuhku. Aku menikmatinya. Sungguh.

Hujan semakin lebat, tak ada siapapun di sini selain kita berdua sehingga kita bebas untuk meniadakan jarak. Entah karena pengaruh dingin atau nafsu, tanpa permisi kau mengecup keningku, lalu berpindah ke bibirku.

Aku? Tentu saja terkejut dengan apa yang kau lakukan. Ini pertama kalinya, aku dicium. Namun kenapa begitu indah? Aku tidak bisa menghentikanmu. Aroma rokok dan mint yang terasa dari mulutmu, seperti menjadi candu. Manis dan memabukkan.

Awalnya aku tidak tahu cara berciuman. Namun setelah beberapa saat, aku bisa dan membalas ciumanmu. Hati ingin berteriak, hentikan. Namun tubuh tak kuasa menolak. Aku menyukainya.

Apakah aku seperti perempuan murahan? tidak menolak berciuman pada pria yang baru saja kukenal. Ah, akal sehatku entah ke mana. Tidak ada ada kata jangan yang keluar dari mulut, hanya pasrah.

Entah beberapa menit kami larut dalam ciuman, hanya beberapa saat berhenti untuk mengambil napas, lalu melanjutkan kembali.

"Maaf. Aku lupa diri," ucapmu lalu melepaskan diri. Kau memperbaiki letak rambutku yang acak-acakan akibat ulah tanganmu itu.

Aku tertunduk malu. Tubuhku masih menyisakan getaran. Sulur-sulur cinta tak bisa kutampik, datang saat itu juga. Apa yang baru saja kita lakukan, itu pengalaman yang paling berkesan.

Hujan sudah mulai reda. Tinggal menyisakan rinai. Hari pun sudah sore. Kita segera bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.

"Aku tidak ingin hubungan ini berakhir sampai di sini. Kalau kita berjodoh, kita akan dipertemukan kembali. Oh, ya, namaku Gali." Sekali lagi kau mengecup bibirku.

Kita pun berjalan ke arah motor yang terparkir di sisi jalan. Meninggalkan tempat itu dengan mengambil jalan yang berbeda. Aku ke arah Timur dan kau ke arah Barat.

Satu hal yang paling kusesali dalam pertemuan itu, kenapa aku tidak bertanya berapa nomor ponselmu? Tinggal di mana dan berasal dari kota mana? 

Sepertinya ini, hanyalah kisah cinta sesaat. Datang begitu saja dan tidak terulang lagi.
Menyedihkan. 

***

Hujan di bulan Juli. Mengingatkan kembali kenangan bersama Gali. Sudah lima tahun sejak kejadian itu, tapi tak pernah dipertemukan kembali.

Namun, dia telah membawa sepotong hati dan cintaku. 

Kau gadis bodoh Lavina. Gali tidak akan pernah datang. Dia tak pernah menganggapmu ada. Jangan buang-buang waktu menunggu yang tak pasti. Aku bermonolog dalam hati.

Jaket dari Gali masih ada, tersimpan rapi dalam lemari. Menjadi obat rindu. Aroma badannya masih tersimpan di sana. 

Aku merindukanmu Gali.

Kembali aku menatap hujan. Hujan ini sama saat pertama kali bertemu dengan Gali. Enggan berhenti.

"Lavina."

Lamunanku terhenti saat seorang pria datang menghampiriku. Aku menoleh dan tersenyum pada yang baru saja masuk ke Cafe ini.

"Maaf. Aku  Membuatmu menunggu lama. Seharusnya aku yang datang pertama kali ke Cafe ini, dan tidak membiarkanmu menunggu. Namun hujan menghalangi."

"Tidak apa-apa, Aldi."

Sore ini, Aldi mengajakku bertemu di Cafe Paradise. Cafe yang terletak di tepi  pantai Kayangan. Saat ini, Cafe kurang pengunjungnya. Mungkin karena hujan. Hanya satu dua pengunjung. 

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan," tutur Aldi saat sudah duduk di depanku. Pramusaji pun datang menghidangkan Sanggara' peppe dan dua gelas Sarabba, makanan dan minuman khas kota kami. 

"Apa?" tanyaku sambil meniup Sarabba lalu mencicipinya.

"Pertanyaanku tempo hari, kau belum jawab. Bersediakah engkau menjadi istriku?"

Aku tersedak saat mendengar penuturan Aldi. Yah, beberapa bulan yang lalu, dia pernah menanyakan hal yang sama. Namun sampai saat ini, aku belum memberinya jawaban. 

Hatiku sudah ada bersama Gali.

"Apa kurangnya aku, La? Aku mencintaimu dan aku berjanji untuk membahagiakanmu, sebisaku." Aldi menggenggam tanganku lalu mengecupnya.

"Kamu tidak kurang apa-apa, Al. Kau baik, tampan dan sempurna."

"Terus, kenapa kau tidak menerimaku?" tuntut Aldi.

"Ini masalah hati, Al. Aku tidak mencintaimu." Dengan berat hati kukatakan itu. Aku melihat raut kecewa di wajahnya.

"Aku bersedia menunggumu untuk jatuh cinta padaku, La."

Aku terdiam. Aldi terlalu baik. Seharusnya pria yang bekerja di kepolisian itu mendapat perempuan yang mencintainya dengan tulus. 

Melihat ketulusan dan keseriusan di wajah Aldi, hatiku tergerak untuk belajar mencintainya. Mungkin, aku harus belajar membuka hati untuk pria lain. 

Aku sudah di ambang keputus-asaan menunggu Gali. Lelah dan capek menunggu yang tidak pasti. Saatnya, harus melupakannya.

"Baiklah. Aku bersedia untuk menjadi istrimu. Aku akan belajar mencintaimu, Al."

Aldi tersenyum lebar mendengar apa yang kuucapkan. Dia kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, La. Percayalah, aku akan membahagiakanmu."

Aku membalas genggaman tangannya. Hujan telah berhenti. Aroma petrikor menguar masuk ke dalam cafe. Tak ada kata lagi yang terucap, hanya mata yang saling berbicara.

Penantianku telah berakhir Gali. Aku mencintaimu, namun kau hanya ilusi. Rasa ini harus kumatikan dan menghidupkan kembali pada pria yang setia menantiku selama setahun ini. Aldi Gunawan, pria berpangkat Bripda di kepolisian. Kepadanya, aku akan belajar melabuhkan hati.

***

Hari ini, aku agak telat ke rumah sakit tempatku bekerja. Alasannya, karena hujan. Bulan Juli ini, hujan memang mengganas. Matahari jarang muncul, hanya sesekali. 

Di koridor, beberapa teman sejawatku asyik bercerita. Entah apa yang mereka perbincangkan, hingga tawa tak pernah lepas dari mulut mereka.

"Lavina. Sini, ada hal penting." Ariella, melambaikan tangan padaku.

"Hal penting apa sih?" Aku mengerutkan kening. "Gaji kita dinaikkan?"

"Bukan. Ada dokter baru di rumah sakit ini. Ganteng banget lo. Sekarang dia ada di ruangan kepala rumah sakit."

"Tidak menarik," tandasku pelan. 

"Itu dia." Nayya yang sedari tadi diam, ikut berbicara. 

Aku segera menoleh, menatap pria yang yang berjalan ke arah kami. Dia bersisian dengan Dokter Fahmi, kepala rumah sakit ini.

"Gali?" Tanpa sadar, aku berteriak. Tidak salah lagi, dia adalah Gali, pria yang pernah kutemui lima tahun lalu. Tidak banyak berubah padanya. Hanya tambah dewasa dan gagah. Memakai celana hitam, dan jas berwarna putih, pakaian kebesaran dokter, membuat penampilannya nyaris sempurna. 

Ingatan beberapa tahun lalu kembali menyeruak. Bagaimana dia menciumku dan menyentuhku. Kenapa sekarang dia baru hadir? 

"Lavina?" Ternyata dia mengenaliku. Aku yang saat itu berdiri di sisi koridor hanya menundukkan kepala, tidak kuasa menatap ke arah Gali. Apalagi saat ini, ada dokter Fahmi. Tidak elok rasanya bernostalgia di depannya. Bagaimanapun, dia adalah pemimpin tertinggi di rumah sakit ini.

"Aku kembali ke sini untukmu, Lavina." Setelah memeriksa pasien di perawatan Edelweiss, Dokter Gali menemuiku di perawatan Tulip, tempatku jaga hari ini. Mengajakku ke cafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit.

"Kamu terlambat, Gali. Setelah sekian tahun menunggumu, kau tidak datang. Aku lelah."

"Maaf. Seharusnya saat itu kita bertukaran nomor ponsel. Saat itu, aku fokus menyelesaikan kuliahku di kedokteran. Kemudian lanjut lagi ambil specialis jantung. Tapi percayalah, aku tidak pernah melupakanmu."

Aku menatap pria di depanku ini. Laki-laki yang sempurna. Siapa yang tidak bangga punya calon suami dokter? Sampai saat ini, hatiku seutuhnya masih milik Gali. 

"Kau tahu? Sejak pertemuan pertama kita. Aku langsung jatuh cinta padamu. Setiap hari aku merindukanmu. Namun, aku tidak tahu harus menemuimu di mana." Aku merasa, bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Ingin rasanya, aku memeluk Gali untuk menuntaskan rasa rindu yang sekian tahun terpendam.

"Aku sudah datang, La. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi." Gali mengusap air mataku. Lembut.

"Terlambat. Tidak lama lagi, aku akan menikah."

Bulan Juli, bukan saja bulan hujan. Namun, bulan di mana air mataku banyak tumpah. Aku hanya bisa memandangi kepergian Gali dari cafe dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

Apakah Gali juga terluka? Entahlah. 

Satu bulan lagi, aku akan melangsungkan pernikahan dengan Aldi Gunawan. Tidak ada yang bisa kami lakukan, selain membunuh perasaan yang terlanjur tumbuh di antara kami.

Kau tahu Gali? Aku pernah terbunuh oleh rindu. Tapi tidak dengan cintaku, aku tetap merawatnya, meski tidak harus bersamanya. Kisah kita akan tetap abadi di sini. Di hatiku.

Aku tidak menyesali pertemuan kita. Mungkin itu sudah menjadi skenario Sang Pencipta. Kita tidak ditakdirkan untuk tidak bersama.


Tidore,  18 Agustus 2020











Kepul Kopi dan Goreng Ubi

Posted By Redaksi on Minggu, 16 Agustus 2020 | Agustus 16, 2020

Oleh: Ilham

Kepul kopi dan goreng ubi 
genapi hari ini
Langit sunyi
Kembang mewangi
Meja sederhana dan kursi-kursi

Masa pandemi yang luka
Tak surutkan mereka
untuk mekar tak merana

Seperti matahari di celah rumah
Angin berembus ramah
Dan waktu terus
merayap searah.

Ingin Seikhlas Air Pada Sungai



Oleh: Ilham

Ingin seikhlas air pada sungai
Gemercik merdu laguan rindu
Debar muara tak sabar menunggu

Ingin seikhlas air pada sungai
Cintaku gemercik di batu-batu 
Merindu padamu
Sebagai hulu yang merestuiku

Ingin seikhlas air pada sungai
Mengalirkan rindu 
Pada debar hatimu.

Rahasia di Balik Cinta

Posted By Redaksi on Sabtu, 15 Agustus 2020 | Agustus 15, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Rinda tampak menikmati tempat ini. Pancaran matanya berbinar, menyiratkan rona bahagia dan kekaguman menyaksikan pemandangan gunung dan lembah yang terpampang di depan mata. Tampak dia sibuk ber-swafoto.

"Ridwan, tolong dong foto aku!"

Dia menyerahkan kamera padaku, Rinda dengan gaya manjanya berfose dengan berbagai macam gaya. Aku hanya mengarahkan dia untuk untuk memilih latar yang indah, agar hasil fotonya semakin bagus.

"Nice, aku menyodorkan kamera padanya, sembari memperlihatkan hasil jepretanku."

Rinda, gadis yang berasal dari kota Makassar. Sudah dua bulan ini menjadi kekasihku. Dia anak pemilik kost tempatku ngontrak, mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta.

Lesung pipit yang membingkai wajahnya, alis mata yang tebal, serta raut wajah putih alami menjadi daya tarik tersendiri baginya. Aku jatuh cinta pada saat pertama kali melihatnya. Gayung bersambut, dia juga memiliki rasa yang sama. Dan kami pun sepakat untuk mengikrarkan janji sebagai sepasang kekasih.

Akhir pekan ini, aku mengajaknya liburan ke kampung halamanku. Kampung yang terletak di kaki gunung Karampuang, di apit oleh lembah. Di tengah-tengahnya mengalir sungai yang airnya jernih. Semasa kecil, aku sering berenang bersama teman seusiaku sambil mengail ikan di sungai ini. Di tempat ini, masa kecilku terlewatkan.
 
Lelah dari aktivitas kantor membuatku butuh untuk menghirup udara segar, aku ingin melepas penat dari segala hiruk pikuk kota dengan segala kebisingannya. Dan aku memilih kampung halamanku untuk liburan.

Siang ini, cuaca mulai mendung. Hari yang masih siang tampak gelap, awan sudah menutupi puncak gunung  Karampuang. Musim penghujan memang sudah waktunya. Waktunya para petani untuk bercocok tanam.

"Gleerrr." Tiba-tiba bunyi petir membahana berulang-ulang, memecah bumi yang sudah semakin gelap. Kilatan petir menyambar berulang kali, kilatan cahaya tampak membelah langit.

Rinda berteriak histeris, menutup kedua telinganya sambil menangis, berteriak tidak karuan. Wajahnya langsung memucat, seakan tidak ada darah lagi yang bersarang di tubuh semampainya. Dia meringkuk memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.

Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia begitu ketakutan saat mendengar bunyi petir. Segera kuhampiri Rinda. Memeluknya dan mencoba menenangkannya. Kudekap tubuhnya yang sudah lunglai.

"Jangan! jangan! pergi! menjauh dari Ayahku!" Berulang kali Rinda meneriakkan kalimat itu.

"Rinda. Ada apa? Aku di sini, di sampingmu. Sekali lagi kudekap tubuh gadis perempuan yang kukasihi ini, berusaha melindunginya dari ketakutan.

Tubuh Rinda bergetar hebat, teriakannya tak kunjung reda dari mulutnya. Tubuhnya seketika lunglai dalam pelukanku, tidak sadarkan diri. Ketakutan langsung menyergapku, takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Rinda.

"Rinda!" Beberapa kali aku memanggil nama kekasihku itu sembari membopong tubuh mungilnya ke pondok yang berada di sekitar lembah. Hujan sudah membasahi bumi. Rinda yang tidak sadarkan diri membuatku semakin panik. Sial! tempat ini sepi lagi, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Aku hanya bisa memeluk gadis yang kukasihi itu sambil menunggu hujan reda.

***

"Maafkan aku, Bu! Aku tidak tahu kalau Rinda phobia dengan bunyi petir," aku meminta maaf kepada Ibu Rasti, ibunya Rinda.

"Harusnya kau tidak membawanya ke sana, Ridwan"

"Aku minta maaf, Bu." Hanya itu yang terucap dari bibir. Rasa bersalah dan takut merajai hati.  Seandainya saja tidak kuajak Rinda liburan di kampungku, tidak akan ada kejadian ini.

Sore itu juga. Saat hujan reda, aku langsung membawa Rinda pulang ke kota.  Membawanya ke dokter untuk memeriksa kondisinya.

"Rinda tidak apa-apa! Dia hanya mempunyai ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal, mungkin dia mempunyai trauma dengan masa lalunya." Penjelasan dokter membuatku sedikit lega, namun trauma apa yang pernah di alami oleh Rinda? pertanyaan tiba-tiba menggelayuti pikiranku.

"Apa ada yang pernah dialami Rinda hingga membuatnya takut dengan petir, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya kepada Ibu Rasti yang menangis dari tadi, dia menunggui anaknya yang sedang di opname. Terlihat kekhawatiran yang sangat pada wajah perempuan itu. Yah, Rinda anak semata wayangnya, putri satu-satunya. Konon, suaminya meninggal saat Rinda masih kecil, dan dia tidak mau menikah lagi, meski banyak pria yang bersiap untuk menjadi ayah sambung dari Rinda.

Perempuan setengah baya di hadapanku ini menghela napas. Ada butiran air mata membasahi pipinya. Sepertinya, ada luka yang dia simpan dan dirahasiakan.

"Saat Rinda masih kecil, berusia enam tahun. Perampok menyatroni rumah kami. Mereka ingin mengambil uang dan berupa emas yang kami miliki. Tapi suamiku melakukan perlawanan kepada perampok . Saat itu, hujan di luar sangat deras, petir menyambar-nyambar, hingga teriakan minta tolong kami tidak bisa di dengar oleh tetangga. Dan naasnya, Ayah Rinda harus meregang nyawa oleh tusukan pedang yang dilakukan oleh salah seorang perampok. Rinda menyaksikan bagaimana Ayahnya menghembus napas terakhir dengan cara yang tragis." 

Aku hanya diam mendengar kisah Ibu Rasti. Ternyata trauma yang dialami oleh Rinda sungguh berat. Aku berjanji, akan membuat Rinda melupakan traumanya. Akan selalu ada untuknya, melindungi dan memberi cinta yang sempurna padanya.

"Ibu, Ridwan." Terdengar suara Rinda. Masih lemas, nyaris tidak kedengaran. Kami yang menungguinya, langsung mendekat ke arahnya.

"Maaf ya, Wan! harus membuatmu panik."

"Hus! Jangan bilang begitu, aku yang salah. Seharusnya aku tidak membawamu ke gunung Karampuang di saat musim penghujan seperti ini." Kugemgam tangannya yang masih lemah. Memberinya kekuatan.

Malam itu juga, Rinda di izinkan pulang oleh dokter setelah kondisinya membaik.

"Usahakan kejadian yang membuatnya takut dan teringat masa lalu tidak terulang lagi, bantu dia untuk keluar dari rasa traumanya secara perlahan." Dokter berpesan sebelum kami meninggalkan rumah sakit.

Aku janji untuk menjaga Rinda semampuku.  Selain itu, aku juga harus memenuhi janji kepada Ayahku, untuk bisa melindungi keluarga dari seorang laki-laki yang pernah dia bunuh dulu saat menjalankan aksinya sebagai perampok. Ayahku sudah bertobat, namun kesalahan dan dosa masa lalu masih membayanginya sampai napas terakhirnya. Namun, kenapa Ayah tidak membicarakan tentang detail aksi pembunuhan yang dia lakukan dengan keji?

Lihatlah Ayah. Akibat ulahmu, gadis yang kucintai begitu menderita. Dia tidak bisa melupakan kejadian yang menimpa ayahnya malam itu.


Tak ada yang mengetahui, aku adalah anak dari pembunuh ayah Rinda. Hanya aku, Ayahku dan Tuhan yang tahu.  Biarlah rahasia ini kusimpan rapi dan sangat rapat. Ada ketakutan merajai ragaku, takut Rinda membenci diriku, saat dia tahu aku yang sebenarnya. Tapi apa salahku? aku tidak mengetahui tentang pekerjaan Ayahku di masa lalu. Aku hanya anaknya yang tidak tahu apa-apa.

Namun cintaku pada Rinda adalah cinta yang tulus. Terlepas dari amanah Ayah, aku memang mencintainya, dia perempuan satu-satunya yang berhasil membuatku jatuh cinta. 

Apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan memikirkannya sekarang.  Yang kutahu, saat ini, aku bahagia menjadi kekasih Rinda. Kekasih yang akan kujadikan pendamping hidup untuk selamanya.

Mungkin dosa Ayah di masa lalu, aku yang harus menebusnya. Aku tahu, dosa Ayah begitu besar dan tidak terampuni. Tidak akan bisa termaafkan oleh Rinda dan Ibunya.

Maafkan aku kekasihku. Biarlah rahasia ini kusimpan. Kau tahu, hal apa yang paling kutakuti dalam hidupku? Adalah kehilanganmu.

Biarkan aku berbohong demi kebaikan kita. Cinta kita tentunya.(*)







Cintaku Terhalang Uang Panai'

Posted By Redaksi on Rabu, 12 Agustus 2020 | Agustus 12, 2020

 Oleh: Assyifa Barizza

 

Aku masih mematung, memandang tak percaya ke arah laki-laki yang sedang berlutut di hadapanku saat ini. Dia menyematkan cincin bertulis inisial  namaku di jari manis. Apakah ini mimpi? Aku mencubit pipiku dan rasanya sakit. Ini nyata rupanya.

"Maukah engkau menikah denganku, Annisa?"

Hanya beberapa kata, namun kalimat yang keluar dari mulut Dirga mampu menghipnotisku. Lidahku kelu, tidak mampu memberi jawaban. Ada apa denganku? Kenapa salah tingkah begini. Mungkin perasaan bahagia terlalu mendominasi. Aku hanya tersenyum, dan Dirga pasti memahami makna yang tersirat di wajahku.

Hujan masih menyisakan gerimis, aroma petrikor menguar masuk sampai ke dalam Cafe Cozy ini. Februari ini, hujan tak kunjung reda. Ini adalah musim penghujan, musim yang selalu kurindukan. Tidak ada alasan menyukainya, aku hanya suka aroma tanah yang habis disiram hujan.

"Datanglah ke rumahku. Menemui kedua orang tuaku, Ga." Ada rasa lega saat kalimat itu keluar dari mulutku. Senyum masih menghiasi sudut bibirku.

"Tentu saja. Sebagai pecinta sejati, aku akan melamarmu pada kedua orang tuamu.

Kami saling memandang dan tersenyum. Rasa bahagia tidak dapat kusembunyikan. Alunan musik yang dinyanyikan oleh penyanyi Cafe mewakili perasaanku dan Dirga.

 

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat raga ini ingin berlabuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu

Miliki aku dengan segala kelemahanku

Dan bila nanti engkau di sampingku

Jangan pernah letih 'tuk mencintaiku

Akhirnya 'ku menemukanmu

Saat hati ini mulai merapuh

'Ku berharap engkaulah

Jawaban segala risau hatiku

Dan biarkan diriku

Mencintaimu hingga ujung usiaku

Jika nanti 'ku sanding dirimu (sanding dirimu)

Miliki aku dengan segala kelemahanku (segala kelemahanku)

Dan bila nanti engkau di sampingku (di sampingku)

Jangan…

 

"I love you, Annisa," ucap Dirga saat lagu itu telah usai sambil mengecup punggung tanganku.

"I love to," lirihku dengan tersenyum. Pasti pipiku sudah merona merah saat ini.

Dirga Sastra Negara. Laki-laki yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Sudah lama aku mengenalnya, sekitar lima tahun yang lalu. Dia menginjakkan kakinya di kota Daeng, Makassar untuk menimba ilmu. Dia kuliah di Universitas Hasanuddin, begitu pun denganku. Kami berbeda Fakultas, tapi bergabung dalam organisasi yang sama di Kampus. Dari situlah awal kami bertemu dan saling jatuh cinta.

Dirga, bukanlah sosok romantis. Sikapnya justru cenderung dingin. Namun dia cerdas. Itulah yang membuatku suka, kagum dan berakhir dengan cinta. Selain itu, paras wajah tampan membingkai wajahnya. Dia termasuk salah satu idola di kampus ini.

Setelah kuliahnya selesai, Dirga masih tetap di Makassar mengadu nasib. Dia bekerja di perusahaan industri yang terletak di pinggiran kota Makassar. Cinta kami pun semakin hari makin bersemi.

***

Malam Minggu. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WITA. Dirga datang memenuhi janjinya menemui orang tuaku. Mengutarakan keinginannya untuk mempersuntingku sebagai istrinya.

Bapak dan Ibuku yang masih teguh memegang adat istiadat Makassar, memberi syarat yang sangat berat untuk Dirga. Uang panai' dan mahar sangat tinggi dia ajukan padanya.

"Apakah kau bisa menyiapkan uang panai seratus juta dan mahar 50 gram emas? Annisa anakku, adalah anak tunggal. Satu-satunya pewaris hartaku."

Aku sudah menduga, Bapak pasti akan berkata seperti ini. Di Makassar, semakin tinggi pendidikan, status sosial dan harta seorang perempuan maka akan jadi patokan seberapa besar uang panai' yang akan disiapkan oleh calon mempelai pria. Dan juga suatu kebanggaan untuk orang tua, bila anak gadis mereka di lamar dengan uang panai' yang fantastis.

Sementara Dirga, hanya diam menunduk. Tidak mampu menatap wajah Bapak. Aku tahu, Dirga pasti tidak mampu memenuhi syarat yang diberikan oleh Bapak. Dia masih merintis karir dari bawah, gajinya pun masih di bawah lima juta.

Meminta tolong kepada orang tuanya di Ternate juga mustahil. Adat istiadat dan budaya kami sangat berbeda.

"Akan aku usahakan, Pak."

Hanya kata itu yang diucapkan Dirga. Tak ada senyum di wajahnya. Setelah meminum teh hangat yang kusuguhkan, dia pun pamit. Terlihat jelas kerisauan di raut mukanya.

Aku juga merasakan cemas yang sangat. Mampukah Dirga memenuhi permintaan Bapak? Atau dia akan menyerah? Entahlah. Yang kutahu saat ini, aku takut kehilangannya. Aku sudah terlanjur mencintainya. Hanya dia sosok yang kuinginkan jadi pendamping hidupku, yang akan menemaniku menua.

Bukankah dalam Islam pernikahan itu dimudahkan? Ada laki- laki dan perempuan yang siap menikah, wali, saksi, mahar, dan penghulu. Maka, ijab kabul pun sudah bisa dilaksanakan.

Namun ini Makassar. Adat istiadat dan tradisinya seperti sebuah kewajiban yang tidak bisa dilanggar. Rasanya ingin berteriak, apakah hukum Adat lebih penting daripada hukum Islam?

***

Beberapa hari ini, Dirga tidak menghubungiku. Berulang kali kutelepon, tapi nomornya tidak aktif. Aku gelisah, takut terjadi apa-apa padanya.

Sehabis pulang kerja, aku menemui dia di rumah kontrakannya. Ingin berbicara tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sangat tidak siap untuk kehilangannya.

Tatapan matanya kosong, seakan tidak ada gairah hidup. Dia hanya diam menyambut kedatanganku. Dirga sangat berbeda hari ini, hanya mendiamkanku. Biasanya kalau kami bertemu, dia selalu menggodaku.

"Kenapa tidak pernah menghubungiku, Ga?" Aku membuka percakapan. Setelah itu hening kembali tercipta.

Dirga menyulut rokoknya kuat-kuat, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.

"Sejak kapan kau merokok?"

Dirga mematikan rokoknya dan menyimpannya di asbak.

"Aku pusing, Nisa. Tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memenuhi syarat yang diajukan orang tuamu."

"Kau 'kan bisa meminta tolong pada keluargamu di Ternate?" Selaku sembari memegang tangan Dirga. Mencoba memberi kekuatan padanya.

Dirga tertawa pelan, kemudahan berdiri berjalan menuju jendela yang menghadap ke jalan.

"Kau tahu apa yang dikatakan Ibuku saat menceritakan tentang lamaranku padamu? Dia bilang, pulanglah! Di sini banyak gadis-gadis yang bisa kau nikahi dengan uang secukupnya."

Lama kami terdiam. Saling memandang tanpa mengeluarkan suara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Jadi, kau menyerah dan tidak ingin memperjuangkan cinta kita, Ga?"

Dirga menatapku sekilas, kemudian kembali  mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku tahu suasana hatinya saat ini. Di ambang putus asa.

"Terus apa yang harus kulakukan, Nisa? Aku ini bukanlah anak konglomerat. Uang sebanyak itu, dari mana bisa kudapatkan?"

"Banyak cara yang bisa kita tempuh, Ga. Bagaimana kalau kita kawin lari?" Akal sehatku sudah tak berfungsi lagi. Entah dari mana datangnya ide konyol itu. Yah, aku terlalu takut kehilangan lelakiku ini.

"Tidak! Aku tidak ingin menodai cinta kita Nisa. Biarlah waktu yang menjawab tentang hubungan kita ke depannya."

Aku meninggalkan rumah Dirga dengan hati hampa. Dia tidak memberiku harapan yang pasti. Sekilas aku bisa menangkap, ada sikap menyerah pada dirinya.

Bukan salah Dirga, bukan pula salah orang tuaku. Mereka hanyalah korban dari sebuah aturan tak tertulis  yang dibuat oleh manusia.

***

Bagi setiap orang, hari pernikahan adalah hari yang paling terindah dalam hidupnya. Sebuah moment sakral yang sangat bersejarah. Hari itu, adalah bersatunya dua insan dalam ikatan janji suci pernikahan. Tapi tidak denganku. Hari ini seluruh tubuh dan jiwaku terluka.

Sejam yang lalu. Laki-laki pilihan orang tuaku mengucapkan ijab kabul padaku dengan lantang.

"Aku terima nikah dan kawinnya Annisa Ramadhani binti Sulaiman dengan mahar seperangkat alat salat, sebuah rumah dan emas 50 gram dibayar tunai."

Alfian, pria mapan yang mempunyai jabatan supervisor di perusahaan pertambangan nikel di Sorowako, Luwu Timur. Dia mampu memenuhi syarat yang diberikan orang tuaku. Bahkan sebuah rumah dia telah siapkan untukku. Tentu saja tanpa berfikir dua kali, Bapak langsung menerima lamarannya.

"Ini semua untuk kebahagiaanmu, Annisa," ujar Bapak ketika aku tidak setuju dengan lamaran ini. Dalam hati aku bergumam, kebahagiaanku atau kebahagiaan Bapak?

Alfian masih terhitung kerabat denganku. Anak dari sepupu Ibuku. Hari ini aku resmi menyandang status sebagai istrinya.

Berulang kali aku menolak perjodohan ini, tapi Bapak tetap memaksa. Aku tidak punya pilihan lain, hanya bisa pasrah.

"Aku hanya mau menikah dengan Dirga, Pak. Aku mencintai dia."

Dengan terisak, kumengiba pada bapak, bersimpuh di depannya. Berharap, dia akan berubah pikiran.

"Tapi Dirga tidak sanggup memberimu uang panai' sesuai dengan permintaanku." Sedikit pun Bapak tidak menaruh rasa iba padaku. "Bapak sudah menerima pinangan Alfian. Kau akan hidup bahagia dengannya."

Hati kembali menangis bila mengingat itu. Bapak sudah dibutakan dengan uang dan adat. Hanya karena gengsi, dia menggadaikan kebahagiaan anaknya sendiri.

Dalam balutan gaun pernikahan adat Makassar, aku duduk bersanding dengan laki-laki yang sangat asing bagiku. Air mataku sudah kering, aku sudah puas menumpahkannya di ranjang semalam.

Dirga, dia sudah meninggalkan kota Makassar, kembali ke kampung halamannya setelah tahu aku dijodohkan dengan laki-laki lain.

[Semoga kau bahagia dengan laki-laki pilihan orang tuamu, Annisa.] Itu pesan terakhirnya melalui WhatsApp, sehari sebelum dia pergi.

Tamu semakin banyak berdatangan memberi ucapan selamat padaku. Aku mencoba tersenyum, menutupi suasana hati yang gundah.

Aku tidak tahu, apakah pernikahanku akan bahagia tanpa cinta?Aku jalani saja dulu. Seperti kata Dirga, biarlah waktu yang menjawabnya.

Alfian sekarang adalah imamku. Aku harus belajar mencintai dia, walau kutahu itu sulit. Menghilangkan bayangan Dirga, aku rasa butuh waktu yang cukup lama dan apakah aku mampu untuk itu?

Aku bukanlah perempuan yang gampang jatuh cinta. Dirga, adalah laki-laki pertama yang mampu menaklukkan hatiku. Mungkin selamanya, hanya dia akan yang akan bertahta di sana.

Dirga yang seharusnya mengucap janji suci itu padaku dan duduk bersanding di pelaminan yang megah ini. Tapi takdir berkata lain dan aku tidak boleh mengingkari itu. Dirga tercipta bukan untukku, begitu pun sebaliknya.

Tuhan, apa yang terjadi adalah kehendakmu. Pernikahanku ini adalah takdirmu yang tidak bisa kutolak. Aku hanya meminta, hilangkan rasa cintaku pada Dirga dan mengalihkannya pada Alfian.

Tuhan, aku titipkan Dirga padamu. Kirimkan dia perempuan yang mencintainya dengan tulus. Walaupun kami diciptakan untuk bersatu, tapi aku akan selalu berdo'a agar dia bahagia bersama perempuan yang telah engkau pilihkan untuknya.

"Kau begitu cantik malam ini, istriku." Aku mendengar bisikan lembut Alfian di telingaku. Tapi, kenapa aku tidak suka dengan kalimat itu? Andai Dirga yang ucapkan, pasti akan terasa romantis.

Resepsi pernikahan belum usai, tapi hujan sudah mengguyur Makassar. Kukira musim hujan sudah berakhir di bulan Mei ini, tapi dia masih turun membasahi bumi. Apakah dia tahu kalau aku merindukannya?

Aku suka hujan. Aku suka aromanya. Rasanya ingin berlari di bawah tumpahan air hujan dengan gaun pengantin, menangis sepuasnya tanpa ada yang tahu.

"Apa ada yang bisa memberi tahuku? Bagaimana rasanya sekamar dengan pria yang tidak kita cintai?"

Aku yakin, ini adalah yang terbaik untukku meski bukan yang terindah.

 

Tidore, 2020

 

Note;

Uang panai' : Uang belanja.

Uang panai' dan mahar itu berbeda untuk suku Bugis dan Makassar.

Kristal Putih

Posted By Redaksi on Senin, 10 Agustus 2020 | Agustus 10, 2020

Oleh: Assyifa Barizza

Cuaca yang kurang bersahabat sore ini, membuat Alexi memutar haluan perahu kecilnya menuju pesisir. Hujan yang disertai angin lebat, membuat laut mengamuk. Ombak pun seketika memukul perahunya yang hanya menggunakan satu mesin. Hasil tangkapan ikannya belum seberapa, tapi Alexi lebih memilih pulang daripada tetap bertahan di laut yang saat ini sedang murka.

Saat tiba di pesisir, Alexi segera memungut ikan yang masih berada dalam jala untuk ditawarkan pada para pelanggan. Alangkah terkejutnya, di antara tumpukan ikan kakap, Alexi menemukan sebuah bola kristal berwarna putih sebesar telur.

"Sangat indah," guman Alexi dalam hati sambil memasukkan benda itu kedalam saku celananya.

"Tangkapan ikannya banyak, Alexi?" tegur beberapa ibu-ibu yang mendekati perahunya.

"Lumayan untuk hari ini, tangkapan ikanku kali ini kuberikan pada ibu-ibu dengan gratis."

Langsung saja ibu-ibu yang kebetulan berada di tempat  menyerbu perahu untuk mengambil ikan yang masih berada di sana.

"Bagi rata, yah," ucap Alexi sembari meninggalkan pantai setelah terlebih dahulu menambatkan perahunya.

Sepanjang perjalanan, Alexi tidak berhenti tersenyum. Dalam hatinya terbersit pikiran untuk menjual benda yang berbentuk kristal tadi.

"Harganya pasti mahal. Sebentar lagi aku kaya raya, aku bisa mempersunting Adeena, bisa membeli kapal penangkap ikan yang lebih besar." Alexi mulai berkhayal. Sudah lama dia naksir sama Adeena, gadis kampung sebelah. Apalah daya, dia hanya seorang pemuda yatim yang miskin. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Kini, dia hanya hidup bersama Sang Ibu yang sudah renta. Sementara dua kakak perempuannya, sudah menikah dan memilih hidup di kampung suami. Hanya sesekali mereka datang membesuk.

***

"Kau adalah laki-laki pilihan yang bisa menyelamatkan bangsa kami dari serangan kerajaan laut hitam."

Seorang perempuan yang sangat cantik bagai bidadari berada dalam kamar Alexi. Dia terkejut bukan kepalang. Seumur hidupnya, baru kali ini, dia melihat perempuan yang sangat cantik. Sebuah tiara menghiasi kepala perempuan itu, layaknya seperti seorang ratu yang biasa Alexi saksikan di film kerajaan.

"Si … siapa kau?" tanya Alexi ketakutan. Suaranya terbata-bata.

"Aku Ratu Diomira! Ratu kerajaan Laut Putih. Saat ini, kerajaan kami diserbu oleh Raja Laut Hitam dan pasukannya yang terkenal sangat kejam. Dia ingin menguasai kerajaan kami dan tunduk di bawah perintahnya. Hanya kau yang bisa membantu kami!"

"Kenapa harus aku?"

"Karena siapa yang berhasil menemukan kristal putih, simbol dari kerajaan kami, maka dialah laki-laki yang mampu mengalahkan Raja Laut Hitam."

"Kalau Raja Laut Hitam berkuasa, apa yang akan terjadi?"

"Seluruh lautan akan berada dalam kegelapan. Gelombang, ombak dan tsunami akan dia ciptakan. Akibatnya, para manusia juga akan terkena dampaknya, tidak bisa lagi menangkap ikan dan bencana akan sering terjadi."

Alexi masih bingun dengan ucapan perempuan yang berada di hadapannya saat ini. Nalarnya masih belum bisa menerima, bukankah cerita tentang kerajaan laut, hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur?

"Waktuku tidak banyak. Pertimbangan ucapanku tadi. Kalau kau ingin membantu bangsaku, datanglah besok ke pulau Marumasa. Di situ, kau akan menemui ikan lumba-lumba yang akan membawamu ke kerajaanku," ucap perempuan itu kemudian tiba-tiba menghilang dari pandangan Alexi.

"Alexi, Alexi bangun." Alexi terkejut, karena di depannya saat ini hanya ibunya yang memanggil-manggil namanya.

"Ibu? di mana Ratu tadi?"

"Ratu apaan? kau ini kebanyakan tidur, jadi mimpi yang tidak masuk akal."

Alexi mengucek matanya, rasanya yang terjadi tadi bukanlah mimpi, seperti nyata. Segera Alexi mengambil kristal di saku celananya dan memandangnya sedemikan rupa. Bukankah di mimpiku, perempuan itu berkata bahwa yang menemukan kristal ini adalah laki-laki pilihan yang bisa mengalahkan Raja Laut Hitam?

***

Siang itu, Alexi ke pulau Marumasa, sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya. Dengan menggunakan perahu kecilnya, dia ke pulau itu, hanya sebuah pulau kecil. Banyak orang bilang, kalau pulau itu angker. Meski, belum ada yang membuktikan tentang keangkerannya.

Sejam perjalanan, sampailah Alexi di pulau Marumasa.Sebuah pulau yang sangat indah. Airnya biru, ikan di dalamnya tampak berenang kesana-kemari, seakan-akan menyambut kedatangan Alexi. Tak lama, seekor ikan lumba-lumba yang sangat besar datang menghampirinya. Ikan itu, seperti menawari Alexi naik ke punggungnya. Tanpa berfikir lama, dia segera naik ke punggung ikan itu. Ikan itu pun lalu membawa Alexi mengarungi lautan luas. Lajunya sangat kencang, kemudian diamenyelam, membawa Alexi ke dasar laut.

Alangkah takjubnya Alexi saat tiba di dasar laut. Sebuah istana yang sangat megah berada di hadapannya. Beberapa prajurit menyambut kedatangannya. Tampak dari dalam istana seorang Ratu dikelilingi dayang perempuan berjalan ke arahnya. Alexi tak berkedip menatap Ratu dan juga dayang yang kecantikannya tak tertandingi itu. Bukankah itu Ratu yang menemuinya lewat mimpi?

"Selamat datang di kerajaan Laut Putih, Alexi!"

"Ratu Diomira? bukankah kau yang datang di alam mimpiku?"

"Iya, aku sebagai Ratu Laut Putih sangat berterima kasih atas kedatanganmu ke kerajaan kami. Apakan kau bersedia membantu kami?"

"Apa imbalannya, kalau aku membantumu?"

"Aku bisa memberimu kekayaan Alexi. Jika kau mau, kau bisa menetap di kerajaan kami dan menjadi Raja di disini. Tentu saja kau harus menikahiku terlebih dahulu."

Menikah dengan Ratu Diomira? perempuan yang cantiknya laksana bidadari?  menjadi Raja dan dia akan kaya? tapi saat ini dipikiran Alexi hanya untuk membantu Ratu Diomira. Dia tidak ingin kegelapan menguasai lautan.

"Aku akan membantumu Ratu! Tapi, apa yang harus kulakukan? aku tidak menguasai ilmu belah diri."

"Aku akan memberimu tongkat kerajaan, senjata pusaka laut putih. Selain itu, kristal putih yang ada padamu bisa kau gunakan saat dalam keadaan terdesak ketika bertarung dengan Raja Laut Hitam. Sebentar malam, saat purnama penuh, Raja Laut Hitam dan pasukannya akan menyerang." Ratu Diomira mengakhiri petuahnya sembari mempersilahkan Alexi menuju ke ruang makan istana. Di sana, sudah tersedia berbagai macam aneka hidangan dan buah-buahan yang lezat.

***

Tengah malam. Saat purnama sudah penuh, lonceng dibunyikan. Pertanda, Raja Laut Hitam sudah datang menyerang.

Alexi dan pasukan laut putih sudah bersiap-siap. Alexi yang akan menjadi panglima perang, dia sudah memegang tombak pusaka pemberian Ratu Diomira. Sebelumnya, dia sudah diberi ramuan berupa bubuk mutiara sakti, agar bisa bebas bernafas dalam air.

Musuh semakin mendekat, jumlah mereka sangat banyak. Alexi kaget sekaligus ngeri melihat wujud dari Raja Laut hitam. Raja itu, mukanya hitam lebam dan berbentuk gurita raksasa yang siap menerjangnya. Menurut Ratu Diomira, Raja Laut Hitam adalah pamannya sendiri. Tapi dia serakah ingin merebut tahta kerajaan laut putih dari kakaknya sendiri, yaitu ayah dari Ratu Diomira, pewaris sah kerajaan. Akhirnya dia dikutuk menjadi menjadi makhluk buruk rupa dan diusir dari istana.

Pertarungan sudah dimulai, para pasukan dari ke-dua kubu sudah mulai saling menyerang. Alexi segera mendekat ke arah raja Laut Hitam yang besarnya tiga kali lipat dari dirinya. Raja Laut Hitam mulai menyerang Alexi,  beberapa kali dirinya terlempar karena tentakel Raja Laut Hitam menyerangnya bertubi-tubi. Untunglah, Alexi selalu bisa berkelit dan terbebas dari belitan tentakelnya.

Pertarungan semakin sengit, tampak korban dari ke-dua kubu sudah mulai berjatuhan. Tombak yang digunakan Alexi selalu gagal setiap kali menyerang Raja Laut Hitam.

"Kau tidak bisa selamat dariku anak muda." Raja Laut Hitam berhasil menangkap Alexi saat dia lengah.

Alexi yang berada dalam cengkeraman Raja Laut Hitam susah bernapas akibat belitan tentakel. Tombaknya pun sudah terlepas. Segera dia mengeluarkan kristal putih dari sakunya, dan mengarahkan ke arah Raja Laut Hitam.

Raja Laut Hitam kaget, seketika badannya lemas. Kilauan kristal putih membuatnya tidak bisa melihat. Alexi tidak membuang kesempatan, segera dia melepaskan diri dan meraih tombak pusaka dan menancapkan pada badan Raja Laut Hitam.

Raja Laut Hitam berteriak keras menahan sakit, darah mengucur dari tubuhnya membuat kerajaan laut putih berubah menjadi merah. Detik itu juga, Raja Laut Hitam menghembuskan napas terakhirnya. Pasukannya segera menghentikan pertempuran saat melihat rajanya gugur. Segera mereka memohon ampun dan bersedia menjadi pengikut Ratu Laut Putih.

***

Kemenangan dirayakan oleh seluruh penghuni kerajaan Laut Putih selama tiga hari tiga malam.

"Terimakasih Alexi. Karena bantuanmu, akhirnya kerajaan laut putih bisa hidup aman dan tentram. Sesuai janjiku, apakah kau bersedia menjadi Raja dan menikah denganku?"

Alexi  terdiam, tawaran Ratu Diomira memang menggiurkan. Siapa yang tidak ingin jadi Raja dan mempunyai istri secantik Ratu Diomira?

"Maaf Ratu, dunia kita berbeda. Aku lebih memilih untuk hidup di duniaku dan tetap menjadi seorang nelayan. Aku mengembalikan kristal putih padamu." Alexi menyerahkan kristal putih ke tangan Ratu Diomira.

"Tidak Alexi. Karena kemuliaan hatimu,  kristal putih ini aku serahkan padamu. Anggap saja ini hadiah dari laut, karena telah menyelamatkannya dari kegelapan."

"Tapi, apa gunanya benda ini untukku, Ratu?"

"Dengan kristal ini, saat kau melaut, ikan-ikan akan berdatangan padamu. Dengan ikan hasil tangkapanmu, kau akan menjadi kaya raya, Alexi," jawab Ratu Diomira sembari mengembalikan kristal ke tangan Alexi.

"Selain itu, dengan kristal putih di tanganmu, laut akan bersahabat denganmu. Kau juga bisa berkunjung ke sini dengan menggunakan kristal putih," lanjut Ratu Diomira.

Alexi menggemgam kuat kristal putih di tangannya, seakan dia tidak percaya apa yang baru saja dialaminya. Ternyata kerajaan laut bukanlah dongeng semata, tapi ini nyata. Dia orang yang paling beruntung karena berkesempatan untuk bisa melihat kerajaan Laut Putih dan bangga karena telah dipilih untuk menjadi penyelamat kerajaan ini.

Tidore, 2020

Perempuan di Tepi Pantai

 Oleh: Assyifa Barizza

Senja ini kembali aku duduk di tepi pantai Loleo menyaksikan debur ombak sore yang saling berkejaran. Sesekali aku melemparkan batu ke laut.

Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok seorang perempuan paruh baya yang berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan, datar tanpa ekspresi. Wajahnya pun seakan tidak memiliki gairah kehidupan.

'Ah dia lagi, untuk apa dia menghabiskan waktunya setiap hari di pantai ini?' bisikku dalam hati. Hampir tiap hari aku selalu melihat perempuan itu di sini, sesekali kadang kulihat dia berteriak pada laut. Sesekali kulihat menangis. Apa gerangan yang terjadi padanya?

"Bikiapa ngana di sini? Kita cari ngana sampe (Bikin apa si sini? Aku cari kamu?". Aku dikejutkan oleh kedatangan Gifar, sepupuku.

"Tarada. kita cuma santai sa (Tidak ada, cuma bersantai)," jawabku asal.

"Kong perempuan itu bikiapa di situ? Tara bosan kah dia duduk di sana tiap hari (Perempuan itu, bikin apa di situ? Apa dia tidak bosan duduk di sana tiap hari)?" tanyaku pada Gifar sambil menunjuk sosok perempuan misterius itu yang berdiri di tepi pantai.

Gifar pun mulai berkisah tentang sosok perempuan yang akhir-akhir ini menyita perhatianku.

Namanya Bibi Fat. Lima tahun yang lalu suaminya pergi melaut dan sampai sekarang suaminya tak kunjung pulang. Menurut cerita yang beredar, perahu suaminya diterjang badai  hingga hancur. Namun mayatnya tidak ditemukan. Ada yang bilang, mayatnya dimakan oleh ikan, ada pula yang mengatakan mayatnya terbawa ombak besar ke lautan luas hingga mayatnya tak bisa diketemukan. Ada pula yang mengatakan bahwa suami Bibi Fat sebenarnya belum meninggal, cuman penjaga laut membawanya ke dasar lautan untuk menjadikan dia sebagai budak. Entahlah mana yang benar. Terlalu banyak spekulasi masyarakat tentang kasus ini. Sejak itu Bibi Fat seperti orang linglung, dia tidak percaya akan musibah yang menimpa suaminya. Sampai sekarang dia meyakini bahwa suaminya masih hidup, itulah sebabnya dia setia berada di pantai menunggu Sang Suami pulang. Bibi Fat akan marah bila ada yang mengatakan kalau suaminya sudah meninggal. Ah, sebuah kisah yang menguras air mata. Netraku pun berkabut, mendengarkan cerita Gifar.  Sebuah cerita tentang cinta dan kesetiaan.

Sambil dengar Gifar bercerita, aku langsung teringat seseorang yang saat ini tengah mengarungi lautan luas. Dia adalah Rudi kekasihku. Pikiranku langsung tertuju padanya. Ada semacam rasa takut dan khawatir, mengingat hidupnya lebih banyak di laut.

"Nina, mari kita pulang. So mau malam ini (Nina, ayo pulang. Sudah mau malam)," ajak Gifar.

"Ngana pulang duluan sudah, kita masih mau duduk di sini (Kamu pulang duluan saja, aku masih mau duduk di sini)."

"Jang lama e, jangan bikin Tete pe kepala pusing tara lia' ngana di rumah (Jangan lama, jangan sampai Kakek pusing tidak melihatmu di rumah)." Gifar pun berlalu meninggalkanku sendiri di tepi pantai ini.

***

Namaku Nina Husain. Orang memanggilku Nina. Ayahku berasal dari Maluku Utara dan Ibuku berasal dari kota daeng Makasar. Sebuah perpaduan yang sempura menurutku. Aku mewarisi kulit putih ibuku dan mewarisi rambut ikal ayahku.

Mereka bertemu saat Ayahku kuliah di universitas Hasanuddin Makassar. Kebetulan mereka satu fakultas, akhirnya tumbuhlah benih cinta di antara Ayah dan Ibu dan berakhir di pelaminan. Kisah cinta yang indah bukan?

Itulah sebabnya hampir setiap tahun aku berada di sini mengunjungi keluarga Ayahku. Kakekku masih hidup dan Nenekku sudah lama meninggal dunia.

***

Malam itu. Sehabis makan malam, aku duduk di samping kakek sambil bertanya tentang Bibi Fat.

"Tete, bikiapa kong Bibi Fat pe keluarga tara bawa dia ke rumah sakit jiwa untuk berobat (Kakek, kenapa Keluarga Bibi Fat tidak membawanya berobat ke rumah sakit jiwa?"

Sambil memamah pinang dan sirih, Kakek menjawab pertanyaanku. "Bibi Fat itu tara gila, dia hanya  tara mau terima takdir kalau dia pe laki meninggal (Bibi Fat tidak gila, dia hanya tidak mau terima takdir, kalau suaminya telah meninggal.")

Ah Bibi Fat, sebegitu besarnya cintamu kepada suamimu hingga saat ini kau belum bisa menerima takdir kalau suamimu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Lima tahun telah berlalu, tapi kau masih setia menunggu di tepi pantai. Apakah kau menunggu keajaiban?"

Tiba-tiba gawaiku berdering. Ada panggilan telepon dari Rudi. Mungkin saat ini kapalnya merapat di pelabuhan, hingga menemukan sinyal untuk menelponku. Dengan perasaan rindu ku angkat teleponnya.

"Assalamualaikum, Daeng. Gimana kabarta' Daeng? Sehat?" Kuberondong Rudi dengan pertanyaan. Senang rasanya dia bisa menghubungiku. Rudi juga berasal dari tanah daeng Makasar.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat ja' ndik.  Bagaimana kabarta' di situ?"

"Baek-baekja, Daeng, cuma perasaanku tidak enak," gumanku dengan lemah nyaris tanpa suara.

"Kenapaki', Ndik?"

Kuceritakan tentang Bibi Fat pada Rudi. Kuceritakan tentang kekhawatiranku padanya yang memilih laut untuk menjadi sumber mata pencahariannya. Aku takut apa yang menimpa suami Ibu Fat juga akan menimpa Rudi.

"Lebih baik kita do'akan ka saja, Ndik, janganmi berpikiran macam-macam. Yang namanya maut itu sudah ketentuan sang maha pencipta. Di manapun kita berada, kematian tetap akan datang menjemput. Berdo'a maki saja nah, supaya terkumpul banyak uangku untuk lamarki." Rudi mengakhiri teleponnya. Tidak ada ketakutan dalam suaranya. Memang dari dulu Rudi sudah mencintai laut.

"Mauka' lanjut di sekolah tinggi pelayaran, Ndik." Katanya waktu itu saat dia baru saja tamat di SMU. Sementara aku baru duduk di kelas dua SMU.

"Daeng nda' takut dengan ombak dan gelombang? Bagaimana kalau kapal daeng tenggelam?" tanyaku dengan raut wajah kecewa waktu itu.

"Nenek moyang kita itu orang pelaut, Ndik, masa  cucunya takut sama laut?" jawab Rudi santai. Dia memang mencintai laut.

Sebenarnya aku tidak ingin Rudi menjadi pelaut. Aku tidak ingin menjadi istri yang sering di tinggal suami. Konon aku sering dengar, para pelaut mempunyai wanita di setiap pelabuhan yang dia singgahi. Namun, mana mungkin aku menghalangi cita-cita Rudi yang diimpikannya sejak dari kecil? Aku berusaha menghilangkan ketakutanku bahwa dia akan mempunyai wanita lain. Aku yakin, dia hanya milikku. Sebagai seorang kekasih, aku hanya bisa mensupport dan mendo'akan supaya dia sukses.

***

Pagi itu gempar. Bibi Fat tidak ada, seluruh warga kampung sudah mencarinya di mana-mana, tapi dia tidak ditemukan. Bahkan di tempat dia biasa menghabiskan waktu di pantai juga tidak ada. Keluarga dan anak perempuannya yang sudah beranjak remaja berlari ke sana-kemari mencari Bibi Fat. Namun hasilnya nihil. Ke mana Bibi Fat?

Ada seorang nelayan mengabarkan bahwa perahunya yang dia tambatkan tadi malam di pantai sehabis melaut hilang. Jangan-jangan Bibi Fat yang memakai perahu itu tadi malam.

Warga gempar, tadi malam gelombang laut cukup kuat. Nelayan saja memutuskan untuk tidak melaut. Hujan dan angin, datang bersamaan, menciptakan ombak di tengah samudra.

Ah, Bibi Fat. Apakah kau sudah jemu menunggu kedatangan suamimu hingga kau menyusulnya ke laut. Ataukah suamimu yang menjemputmu hingga kau pergi?.

Sejuta pertanyaan bergelayut dalam benakku. Aku menemukan kesejatian cinta pada diri Bibi Fat. Seorang perempuan yang setia menunggu kedatangan suami selama bertahun-tahun yang tidak tau kapan akan berakhir penantian itu. Dia hanya menunggu dan menunggu. Dan mungkin tadi malam dia telah lelah menunggu, akhirnya menyusul sang suami ke laut lepas. Alangkah besar cintamu Bibi Fat.

Seminggu kemudian, perahu nelayan yang hilang itu di temukan terdampar di tepi pantai desa tetangga, tapi Bibi Fat tidak ada. Mungkin perahu itu pulang untuk mengabarkan bahwa Bibi Fat dan suaminya sudah bertemu. Anak Bibi Fat histeris. Kini dia menjadi Yatim piatu, kedua orang tuanya telah direnggut oleh laut. Ataukah Bibi Fat bersama suaminya sedang berada di dasar laut? Seperti cerita sebagian warga kampung? Entahlah. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kisahnya seakan-akan menjadi teka-teki yang tidak pernah usai.

*** 

Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas dari bandara Baabullah Ternate menuju bandara Hasanuddin Makassar.

Kisah Bibi Fat terus membayangiku. Apakah karena Rudi sang kekasih adalah pelaut? Bukankah kata Rudi bahwa maut adalagi hal yang pasti akan datang menjemput di manapun kita berada?

Aku ingin mempunyai cinta sejati seperti yang dimiliki Bibi Fat, tapi cinta sejati yang dilandasi iman, bukan harus mengejar maut demi mencari cinta yang tak kunjung datang.

Tidore, 5 Mei 2020

 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday