Latest Post
Nasib Kampung Pak Tani
Posted By Redaksi on Rabu, 02 September 2020 | September 02, 2020
Sebuah Cerita Dari Kampung
Posted By Redaksi on Selasa, 25 Agustus 2020 | Agustus 25, 2020
Hujan di Bulan Juli
Posted By Redaksi on Selasa, 18 Agustus 2020 | Agustus 18, 2020
Rahasia di Balik Cinta
Posted By Redaksi on Sabtu, 15 Agustus 2020 | Agustus 15, 2020
Cintaku Terhalang Uang Panai'
Posted By Redaksi on Rabu, 12 Agustus 2020 | Agustus 12, 2020
Oleh: Assyifa Barizza
Aku masih mematung, memandang tak percaya ke arah laki-laki yang sedang berlutut di hadapanku saat ini. Dia menyematkan cincin bertulis inisial namaku di jari manis. Apakah ini mimpi? Aku mencubit pipiku dan rasanya sakit. Ini nyata rupanya.
"Maukah engkau menikah denganku, Annisa?"
Hanya beberapa kata, namun kalimat yang keluar dari mulut Dirga mampu menghipnotisku. Lidahku kelu, tidak mampu memberi jawaban. Ada apa denganku? Kenapa salah tingkah begini. Mungkin perasaan bahagia terlalu mendominasi. Aku hanya tersenyum, dan Dirga pasti memahami makna yang tersirat di wajahku.
Hujan masih menyisakan gerimis, aroma petrikor menguar masuk sampai ke dalam Cafe Cozy ini. Februari ini, hujan tak kunjung reda. Ini adalah musim penghujan, musim yang selalu kurindukan. Tidak ada alasan menyukainya, aku hanya suka aroma tanah yang habis disiram hujan.
"Datanglah ke rumahku. Menemui kedua orang tuaku, Ga." Ada rasa lega saat kalimat itu keluar dari mulutku. Senyum masih menghiasi sudut bibirku.
"Tentu saja. Sebagai pecinta sejati, aku akan melamarmu pada kedua orang tuamu.
Kami saling memandang dan tersenyum. Rasa bahagia tidak dapat kusembunyikan. Alunan musik yang dinyanyikan oleh penyanyi Cafe mewakili perasaanku dan Dirga.
Akhirnya 'ku menemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
Akhirnya 'ku menemukanmu
Saat raga ini ingin berlabuh
'Ku berharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti 'ku sanding dirimu
Miliki aku dengan segala kelemahanku
Dan bila nanti engkau di sampingku
Jangan pernah letih 'tuk mencintaiku
Akhirnya 'ku menemukanmu
Saat hati ini mulai merapuh
'Ku berharap engkaulah
Jawaban segala risau hatiku
Dan biarkan diriku
Mencintaimu hingga ujung usiaku
Jika nanti 'ku sanding dirimu (sanding dirimu)
Miliki aku dengan segala kelemahanku (segala kelemahanku)
Dan bila nanti engkau di sampingku (di sampingku)
Jangan…
"I love you, Annisa," ucap Dirga saat lagu itu telah usai sambil mengecup punggung tanganku.
"I love to," lirihku dengan tersenyum. Pasti pipiku sudah merona merah saat ini.
Dirga Sastra Negara. Laki-laki yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Sudah lama aku mengenalnya, sekitar lima tahun yang lalu. Dia menginjakkan kakinya di kota Daeng, Makassar untuk menimba ilmu. Dia kuliah di Universitas Hasanuddin, begitu pun denganku. Kami berbeda Fakultas, tapi bergabung dalam organisasi yang sama di Kampus. Dari situlah awal kami bertemu dan saling jatuh cinta.
Dirga, bukanlah sosok romantis. Sikapnya justru cenderung dingin. Namun dia cerdas. Itulah yang membuatku suka, kagum dan berakhir dengan cinta. Selain itu, paras wajah tampan membingkai wajahnya. Dia termasuk salah satu idola di kampus ini.
Setelah kuliahnya selesai, Dirga masih tetap di Makassar mengadu nasib. Dia bekerja di perusahaan industri yang terletak di pinggiran kota Makassar. Cinta kami pun semakin hari makin bersemi.
***
Malam Minggu. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WITA. Dirga datang memenuhi janjinya menemui orang tuaku. Mengutarakan keinginannya untuk mempersuntingku sebagai istrinya.
Bapak dan Ibuku yang masih teguh memegang adat istiadat Makassar, memberi syarat yang sangat berat untuk Dirga. Uang panai' dan mahar sangat tinggi dia ajukan padanya.
"Apakah kau bisa menyiapkan uang panai seratus juta dan mahar 50 gram emas? Annisa anakku, adalah anak tunggal. Satu-satunya pewaris hartaku."
Aku sudah menduga, Bapak pasti akan berkata seperti ini. Di Makassar, semakin tinggi pendidikan, status sosial dan harta seorang perempuan maka akan jadi patokan seberapa besar uang panai' yang akan disiapkan oleh calon mempelai pria. Dan juga suatu kebanggaan untuk orang tua, bila anak gadis mereka di lamar dengan uang panai' yang fantastis.
Sementara Dirga, hanya diam menunduk. Tidak mampu menatap wajah Bapak. Aku tahu, Dirga pasti tidak mampu memenuhi syarat yang diberikan oleh Bapak. Dia masih merintis karir dari bawah, gajinya pun masih di bawah lima juta.
Meminta tolong kepada orang tuanya di Ternate juga mustahil. Adat istiadat dan budaya kami sangat berbeda.
"Akan aku usahakan, Pak."
Hanya kata itu yang diucapkan Dirga. Tak ada senyum di wajahnya. Setelah meminum teh hangat yang kusuguhkan, dia pun pamit. Terlihat jelas kerisauan di raut mukanya.
Aku juga merasakan cemas yang sangat. Mampukah Dirga memenuhi permintaan Bapak? Atau dia akan menyerah? Entahlah. Yang kutahu saat ini, aku takut kehilangannya. Aku sudah terlanjur mencintainya. Hanya dia sosok yang kuinginkan jadi pendamping hidupku, yang akan menemaniku menua.
Bukankah dalam Islam pernikahan itu dimudahkan? Ada laki- laki dan perempuan yang siap menikah, wali, saksi, mahar, dan penghulu. Maka, ijab kabul pun sudah bisa dilaksanakan.
Namun ini Makassar. Adat istiadat dan tradisinya seperti sebuah kewajiban yang tidak bisa dilanggar. Rasanya ingin berteriak, apakah hukum Adat lebih penting daripada hukum Islam?
***
Beberapa hari ini, Dirga tidak menghubungiku. Berulang kali kutelepon, tapi nomornya tidak aktif. Aku gelisah, takut terjadi apa-apa padanya.
Sehabis pulang kerja, aku menemui dia di rumah kontrakannya. Ingin berbicara tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sangat tidak siap untuk kehilangannya.
Tatapan matanya kosong, seakan tidak ada gairah hidup. Dia hanya diam menyambut kedatanganku. Dirga sangat berbeda hari ini, hanya mendiamkanku. Biasanya kalau kami bertemu, dia selalu menggodaku.
"Kenapa tidak pernah menghubungiku, Ga?" Aku membuka percakapan. Setelah itu hening kembali tercipta.
Dirga menyulut rokoknya kuat-kuat, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.
"Sejak kapan kau merokok?"
Dirga mematikan rokoknya dan menyimpannya di asbak.
"Aku pusing, Nisa. Tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memenuhi syarat yang diajukan orang tuamu."
"Kau 'kan bisa meminta tolong pada keluargamu di Ternate?" Selaku sembari memegang tangan Dirga. Mencoba memberi kekuatan padanya.
Dirga tertawa pelan, kemudahan berdiri berjalan menuju jendela yang menghadap ke jalan.
"Kau tahu apa yang dikatakan Ibuku saat menceritakan tentang lamaranku padamu? Dia bilang, pulanglah! Di sini banyak gadis-gadis yang bisa kau nikahi dengan uang secukupnya."
Lama kami terdiam. Saling memandang tanpa mengeluarkan suara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Jadi, kau menyerah dan tidak ingin memperjuangkan cinta kita, Ga?"
Dirga menatapku sekilas, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke jendela. Aku tahu suasana hatinya saat ini. Di ambang putus asa.
"Terus apa yang harus kulakukan, Nisa? Aku ini bukanlah anak konglomerat. Uang sebanyak itu, dari mana bisa kudapatkan?"
"Banyak cara yang bisa kita tempuh, Ga. Bagaimana kalau kita kawin lari?" Akal sehatku sudah tak berfungsi lagi. Entah dari mana datangnya ide konyol itu. Yah, aku terlalu takut kehilangan lelakiku ini.
"Tidak! Aku tidak ingin menodai cinta kita Nisa. Biarlah waktu yang menjawab tentang hubungan kita ke depannya."
Aku meninggalkan rumah Dirga dengan hati hampa. Dia tidak memberiku harapan yang pasti. Sekilas aku bisa menangkap, ada sikap menyerah pada dirinya.
Bukan salah Dirga, bukan pula salah orang tuaku. Mereka hanyalah korban dari sebuah aturan tak tertulis yang dibuat oleh manusia.
***
Bagi setiap orang, hari pernikahan adalah hari yang paling terindah dalam hidupnya. Sebuah moment sakral yang sangat bersejarah. Hari itu, adalah bersatunya dua insan dalam ikatan janji suci pernikahan. Tapi tidak denganku. Hari ini seluruh tubuh dan jiwaku terluka.
Sejam yang lalu. Laki-laki pilihan orang tuaku mengucapkan ijab kabul padaku dengan lantang.
"Aku terima nikah dan kawinnya Annisa Ramadhani binti Sulaiman dengan mahar seperangkat alat salat, sebuah rumah dan emas 50 gram dibayar tunai."
Alfian, pria mapan yang mempunyai jabatan supervisor di perusahaan pertambangan nikel di Sorowako, Luwu Timur. Dia mampu memenuhi syarat yang diberikan orang tuaku. Bahkan sebuah rumah dia telah siapkan untukku. Tentu saja tanpa berfikir dua kali, Bapak langsung menerima lamarannya.
"Ini semua untuk kebahagiaanmu, Annisa," ujar Bapak ketika aku tidak setuju dengan lamaran ini. Dalam hati aku bergumam, kebahagiaanku atau kebahagiaan Bapak?
Alfian masih terhitung kerabat denganku. Anak dari sepupu Ibuku. Hari ini aku resmi menyandang status sebagai istrinya.
Berulang kali aku menolak perjodohan ini, tapi Bapak tetap memaksa. Aku tidak punya pilihan lain, hanya bisa pasrah.
"Aku hanya mau menikah dengan Dirga, Pak. Aku mencintai dia."
Dengan terisak, kumengiba pada bapak, bersimpuh di depannya. Berharap, dia akan berubah pikiran.
"Tapi Dirga tidak sanggup memberimu uang panai' sesuai dengan permintaanku." Sedikit pun Bapak tidak menaruh rasa iba padaku. "Bapak sudah menerima pinangan Alfian. Kau akan hidup bahagia dengannya."
Hati kembali menangis bila mengingat itu. Bapak sudah dibutakan dengan uang dan adat. Hanya karena gengsi, dia menggadaikan kebahagiaan anaknya sendiri.
Dalam balutan gaun pernikahan adat Makassar, aku duduk bersanding dengan laki-laki yang sangat asing bagiku. Air mataku sudah kering, aku sudah puas menumpahkannya di ranjang semalam.
Dirga, dia sudah meninggalkan kota Makassar, kembali ke kampung halamannya setelah tahu aku dijodohkan dengan laki-laki lain.
[Semoga kau bahagia dengan laki-laki pilihan orang tuamu, Annisa.] Itu pesan terakhirnya melalui WhatsApp, sehari sebelum dia pergi.
Tamu semakin banyak berdatangan memberi ucapan selamat padaku. Aku mencoba tersenyum, menutupi suasana hati yang gundah.
Aku tidak tahu, apakah pernikahanku akan bahagia tanpa cinta?Aku jalani saja dulu. Seperti kata Dirga, biarlah waktu yang menjawabnya.
Alfian sekarang adalah imamku. Aku harus belajar mencintai dia, walau kutahu itu sulit. Menghilangkan bayangan Dirga, aku rasa butuh waktu yang cukup lama dan apakah aku mampu untuk itu?
Aku bukanlah perempuan yang gampang jatuh cinta. Dirga, adalah laki-laki pertama yang mampu menaklukkan hatiku. Mungkin selamanya, hanya dia akan yang akan bertahta di sana.
Dirga yang seharusnya mengucap janji suci itu padaku dan duduk bersanding di pelaminan yang megah ini. Tapi takdir berkata lain dan aku tidak boleh mengingkari itu. Dirga tercipta bukan untukku, begitu pun sebaliknya.
Tuhan, apa yang terjadi adalah kehendakmu. Pernikahanku ini adalah takdirmu yang tidak bisa kutolak. Aku hanya meminta, hilangkan rasa cintaku pada Dirga dan mengalihkannya pada Alfian.
Tuhan, aku titipkan Dirga padamu. Kirimkan dia perempuan yang mencintainya dengan tulus. Walaupun kami diciptakan untuk bersatu, tapi aku akan selalu berdo'a agar dia bahagia bersama perempuan yang telah engkau pilihkan untuknya.
"Kau begitu cantik malam ini, istriku." Aku mendengar bisikan lembut Alfian di telingaku. Tapi, kenapa aku tidak suka dengan kalimat itu? Andai Dirga yang ucapkan, pasti akan terasa romantis.
Resepsi pernikahan belum usai, tapi hujan sudah mengguyur Makassar. Kukira musim hujan sudah berakhir di bulan Mei ini, tapi dia masih turun membasahi bumi. Apakah dia tahu kalau aku merindukannya?
Aku suka hujan. Aku suka aromanya. Rasanya ingin berlari di bawah tumpahan air hujan dengan gaun pengantin, menangis sepuasnya tanpa ada yang tahu.
"Apa ada yang bisa memberi tahuku? Bagaimana rasanya sekamar dengan pria yang tidak kita cintai?"
Aku yakin, ini adalah yang terbaik untukku meski bukan yang terindah.
Tidore, 2020
Note;
Uang panai' : Uang belanja.
Uang panai' dan mahar itu berbeda untuk suku Bugis dan Makassar.
Kristal Putih
Posted By Redaksi on Senin, 10 Agustus 2020 | Agustus 10, 2020
Cuaca yang kurang bersahabat sore ini, membuat Alexi memutar haluan perahu kecilnya menuju pesisir. Hujan yang disertai angin lebat, membuat laut mengamuk. Ombak pun seketika memukul perahunya yang hanya menggunakan satu mesin. Hasil tangkapan ikannya belum seberapa, tapi Alexi lebih memilih pulang daripada tetap bertahan di laut yang saat ini sedang murka.
Saat tiba di pesisir, Alexi segera memungut ikan yang masih berada dalam jala untuk ditawarkan pada para pelanggan. Alangkah terkejutnya, di antara tumpukan ikan kakap, Alexi menemukan sebuah bola kristal berwarna putih sebesar telur.
"Sangat indah," guman Alexi dalam hati sambil memasukkan benda itu kedalam saku celananya.
"Tangkapan ikannya banyak, Alexi?" tegur beberapa ibu-ibu yang mendekati perahunya.
"Lumayan untuk hari ini, tangkapan ikanku kali ini kuberikan pada ibu-ibu dengan gratis."
Langsung saja ibu-ibu yang kebetulan berada di tempat menyerbu perahu untuk mengambil ikan yang masih berada di sana.
"Bagi rata, yah," ucap Alexi sembari meninggalkan pantai setelah terlebih dahulu menambatkan perahunya.
Sepanjang perjalanan, Alexi tidak berhenti tersenyum. Dalam hatinya terbersit pikiran untuk menjual benda yang berbentuk kristal tadi.
"Harganya pasti mahal. Sebentar lagi aku kaya raya, aku bisa mempersunting Adeena, bisa membeli kapal penangkap ikan yang lebih besar." Alexi mulai berkhayal. Sudah lama dia naksir sama Adeena, gadis kampung sebelah. Apalah daya, dia hanya seorang pemuda yatim yang miskin. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Kini, dia hanya hidup bersama Sang Ibu yang sudah renta. Sementara dua kakak perempuannya, sudah menikah dan memilih hidup di kampung suami. Hanya sesekali mereka datang membesuk.
***
"Kau adalah laki-laki pilihan yang bisa menyelamatkan bangsa kami dari serangan kerajaan laut hitam."
Seorang perempuan yang sangat cantik bagai bidadari berada dalam kamar Alexi. Dia terkejut bukan kepalang. Seumur hidupnya, baru kali ini, dia melihat perempuan yang sangat cantik. Sebuah tiara menghiasi kepala perempuan itu, layaknya seperti seorang ratu yang biasa Alexi saksikan di film kerajaan.
"Si … siapa kau?" tanya Alexi ketakutan. Suaranya terbata-bata.
"Aku Ratu Diomira! Ratu kerajaan Laut Putih. Saat ini, kerajaan kami diserbu oleh Raja Laut Hitam dan pasukannya yang terkenal sangat kejam. Dia ingin menguasai kerajaan kami dan tunduk di bawah perintahnya. Hanya kau yang bisa membantu kami!"
"Kenapa harus aku?"
"Karena siapa yang berhasil menemukan kristal putih, simbol dari kerajaan kami, maka dialah laki-laki yang mampu mengalahkan Raja Laut Hitam."
"Kalau Raja Laut Hitam berkuasa, apa yang akan terjadi?"
"Seluruh lautan akan berada dalam kegelapan. Gelombang, ombak dan tsunami akan dia ciptakan. Akibatnya, para manusia juga akan terkena dampaknya, tidak bisa lagi menangkap ikan dan bencana akan sering terjadi."
Alexi masih bingun dengan ucapan perempuan yang berada di hadapannya saat ini. Nalarnya masih belum bisa menerima, bukankah cerita tentang kerajaan laut, hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur?
"Waktuku tidak banyak. Pertimbangan ucapanku tadi. Kalau kau ingin membantu bangsaku, datanglah besok ke pulau Marumasa. Di situ, kau akan menemui ikan lumba-lumba yang akan membawamu ke kerajaanku," ucap perempuan itu kemudian tiba-tiba menghilang dari pandangan Alexi.
"Alexi, Alexi bangun." Alexi terkejut, karena di depannya saat ini hanya ibunya yang memanggil-manggil namanya.
"Ibu? di mana Ratu tadi?"
"Ratu apaan? kau ini kebanyakan tidur, jadi mimpi yang tidak masuk akal."
Alexi mengucek matanya, rasanya yang terjadi tadi bukanlah mimpi, seperti nyata. Segera Alexi mengambil kristal di saku celananya dan memandangnya sedemikan rupa. Bukankah di mimpiku, perempuan itu berkata bahwa yang menemukan kristal ini adalah laki-laki pilihan yang bisa mengalahkan Raja Laut Hitam?
***
Siang itu, Alexi ke pulau Marumasa, sesuai dengan petunjuk dalam mimpinya. Dengan menggunakan perahu kecilnya, dia ke pulau itu, hanya sebuah pulau kecil. Banyak orang bilang, kalau pulau itu angker. Meski, belum ada yang membuktikan tentang keangkerannya.
Sejam perjalanan, sampailah Alexi di pulau Marumasa.Sebuah pulau yang sangat indah. Airnya biru, ikan di dalamnya tampak berenang kesana-kemari, seakan-akan menyambut kedatangan Alexi. Tak lama, seekor ikan lumba-lumba yang sangat besar datang menghampirinya. Ikan itu, seperti menawari Alexi naik ke punggungnya. Tanpa berfikir lama, dia segera naik ke punggung ikan itu. Ikan itu pun lalu membawa Alexi mengarungi lautan luas. Lajunya sangat kencang, kemudian diamenyelam, membawa Alexi ke dasar laut.
Alangkah takjubnya Alexi saat tiba di dasar laut. Sebuah istana yang sangat megah berada di hadapannya. Beberapa prajurit menyambut kedatangannya. Tampak dari dalam istana seorang Ratu dikelilingi dayang perempuan berjalan ke arahnya. Alexi tak berkedip menatap Ratu dan juga dayang yang kecantikannya tak tertandingi itu. Bukankah itu Ratu yang menemuinya lewat mimpi?
"Selamat datang di kerajaan Laut Putih, Alexi!"
"Ratu Diomira? bukankah kau yang datang di alam mimpiku?"
"Iya, aku sebagai Ratu Laut Putih sangat berterima kasih atas kedatanganmu ke kerajaan kami. Apakan kau bersedia membantu kami?"
"Apa imbalannya, kalau aku membantumu?"
"Aku bisa memberimu kekayaan Alexi. Jika kau mau, kau bisa menetap di kerajaan kami dan menjadi Raja di disini. Tentu saja kau harus menikahiku terlebih dahulu."
Menikah dengan Ratu Diomira? perempuan yang cantiknya laksana bidadari? menjadi Raja dan dia akan kaya? tapi saat ini dipikiran Alexi hanya untuk membantu Ratu Diomira. Dia tidak ingin kegelapan menguasai lautan.
"Aku akan membantumu Ratu! Tapi, apa yang harus kulakukan? aku tidak menguasai ilmu belah diri."
"Aku akan memberimu tongkat kerajaan, senjata pusaka laut putih. Selain itu, kristal putih yang ada padamu bisa kau gunakan saat dalam keadaan terdesak ketika bertarung dengan Raja Laut Hitam. Sebentar malam, saat purnama penuh, Raja Laut Hitam dan pasukannya akan menyerang." Ratu Diomira mengakhiri petuahnya sembari mempersilahkan Alexi menuju ke ruang makan istana. Di sana, sudah tersedia berbagai macam aneka hidangan dan buah-buahan yang lezat.
***
Tengah malam. Saat purnama sudah penuh, lonceng dibunyikan. Pertanda, Raja Laut Hitam sudah datang menyerang.
Alexi dan pasukan laut putih sudah bersiap-siap. Alexi yang akan menjadi panglima perang, dia sudah memegang tombak pusaka pemberian Ratu Diomira. Sebelumnya, dia sudah diberi ramuan berupa bubuk mutiara sakti, agar bisa bebas bernafas dalam air.
Musuh semakin mendekat, jumlah mereka sangat banyak. Alexi kaget sekaligus ngeri melihat wujud dari Raja Laut hitam. Raja itu, mukanya hitam lebam dan berbentuk gurita raksasa yang siap menerjangnya. Menurut Ratu Diomira, Raja Laut Hitam adalah pamannya sendiri. Tapi dia serakah ingin merebut tahta kerajaan laut putih dari kakaknya sendiri, yaitu ayah dari Ratu Diomira, pewaris sah kerajaan. Akhirnya dia dikutuk menjadi menjadi makhluk buruk rupa dan diusir dari istana.
Pertarungan sudah dimulai, para pasukan dari ke-dua kubu sudah mulai saling menyerang. Alexi segera mendekat ke arah raja Laut Hitam yang besarnya tiga kali lipat dari dirinya. Raja Laut Hitam mulai menyerang Alexi, beberapa kali dirinya terlempar karena tentakel Raja Laut Hitam menyerangnya bertubi-tubi. Untunglah, Alexi selalu bisa berkelit dan terbebas dari belitan tentakelnya.
Pertarungan semakin sengit, tampak korban dari ke-dua kubu sudah mulai berjatuhan. Tombak yang digunakan Alexi selalu gagal setiap kali menyerang Raja Laut Hitam.
"Kau tidak bisa selamat dariku anak muda." Raja Laut Hitam berhasil menangkap Alexi saat dia lengah.
Alexi yang berada dalam cengkeraman Raja Laut Hitam susah bernapas akibat belitan tentakel. Tombaknya pun sudah terlepas. Segera dia mengeluarkan kristal putih dari sakunya, dan mengarahkan ke arah Raja Laut Hitam.
Raja Laut Hitam kaget, seketika badannya lemas. Kilauan kristal putih membuatnya tidak bisa melihat. Alexi tidak membuang kesempatan, segera dia melepaskan diri dan meraih tombak pusaka dan menancapkan pada badan Raja Laut Hitam.
Raja Laut Hitam berteriak keras menahan sakit, darah mengucur dari tubuhnya membuat kerajaan laut putih berubah menjadi merah. Detik itu juga, Raja Laut Hitam menghembuskan napas terakhirnya. Pasukannya segera menghentikan pertempuran saat melihat rajanya gugur. Segera mereka memohon ampun dan bersedia menjadi pengikut Ratu Laut Putih.
***
Kemenangan dirayakan oleh seluruh penghuni kerajaan Laut Putih selama tiga hari tiga malam.
"Terimakasih Alexi. Karena bantuanmu, akhirnya kerajaan laut putih bisa hidup aman dan tentram. Sesuai janjiku, apakah kau bersedia menjadi Raja dan menikah denganku?"
Alexi terdiam, tawaran Ratu Diomira memang menggiurkan. Siapa yang tidak ingin jadi Raja dan mempunyai istri secantik Ratu Diomira?
"Maaf Ratu, dunia kita berbeda. Aku lebih memilih untuk hidup di duniaku dan tetap menjadi seorang nelayan. Aku mengembalikan kristal putih padamu." Alexi menyerahkan kristal putih ke tangan Ratu Diomira.
"Tidak Alexi. Karena kemuliaan hatimu, kristal putih ini aku serahkan padamu. Anggap saja ini hadiah dari laut, karena telah menyelamatkannya dari kegelapan."
"Tapi, apa gunanya benda ini untukku, Ratu?"
"Dengan kristal ini, saat kau melaut, ikan-ikan akan berdatangan padamu. Dengan ikan hasil tangkapanmu, kau akan menjadi kaya raya, Alexi," jawab Ratu Diomira sembari mengembalikan kristal ke tangan Alexi.
"Selain itu, dengan kristal putih di tanganmu, laut akan bersahabat denganmu. Kau juga bisa berkunjung ke sini dengan menggunakan kristal putih," lanjut Ratu Diomira.
Alexi menggemgam kuat kristal putih di tangannya, seakan dia tidak percaya apa yang baru saja dialaminya. Ternyata kerajaan laut bukanlah dongeng semata, tapi ini nyata. Dia orang yang paling beruntung karena berkesempatan untuk bisa melihat kerajaan Laut Putih dan bangga karena telah dipilih untuk menjadi penyelamat kerajaan ini.
Tidore, 2020
Perempuan di Tepi Pantai
Oleh: Assyifa Barizza
Senja ini kembali aku duduk di tepi pantai Loleo menyaksikan debur ombak sore yang saling berkejaran. Sesekali aku melemparkan batu ke laut.
Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada sosok seorang perempuan paruh baya yang berdiri di tepi pantai. Pandangannya lurus ke depan, datar tanpa ekspresi. Wajahnya pun seakan tidak memiliki gairah kehidupan.
'Ah dia lagi, untuk apa dia menghabiskan waktunya setiap hari di pantai ini?' bisikku dalam hati. Hampir tiap hari aku selalu melihat perempuan itu di sini, sesekali kadang kulihat dia berteriak pada laut. Sesekali kulihat menangis. Apa gerangan yang terjadi padanya?
"Bikiapa ngana di sini? Kita cari ngana sampe (Bikin apa si sini? Aku cari kamu?". Aku dikejutkan oleh kedatangan Gifar, sepupuku.
"Tarada. kita cuma santai sa (Tidak ada, cuma bersantai)," jawabku asal.
"Kong perempuan itu bikiapa di situ? Tara bosan kah dia duduk di sana tiap hari (Perempuan itu, bikin apa di situ? Apa dia tidak bosan duduk di sana tiap hari)?" tanyaku pada Gifar sambil menunjuk sosok perempuan misterius itu yang berdiri di tepi pantai.
Gifar pun mulai berkisah tentang sosok perempuan yang akhir-akhir ini menyita perhatianku.
Namanya Bibi Fat. Lima tahun yang lalu suaminya pergi melaut dan sampai sekarang suaminya tak kunjung pulang. Menurut cerita yang beredar, perahu suaminya diterjang badai hingga hancur. Namun mayatnya tidak ditemukan. Ada yang bilang, mayatnya dimakan oleh ikan, ada pula yang mengatakan mayatnya terbawa ombak besar ke lautan luas hingga mayatnya tak bisa diketemukan. Ada pula yang mengatakan bahwa suami Bibi Fat sebenarnya belum meninggal, cuman penjaga laut membawanya ke dasar lautan untuk menjadikan dia sebagai budak. Entahlah mana yang benar. Terlalu banyak spekulasi masyarakat tentang kasus ini. Sejak itu Bibi Fat seperti orang linglung, dia tidak percaya akan musibah yang menimpa suaminya. Sampai sekarang dia meyakini bahwa suaminya masih hidup, itulah sebabnya dia setia berada di pantai menunggu Sang Suami pulang. Bibi Fat akan marah bila ada yang mengatakan kalau suaminya sudah meninggal. Ah, sebuah kisah yang menguras air mata. Netraku pun berkabut, mendengarkan cerita Gifar. Sebuah cerita tentang cinta dan kesetiaan.
Sambil dengar Gifar bercerita, aku langsung teringat seseorang yang saat ini tengah mengarungi lautan luas. Dia adalah Rudi kekasihku. Pikiranku langsung tertuju padanya. Ada semacam rasa takut dan khawatir, mengingat hidupnya lebih banyak di laut.
"Nina, mari kita pulang. So mau malam ini (Nina, ayo pulang. Sudah mau malam)," ajak Gifar.
"Ngana pulang duluan sudah, kita masih mau duduk di sini (Kamu pulang duluan saja, aku masih mau duduk di sini)."
"Jang lama e, jangan bikin Tete pe kepala pusing tara lia' ngana di rumah (Jangan lama, jangan sampai Kakek pusing tidak melihatmu di rumah)." Gifar pun berlalu meninggalkanku sendiri di tepi pantai ini.
***
Namaku Nina Husain. Orang memanggilku Nina. Ayahku berasal dari Maluku Utara dan Ibuku berasal dari kota daeng Makasar. Sebuah perpaduan yang sempura menurutku. Aku mewarisi kulit putih ibuku dan mewarisi rambut ikal ayahku.
Mereka bertemu saat Ayahku kuliah di universitas Hasanuddin Makassar. Kebetulan mereka satu fakultas, akhirnya tumbuhlah benih cinta di antara Ayah dan Ibu dan berakhir di pelaminan. Kisah cinta yang indah bukan?
Itulah sebabnya hampir setiap tahun aku berada di sini mengunjungi keluarga Ayahku. Kakekku masih hidup dan Nenekku sudah lama meninggal dunia.
***
Malam itu. Sehabis makan malam, aku duduk di samping kakek sambil bertanya tentang Bibi Fat.
"Tete, bikiapa kong Bibi Fat pe keluarga tara bawa dia ke rumah sakit jiwa untuk berobat (Kakek, kenapa Keluarga Bibi Fat tidak membawanya berobat ke rumah sakit jiwa?"
Sambil memamah pinang dan sirih, Kakek menjawab pertanyaanku. "Bibi Fat itu tara gila, dia hanya tara mau terima takdir kalau dia pe laki meninggal (Bibi Fat tidak gila, dia hanya tidak mau terima takdir, kalau suaminya telah meninggal.")
Ah Bibi Fat, sebegitu besarnya cintamu kepada suamimu hingga saat ini kau belum bisa menerima takdir kalau suamimu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Lima tahun telah berlalu, tapi kau masih setia menunggu di tepi pantai. Apakah kau menunggu keajaiban?"
Tiba-tiba gawaiku berdering. Ada panggilan telepon dari Rudi. Mungkin saat ini kapalnya merapat di pelabuhan, hingga menemukan sinyal untuk menelponku. Dengan perasaan rindu ku angkat teleponnya.
"Assalamualaikum, Daeng. Gimana kabarta' Daeng? Sehat?" Kuberondong Rudi dengan pertanyaan. Senang rasanya dia bisa menghubungiku. Rudi juga berasal dari tanah daeng Makasar.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat ja' ndik. Bagaimana kabarta' di situ?"
"Baek-baekja, Daeng, cuma perasaanku tidak enak," gumanku dengan lemah nyaris tanpa suara.
"Kenapaki', Ndik?"
Kuceritakan tentang Bibi Fat pada Rudi. Kuceritakan tentang kekhawatiranku padanya yang memilih laut untuk menjadi sumber mata pencahariannya. Aku takut apa yang menimpa suami Ibu Fat juga akan menimpa Rudi.
"Lebih baik kita do'akan ka saja, Ndik, janganmi berpikiran macam-macam. Yang namanya maut itu sudah ketentuan sang maha pencipta. Di manapun kita berada, kematian tetap akan datang menjemput. Berdo'a maki saja nah, supaya terkumpul banyak uangku untuk lamarki." Rudi mengakhiri teleponnya. Tidak ada ketakutan dalam suaranya. Memang dari dulu Rudi sudah mencintai laut.
"Mauka' lanjut di sekolah tinggi pelayaran, Ndik." Katanya waktu itu saat dia baru saja tamat di SMU. Sementara aku baru duduk di kelas dua SMU.
"Daeng nda' takut dengan ombak dan gelombang? Bagaimana kalau kapal daeng tenggelam?" tanyaku dengan raut wajah kecewa waktu itu.
"Nenek moyang kita itu orang pelaut, Ndik, masa cucunya takut sama laut?" jawab Rudi santai. Dia memang mencintai laut.
Sebenarnya aku tidak ingin Rudi menjadi pelaut. Aku tidak ingin menjadi istri yang sering di tinggal suami. Konon aku sering dengar, para pelaut mempunyai wanita di setiap pelabuhan yang dia singgahi. Namun, mana mungkin aku menghalangi cita-cita Rudi yang diimpikannya sejak dari kecil? Aku berusaha menghilangkan ketakutanku bahwa dia akan mempunyai wanita lain. Aku yakin, dia hanya milikku. Sebagai seorang kekasih, aku hanya bisa mensupport dan mendo'akan supaya dia sukses.
***
Pagi itu gempar. Bibi Fat tidak ada, seluruh warga kampung sudah mencarinya di mana-mana, tapi dia tidak ditemukan. Bahkan di tempat dia biasa menghabiskan waktu di pantai juga tidak ada. Keluarga dan anak perempuannya yang sudah beranjak remaja berlari ke sana-kemari mencari Bibi Fat. Namun hasilnya nihil. Ke mana Bibi Fat?
Ada seorang nelayan mengabarkan bahwa perahunya yang dia tambatkan tadi malam di pantai sehabis melaut hilang. Jangan-jangan Bibi Fat yang memakai perahu itu tadi malam.
Warga gempar, tadi malam gelombang laut cukup kuat. Nelayan saja memutuskan untuk tidak melaut. Hujan dan angin, datang bersamaan, menciptakan ombak di tengah samudra.
Ah, Bibi Fat. Apakah kau sudah jemu menunggu kedatangan suamimu hingga kau menyusulnya ke laut. Ataukah suamimu yang menjemputmu hingga kau pergi?.
Sejuta pertanyaan bergelayut dalam benakku. Aku menemukan kesejatian cinta pada diri Bibi Fat. Seorang perempuan yang setia menunggu kedatangan suami selama bertahun-tahun yang tidak tau kapan akan berakhir penantian itu. Dia hanya menunggu dan menunggu. Dan mungkin tadi malam dia telah lelah menunggu, akhirnya menyusul sang suami ke laut lepas. Alangkah besar cintamu Bibi Fat.
Seminggu kemudian, perahu nelayan yang hilang itu di temukan terdampar di tepi pantai desa tetangga, tapi Bibi Fat tidak ada. Mungkin perahu itu pulang untuk mengabarkan bahwa Bibi Fat dan suaminya sudah bertemu. Anak Bibi Fat histeris. Kini dia menjadi Yatim piatu, kedua orang tuanya telah direnggut oleh laut. Ataukah Bibi Fat bersama suaminya sedang berada di dasar laut? Seperti cerita sebagian warga kampung? Entahlah. Tidak ada yang bisa menjawabnya. Kisahnya seakan-akan menjadi teka-teki yang tidak pernah usai.
***
Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas dari bandara Baabullah Ternate menuju bandara Hasanuddin Makassar.
Kisah Bibi Fat terus membayangiku. Apakah karena Rudi sang kekasih adalah pelaut? Bukankah kata Rudi bahwa maut adalagi hal yang pasti akan datang menjemput di manapun kita berada?
Aku ingin mempunyai cinta sejati seperti yang dimiliki Bibi Fat, tapi cinta sejati yang dilandasi iman, bukan harus mengejar maut demi mencari cinta yang tak kunjung datang.
Tidore, 5 Mei 2020