Latest Post

Gayana ji

Posted By Alfian Nawawi on Senin, 13 Juli 2020 | Juli 13, 2020

“Gayana ji!” Jika Anda orang Sulawesi saya pastikan Anda akrab dengan istilah itu. Ia merupakan salah satu istilah orang-orang Bugis-Makassar yang sangat umum. Bahkan digunakan setiap hari sampai saat ini.
“Gayana ji” artinya: “hanya sekadar gaya”, “gaya belaka”, atau “gaya-gayaan tok.” Ia kerap digunakan sebagai bahan guyonan, pemanis, sampai ejekan serius.
Sosial media yang kerap melahirkan karakter “social climbing” juga setiap hari menampilkan netizen yang bisa dikategorikan dalam ungkapan “gayana ji.”
Sebenarnya belum pernah ada penggambaran secara tepat untuk mendeskripsikan istilah “gayana ji” ke bentuk defenisi baku. Ia memang hanya digunakan sesuai interprestasi pengguna maupun pendengarnya. Dan di situ letak keanehannya.
Untuk sekadar membayangkan wilayah interpretasi “gayana ji” kita bolehlah sesekali ikut jadi penggemar serial kartun dari India, Shiva.
Karakter yang paling unik adalah Inspektur Laddu Singh. Sosok yang digambarkan sebagai polisi ber-IQ di bawah standar, kerap salah perhitungan, sering apes, asli penakut namun ditutupi oleh penampilannya yang sangar berkumis tebal dan berbadan besar. Namun hebatnya, segoblok dan seapes apapun seorang Laddu Singh, dia tetap istiqomah berada di jalan kebenaran sebagai pembasmi kejahatan. Meskipun prestasi kepolisian tidak pernah lepas dari andil besar Shiva, sang jagoan cilik itu.
Laddu Singh tidak cerdas tapi dia sadar betul bahwa dirinya adalah alat hukum, bukan alat kekuasaan. Secara halus salah satu episode pernah menggambarkan betapa Laddu Singh dan walikota bahkan lupa saling nomer HP.

Sepertinya penulis atau pencipta karakter Laddu Singh menyembunyikan sebuah pesan mendalam di balik karakter Laddu Singh ini. Apakah dia sedang mengkritik dunia kepolisian di India atau mungkin juga di Asia? Entahlah. Saya menduga kuat, penulis cerita kartun ini sedang merindukan sosok Laddu Singh di dunia nyata. Tidak perlu pintar yang penting tetap istiqomah di pihak pembasmi kejahatan. Kira-kira begitu pesannya.
Untung saja Inspektur Laddu Singh tidak pernah gegabah melompat datang ke dunia nyata dan bertugas di Sulawesi Selatan. Kalau itu terjadi maka setiap hari si kumis tebal itu akan diteriaki dengan ungkapan “gayana ji!”(*)
Pustaka RumPut, 31 Mei 2020.
Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com

Berapa Jumlah Batu Yang Dibutuhkan Sisifus?

Idiom yang absurd itu bernama “negara.” Kekuasaan telanjur berbeda dengan negara. Ia selalu membutuhkan bentuknya yang ril, faktual, dan fisik. Sebab itulah tidak pernah ada kekuasaan yang benar-benar stabil. Pun tidak ada kekuasaan yang tidak selalu menumpang pada inangnya, negara.



Akibatnya, sebagian besar kita tidak akan mampu memahami apa yang dilakukan Habib Bahar Smith, Said Didu, Farid Gaban, Rustam Buton dan lain-lainnya itu. Bahkan Din Syamsuddin dan Habib Riziek pun tidak sedang melawan negara. Sebaliknya, juga tidak sedang bermaksud melawan kekuasaan.

Sejarah saja yang selalu memiliki porsi setimpal untuk catatan-catatan yang tidak menyenangkan. Rezim yang mendapat giliran mengendalikan sistem maka sangat memungkinkan memproduksi penindasan. Toh persekusi dan kriminalisasi lebih banyak diorganisir oleh kekuasaan. Bukan oleh negara.

Penembakan misterius alias petrus diberlakukan oleh Soeharto pada era 1980-an. Itu satu-satunya terapi untuk mengurangi kriminalitas di masa Orde Baru. Soeharto memang mengakuinya dalam buku biografi “Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”.Sebagai sebuah cara unik dari kekuasaan, petrus memang agak berguna. Namun pada tindakan tangan besi, mungkinkah kekuasaan berguna bagi negara?

Dalam mitologi Yunani, barangkali rakyat bisa menemukan alegori nasibnya serupa Sisifus. Kisahnya ditulis oleh Homer yang berjudul Odyssey.

Sisifus terlalu banyak ulah dan menantang Zeus. Para dewa menjatuhinya hukuman mendorong batu dari kaki sebuah bukit hingga tiba di puncaknya. Sesampai di puncak, para dewa akan menendang batu itu hingga menggelinding kembali ke kaki bukit. Saban batu itu tiba di bawah, Sisifus harus kembali mendorongnya ke atas hanya untuk dijatuhkan lagi oleh para dewa. Begitu seterusnya.

Tentu saja tidak persis mirip. Suara-suara kritis yang dibungkam justru tidak melambangkan Sisifus. Rezim yang makin represif juga ternyata tidak serupa dewa. Kesamaannya hanya terletak pada saat menggelindingkan batu ke kaki bukit.

Ancaman ketidakstabilan terhadap kekuasaan sebenarnya hanya selalu berkutat di seputar kebijakan-kebijakan ganjil dan janggal. Seperti rezim Jokowi yang dipandang lebih mengutamakan kepentingan oligarki dan Cina dengan cara mengorbankan rakyat Indonesia.

Barisan oposisi punya list panjang. Sebut saja RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang memanjakan investor dengan menindas hak-hak buruh. Lalu, RUU Minerba yang memungkinkan investor mengeksploitasi lingkungan. Hamparan karpet merah bagi buruh kasar Cina. Dan tidak memasukkan TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Ketika rezim sedang ganjil memang sebaiknya kekuasaan harus berani menjadi “negara”. Meskipun tidak serta merta harus menanggalkan kekuasaan. Ketika “negara” sesungguhnya berpihak kepada barisan oposisi -sebagian bergerak sporadis- yang tidak membutuhkan kekuasaan, maka kekuasaan memang sedang terancam sangat serius.

Bukankah pernah ada versi lain pada kisah Odyssey? Sisifus berhasil mengambil alih kekuatan para dewa di puncak bukit. Sekali waktu para dewa rupanya lelah menggelindingkan batu.

Dengan sekuat tenaga Sisifus mengangkat batu besar itu. Lalu dilemparkannya penuh suka cita ke puncak bukit. Hanya saja tidak ada bagian yang menerangkan berapa jumlah batu besar yang dibutuhkan Sisifus?(*)

Pelajaran moral: mitologi paling aneh adalah ketika ternyata Zeus hanya boneka.

Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom Catatan Tumit LaCulleq  situs BeritaBulukumba.Com



Virus Ini Jauh Lebih Ganas Dibanding Corona!

Corona boleh menjadi virus yang paling ditakuti warga dunia saat ini. Namun ada wabah yang lebih ganas dibanding corona, yaitu korongna dalam Bahasa Konjo di Bulukumba, Sulawesi Selatan, berarti: periuk. Kata korong diberi imbuhan “na” yang berarti: “nya” menunjukkan kata kepunyaan orang ketiga tunggal maupun jamak. Korongna berarti: periuknya atau juga “periuk mereka.”

Korong (periuk). (Sumber Foto: JalurDua.Com)


Bagi orang Suku Konjo, kata korongna lebih dari sekadar kata benda. Di wilayah filosofi ia juga bisa menjadi kata kerja. Bahkan kata sifat. Ia mempersonifikasikan dapur yang masih mengepul. Ia perlambang kemampuan ekonomi sebuah rumah tangga. Korongna adalah keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sanalah perut keroncongan bisa menemukan jawaban.

Pemaknaan lebih liar dari kata korongna adalah ketika ia dimasukkan ke dalam wilayah sebangsa virus. Lebih jauh lagi, pandemi. Dan faktanya memang demikian. Ekonomi yang lumpuh bisa menyebabkan korongna tidak terisi. Dapur tidak ngebul.

Dalam situasi korongna yang kosong melompong maka kriminalitas adalah salah satu alternatif bagi mereka yang merasa tidak punya lagi pilihan lain. Sebagian mungkin masih bisa bersabar dan menahan diri. Namun bisa juga melahirkan varietas virus baru. Namanya “koro-koroang.”

Koro-koroang dalam Bahasa Bugis berarti: uring-uringan. Suka marah dan berkata kasar tanpa tahu apa penyebabnya. Rasa lapar karena korongna tidak terisi bisa jadi memunculkan koro-koroang.

Pandemi covid-19 melahirkan begitu banyak peristiwa dan cerita di berbagai belahan dunia. Lalu, apa cerita dari kampungmu?(*)

Kedai Kopi Litera, 28 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Inilah Satu-Satunya Kota di Dunia yang Paling Aman dari Corona

Kota ini berada di dasar laut. Sejak dulu kota canggih ini selalu disibukkan berbagai kejadian konyol dan aneh. Namun inilah satu-satunya kota teraman di dunia dari serangan virus corona, bencana alam, perang, dan kelaparan.

Kota Bikini Bottom (Dok: JalurDua.Com)

 Anda ingin berkunjung ke kota ini maka Anda harus memesan tiket khusus. Anda akan menuju ke sana tentu saja dengan menumpang kapal laut. ketika mendengar suara nahkoda kapal mengumumkan sesuatu melalui speaker. Bunyinya begini: “Disampaikan kepada seluruh
penumpang, agar segera bersiap-siap. Kapal akan turun menuju ke dasar laut. Kita akan segera berada di kota Bikini Bottom.”

Lebih menyenangkan bila Anda berada di Bikini Bottom bertepatan dengan acara pesta milad Krusty Krabb milik Tuan Krabs. Di tengah pesta Anda pun bisa berkenalan dengan putri semata wayang Tuan Krabs. Tentu asyik bukan, paus remaja yang cantik itu pewaris tunggal kerajaan bisnis Krusty Krabb.

Anda tidak perlu memakai masker. Tidak ada pandemi corona. Tidak ada bau disinfektan. Anda boleh leluasa menikmati tarian ubur-ubur yang diiringi langsung oleh permainan musik klarinet Squidward Tentacle.

Bikini Bottom adalah sebuah kota yang cukup ramah. Meskipun di sana kerap terjadi insiden konyol setiap hari. Jangan merasa aneh kalau sempat berkenalan dengan Plankton, seekor makhluk renik jenius. Plankton adalah ahli komputer. Uniknya, sebagian besar hidupnya digunakan berjuang hanya untuk mendapatkan formula rahasia Krabby Patty. Namun keunikan terbesar dari Plankton adalah karena dia menikahi komputernya sendiri yang bernama Karen. Sesungguhnya Plankton tidak begitu berbahaya. Ukuran tubuhnya tidak akan mampu menyamai ukuran sebutir upil terkecil di liang hidung Anda

Secerdas-cerdasnya Plankton maka Shandy lebih mengesankan. Dia cewek jenius dan juga sang penemu. Sebenarnya Shandy makhluk darat namun entah kenapa dia lebih suka menjadi penduduk Bikini Bottom. Dia bisa menjadi sahabat paling eksentrik. Apalagi Shandy memang akrab dengan Spongebob dan Patrick, dua warga kota terpopuler.

Jika Anda punya izin lebih lama untuk tinggal di sana, maka satu-satunya warga kota yang harus Anda hindari adalah kepiting laut bernama Tuan Krabs. Beliau owner Krusty Krabb. Tuan Krabs memandang segala sesuatu dengan nilai uang. Konon dulu Tuan Krabs pernah berselingkuh dengan paus cantik bernama Eugene. Asmara lintas spesis itu menghasilkan seekor putri paus cantik yang diberi nama Pearl.

Bersenang-senanglah di Bikini Bottom. Yang patut Anda kenal juga adalah Squidward. Dia seekor cumi-cumi yang sedang terobsesi ingin menjadi maestro seni. Sayangnya Squidward kerap gagal dalam banyak hal. Jadi dia tidak cukup berbahaya. Berbeda dengan Tuan Krab yang walaupun dia bosnya Spongebob tapi dia bisa menukar keselamatan warga Bikini Bottom dengan uang!

Tidak usah khawatir, Pattrick akan lebih dari cukup memberi hiburan tersendiri ketika Anda lagi suntuk. Kita harus memaklumi kapasitas otaknya. Namun yang pasti, dia menghibur dan itu tidak disadarinya. Barangkali karena Patrick adalah bintang yang sesungguhnya di Bikini Bottom. Lebih tepatnya bintang laut yang paling lugu, lucu, dan kadang menyebalkan.

Warga Bikini Bottom tidak mengenal Pilpres maupun pilkada. Satu-satunya kesulitan terberat jika Anda ingin menetap yaitu ketika harus mencari tempat hunian. Anda harus menunggu dulu ada barang bekas atau buah-buahan busuk yang dibuang dari kapal laut.

Siapa tahu Anda beruntung memperoleh nenas seperti rumah Spongebob. Tidak usah berpikir untuk memiliki rumah seperti milik Squidward. Memang antik dan sangat langka. Namun Anda harus paham sejarah rumah Squidward. Itu potongan kepala perunggu yang jatuh ke dasar laut. Sudah sekian lama kepala perunggu itu dicari-cari oleh sekelompok bajak laut.

Apakah Anda tertarik ke Bikini Bottom? Kota ini adalah pilihan keren bagi siapa saja yang ingin menjalani “new normal” secara tidak normal.(*)

Pustaka RumPut, 3 Juni 2020.


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com



Mau Punya Kampung yang Keren? Cari Lima Orang Warga dengan Karakter Ini

Sebenarnya bukan hal prinsipil jika kampung Anda berbentuk kelurahan, desa, atau dusun. Yang penting kampung merupakan hunian nyaman dan aman. Tidak gaduh. Namun jauh lebih keren kalau kampung Anda juga memiliki lima orang warga seperti yang dimiliki Kampung Durian Runtuh. Karakter mereka kurang lebih seperti berikut ini.


Tok Dalang

Orang tua yang paling sering muncul dalam keseharian Upin dan Ipin, yaitu Tok Dalang. Melihat raut wajahnya, Tok Dalang tergolong awet muda. Padahal usianya mungkin sudah menginjak kepala enam atau tujuh. Dia tetangga terdekat Upin Ipin. Saya pernah menduga Tok Dalang bersaudara kandung atau mungkin sepupu Opah, neneknya Upin dan Ipin. Tok Dalang tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di kota.

Tok Dalang bisa dibilang duda keren. Beliau punya banyak kelebihan. Mampu mengerjakan dan menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Setiap kelebihannya terungkap pada setiap episode. Kalau ceritanya tentang durian maka Kakek Dalang dikisahkan memiliki kebun durian dan jenis durian paling enak. Bahkan pernah jadi juara kontes buah durian. Kalau ceritanya tentang gendang, Kakek Dalang pun jadi ahli gendang. Pokoknya, apapun ceritanya maka keahlian Kakek Dalang akan berhubungan dengan isi cerita. Benar-benar seorang kakek jomblo yang luar biasa. Nyaris super!


Uncle Muthu

Makhluk yang satu ini juga selalu muncul dalam setiap episode. Barangkali Uncle Muthu punya imunitas tubuh di atas rata-rata manusia normal. Tidak peduli cuaca panas atau pun hujan, pemiliknya warung misbar alias gerimis bubar ini hanya suka memakai baju dalam dan sarung. Beliau keturunan India. Wajar kalau suka menyanyi dan menari. Sayangnya, kalau menyanyi suaranya agak kurang enak didengar. Lebih enak kalau memesan ayam goreng atau nasi gorengnya.


Paman Ah Tong

Paman Ah Tong adalah keturunan Tionghoa peranakan. Dia tipe pekerja keras. Segala macam benda tidak berguna bagi orang lain bisa dia jadikan uang. Selalu identik dengan sepeda tua keliling kampung. Kalau Ah Tong muncul maka pasti berkaitan dengan barang bekas. Mulai koran, kaleng, sampai mainan bekas. Kalau saja ada sepuluh orang seperti Ah Tong maka Kampung Durian Runtuh bisa super bersih hanya dalam sepekan.

Saya pernah berpikir Ah Tong ini masih keturunan pasukan Kubilai Khan dari Mongolia. Kemungkinan besar banyak prajurit Mongolia yang terdampar di Malaysia setelah kalah dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit. Sisa-sisa pasukan ini banyak terdampar di negeri Malaya. Barangkali Ah Tong adalah salah satu keturunan dari pasukan tersebut. Semangat Ah Tong dalam mencari uang persis semangat prajurit tempur. Itulah alasan yang memperkuat teori saya tentang asal usul Ah Tong.


Kak Ros

Gadis paling cantik sekaligus paling judes di Kampung Durian Runtuh tentu saja adalah Kak Ros.

Kak Ros pintar memasak. Menyukai kebersihan dan kembang. Sayang sekali, belum pernah ada seorang pun cowok yang datang menyatakan cinta. Dugaan saya, anak-anak muda di Kampung Durian Runtuh mungkin sangat segan kepada Opah, neneknya Kak Ros, Upin dan Ipin.

Kak Ros pintar menggambar dan hobi membaca. Wajar kalau dia akhrnya mampu menjadi pelukis komik. Karya komiknya pernah dimuat secara bersambung di sebuah koran. Bahkan pernah diterbitkan menjadi sebuah buku.


Abang Saleh

Dulu saya pernah berpikir Abang Saleh mungkin satu-satunya jejaka yang paling cocok berpasangan dengan Kak Ros.

Harapan saya buyar ketika memperhatikan gayanya berbicara. Abang Saleh ternyata kemayu! Sebenarnya Abang Saleh punya banyak keterampilan. Mulai menjahit, kerajinan tangan, bisnis online, sampai merangkai bunga.

Selain lima karakter di atas, sebenarnya masih banyak karakter unik lainnya dalam serial kartun Upin dan Ipin. Namun kalau lima saja karakter tersebut ada di kampung Anda, yakinlah kampung Anda sangat keren.(*)


Tulisan ini sebelumnya juga dimuat di kolom La Capila situs JalurDua.Com


Menulis Itu Mudah, Ini Rahasianya

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 11 Juli 2020 | Juli 11, 2020

















Menulis Itu Mudah. Ini rahasianya. Kuncinya hanya dua.Silakan simak video berikut ini. Saya comot dari salah satu konten di channel YouTube saya.


Buku Republik Temu-Lawak

Posted By Alfian Nawawi on Sabtu, 08 Februari 2020 | Februari 08, 2020

Sejak dulu saya suka menulis esai. Namun kebanyakan lebih mirip gurau campur gerutu. Semacam obrolan singkat di pinggir jalan, ujung gang, lorong, ataupun kedai kopi. Maka saya menyebutnya “esai pinggir jalan”, sejenis tulisan reaksioner, spontan, dan kebanyakan iseng. 

Dalam rentang tahun 2017-2019 sebagian kecil pernah dimuat di media online dan media cetak. Sebagian besar lainnya saya pernah posting di media sosial.

Peristiwa-peristiwa kecil dan besar terutama yang meletup-letup di sepanjang tahun 2018-2019 menggoda saya memutuskan untuk memilih 70 esai di antara sekitar 300 tulisan untuk dimasukkan ke buku ini.


Sejarah dibangun oleh peristiwa-peristiwa namun sejarah hanya bisa dibangunkan oleh tulisan-tulisan. Jika benar buku ini bisa membangunkan, setidaknya dia bisa membangunkan diri saya sendiri bahwa masih ada naskah-naskah lainnya yang bersemedi dalam file-file tersembunyi. Dan buku ini tidak hanya terkait sejarah. Kumpulan ini juga membincang budaya, seni, literasi, bahasa, sosial politik, hukum, dan lainnya.


Anda bisa mendapatkan buku ini. Namun bukan dari saya. Anda bisa memesannya secara online, langsung ke pihak penerbit, J-Maestro. Mengapa buku harus dibeli? Karena buku dibuat dari kertas. Daun lontarak tidak dipakai lagi di zaman ini.
Karena kebanyakan ditulis pada saat lagi minum kopi, saya pikir buku ini agak cocok juga jika dibaca di saat menikmati kopi atau minuman kesukaan Anda lainnya. Begitulah salah satu ajaran dalam cofeeology dan kafeinisme.


Rekor MURI untuk Karnaval Busana Hitam-Hitam Bulukumba dan Suatu Hari Nanti

Posted By Alfian Nawawi on Kamis, 14 November 2019 | November 14, 2019

Sekitar 27 ribu orang berpakaian hitam-hitam beberapa waktu lalu di Bulukumba. Mereka memecahkan rekor pada Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Pencapaian itu membuat Lembaga MURI mengganjar piagam penghargaan rekor dunia kepada Pemerintah Kabupaten Bulukumba atas pelaksanaan Karnaval Mengenakan Busana Hitam Peserta Terbanyak pada pertengahan September 2019. 

Pencapaian rekor ini bisa pula merupakan barometer pencapaian kesadaran terkait betapa pentingnya budaya. Pakaian adat bukan hanya identitas etnik. Dia adalah kombinasi antara harmoni rakyat dengan pemimpinnya dalam membalut tubuh humanisme dan eksistensi. 

Pakaian adat yang turun temurun diwariskan ke berbagai generasi tentu tidak akan pernah cukup dilestarikan melalui karnaval. Eksistensinya tidak cukup melalui ingatan. Tidak cukup jika hanya memenuhi jalan-jalan protokol di Kota Bulukumba, Sulsel, guna mengikuti Karnaval Busana Hitam yang menjadi rangkaian dari penyelenggaraan Festival Pinisi ke-10 tahun 2019 lalu.

Pencapaian ini bahkan tidak pernah cukup dilakoni oleh komunitas adat Ammatoa di Kajang yang memang sehari-hari berpakaian hitam-hitam. Pencapaian ini tidak cukup jika hanya berhenti pada gagasan dan kebijakan. Dia membutuhkan realitas yang bersandar pada teladan yang ditunjukkan oleh para pemimpin Bulukumba. 

Melihat Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto berpakaian hitam-hitam khas pakaian adat Kajang dalam berbagai acara formil di dalam dan luar negeri adalah contoh betapa teladan itu memang ada. Dan teladan tentu

saja tidak cukup. Masyarakat Bulukumba mungkin telah memulainya dalam karnaval dan diganjar rekor MURI. Namun yang harus menggenapinya adalah bottom up dan follow up. Masyarakat Bulukumba kini paham, siapa saja pemimpinnya yang paham budaya. 

Suatu hari nanti kita mungkin tidak berhenti pada rekor, karnaval, selebrasi, bahkan regulasi. Kita mungkin akan lebih lagi, terus berjalan dengan identitas-identitas khas dan eksistensi budaya lokal. Dengan catatan, masyarakat harus tetap bersama pemimpin yang mencintai dan memahami budaya di kampung halamannya.(*)

Roman Picisan!?


Menurut kamus bahasa Indonesia, roman picisan adalah cerita murahan atau puisi murahan yang intinya tidak berbobot. 

Pemaknaan lainya mungkin bisa mengarah kepada karya yang tidak peduli dengan upaya penyadaran global warming, misalnya. Atau karya yang sama sekali tidak mendukung pentingnya moralitas, kampanye anti narkoba dan sebagainya. Pada era 70-an roman picisan malah sempat menjadi judul film remaja. 

Lalu Ahmad Dhani dan Dewa 19 menjadikannya sebuah lagu fenomenal di akhir dekade 1990, tepatnya tahun 1999. Tentu siapapun yang merasa sebagai anak bangsa apalagi para penulis tidak akan pernah mau karyanya dicap sebagai roman picisan. Saya bahkan telah bersepakat dengan diri sendiri bahwa kamus bahasa Indonesia itu salah besar mengartikan roman picisan. Sebab semua karya, apapun itu harus dihargai sebab telah lahir dari sebuah proses kreativitas penulisnya. Yang paling berhak menghakimi adalah pembacanya.

Berpuluh-puluh puisi, esai, cerpen dan sebagainya yang pernah dibacakan di program sastra RCA 102, 5 FM mungkin saja sebahagian di antaranya telah dituding sebagai roman picisan. 

Entahlah. Hanya pendengar RCA yang bisa menilai sebab merekalah yang mendengarkan, menyimak bahkan menikmati. Pada hari minggu 31 Mei kemarin siang, di acara sastra Ekspresi RCA begitu terasa apresiasi pendengar saat mendengarkan WS Rendra baca puisi. Yang mengagumkan, puisi-puisi blogger dari Tuban Jawa Timur, Ahmad Flamboyant dan Musa Manurung dari Kabupaten Barru justru tak kalah menghipnotis. 

Sebagaimana minggu lalu, puisi blogger kata jiwa dari Jogyakarta berhasil mengundang puluhan SMS pendengar.
Jangan-jangan istilah roman picisan oleh kamus bahasa Indonesia justru turut memberi andil besar penghilangan jejak roman yang sesungguhnya di Indonesia? Setiap kali mendengar istilah roman di benak saya selalu terngiang beberapa judul roman yang pernah diajarkan ibu guru di bangku sekolah dasar. Siapa yang tidak kenal dengan kisah-kisah legendaris Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Anak Perawan Di Sarang Penyamun, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan masih banyak lagi yang lainnya? Setelah itu zaman bergerak dan berubah. Kini roman di ambang kepunahan dalam peta sastra Indonesia, padahal roman adalah salah satu bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Kampanye saya hari ini: hilangkan istilah roman picisan. Semoga tulisan ini adalah yang terakhir kali mengutip istilah roman picisan. Setelah itu tidak ada lagi.


Puisi yang Subversif

Banyak puisi ditulis oleh para penyair tanpa niat untuk melakukan pemberontakan. Puisi di bawah ini bisa jadi contoh sebuah puisi yang tergolong “subversif.” Penyairnya bisa ditangkap karena “nyinyir” terhadap penguasa. Penulisnya anonim.


Dilarang Berlebihan

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
jika kakek nenekmu di masa silam mengangkat senjata melawan penjajah 
maka hari ini kamu dilarang turun ke jalan memprotes apapun
sangat berlebihan jika kamu mengikuti jejak kakek nenekmu merebut kemerdekaan
meskipun yang kamu perjuangkan adalah kemerdekaan dari  penjajahan oleh bangsa sendiri

jika bibimu tukang sayur
pamanmu penjual ikan
ibumu penjual cendol
ayahmu pegawai negeri 
maka kepalamu boleh dipukul dengan popor senapan 
tubuhmu boleh ditembus peluru tajam
senapan dan peluru yang dibeli dari hasil pajak
yang salah satu sumbernya adalah retribusi yang dipungut dari hasil jualan sayur bibimu,
ikan pamanmu, cendol ibumu, dan pajak penghasian dari gaji ayahmu
kalau para maling berkongkalikong mengubah aturan-aturan agar mereka bisa semakin leluasa merampok negerimu
maka kamu tidak boleh memprotes
cukup di rumah saja main game online
karena game online katanya termasuk olahraga, kata paman dari seorang kawan yang tempo hari menang pilkades.
tidak usah turun ke jalan dan nyinyir di medsos
cukup beritikaf di masjid
namun semoga dalam itikaf kamu memperoleh ilmu baru
bahwa jika agamamu hanya berisi ibadah melulu
maka rasulmu tidak pernah turun ke medan tempur membela agamanya.
tidak usah nyinyir
kamu akan diincar
sebagaimana nabi musa yang menyampaikan risalah kebenaran di hadapan fir’aun
lalu diburu sampai ke tepi laut merah

dilarang berlebihan di negerimu sendiri
sangat berlebihan jika kamu suka nyinyir
cukuplah menikmati barang-barang impor
itu sudah cukup
yang punya hak untuk berlebihan adalah mereka 
yang mengeluarkan aturan-aturan
yang mengatur pengeluaran-pengeluaran
yang mengeluarkan pemasukan-pemasukan
yang memasukkan pengeluaran-pegeluaran.

Tanah Airmata, 2019



Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy konon pernah berkata, “Saya lebih takut kepada sebuah puisi dibandingkan satu batalion tentara musuh.”

Ketika satu puisi saja bisa dituding subversif maka siapakah lagi yang akan menjadi penyeimbang di luar lingkaran kekuasaan? Oposisi?

Hari ini ketika nyaris semua parpol dan elit politiknya bersekutu dengan kubu pemerintah maka siapakah lagi yang akan diharapkan menjadi oposisi sejati? Dalam hal ini yang dimaksud tentu saja adalah oposisi yang menjadi bagian dari sistem: oposisi di dalam parlemen. Jangan-jangan mereka memilih oposisi sesaat hanya karena kecewa tidak mendapatkan jatah menteri, misalnya?

Banyak pula yang masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa meskipun mahasiswa berada di luar lingkaran sistem yang ada. Dan sejarah mencatat, beberapa kali aksi turun ke jalan oleh mahasiswa yang dibantu pelajar STM toh harus selalu berakhir dengan sikap represif aparat. Sikap represif ini dipandang sebagai representasi sikap rezim.
Banyak pula yang masih mengandalkan pada kekuatan media sosial untuk mengkonsolidasikan opini dan aksi publik. Nyatanya banyak netizen yang harus diseret ke muka hukum akibat “perlawanannya” di media sosial.

Lantas siapa lagi yang akan bisa dianggap sebagai barisan oposisi yang sejati? Ulama? Ulama yang paling pemberani saja dikriminalisasi sampai harus hijrah keluar Indonesia. Ulama yang tidak sekubu mereka persekusi di mana-mana. Mahasiswa berdemo mereka halau dengan tembakan peluru dan gas airmata. Para sastrawan dan penulis? Mereka tidak bisa diharapkan terlalu jauh. Karya mereka sewaktu-waktu bisa dituding subversif. 

Pada dasarnya rakyat sudah tidak sepenuhnya lagi percaya terhadap partai-partai oposisi. Hari ini mereka mungkin adalah oposisi, besok mereka bisa berubah begitu saja. 
Di hari-hari ini kita harus hati-hati menulis puisi meskipun sedang jatuh cinta.

Pustaka RumPut, 29 Oktober 2019

Dari Indunesian sampai Badduluha

Adalah kelaziman di wilayah ilmiah ketika seorang ahli mengajukan nama bagi sebuah kawasan di muka bumi yang sebelumnya belum memiliki nama. Seperti yang dilakukan George Windsor Earl, seorang navigator Inggris dan penulis karya buku tentang Kepulauan Melayu. Dialah yang mencetuskan nama "Indunesian." Kata 'indus' berasal dari kata 'Hindia' dan 'nesos' dari Bahasa Yunani yang berarti 'pulau.' Dalam karya ilmiah berjudul On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (1850) Earl mengusulkan sebutan khusus bagi warga Kepulauan Melayu atau Kepulauan Hindia (Hindia-Belanda) dengan dua nama yang diusulkan, yakni Indunesia atau Malayunesia.

Masih di tahun yang sama, seorang editor majalah dari Skotlandia bernama James Richardson Logan mengganti huruf 'u' menjadi 'o'.  Wacananya pertama kali tertuang dalam Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia, tahun 1850. Akhirnya Indunesian atau Indunesia menjadi Indonesia. Tampaknya perubahan itu dianggap permanen. Sejak itulah orang-orang terpelajar mengenal nama "Indonesia" untuk merujuk sebuah tanah eksotis yang membentuk etinitas dari banyak pulau, suku, budaya, agama, dan ras yang dilintasi sebuah garis imajiner bernama khatulistiwa.

Kemudian seorang ilmuwan Jerman, Adolf Bastian, Guru Besar Etnologi di Universitas Berlin, berhasil mempopulerkan nama Indonesia di kalangan sarjana Belanda. Dalam bukunya berjudul Indonesien; Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel terbitan 1884 sebanyak lima jilid memuat hasil penelitiannya di Nusantara dalam kurun 1864-1880. Bastian membagi wilayah Nusantara dalam zona etnis dan antropologi.

Penduduk negeri ini menamakan wilayah luas mereka sebagai Nusantara. Bangsa China menyebutnya dengan nama Nan-hai. Bangsa Arab menamainya Jaza'ir Al Jawi atau Kepulauan Jawa. Orang-orang dari India mengenalnya dengan sebutan Dwipantara atau Tanah Seberang. Namun tetap saja Belanda yang menjajah negeri itu menamakannya "Hindia Belanda."

Sebutan bisa berbeda-beda pada suatu entitas, obyek, bahkan individu. Saya saja disebut dengan jumlah nama yang lebih dari tiga sampai lima oleh orang-orang. Semasa bayi hingga bisa merangkak dan berlari saya dipanggil dengan nama "Baco" atau "Aco." Di kemudian hari Si Baco itulah yang menciptakan nama #LaCulleq sebagai tokoh fiksi. Dampaknya, orang-orang lalu mengidentikkannya sebagai La Culleq sehingga nama itu dianggap sebagai namanya sendiri. Padahal dia pernah memiliki empat nama keren: Daeng Janggo, Igo, dan Ivan Kavalera. Setelah diusut, di KTP-nya tertulis Alfian Nawawi. 😁

Lain lagi dengan teman saya yang bernama Burhanuddin. Dia lebih suka memakai nama samaran "Boy." Namun orang-orang di sekitarnya lebih suka memanggilnya "Badduluha." Entah apa arti nama itu. Begitulah, nama dan sebutan apapun itu merupakan proyeksi dari perspektif terhadap segala sesuatu. Yang jelas, orang-orang selalu jujur dalam perspektifnya terkait nama kita.

Monolog Seorang Prajurit

Posted By Alfian Nawawi on Minggu, 19 Mei 2019 | Mei 19, 2019

Prabowo muda (Sumber foto: IDN Times)
Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba monolog ini terdampar di "Catatan Gorong-Gorong" milik seorang rakyat biasa, Alfian Nawawi. Kumpulan catatan ini saya singkat saja: Catro. Supaya berbau milenial. Bolehlah dianggap antonim dari istilah "katro". Jika tersenyum atau nyengir maka jangan kaget, sebab saya punya "sense of humor" yang lumayan tinggi.

Yang saya tahu, 'monolog kecil' ini pasti akan dipandang dari berbagai jurusan, secara negatif maupun positif, dianggap fiksi maupun fakta. Satu hal yang pasti, monolog ini adalah salah satu edisi Catro, sekumpulan tulisan dengan realitasnya yang "pecah-pecah." Maksudnya sejenis catatan yang tidak tuntas. Hanya selalu menyelesaikan pertanyaan, dan menyerahkan kepada pembacanya pada dua pilihan. Pertama, memilih untuk mengabaikan. Kedua, memilih mengembara sendiri mencari jawaban yang sudah dirintis penulisnya.

Sebagai seorang prajurit sejati saya senantiasa patuh kepada setiap perintah atasan. Perintah menculik aktivis pun akan saya laksanakan sepanjang penculikan itu memang bertujuan untuk membela Pancasila dan UUD 1945.

Kalau perintah itu berbunyi, "hilangkan" maka saya akan "menghilangkan" para aktivis itu namun dengan cara saya, sesuai jiwa Pancasila dan Saptamarga, namun tidak berdasarkan kezaliman. Melainkan dengan cara seorang patriot. Bukan cara rezim tiran, bukan cara pengkhianat Pancasila. Bukan membunuh anak-anak muda itu semena-mena.

Alhamdulillah, mereka masih hidup sampai hari ini. Bahkan mereka sebagian besar bergabung dengan saya dalam sebuah gerakan untuk membangun kembali Indonesia Raya. Sebab saya tahu mereka adalah aset bangsa.

Cara saya "menghilangkan" para aktivis tersebut jelas menyalahi perintah atasan. Ketika perintah itu berbunyi "habisi mereka" justru saya "mengamankan" mereka. Akibatnya mereka masih hidup sampai hari ini.

Selaku prajurit saya siap menerima segala konsekuensinya. Apapun itu. Namun sebagai patriot saya siap membela pasukan saya dan menyelamatkan anak-anak muda yang diculik tersebut. Biarkan saya sendiri yang menanggung akibatnya. Apapun itu. Sejarah boleh dibolak-balik namun kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Jika ada yang masih mempermasalahkan peristiwa tersebut, silakan bertanya kepada mantan atasan saya. Dia masih hidup, masih segar bugar. Dia pasti mengetahui pasukan siapa yang membunuh sebagian aktivis. Tanyakan juga kepadanya apa yang sebenarnya terjadi di belakang Kerusuhan Mei 1998 di Ibukota. Sedangkan untuk mengetahui bagaimana perlakuan pasukan saya kepada para aktivis yang "diamankan" itu silakan bertanya langsung kepada para aktivis tersebut. Mereka masih hidup.

Saya tidak menginginkan monolog ini ada di sini. Bahkan tanpa persetujuan saya. Bahkan saya tidak tahu menahu monolog ini ada di sini. Ini hanya keinginan sepihak dari si empunya Catro. Dia mungkin tidak banyak tahu meskipun juga bukannya sok tahu tapi bisa jadi dia hanya menawarkan sebuah wilayah obyektif yang bisa dieksplorasi dengan metodologi dan investigasi terhadap fakta-fakta secara komprehensif. Mumpung para saksi hidupnya masih ada. Mungkin tujuan lainnya juga adalah untuk memandang sebuah peristiwa dari sudut yang berbeda.

Salam dari saya, Seorang Prajurit. Saya mewakafkan diri saya untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka dari imperialisme politik, ekonomi, dan budaya yang bisa merongrong kedaulatan kita, Pancasila kita, kekayaan kita, dan jati diri bangsa kita. Saya tidak akan mengkhianati amanat rakyat. Saya akan timbul maupun tenggelam bersama rakyat. (*)

Kedaulatan adalah Pergantian


Ilustrasi (sumber foto: trans89.com)
Satu-satunya padanan tepat dari kata "daulat" ke dalam Bahasa Inggris adalah "sovereignty." Dari kata yang dianggap sepadan itu maka sepakatlah berbagai generasi di republik ini mengadopsi istilah "kekuasaan rakyat" untuk memaknai "kedaulatan rakyat". 

Lebih jauh lagi bahkan secara ekstrim ada pemaknaan yang digali dari konsep dan praktik demokrasi liberal yang berbunyi: "suara rakyat adalah suara Tuhan." Konsekuensinya adalah kita tidak boleh tercengang ketika suatu "kebenaran" bisa ditentukan oleh suara terbanyak. Sebagai contoh, seorang begal bisa terpilih sebagai pemimpin karena dipilih oleh satu juta begal lainnya.

Kata "dawlah" atau "dulah" dalam Bahasa Arab memiliki makna "giliran" atau "putaran" atau "pergantian". Kita akan mudah menemuinya dalam sejarah "pergantian klan" atau "putaran kekuasaan" dalam dinamika Dawlah Islam.

Makna tersebut secara tegas mengisyaratkan bahwa kekuasaan yang dimiliki penguasa hanya karena mendapat "putaran" atau "giliran". Pergiliran ini terus terjadi sepanjang masa dan mengisi sejarah. Kedaulatan adalah pergantian dan niscaya tidak ada yang abadi di dunia fana.

Hari ini banyak kekuasaan di bumi yang enggan untuk diganti. Mereka mengatasnamakan demokrasi dan berbagai instrumen aneh -termasuk kecurangan- dengan tujuan agar tidak bisa diganti. Apakah mereka merasa sebagai Highlander?(*)
 
Support : Creating Website | LiterasiToday | sastrakecil.space
Copyright © 2011. Alfian Nawawi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by sastrakecil.space
Proudly powered by LiterasiToday